Hubungan terapeutik berlanjut kepada kerja sama (Img. southpasadenan.com)
Sering kali kita mendengar klien berkata “Melihat terapis nya ramah senyum saja sudah mengurangi separuh nyeri saya”, atau kata seperti “Saya selalu semangat datang terapi, karena mbak dan mas terapis nya memotivasi saya dengan baik”.
Ternyata belum melakukan tindakan intervensi yang jauh saja sudah membuat klien kita merasa sedikit lebih baik. Menjadi tenaga kesehatan memang menguras tenaga baik fisik maupun emosional.
Namun, menjadi klien yang mengalami disfungsi menguras tenaga fisik dan emosional untuk datang mengakses layanan kesehatan pula. Maka kita terapis harus bisa menjadi professional dan melayani sepenuh hati.
Pada tahun 1913, Sigmund Freud berhipotesis bahwa hubungan antara terapis dan pasien adalah komponen kunci dari pengobatan yang sukses. Sejak saat itu, penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas hubungan ini (‘aliansi terapeutik’ seperti yang disebut) merupakan prediktor terkuat keberhasilan terapi (Knobloch, 2008).
Lalu bagaimana cara membangun hubungan yang baik antara terapis dan klien secara profesional? Sebelum sampai kesana, mari kita belajar manfaat dari menjalin hubungan yang baik dengan klien.
Manfaat memiliki Hubungan yang Baik dengan Klien
Dapat memunculkan kolaborasi yang baik antara klien dan terapis
Kolaborasi yang baik dapat membuat kita berada pada satu jalan dengan klien. Tanpa kolaborasi yang baik, seperti klien yang hanya menggantungkan pada terapis tanpa melakukan home program yang diberikan, terapis yang tidak memberikan umpan balik saat klien berkeluh kesah makaproses terapi yang dijalankan pun akan terasa sulit.
Dalam setting pediatri, kolaborasi pertama terjadi antara terapis, orang tua dan anak. Tetapi, kolaborasi paling awal yang harus dibangun dalam setting pediatri adalah antara terapis dan orang tua. Kolaborasi antara terapis dan orangtua yang kuat dapat meningkatkan rasa pemahaman, harapan dan rasa syukur terhadap anak.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan baiknya hubungan kolaborasi tersebut berimplikasi sangat kuat dan meningkatkan efektivitas proses terapi yang dijalankan, sehingga outcome yang dihasilkan dalam terapi pun lebih baik (Feinstein, Udvari-Solner & Joshi, 2009).
Menjalin komunikasi dengan klien (Img. www.gebauer.com)
Meningkatkan kualitas komunikasi yang dijalin
Saat kita memiliki hubungan baik dengan klien, maka akan mudah sekali dalam menjalin komunikasi. Melalui komunikasi yang terjalin dengan baik, terciptalah hubungan emosi yang kuat. Sehingga klien lebih leluasa menyampaikan keluhan dan harapannya.
Penelitian menunjukan hubungan yang baik dapat membuat klien lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan respon emosi negative yang dialami dan juga dapat menyelesaikan permasalahan negative yang dialami lebih baik (Knobloch, 2008).
Dapat menuntun ke hasil terapi yang lebih baik
Berdasarkan meta analysis pada aspek hubungan terapi tentang hubungan berbasis bukti & responsif, ditemukan bahwa sejumlah faktor hubungan, seperti menyetujui tujuan terapi, mendapatkan umpan balik klien selama perawatan dan memperbaiki masalah klien secara bersama memberikan hasil yang positif karena membantu dalam penggunaan metode perawatan yang tepat kepada klien (Deangelis, 2019).
Bagaimana Membangun Hubungan Terapetik dengan Klien?
Saat berbicara tentang hubungan terapetik Secara historis, studi tentang hubungan terapeutik hanya berfokus pada hubungan pasien dengan terapis. Namun, penelitian yang dilakukan di The Family Institute di Northwestern University dan Dr. William Pinsof (2019) menunjukkan pentingnya memperluas definisi ini untuk memasukkan pengaruh orang lain yang signifikan dalam kehidupan pasien seperti anggota keluarga, pasangan, teman dekat.
Penelitian yang dilakukan Knobloch (2008) tentang Pentingnya Hubungan dengan Terapis memaparkan bahwa cara menciptakan hubungan yang baik antara terapis dan klien adalah membangun empati dan pemahaman, menciptakan rasa keterbukaan, memiliki fleksibilitas dan kemauan beradaptasi dengan klien. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan terapetik bersama klien :
Berempati terhadap kondisi klien (Img. nursesusa.org)
Bangun rasa empati dan memahami klien
Saat awal terapis bertemu klien, hal yang harus kita bangun adalah rasa empati dan memahami keadaan dan perasaan klin kita, bukan apa masalah klien dan apa tujuan terapi yang bisa diberikan. Saat awal-awal pertemuan, ibaratkan kita (terapis) adalah seseorang yang bertamu di suatu rumah baru.
Sangat tidak etik bukan jika kita langsung mengunjungi dapur tanpa mengenal ruang depan? Begitu pula dengan klien, klien akan merasa tidak nyaman jika kita langsung terjun ke dalam tanpa berkenalan dan membangun rasa saling memahami.
Berdasarkan pengalaman saya, saya selalu berusaha membangun empati dan memahami klien saat awal-awal klien menjalankan terapi, seperti memahami apa yang klien suka dan tidak suka, apa yang membuat klien bersemangat, apa yang membuat klien tidak nyaman & tidak memaksakan klien untuk melakukan aktivitas yang kita minta dan berikan.
Oleh sebab itu, klien akan menunjukan kepercayaan terhadap kita karena merasa aman dan nyaman dengan kita sebagai terapis sehingga proses terapi yang dijalankan pun menjadi lebih baik.
Ciptakan Keterbukaan
Keterbukaan sangat penting saat membangun hubungan terapetik dengan klien. Saat dengan klien dewasa, terapis diharapkan dapat terbuka dengan tujuan & proses terapi yang akan dijalankan. Sehingga klien tidak merasa seperti sebuah objek yang di otak-atik oleh terapis, namun bisa merasa menjadi seorang “partner” yang bersama-sama menuju tujuan yang sama.
Dalam setting pediatri, keterbukaan sangat perlu terjalin dengan orang tua dan juga anak. Menciptakan keterbukaan dapat dilakukan seperti menyampaikan pada orang tua bagaimana permasalahan anak, dan bagaimana cara yang dapat dilakukan bersama agar mendapatkan hasil yang memuaskan.
Maka sangat penting mengkomunikasikan hasil terapi di setiap setelah pertemuan, seperti apa yang telah dapat dicapai anak hari ini dan bagaimana cara memaksimalkan potensi anak dirumah melalui home program.
Fleksibilitas dan kemauan untuk beradaptasi dengan klien
Kondisi klien tidak dapat kita prediksi di setiap pertemuan. Pada beberapa kasus pediatri, emosi anak masih turun-naik seperti saat dirumah anak merasa baik-baik saja namun saat tiba di ruangan terapi anak merasa cemas. Begitu pula klien dewasa fisik maupun psikososial, pertemuan sebelumnya klien merasa bersemangat dan termotivasi, bisa jadi pertemuan kali ini klien merasa murung dan tidak bersemangat.
Fleksibilitas
Maka disinilah peran terapis, agar terciptanya hubungan yang baik dan klien dapat lebih mudah mengkomunikasikan perasaan negatif nya, terapis diharapkan menjadi pribadi yang fleksibel dan dapat beradaptasi.
Salah satu bentuk dari fleksibilitas adalah dengan cara tidak memaksakan program terapi yang sudah kita susun di hari itu terhadap klien saat klien tidak dalam kondisi baik. Meskipun klien harus mencapai tujuan yang telah disepakati, namun perasaan dan apa yang dialami klien di hari itu adalah lebih penting.
Kemauan Beradaptasi
Kemauan beradaptasi dengan klien dapat dilakukan dengan cara mengubah aktivitas yang sesuai dengan keadaan klien dihari itu juga, contoh nya klien anak yang minggu lalu sudah berfokus dalam meningkatkan kognitif karena hari ini anak mengalami cemas berlebih maka kita harus dapat mengubah aktivitas kearah calming bagi anak.
