
Bekerja sebagai terapis okupasi tidaklah selalu mudah. Selalu dituntut untuk menjadi professional di semua situasi saat bekerja. Banyak yang setuju bahwa menjadi terapis okupasi bukan hanya mengandalkan ilmu medis, namun juga ilmu sosial dan kemanusiaan karena terapis okupasi harus dapat melihat klien secara holistic.
Selain menjadi tenaga professional di tempat kerja, terapis okupasi juga memiliki peran di kehidupannya masing-masing, entah sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga, kepala keluarga, mahasiswa, ketua organisasi dan lain sebagainya.
Ketika seorang terapis okupasi mengalami kesulitan dalam mengatur perannya di dunia kerja dan di kehidupan seharinya atau work-life balance-nya, terapis okupasi dapat mengalami “occupational imbalance”.
Itu adalah situasi di mana terapis okupasi menjalani kehidupan yang tidak seimbang sebagai konsekuensi dari tekanan dari tempat kerja neoliberal untuk ‘melakukan’ dan ‘menjadi’ kegiatan di luar pekerjaannya yaitu perannya di kehidupan sehari-hari . Occupational imbalance sendiri dapat mempengaruhi pencapaian kesejahteraan seseorang. (Clouston, 2014).
Apa itu Work-Life Balance?
Semakin majunya teknologi, dunia terasa semakin mudah. Sehingga pekerjaan apapun bisa dikerjakan dimanapun dan kapanpun. Hal itulah yang membuat seseorang sulit mengorganisir waktunya kapan bekerja dan kapan melakukan perannya yang lain di luar pekerjaan nya. Beberapa ahli mengartikan work sebagai sesuatu pekerjaan yang dibayar seperti pekerjaan tetap dan permanen, sedangkan life diartikan sebagai pekerjaan kita yang tidak dibayar.
Tetapi, beberapa ahli juga mengartikan life sebagai kehidupan di keluarga maupun sosial kita, dan balance menyiratkan sebuah tujuan dimana terdapat keseimbangan antara partisipasi seseorang terhadap pekerjaan dan kehidupan selain pekerjaan dan setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengorganisasi dirinya dalam berbagai peran pun sebenarnya tidak semua hal harus memasukan keseimbangan didalamnya (Lewis & Beauregard, 2018).

Apa Dampak Bermasalah pada Work-Life Balance?
Menyeimbangkan sesuatu hal yang berbeda memang tidak selalu mudah. Penulis pun merasa kesulitan menyeimbangkan kehidupan kerja dan dunia pribadi.
Sering sekali melewatkan hari minggu untuk bersantai dengan keluarga atau teman-teman terdekat seperti jalan-jalan, karena terlalu berfokus pada pekerjaan, bisa dibilang work a holic. Hal itu menyebabkan diri saya menjadi mudah stress dan selalu lesu saat hari senin serta menurunnya performa bekerja.
Sebuah survei tentang keseimbangan kerja / kehidupan yang dilakukan pada tahun 2002 oleh TrueCareers menyatakan bahwa 70% dari lebih dari 1.500 responden mengatakan mereka tidak memiliki keseimbangan yang sehat antara kehidupan pribadi dan pekerjaan mereka. Ketidak seimbangan antara work dan life dapat menyebabkan menurunnya kesehatan dan meningkatkan stress bagi seseorang (Dhas & Karthikeyan, 2015).