Hal tersebut dapat membuat klien merasa bahwa kita dapat beradaptasi dengan merasa dalam situasi apapun yang sedang mereka alami dan tidak menjadi pribadi yang kaku serta memaksakan.
Menyesuaikan diri dalam proses komunikasi bersama klien (Img. amavic.com.au)
Kesimpulan
Banyak klien yang saat sebelum mengakses terapi mereka berpikir “apakah mengikuti terapi ini akan benar-benar berguna bagi diriku?”. Penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor mempengaruhi apakah sebuah pengobatan akan berhasil, seperti tingkat keparahan masalah yang sedang diobati, keyakinan pasien bahwa treatment akan bekerja dan tingkat keterampilan terapis.
Namun, penelitian selama lima puluh tahun terakhir telah menunjukkan bahwa satu faktor, lebih dari yang lain, dikaitkan dengan pengobatan yang sukses yaitu kualitas hubungan antara terapis dan pasien. Maka, inilah betapa pentingnya menciptakan hubungan terapetik dengan klien agar outcome yang dihasilkan akan menjadi lebih baik.
Feinstein, N. R., Fielding, K., Udvari-Solner, A., & Joshi, S. V. (2009). The supporting alliance in child and adolescent treatment: Enhancing collaboration among therapists, parents, and teachers. American Journal of Psychotherapy, 63(4), 319-344.
Banyak sekali jenis jenis olahraga di sekitar kita (Img: Freepik.com)
Olahraga & Atlet
Bermula dari Juni hingga Desember 2022 ke depan, dunia sedang berpesta olahraga, loh! Bila kita urutkan dari SEA Games 2022 di Hanoi, ASEAN Para Games 2022 di Indonesia, FIBA Basketball Asia Cup 2022 di Indonesia, Asian Games 2022 di Tiongkok dan terakhir di FIFA World Cup 2022 di Qatar (Kompas, 2022). Diantara pesta-pesta olahraga tersebut, beberapa kegiatan berlangsung di Indonesia, wah!
Tidak lupa, selamat untuk Indonesia sudah menjadi juara umum di ASEAN Para Games 2022 & memenangkan kompetisi sepak bola remaja tingkat Asia Tenggara, AFF U-16 2022, ya!
Pada era ini sport sangat populer dan kompetitif dengan banyak atlet yang berlatih sangat keras agar mendapatkan kemenangan, maka tak heran saat ini menjadi seorang atlet merasakan beban besar baik secara fisik dan emosional. Keterbebanan tersebut mengakibatkan para atlet memperbanyak latihannya dan dapat meningkatkan peluang resiko cedera akibat olahraga (Dhillon et al., 2017).
Ketika seorang atlet mengalami cedera fisik saat melakukan kompetisi ataupun aktivitas olahraga, maka hal itu dapat berimplikasi pada kemampuannya dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Sport Rehabilitation
Saat kita berbicara tentang rehabilitasi maka kita akan menemukan banyak profesi di dalamnya dikarenakan rehabilitasi selalu menggunakan pendekatan multidisiplin. Maka dari itu dalam memanajemen cidera akibat olahraga terdapat banyak spesialis yang terlibat didalamnya meliputi pelatih, manajer klub, conditioning specialist, fisioterapis, nutrisionis, exercise psychologist, terapis okupasi, dokter bedah, pekerja sosial dan tim rehabilitasi lainnya. (Comfort, 2010 & Heijnen, 2008).
Semua bentuk olahraga dapat mengakibatkan cidera tanpa terkecuali, entah itu olahraga sepak bola, berenang, gymnastic, angkat beban, hingga bulu tangkis.
Penyebab umum terjadinya cedera pada seorang atlet antara lain adalah overtraining, teknik yang buruk, kit/peralatan yang tidak pantas, tabrakan, jatuh, penggunaan kemampuan yang berlebihan (Cambridge Technicals, 2018). Maka adanya sport rehabilitation bertujuan untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sang atlit yang terganggu akibat cedera secara maksimal.
Pelayanan terapi okupasi juga dapat di ranah rehabilitasi olahraga. (Vid. Youtube.com)
Bagaimana Terapis Okupasi Dapat Berperan?
Cedera yang dialami seorang atlet dapat menyebabkan gangguan secara fisik dan psikis. Cidera fisik yang dialami dapat berupa cedera otot, ligamen dan tulang. Studi yang dilakukan oleh Hootman et al. (2007) terhadap atlet dari 15 jenis olahraga yang berbeda menunjukan lebih dari 50 % atlet mengalami cedera pada anggota tubuh bagian bawah dan peneliti mengobservasi lebih dari 16 tahun dan melihat adanya peningkatan kasus cedera pada atlet karena tuntutan secara fisik, partisipasi dan aturan pertandingan.
Berikutnya proses pemulihan atau proses rehabilitasi pasca cedera menjadi concern utama. Maka disinilah terapis okupasi turut serta menjadi bagian dari proses rehabilitasi seorang atlet.
Assessment
Sebelum menentukan sebuah program untuk klien maka seorang terapis okupasi wajib melakukan sebuah assessment. Ketika berbicara tentang terapi okupasi maka kita akan berorientasi terhadap aktivitas fungsional apa yang terdampak akibat cedera yang dialami klien. Sebuah assessment pada sport rehabilitation sangat penting dan harus didokumentasikan dengan baik dari awal hingga evaluasi akhir karena berkaitan dengan tindakan pencegahan re-injury (Dhillon, et al., 2017).
Cedera yang berkaitan dengan olahraga yang sering ditemukan adalah gegar otak, cedera otak, cedera pada visual, cedera tulang belakang, dan cedera keterampilan motorik. Ini semua adalah cedera yang terapis okupasi biasanya kerjakan dalam proses rehabilitasi. Namun, literatur menunjukkan layanan terapi okupasi masih belum familiar dianggap sebagai komponen dari tim rehabilitasi olahraga (Reed, 2011).
Pemeriksaan fungsi tangan dilakukan terapis okupasi (Img. res.cloudinary.com)
Maka dalam hal ini seorang terapis okupasi dapat menggunakan pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot serta pemeriksaan tonus otot sebagai pemeriksaan secara fisik, dan dapat menggunakan depression and anxiety scale sebagai pemeriksaan psikis pasca injury.
Kemudian terapis okupasi dapat menggunakan Mini-Mental Status Examination (MMSE) maupun The Montreal Cognitive Assessment (MoCA) sebagai pemeriksaan kognitf klien secara umum pasca cedera serta menggunakan Functional Independence Measure (FIM), Performance Assessment of Self-Care Skills (PASS), maupun Canadian Occupational Performance Measure (COPM) untuk mengetaui permasalahan fungsional yang terdampak oleh cedera yang dialami klien (Manee, et al., 2020).
Intervensi
Setiap tujuan dan tindakan intervensi yang akan dilakukan dengan klien diputuskan berdasarkan hasil dari assessment dan keputusan bersama yang bersifat client-centered. Sebuah Studi menunjukkan bahwa partisipasi dalam aktivitas sangat penting untuk pemulihan setelah cedera, namun gejala mungkin masih mengganggu kemampuan seseorang untuk berpartisipasi.
Melalui gejala-gejala yang dialami klien ini dapat dilihat di area mana terapi okupasi dapat berperan dalam menemukan cara untuk membantu individu dalam menjaga partisipasi sehari-hari dalam aktivitas (Host & Mankie, 2018).
Bermodalitaskan permainan & olahraga (Img. neuroskills.com)
Berikut tindakan-tindakan intervensi yang dapat terapis okupasi lakukan pada sport rehabilitation :
Cedera pada Ekstremitas Atas
Banyak atlet yang mengalami cedera ekstremitas atas. Ekstremitas atas termasuk cedera pada tangan, pergelangan tangan, siku, dan bahu. Cedera di daerah-daerah ini dapat menyebabkan penurunan lingkup jangkauan gerakan, motorik halus, motorik kasar, dan keterampilan koordinasi.
Ekstremitas atas memiliki peran sangat banyak dalam aktivitas keseharian. Ketika klien mengalami cedera pada salah satu ekstremitasnya (tangan atau kaki), hal tersebut dapat menyebabkan rasa sakit dalam waktu tertentu dan membutuhkan banyak waktu untuk memulihkan kondisi yang kemudian menurunkan partisipasi individu dalam okupasinya. (Host & Mankie, 2018).
Dalam tindakan-tindakan intervensi yang dapat dilakukan seorang terapis okupasi dapat mengacu pada AOTA (2014), yaitu dapat berupa :
Latihan peningkatan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi,
Latihan aktivitas terapeutik
Mendesain orthosis, fabrication, fitting, dan training
Joint protection dan/atau menerapkan teknik konservasi energi di rumah, pekerjaan, sekolah, atau kegiatan rekreasi
Pengenalan ulang sensorik
Mirror therapy
Manajemen bekas luka dan edema
Manajemen nyeri
Pengkondisian kerja atau persiapan kembali bekerja
Pelatihan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari dan perangkat adaptif atau bantu, Pendidikan untuk keselamatan pasca-bedah atau pasca-cedera, termasuk kehilangan sensorik.
Cedera pada Ekstremitas Bawah
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, cedera ekstremitas bawah banyaknya mencapai lebih dari 50%. Ekstremitas bawah membawa peran penting dalam aktivitas fungsional terutama mobilitas bagi para atlet. Intervensi yang dilakukan pada ekstremitas bawah pun tidak jauh berbeda dari ekstremitas atas.
Terapis okupasi dapat memilih bentuk intervensi apa yang tepat bagi ekstremitas bawah pasca cedera olahraga. Dalam proses intervensi ekstremitas bawah terapis okupasi dapat berfokus pada komponen-komponen penting yaitu kekuatan otot, lingkup gerak sendi, keseimbangan dan endurance.
Komponen tersebut dapat dicapai salah satunya melalui protection, rest, ice, compression, dan elevation (P.R.I.C.E) dengan tujuan menghindari kerusakan jaringan lebih lanjut, mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh cidera, edema, dan sebagai upaya untuk membantu meningkatkan proses penyembuhan (Dhillon et al., 2017).
Psikologis
Menjadi seorang atlet merupakan sebuah tuntutan besar bagi seseorang apalagi jika sudah masuk pada kompetisi dunia. Mengalami cedera merupakan mimpi buruk bagi seorang atlet, apalagi jika cedera berat karirnya sebagai atlet dapat berakhir. Maka dari itu sebagai terapis okupasi kita tidak boleh menyampingkan area psikologis klien dalam proses rehabilitasi.
Gangguan psikologis yang sering dialami para atlet seperti anger (perasaan marah), kecemasan (karena memikirkan berapa lama cedera akan berlangsung), depresi (karena tidak dapat bertanding atau berlatih), mengisolasi diri, frustrasi hingga turunnya kepercayaan diri (Cambridge Technicals, 2018).
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terapis okupasi pada area kesehatan mental setelah cedera dapat berupa menyediakan program edukasi, pembelajaran pengalaman dan kelompok perawatan atau kelas untuk mengatasi kepercayaan diri yang hilang, kesadaran diri, keterampilan interpersonal dan sosial, manajemen stres dan pengembangan peran, dan juga bekerja sama dengan klien untuk mengembangkan kepentingan dan pengejaran rekreasi atau avocational (AOTA, 2013).
Modalitas terapi menggunakan latihan tinju sederhana (Img. helenhayeshospital.org)
Kesimpulan
Menjadi seorang atlet sangatlah tidak mudah, tahun ke tahun tuntutan atlet semakin bertambah entah itu secara fisik maupun emosional. Cedera olahraga merupakan hal yang tidak dapat dihindari bagi seorang atlet. Maka dari itu monitoring cedera sejak sebelum dan sesudah aktivitas olahraga sangatlah penting bagi klien.
Tindakan rehabilitasi pasca cedera menjadi hal penting bagi para atlet. Assessment dan intervensi yang dilakukan pun harus didokumentasikan dengan baik agar tidak terjadi reinjury bagi klien. Peran terapis okupasi pada sport rehabilitation menjadi sangat penting, namun minimnya sumber informasi bagi terapis okupasi dan evidence-based practice menjadikan terapis okupasi memiliki peran yang minimal dalam perhelatan keolahragaan.
Maka dari itu, sangat penting bagi terapis okupasi mengetahui perannya agar kedepannya dapat terlibat lebih untuk sport rehabilitation.
Jadi, tertarik belajar dan mengambil peran sebagai terapis okupasi di bidang keolahragaan nih?
Referensi
American Occupational Therapy Association. (2014). The Role of Occupational Therapy for Rehabilitation of the Upper Extremity. USA.
Comfort, P., & Abrahamson, E. (Eds.). (2010). Sports rehabilitation and injury prevention. John Wiley & Sons.
Dhillon, H., Dhilllon, S., & Dhillon, M. S. (2017). Current concepts in sports injury rehabilitation. Indian journal of orthopaedics, 51(5), 529-536.
Heijnen, L. (2008). The role of rehabilitation and sports in haemophilia patients with inhibitors. Haemophilia, 14, 45-51.
Hootman JM, Dick R, Agel J. Epidemiology of collegiate injuries for 15 sports: Summary and recommendations for injury prevention initiatives. J Athl Train 2007;42:311-9.
Host, A., & Mankie, K. (2018). Occupational Therapy’s Role in Sport: A Website on Promotion and Education for OT’s and Coaches.
Manee, F. S., Nadar, M. S., Alotaibi, N. M., & Rassafiani, M. (2020). Cognitive assessments used in occupational therapy practice: A global perspective. Occupational Therapy International, 2020.
Reed, N. (2011). Sport-Related Concussion and Occupational Therapy: Expanding the Scope of Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 31(3), 222-224.
Merawat layanan paliatif (Img: media.mehrnews.com)
Ketika kita membahas tentang peran terapis okupasi rasanya tidak pernah ada batasannya. Salah satu tujuan terapis okupasi adalah membuat hidup klien kita menjadi lebih bermakna dengan ataupun tanpa kondisi yang klien alami.
Praktisi terapi okupasi berperan penting pada tim perawatan paliatif dan hospice (perawatan terminal atau stadium akhir) dengan mengidentifikasi peran dan kegiatan kehidupan (occupation) yang bermakna bagi klien dan mengatasi hambatan yang dialami klien dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Tidak seperti penyedia layanan kesehatan lainnya, terapis okupasi mempertimbangkan kebutuhan kesehatan fisik dan psikososial/perilaku klien, berfokus pada apa yang paling penting bagi klien untuk dicapai, sumber daya dan sistem pendukung yang tersedia, dan lingkungan di mana klien ingin dan dapat berpartisipasi (AOTA, 2015).
Apa Itu Perawatan Paliatif ?
Saat mendengar kata palliate yang terpikirkan adalah sebuah tindakan meringankan atau meredakan. Perawatan paliatif adalah pendekatan tim interdisipliner yang digunakan untuk orang-orang dengan penyakit serius atau mengancam jiwa untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Tujuan perawatan paliatif termasuk memberikan bantuan untuk manajemen rasa sakit dan manajemen gejala, memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga klien, dan mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual perawatan dengan perawatan medis yang diperlukan (Guo & Shin, 2005).
Menguatkan klien selama perawatan paliatif (Img: media.istockphoto.com)
Kanker, Alzheimer, penyakit jantung kronis, multiple sclerosis, brain injury dan lain-lain merupakan diagnosis-diagnosis yang masuk ke dalam perawatan paliatif. Namun, cakupan penyakit yang termasuk ke dalam paliatif masih belum jelas hingga saat ini terutama di bidang psikiatri atau kejiwaan, karena banyak gangguan mental yang bersifat persisten dan berdampak negatif pada kualitas hidup serta harapan hidup seseorang.
Sedangkan di lain hal berdasarkan pada definisi perawatan paliatif WHO yang diterima secara luas saat ini hanya mencakup penyakit kejiwaan persisten yang parah. Hal ini menjadi concern paliatif psikiatri agar definisi perawatan paliatif oleh WHO yang lebih berfokus terhadap penyakit, diubah menjadi lebih fokus ke dalam berpusat pada klien mengingat tujuan dari perawatan paliatif adalah peningkatan kualitas hidup seseorang yang berada pada ambang kematiannya (Lindblad, Helgesson & Sjöstrand, 2019).