Para ilmuwan setuju bahwa dalam jumlah yang sedang, stres bisa dihadapi bahkan bermanfaat dan kebanyakan orang diharuskan untuk menghadapinya. Namun, meningkatnya tingkat stres yang cepat menyebabkan moral karyawan menjadi rendah, produktivitas menjadi buruk, dan penurunan kepuasan kerja.
Beberapa gejala spesifik yang berhubungan langsung dengan produktivitas di lingkungan kerja adalah penyalahgunaan waktu, kecurangan, ketidakhadiran ke tempat kerja secara berkepanjangan, ketidakpercayaan, penggelapan, sabotase organisasi, keterlambatan, penghindaran tugas, dan kekerasan di tempat kerja.
Dampak serius lainnya adalah depresi, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, masalah perkawinan dan keuangan, gangguan makan kompulsif, dan kelelahan karyawan (Lockwood, 2003). Selain itu ketidakseimbangan antara work & life menyebabkan masalah keluarga, seperti menurunnya kepuasan berkeluarga dan menurunnya seseorang melakukan perannya dalam keluarga (Delecta, 2011).
Bagaimana Cara Menyeimbangkan Work-Life Balance?
Menengok Budaya Tempat Anda Bekerja
Beberapa kasus, ketidak seimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi disebabkan oleh pola atau budaya tempat seseorang bekerja. Jadi sangat perlu melihat kembali apakah tempat anda bekerja mendukung program work life balance.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, seorang terapis okupasi sangat didukung agar memiliki keseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadinya. Berikut beberapa saran agar tempat kerja memilki program work life balance (Lockwood, 2003) :
- Meninjau strategi sumber daya manusia untuk melihat apakah mendukung misi perusahaan,
- Melalui kuesioner atau kelompok fokus, cari tahu apa yang dirasakan karyawan tentang keseimbangan kerja / kehidupan,
- Menyelaraskan inisiatif kerja / kehidupan dengan strategi SDM (misalnya, pilihan atasan dengan bawahan),
- Buat program penghargaan bagi pegawai yang menerapkan work life balance menggunakan insentif non-tunai yang selaras dengan tujuan bisnis.

Memanajemen Waktu dengan Baik
Ketidakseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadi memang selalui berkaitan dengan waktu yang digunakan. Bagi work holic, bekerja adalah hal utama dalam hidupnya, minum kopi bersama teman bagi mereka sangat membuang waktu berharga.
Memanajemen waktu sangat diperlukan ketika kita memiliki banyak peran dalam kehidupan kita. Study yang dilakukan oleh Work institute of America (2011) tentang “Holding a job, having a life : Strategies for change” menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu mengurangi lembur, stres, dan beban kerja, dan meningkatkan fleksibilitas dan waktu bersantai dengan keluarga (Dhas & Karthikeyan, 2015).
Beberapa orang juga menggunakan asisten untuk melakukan beberapa pekerjaan pribadi yang tidak bisa dilakukan, untuk time saved sehingga mereka dapat memiliki waktu lebih agar dapat bersama keluarga (Lockwood, 2003).
Kesimpulan
Semakin majunya zaman, semua serba mudah. Hal tersebut mengakibatkan orang bekerja tanpa mengenal waktu. Bagi seorang terapis okupasi menyeimbangkan antara bekerja dan kehidupan pribadi sangat penting. Ketidak seimbangan antara bekerja dan kehidupan dapat menyebabkan stress dan masalah keluarga hingga kesehatan.
Maka dari itu terapis okupasi harus dapat menjaga well-being diri sendiri agar dapat memiliki performa bekerja yang baik saat bersama klien. Ketidak seimbangan antara work dan life yang tidak diatasi akan memiliki dampak kurang baik bagi seseorang di kehidupannya, sehingga sangat disarankan agar melakukan perbaikan sejak sekarang.
Referensi
Clouston, T. J. (2014). Whose occupational balance is it anyway? The challenge of neoliberal capitalism and work–life imbalance. British Journal of Occupational Therapy, 77(10), 507-515. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.4276/030802214×14122630932430
Lewis, S., & Beauregard, T. A. (2018). The meanings of work-life balance: A cultural perspective. In R. Johnson, W. Shen, & K. M. Shockley (Eds.), The Cambridge handbook of the global work-family interface (pp. 720-732). Cambridge: Cambridge University Press.
Lockwood, N. R. (2003). Work/life balance. Challenges and Solutions, SHRM Research, USA, 2-10.
Delecta, P. (2011). Work life balance. International Journal of Current Research, 3(4), 186-189.
Dhas, M. D. B., & Karthikeyan, D. P. (2015). Work-life balance challenges and solutions: overview. International Journal of Research in Humanities and Social Studies, 12(2).