The multi-professional academic network at the Interdisciplinary Center for Palliative Medicine.
Peran Terapi Okupasi secara Spesifik
Seperti yang kita ketahui perawatan paliatif bersifat interdisiplin, dimana berbagai macam profesi termasuk terapis okupasi bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan. Terapis okupasi bekerja pada orang-orang dengan penyakit yang membatasi kehidupan dalam berbagai setting, termasuk kesehatan masyarakat, perawatan usia lanjut, rehabilitasi masyarakat, klinik rawat jalan, perawatan akut, pusat rehabilitasi rujukan spesialis, rumah sakit harian, rumah sakit dan unit perawatan paliatif rawat inap (OTA, 2015).
Dalam praktiknya terapis okupasi dapat bekerja pada bidang assessment dan intervensi, sebagai berikut:
Assessment
Melihat klien secara holistic adalah sebuah keharusan. Dalam perawatan paliatif terapis okupasi menggunakan pendekatan client-centered sehingga assessment yang dilakukan berpusat pada individu dan caregiver atau orang terdekat (Cooper, 2013). Pemeriksaan terstandar yang dapat digunakan saat assessment klien salah satunya adalah Canadian Occupational Performance Measure (COPM) dimana pemeriksaan ini sangat sejalan dengan client-centered approach.
Dalam melakukan assessment, seorang terapis okupasi harus dapat menganalisis gangguan fungsional klien dengan baik dan sedetail mungkin. Beberapa hal yang perlu diassesment oleh terapis okupasi selain gangguan fungsional dan konteks individu adalah konteks lingkungan. Terapis okupasi dapat melihat apakah pasien membutuhkan modifikasi lingkungan dimana klien tinggal maupun klien beraktivitas.
Oleh sebab itu praktisi terapi okupasi memahami hubungan transaksional antara orang, lingkungan, dan aktivitas bermakna untuk mendukung okupasi berkelanjutan yang diinginkan, dapat meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang yang sedang sekarat, serta untuk orang yang mereka cintai (WFOT, 2016).
Intervensi
Dalam tahapan intervensi, terapis okupasi juga harus menggunakan pendekatan client- centered bekerjasama dengan klien dan care giver. Hal ini berkaitan dengan bentuk intervensi dan tujuan yang akan dicapai bersama.
Sebagai contoh, klien dengan kanker memiliki kewaspadaan dan tingkat kesadaran lingkungan yang cukup baik namun memiliki permasalahan pada manajemen rasa sakit, pengendalian gejala yang menjadi dasar permasalahan kegiatan sehari-harinya akan berbeda dengan klien penyakit Alzheimer yang dirujuk pada tahap selanjutnya yang secara kognitif mengalami penurunan tetapi mengalami sedikit rasa sakit.
Memberikan ketenangan kepada klien (Img: www.all-can.org)
Berikutnya dalam situasi terminal, bentuk intervensi akan lebih tepat diarahkan pada berbagai tantangan yang dihadapi pengasuh, seperti memandu dalam mengelola perilaku dan tindakan keamanan bagi klien (Ann, et al., 2011).
Setelah tindakan assessment secara menyeluruh terapis okupasi dapat mengetahui area mana saja yang perlu dilakukan intervensi, apakah itu pada Activities of Daily Living (ADLs), Instrumental Activities of Daily Living (IADLs), Rest and Sleep, Leisure Participation,dan social participation.
Berikut adalah intervensi atau tindakan yang terapis okupasi lakukan berdasarkan area klien yang terdampak menurut panduan AOTA (2015).
Activities of Daily Living (ADLs) :
Berpakaian
Menggunakan peralatan adaptif, teknik pengerjaan aktivitas yang dimodifikasi, prinsip konservasi energi, dan mekanika tubuh yang tepat untuk meminimalkan rasa kelelahan berlebihan, dan rasa sakit (misalnya dalam berpakaian di tempat tidur untuk memaksimalkan kemandirian dan keselamatan).
Mandi
Menggunakan peralatan khusus atau adaptif untuk memaksimalkan keselamatan (misalnya grip bar dan bangku shower) dan menggabungkan prinsip konservasi energi.
Mobilitas fungsional
Menggabungkan strategi pencegahan jatuh (misalnya menghilangkan bahaya seperti menggunakan karpet dengan permukaan anti licin dan meningkatkan pencahayaan ruangan) dan menumbuhkan kesadaran akan masalah dan keterbatasan keselamatan dalam lingkungan, sambil memperkuat kepercayaan diri dan kemampuan klien. Menyediakan perangkat positioning dan mobilitas yang optimal untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan, sekaligus mengurangi risiko luka akibat tekanan.
Membantu mengenakan pakaian (Img: stocks.adobe.com)
Instrumental Activities of Daily Living (IADLs)
Persiapan makan
Menggabungkan prinsip konservasi energi dan modifikasi aktivitas seperti menggunakan gerobak beroda dan mengatur ulang penyimpanan dapur untuk akses yang lebih mudah. Membantu diet sehat dan menyiapkan bahan makanan untuk manajemen nutrisi.
Manajemen rumah
Mengevaluasi toleransi aktivitas dan mekanika tubuh dengan tugas-tugas seperti membersihkan rumah atau mencuci pakaian. Menyarankan modifikasi aktivitas, sistem pendukung, peralatan adaptif, ritme dalam aktivitas, dan teknik konservasi energi.
Manajemen kesehatan
Memberikan strategi tentang cara mengelola gejala yang terkait dengan kelelahan, nyeri, kecemasan, atau sesak napas selama aktivitas sehari-hari.
Kegiatan keagamaan atau spiritual
Memodifikasi kegiatan atau sumber daya untuk membantu mengembangkan atau memelihara keterlibatan dalam kegiatan peribadatan atau kerohanian, jika diinginkan (Pizzi, 2010).
Rest and Sleep :
Mengevaluasi kebiasaan tidur dan siklus tidur /bangun klien, dan mengembangkan rutinitas sebelum tidur untuk memfasilitasi periode tidur restoratif yang lebih lama.
Memberikan teknik relaksasi dan positioning untuk meningkatkan kenyamanan dalam beristirahat, meningkatkan kemampuan beristirahat, dan mengurangi kerusakan kulit dari tekanan.
Partisipasi Rekreasi
Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi dan komunitas yang menyenangkan dengan adanya perubahan kemampuan dan peran melalui modifikasi dan/atau dengan mengeksplorasi alternatif.
Menggunakan teknik relaksasi, strategi mengatasi, manajemen kecemasan, manajemen waktu, dan ritme aktivitas untuk memfasilitasi partisipasi dalam kegiatan yang diinginkan.
Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara-cara untuk mempertahankan fungsi kognitif (misalnya, memori dan konsentrasi) untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bermakna.
Berinteraksi & Menghibur Klien (Img: www.pbs.org)
Kesehatan Psikososial/Perilaku
Melibatkan klien dan keluarga mereka dalam diskusi tentang perasaan, ketakutan, dan kecemasan mereka. Jika sesuai, berikan dukungan dan sumber daya untuk membantu menciptakan rencana akhir masa aktif, dan tetap terorganisir selama proses (Pizzi, 2010).
Mendorong keterlibatan komunikasi dan keluarga untuk mendukung keinginan klien, dan mempromosikan koneksi sosial yang berkelanjutan (Park Lala & Kinsella, 2011).
Mendukung peran pengasuh, termasuk komunikasi tentang harapan realistis, dan edukasi tentang mekanika dan teknik tubuh yang aman selama kegiatan sehari-hari dan berpindah tempat, manajemen diri, dan kemampuan untuk mengurangi burnout (misalnya, kelompok pendukung pengasuh, atau perawatan hari hospice dewasa).
Kesimpulan
Terapi Okupasi menjadi salah satu profesi yang melakukan perawatan paliatif bersama profesi lain. Meningkatkan kualitas hidup klien meski berada pada ujung akhir kehidupan menjadi salah satu tujuan terapi okupasi.
Dengan memahami peran dan tindakan intervensi yang tepat melalui client-centered approach terapis okupasi diharapkan dapat bekerjasama dengan klien dan caregiver dalam menciptakan kehidupan yang bermakna meskipun klien memiliki permasalahan kesehatan yang menghambat aktivitas kesehariannya.
Ann Burkhardt, O. T. D., Mack Ivy MOT, O. T. R., Kannenberg, K. R., & Youngstrom, M. J. (2011). The role of occupational therapy in end-of-life care. The American Journal of Occupational Therapy, 65(6), S66.
Cooper, J. (Ed.). (2013). Occupational therapy in oncology and palliative care. John Wiley & Sons.
Guo, Y., & Shin, K.Y. (2005). Rehabilitation needs of cancer patients. Critical Reviews in Physical and Rehabilitation Medicine, 17(2), 83–99. doi:10.1615/CritRevPhysRehabilMed.v17.i2.10
Lindblad, A., Helgesson, G., & Sjöstrand, M. (2019). Towards a palliative care approach in psychiatry: do we need a new definition?. Journal of medical ethics, 45(1), 26-30.
Melakukan kegiatan bermakna merupakan kebutuhan dasar dari manusia. Bertitel ‘makhluk okupasional’ sepanjang hidup merupakan peranan utama manusia sepanjang usia. Maka, menjadi wajar bila okupasi lekat, dekat dan terikat dengan manusia. Pemaknaan kegiatan bermakna atau okupasi menjadi pendapat masing-masing individu apakah sebuah okupasi menjadi bermakna ataupun tidak bagi dirinya.
Dalam Morrison et al. (2017), mendefinisikan okupasi adalah situasi klien di mana mampu berpartisipasi dalam kehidupan, misalnya perawatan diri, pemanfaatan waktu luang, produktivitas bekerja dan lainnya dengan terintegrasi pada konteks klien, memiliki manfaat terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien sepanjang hidupnya.
Selain kesehatan, okupasi juga melingkupi berbagai aspek mulai sosial, budaya, ekonomi, biologis dan filosofi. Maka, melihat okupasi perlu secara utuh.
Okupasi lekat dengan banyak aspek dan budaya masyarakat termasuk di dalamnya. Kita mengenal salah satu okupasi khas di Indonesia yang menjadi salah satu bentuk hasil budaya yang bahkan diakui oleh UNESCO pada tahun 2009 (UNESCO, 2009).
Bila ditelisik lebih lanjut, selain memiliki nilai budaya, kita ketahui bahwa membatik sebetulnya juga terdapat nilai okupasional di dalamnya yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modalitas terapi berbasis kepada okupasi.
Batik sebagai produk kebanggaan, bagian dari karya & ciri khas bangsa Indonesia (Img: awsimages.detik.net.id)
Membatik sebagai Modalitas yang Holistik
Membatik, Art Therapy yang Berbasis Okupasi
Aktivitas membatik dapat dikatakan merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan seni lukis sebagai bagian utama dalam keseluruhan tahap aktivitasnya. Dalam perspektif kesehatan, kita mengenal adanya art therapy atau terapi seni lukis sebagai salah satu modalitas psikoterapi dalam disiplin ilmu psikologi.
Aktivitas membatik dapat pula ditujukan sebagai bagian dari terapi melukis untuk diaplikasikan dalam layanan berbasis okupasi kepada klien, namun selain memanfaatkan esensi psikoterapinya, dapat pula terapis okupasi menerapkan prinsip terapi okupasi dan memanfaatkannya sebagai modalitas terapi.
Kelompok lansia sedang membatik (Img: statik.tempo.co)
Contoh modalitas art therapy yang dapat digunakan dalam terapi okupasi dalam praktik dan penelitian ditunjukkan dalam Ingkir, Wondal & Arfa (2020), Syafitri & Jaya (2020) & Rochmah & Hasibuan (2020) dengan menerapkan aktivitas membatik pada anak usia sekolah untuk melatih kemampuan motorik halus.
Dalam riset tersebut melakukan membatik dengan teknik jumputan, dengan mengikat kain dalam beberapa bagian kemudian masing-masing bagian diwarnai beragam warna dengan kuas lukis. Melalui contoh tahapan tersebut saja, proses holistik melibatkan beragam komponen dan keterampilan anak dapat berjalan bersamaan, mulai komponen fisik, mental (termasuk kognitif di dalamnya) dan sosial.
Pemberdayaan ODGJ melalui Membatik
Riset lain mengamati kegiatan lukis pada klien dengan masalah kejiwaan. Dalam Wulandari dkk. (2021) meneliti pemberdayaan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) stabil dan siap kembali ke masyarakat dalam kegiatan membatik secara berkelompok.
Riset tersebut dilakukan dalam 3 sesi, dengan dimulai penyuluhan kegiatan membatik, pendampingan proses membatik hingga tahap penjualan batik dengan partisipan secara kompleks berkreasi, membuat-mewarna batik dan bersosial dengan rekan ODGJ dalam kelompok sosial di sana.
Pembuatan batik di RSJD RM Soedjarwadi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Img: images.solopos.com)
Dalam sampel lain pada klien personality disorder, intervensi kegiatan melukis bebas dilakukan dengan melukis di kanvas sesuai dengan apa yang klien rasakan, pikirkan maupun yang klien ingin lakukan (Haeyen et al., 2018). Tujuan dari melukis tersebut untuk melatih respon reflektif klien terhadap lukisan yang menggambarkan klien, menyadarkan kontrol diri klien dan identitas klien sebenarnya kepada klien sendiri.
Pada prinsipnya, aktivitas membatik pun memiliki kesamaan dalam contoh-contoh tersebut. Melingkupi berbagai aspek komponen fungsi tubuh, baik komponen fisik, mental dan sosial. Seluruh komponen akan bekerja bersamaan terlebih bila dilakukan berkelompok, komponen interaksi sosial ikut berperan banyak.
Esensi Okupasional dalam Aktivitas Membatik
Klien ODGJ mengikuti terapi seni membatik di RSJD Magelang (Img: jogja.tribunnews.com)
Bila membahas penerapan membatik dalam konteks art therapy sebagai modalitas dalam praktik terapi okupasi, tentu akan memiliki makna yang berbeda ketika bergantung pada konteksnya apakah sebagai aktivitas pemanfaatan waktu luang, bermain atau produktivitas.
Masing-masing definisi konteks tersebut dapat anda akses dalam practice framework terapi okupasi dalam Occupational Therapy Practice Framework (Fourth Edition; 2020) maupun edisi lainnya oleh AOTA dengan setelah anda pahami, perencanaan intervensi tentu akan berbeda dan menyesuaikan pada prinsip masing-masing kategori okupasi.
Membatik, Dayaguna Kreativitas Seni LukisFungsional
Hansen, Erlandsson & Leufstadius (2020) melakukan riset perihal konsep penggunaan aktivitas kreatif sebagai modalitas intervensi dalam praktek terapi okupasi. Dikatakan bahwa aktivitas kreatif (apapun bentuk kegiatannya) sebagai modalitas intervensi memiliki beberapa poin:
Menggerakkan tubuh dan pikiran dengan melibatkan kesenian auat prakarya
Memiliki makna, dilakukan di lingkungan yang kreatif & mendukung
Meningkatkan proses kreatif, pengalaman dan kesempatan untuk mengekspresikan & merefleksikan diri.
Dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan, meningkatkan performa okupasi & memanajemen kehidupan sehari-hari.
Digunakan secara individual maupun kelompok, dimodifikasi melalui pendekatan terapeutik yang berbeda demi mencapai tujuan yang diharapkan dalam situasi/setting tertentu.
Selain melihat perspektif terapis dalam penggunaan aktivitas kreatif, terapis juga perlu melihat makna modalitas melukis atau menggambar sebagai aktivitas kreatif dalam terapi berdasarkan persepsi klien. Disebutkan dalam Stuckey & Nobel (2008) bahwa seni lukis membantu mengekspresikan perasaan ke dalam gambar, karena sulit mencurahkan dalam bentuk tulisan.
Membebaskan Ekspresi & Seni dalam Batik
Menyalurkan ekspresi tersebut membentuk identitas, keyakinan positif, berdamai dengan keadaan, sarana meditasi dan mindfulness, utamanya hal-hal tersebut dilakukan oleh klien-klien dengan masalah kejiwaan dan klien dalam masa paliatif maupun terminasi.
Seperti art therapy, aktivitas membatik memiliki tujuan sekaligus manfaat tertentu, khususnya dalam lingkup kesehatan bagi tiap individu yang melakukannya, misalnya menenangkan diri, mengurangi kecemasan, katarsis dari perasaan negatif, melatih komponen motorik halus, mengisi waktu luang, mereduksi gangguan sensori maupun bersosial dengan teman satu hobi atau komunitas.
Seorang Ibu sedang konsentrasi & tenang ketika membatik (Img: jogja.tribunnews.com)
Manfaat Melibatkan Art Therapy menurut Penelitian
Berikut ulasan perihal beberapa riset bagaimana melukis atau seni lukis sebagai modalitas terapi dapat memberikan manfaat dalam pelayanan kepada klien.
Dalam Kongkasuwan et al. (2015) disebutkan manfaat dari terapi lukis pada klien dengan stroke. Penggunaan terapi lukis dalam riset dilakukan dalam dua kali seminggu, dikombinasikan dengan fisioterapi lima kali tiap seminggu dalam empat minggu sesi didapatkan penurunan depresi dan adanya peningkatan pada kemampuan fungsional, nilai kepuasan hidup, motivasi, konsentrasi dan kepercayaan diri setelah terapi dilakukan.
Berikutnya ditemukan dalam review literatur, menyebutkan bahwa penggunaan seni kreatif sebagai modalitas terapi okupasi dikatakan mengubah sikap terhadap penderitaan klien, membantu menemukan tujuan hidup dan menumbuhkan dukungan sosial (Perruza & Kinsella, 2010)
Dalam riset Zeevi, Regev & Guttmann (2018) pada orang tua dengan anak prasekolah (normal; usia 5-8 tahun) tentang training melakukan terapi lukis bersama anak. Penelitian tersebut dilakukan dalam 24 sesi mengamati lukisan dan melukis, dengan 12 sesi pertama hanya melakukan melukis dan 12 sesi terakhir mengkombinasikan melukis dengan terapi music reminiscence.
Didapatkan hasil peningkatan pada perkembangan emosional dan psikologis anak, di mana turut meningkatkan kesadaran orang tua untuk lebih menjalin hubungan kedekatan dengan anak dengan banyak terlibat dalam dunia sang anak.
Riset pengaruh terapi seni lukis pada sampel lansia dengan masalah gangguan kognitif dikatakan meningkatkan kemampuan memori, atensi, memori jangka panjang dan seluruh kemampuan kognitif lansia (Lee et al., 2018).
Anak usia sekolah dasar sedang belajar membatik (Img: rmol.id/)
Kesimpulan
Dalam memberikan pelayanan terapi okupasi, kita perlu melihat klien secara holistik dengan mempertimbangkan modalitas yang akan diberikan tentu perlunya dapat berdampak secara holistik pula. Aktivitas kreatif dalam bentuk apapun kegiatannya, utamanya seni lukis, dikaji dalam berbagai riset ditemukan manfaat yang dapat membantu klien menuju well being.
Seni lukis memiliki beragam bentuk pula, termasuk terpengaruh oleh sosial budaya setempat, sebagai contohnya batik. Melukis dan mewarna batik sebagai modalitas intervensi dalam terapi dikatakan dalam riset memiliki berbagai manfaat dalam konteks layanan manapun, baik pediatri, dewasa maupun kesehatan jiwa.
Referensi
Haeyen, S., Hooren, S. V., Dehue, F., & Hutschemaekers, G. (2017). Development of an art-therapy intervention for patients with personality disorders: An intervention mapping study. International Journal of Art Therapy,23(3), 125-135. doi:10.1080/17454832.2017.1403458
Hansen, B. W., Erlandsson, L., & Leufstadius, C. (2020). A concept analysis of creative activities as intervention in occupational therapy. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,28(1), 63-77. doi:10.1080/11038128.2020.1775884
Ingkir, Yuni, Wondal, Rosita, Arfa, Umikalsum. (2020). Kegiatan Membatik dalam Mengembangkan Kemampuan Motorik Halus Anak. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 3, No. 1, Oktober 2020.
Kongkasuwan, R., Voraakhom, K., Pisolayabutra, P., Maneechai, P., Boonin, J., & Kuptniratsaikul, V. (2016). Creative art therapy to enhance rehabilitation for stroke patients: A randomized controlled trial. Clinical Rehabilitation,30(10), 1016-1023. doi:10.1177/0269215515607072
Lee, R., Wong, J., Shoon, W. L., Gandhi, M., Lei, F., Eh, K., . . . Mahendran, R. (2019). Art therapy for the prevention of cognitive decline. The Arts in Psychotherapy,64, 20-25. doi:10.1016/j.aip.2018.12.003
Morrison, R., Gómez, S., Henny, E., Tapia, M. J., & Rueda, L. (2017). Principal Approaches to Understanding Occupation and Occupational Science Found in the Chilean Journal of Occupational Therapy (2001–2012). Occupational Therapy International,2017, 1-11. doi:10.1155/2017/5413628
Perruzza, N., & Kinsella, E. A. (2010). Creative Arts Occupations in Therapeutic Practice: A Review of the Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(6), 261-268. doi:10.4276/030802210×12759925468943
Stuckey, H. L., & Nobel, J. (2010). The Connection Between Art, Healing, and Public Health: A Review of Current Literature. American Journal of Public Health,100(2), 254-263. doi:10.2105/ajph.2008.156497
Syafitri, Della, Jaya, Indra. (2020). Pengaruh Membatik terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Kuraitaji. —- volume VI. No. 1, Januari-Juni 2020.
Wulandari, N., Nurmawati, T., Setyani, E. Y., Christiningtyas, E. B., Arifianti, K., & Saparudin, A. (2021). Empowerment of ODGJ (People with Mental Disorders) through Training of Batik Ikat Making in Posyandu Jiwa “Waluyo Jiwo” Bacem Village Ponggok Blitar. Journal of Community Service for Health,2(1), 001-009. doi:10.26699/jcsh.v2i1.art.p001-009
Zeevi, L. S., Regev, D., & Guttmann, J. (2018). The Efficiency of Art-Based Interventions in Parental Training. Frontiers in Psychology,9. doi:10.3389/fpsyg.2018.01495
Neurodevelopmental Treatment (NDT) adalah bentuk layanan rehabilitasi medik yang diberikan oleh profesi kesehatan terkait kepada klien dengan masalah sistem saraf pusat (SSP), seperti cerebral palsy, stroke, traumatic brain injury, pun masalah terkait SSP lainnya. Pendekatan NDT pun menjadi salah satu pendekatan yang populer digunakan terapis di pelayanan rehabilitasi medik untuk memberikan pelayanan kepada klien.
Namun, temuan riset terbaru dikatakan bahwa NDT tidak lagi dianjurkan dalam praktik klinis, kenapa? Mari kita simak pembahasan berikut.
Mengenal Neurodevelopmental Treatment (NDT)
Neurodevelopmental Treatment (NDT) merupakan produk berwujud konsep, teori dan kerangka praktik yang biasa kita kenal sebagai: Metode Bobath, yang dapat diterapkan oleh profesi kesehatan di ranah pediatri – rehabilitasi medik, utamanya oleh fisioterapi maupun terapi okupasi.
Seputar NDT atau metode Bobath berikut, mengutip Vaughan-Graham & Cott (2016) terdapat 3 (tiga) poin kunci dari Bobath, yakni (1) analisis gerak dari tahapan aktivitas, (2) keseimbangan postur tubuh dengan gerakan, dan (3) peran senso-motor dalam kontrol motorik. Ketika diterapkan dalam praktik, metode Bobath berdasar kepada berikut (Graham et al., 2009):
Fasilitasi gerak oleh terapis secara hands-on, sekaligus memberikan input sensori yang dapat membantu meningkatkan kontrol postural.
Latihan gerak untuk memperoleh kualitas pola gerak motorik yang normal; dengan meminimalkan pola gerak tidak normal (atypical).
Bobath: Perspektif Lama vs Baru
Metode Bobath mengalami perkembangan secara ilmu pengetahuan dan praktis. Berikut di bawah merupakan ulasan mengenai gambaran Bobath metode lama dan metode baru.
Kajian konten ini membahas pandangan riset terbaru terhadap metode Bobath lama yang ditemukan dalam riset pada ranah pediatri, dengan sampel anak dengan masalah cerebral palsy.
Neurodevelopmental Treatment (NDT) dalam Praktik Terapi Okupasi
Metode Bobath pada Anak (Img. secangkirterapi.com)
Pada konteks layanan terapi okupasi di Indonesia, penggunaan metode NDT pada ranah pediatri rasanya cukup banyak dikenal dan dilakukan. Namun, ketika mencoba menemukan referensi penerapan metode NDT dengan praktik terapi okupasi pada pediatri edisi terbaru beberapa tahun ke belakang, rasanya tidak banyak. Berikut merupakan rangkuman dari beberapa temuan.
Behzadi, Noroozi, Mohamadi (2014) melakukan tindakan kepada sampel cerebral palsy dengan membandingkan antara penggunaan NDT saja (1) dengan NDT dikombinasikan dengan home program terapi okupasi (2). Pelaksanaan pada (1) dilakukan dengan menyesuaikan prinsip Bobath seperti fasilitasi dan inhibisi saja di lahan praktik, sedangkan pada (2) dilakukan Bobath dengan diberikan tambahan dengan program home-based menggunakan pamflet dan kaset tutorial.
Melalui perbandingan berikut diperoleh pada (2) dengan kombinasi NDT dan home-based menunjukkan peningkatan lebih baik.
Riset dengan hasil serupa juga terdapat dalam Russell et al. (2017) dengan menerapkan Combined Therapy Approaches (CAT) pada sampel anak cerebral palsy, kombinasi antara NDT dengan kerangka konsep lain, dengan satu grup kontrol yang diukur secara pre-post menunjukkan pengaruh yang lebih baik poin tingkat kemandirian anak pada post terapi.
Melihat Efektivitas Neurodevelopmental Treatment (NDT) – 5 Tahun Terakhir
Menerapkan Bobath pada Anak (Img. littlestepspt.com)
Melalui kajian riset terkini dengan sajian review sistematik seputar NDT dalam praktik terapi okupasi maupun rehabilitasi medik pada pediatri, sebagai berikut.
Dampak pada Komponen & Fungsi Tubuh Manusia
Melalui kajian Novak & Honan (2019), dikatakan bahwa penerapan NDT (metode lama; secara pasif) pada CP termasuk dalam kelompok tidak efektif dan disarankan tidak dilakukan, dibandingkan dengan bimanual therapy, constraint induced movement therapy (CIMT) dan pendekatan lain. Dalam dimensi melatih fungsional anak, NDT juga tidak tercantum sebagai kerangka praktik di segala kelompok. Penggunaan pendekatan family centered care mapun lainnya lebih disarankan untuk dilakukan.
Dinukil dari Novak & Honan (2019). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).
Kajian lain oleh Novak et al. (2020) menyajikan rambu-rambu pendekatan rehabilitasi dan penanganan fungsional pada cerebral palsy dengan hasil sebagai berikut. Ditemukan bahwa pendekatan NDT (melalui kajian literature-literatur) pada beberapa kolom kemampuan anak. dikatakan tidak disarankan hingga dilarang penggunaannya untuk penanganan.
Dinukil dari Novak et al. (2020). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).
Mengapa demikian?
Menyoroti pengaruh NDT pada dimensi motorik dan fungsional dengan merangkum dari Novak & Honan (2019) & Novak et al. (2020), melihat dimensi motorik dan kemampuan fungsional anak cerebral palsy bertujuan untuk memberikan pengalaman bergerak, beraktivitas secara langsung dan terfasilitasi dengan mandiri dapat meningkatkan fungsi kompleks dari neuroplastisitas otak anak. Sebaliknya, ketika menggunakan NDT, SI dan metode lain pada diagram, tidak membelajarkan & memberikan pengalaman aktif kepada anak sehingga tidak mengaktifkan kerja fungsi motorik di otak.
Penanganan yang bersifat top-down yang diaplikasikan pada anak CP lebih memberikan pengalaman dan hasil yang nyata daripada pendekatan bottom-up dari pendekatan NDT/Bobath & SI (metode lama) (Novak & Honan, 2019)
NDT vs Pendekatan Lainnya
Riset dari te Velde et al. (2022) menelisik seputar efektivitas pendekatan NDT dibandingkan dengan pendekatan berbasis aktivitas (activity-based) dalam beragam dimensi & model penerapan, penggunaannya untuk meningkatkan fungsi motorik pada anak dan bayi dengan CP maupun resiko tinggi CP.
Bimanual Training & Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) (Img. www.cimt.co.uk)
Rangkuman kajian tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian dampak; (1) latihan activity-based lebih diunggulkan, (2) latihan struktur-fungsi tubuh sepadan dengan NDT, dan (3) NDT & berapapun dosis terapi NDT tidak dianjurkan dilakukan.
Mengapa demikian?
Temuan efektivitas activity-based ketika melibatkan anak untuk aktif dan mandiri dalam sesi terapi lebih meningkatkan pencapaian anak (dibandingkan menggunakan NDT yang masih difasilitasi). Keterlibatan lingkungan yang sebenarnya, beragam dan menyenangkan membuat anak lebih banyak belajar.
Eliasson et al. (2014) menyebutkan activity based pada bayi resiko tinggi CP melibatkan lingkungan penuh mainan yang sesuai dengan kemampuan motorik anak & berkembang sesuai level kognitif perkembangannya ketika sesi terapi dilakukan, seperti kalung, mainan masak-masakan, mainan halus-kasar, dan sebagainya.
Temuan riset latihan berbasis fungsi-komponen tubuh dibandingkan dengan penarapan NDT, menunjukkan dampak yang sama (meningkatkan fungsi motorik tubuh), akan tetapi tidak banyak ditemukan varian riset lain dan masih ditemukan bias.
Penggunaan pendekatan NDT metode lama dianjurkan untuk tidak digunakan dalam pelayanan kepada bayi dan anak dengan CP maupun resiko tinggi CP.
Hal tersebut disebabkan berdasarkan kajian meta analisis dan review sistematik, ditemukan dampak activity-based lebih baik daripada NDT lama dalam sampel yang memadai & bias relatif rendah, pun kajian yang tersedia tidak cukup memadai dan terpercaya lewat hasil data statistik (te Velde et al., 2022).
Batasi tindakan yang tidak efektif seperti: membantu, menggerakkan dan memposisikan – dengan tujuan menormalisasi gerakan maupun membatasi gerak abnormal, tonus & refleks, melakukan stretching pasif, memberikan input sensori maupun vestibular.
Perbanyak membelajarkan pola gerak aktif, bertahap, berulang dan bervariasi pada setiap tugas aktivitas, memberikan umpan balik terhadap kemampuan anak, menetapkan tujuan terapi yang sebenarnya dan mengembangkan keterampilan problem-solving anak.
Ulasan-ulasan di atas banyak menyoroti kajian seputar efektivitas NDT lama dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat activity-based (seperti CIMT, bimanual training dsb.) pada populasi CP di beragam kondisi dan usia perkembangan.
Sejelasnya, uji efektivitas tersebut diseleksi berdasarkan metodologi riset, baik secara review sistematik dan/maupun meta analisis, terhadap beragam literatur menyesuaikan pada kata kunci akses literaturnya; misalnya: neurodevelopmental treatment, cerebral palsy.
Berlanjut kepada membandingkan signifikansi hasil dari setiap literatur terseleksi hingga menarik kesimpulan: penerapan pendekatan NDT lama dalam praktik menunjukkan dampak tidak lebih baik daripada pendekatan lainnya, utamanya pendekatan yang bersifat activity-based.
Kesimpulan
Penggunaan pendekatan NDT (metode lama) bila dihubungkan dengan tren dan tujuan rehabilitasi kesehatan masa kini yang bersifat partisipatif dan melibatkan kepada lingkungan sebenarnya (perspektif top-down) tidak lagi relevan dan sejalan.
Perlunya kolaborasi, kombinasi, upgrade kepada perspektif NDT metode baru maupun tidak menerapkan NDT dengan mengaplikasikan metode yang evidence-based lainnya, kiranya dapat memberikan pelayanan yang lebih maksimal, memberikan pengalaman lebih partisipatif dan aktif kepada klien, sejalan ke arah occupation-centered dan client-centered pada layanan terapi okupasi pediatri.
Referensi
Ann-Christin Eliasson, Linda Nordstrand, Linda Ek, Finn Lennartsson, Lena Sjöstrand, Kristina Tedroff, Lena Krumlinde-Sundholm. The effectiveness of Baby-CIMT in infants younger than 12 months with clinical signs of unilateral-cerebral palsy; an explorative study with randomized design. Research in Developmental Disabilities,Volume 72, 2018, 191-201. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2017.11.006.
Anna te Velde, Catherine Morgan, Megan Finch-Edmondson, Lynda McNamara, Maria McNamara, Madison Claire Badawy Paton, Emma Stanton, Annabel Webb, Nadia Badawi, Iona Novak; Neurodevelopmental Therapy for Cerebral Palsy: A Meta-analysis. Pediatrics June 2022; 149 (6): e2021055061. 10.1542/peds.2021-055061
Behzadi, Faranak & Noroozi, Hesammedin & Mohamadi, Marzieh. (2014). The Comparison of Neurodevelopmental-Bobath Approach with Occupational Therapy Home Program on Gross Motor Function of Children with Cerebral Palsy. Journal of Rehabilitation sciences and Research. 1. 21-24.
Graham JV, Eustace C, Brock K, Swain E, Irwin-Carruthers S. The Bobath concept in contemporary clinical practice. Top Stroke Rehabil. 2009;16(1):57–68
Novak, I. and Honan, I. (2019), Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Aust Occup Ther J, 66: 258-273. https://doi.org/10.1111/1440-1630.12573
Novak, I., Morgan, C., Fahey, M. et al. State of the Evidence Traffic Lights 2019: Systematic Review of Interventions for Preventing and Treating Children with Cerebral Palsy. Curr Neurol Neurosci Rep20, 3 (2020). https://doi.org/10.1007/s11910-020-1022-z
Russell, Dorothy Charmaine, Scholtz, Christa, Greyling, Petro, Taljaard, Marin, Viljoen, Elmien, & Very, Corné. (2018). A pilot study on high dosage intervention of children with CP using combined therapy approaches. South African Journal of Occupational Therapy, 48(2), 26-33. https://dx.doi.org/10.17159/2310-3833/2017/vol48n2a5
Vaughan-Graham J, Cott C. Defining a Bobath clinical framework – a modified e-Delphi study. Physiother Theory Pract. 2016;32(8):612–627
Bencana alam merupakan fenomena yang sering terjadi yang terkadang tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya. Setiap tahunnya Indonesia mengalami peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, longsor, tsunami hingga gunung meletus dikarenakan Indonesia sendiri berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas seismik). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.205 bencana alam terjadi dari 1 Januari 2021 hingga 30 April 2021 (Liputan 6, 2021).
Tidak hanya mengalami kehilangan harta dan benda, seseorang bahkan dapat mengalami luka fisik seperti luka-luka, patah tulang, Traumatic Brain Injury (TBI) hingga luka psikis seperti trauma dan depresi pasca bencana alam yang dapat berimplikasi pada kehidupan keseharian seseorang seperti pada aktivitas sehari-hari, pekerjaaan hingga sosial (AOTA, 2008).
Dalam peristiwa bencana alam Terapis Okupasi harus dilibatkan dalam semua tahap penanggulangan bencana baik di tingkat lokal maupun nasional. Keterlibatan ini dimulai dari pasca bencana hingga rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk perencanaan dan persiapan (WFOT, 2014). Terapis okupasi berperan dalam tiga tahap situasi emergensi pada peristiwa bencana alam yaitu kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan.
Mitigasi bencana (Kesiapsiagaan)
Peristiwa bencana alam terkadang tidak dapat terprediksi kapan terjadinya. Maka dari itu perencanaan yang matang sangat diperlukan. Seorang terapis okupasi dalam disaster preparation memiliki peran mengembangkan pengetahuan dan kapasitas pada level komunitas local, nasional hingga internasional untuk mengantisipasi dan merespon secara tepat terhadap bahaya atau resiko dari peristiwa bencana alam dan dampak yang menyertai, seperti dampak sosial, politik, ekonomi dan lingkungan serta berfokus terhadap ancaman yang akan dihadapi di waktu dekat maupun di masa mendatang (Rushford & Thomas, 2015).
Dalam praktiknya seorang terapis okupasi harus bekerjasama dengan stakeholder atau pemegang kebijakan di daerah tersebut untuk menjangkau seluruh masyarakat. Salah satu peran kesiapsiagaan yang dapat dilakukan terapis okupasi adalah menggunakan keahlian di bidang-bidang seperti merancang tempat penampungan berkebutuhan khusus yang aksesibel seperti mendesain ramp untuk pengguna kursi roda, mendesain kamar mandi darurat yang aksesibel dan membentuk staf pelatihan dan sukarelawan dalam membantu penyandang disabilitas selama masa krisis (AOTA, 2008).
Edukasi Kebencanaan sebagai Bentuk Mitigasi (Img. lipi.go.id)
Selain pada tingkat kelompok masyarakat, kesiapsiagaan bencana juga dapat menjadi intervensi okupasi terapi pada tingkat keluarga atau individu. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang rentan, seperti difabel atau anak berkebutuhan khusus, dapat mempersiapkan kegawatdaruratan melalui peningkatan pemahaman individu difabel dan anak akan terjadinya bencana (seperti misalnya banjir) melalui storytelling maupun roleplaying.
Supply kits berupa medikasi, alat transportasi, alat kesehatan seperti tabung oksigen, makanan yang sesuai diet individu dapat disiapkan dalam bentuk cadangan dengan memperhatikan kadaluarsa.
Respon Bencana
Pada tahapan ini adalah ketika peristiwa bencana alam terjadi. Seorang terapis okupasi ikut serta dalam memberikan layanan darurat dan bantuan publik, selama atau segera setelah kejadian peristiwa bencana alam yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, mengurangi dampak bencana, memastikan keselamatan masyarakat dan berfokus pada kebutuhan jangka pendek dan mendesak.
Merespon Bencana Alam (Img. ifaw.org)
Dalam praktiknya, terapis okupasi dapat berperan dalam mengelola tempat penampungan masyarakat berkebutuhan khusus, memfasilitasi support group untuk mengurangi kecemasan pengungsi, dan memberikan layanan dukungan kesehatan mental kepada korban dan personel militer. Selain itu juga terapis okupasi dapat membantu tenaga medis lainnya dalam mengidentifikasi korban luka-luka atau hilang (Rushford & Thomas (2015); AOTA (2008)).
Pemulihan Pasca Bencana
Pemulihan Bencana dari Segi Infrastruktur (Img. kompas.com)
Setelah peristiwa bencana alam terjadi, proses pemulihan adalah tahapan yang membutuhkan waktu lama. Dalam tahapan ini terapis okupasi berkontribusi dalam upaya pemulihan (recovery), melakukan perbaikan (rehabilitation) dan pembangunan kembali (reconstruction) terhadap kegiatan dan rutinitas masyarakat yang terganggu.
Korban bencana perlu mengembangkan keterampilan dirinya untuk menangani dampak dari pengalaman yang mereka lalui. Dengan melibatkan penyintas bencana dalam aktivitas bermakna, penyintas bencana dapat merestrukturisasi rutinitas mereka untuk mengatasi stres dan rasa cemas (AOTA, 2008).
Rumah Tahan Gempa (Img. rumah.com)
Dalam seminar internasional tentang Occupational Therapy in Post-Disaster Relief (2008) di Jerman, memaparkan bahwa dalam praktiknya terapis okupasi dapat melakukan asesmen situasional kepada masyarakat yang terdampak bencana alam dengan cara melihat kebutuhan dan kapasitas masyarakat secara langsung, kemudian merencanakan projek ke depan secara objektif dan melakukan evaluasi di kemudian hari. Kemudian terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan oleh terapis okupasi dalam situasi post-bencana alam yaitu:
Menggunakan Pendekatan Bio-Psycho-Social
Dalam implementasinya terapis okupasi berfokus terhadap sumber daya yang ada, penguatan kapasitas diri masyarakat, menyediakan dukungan dan menciptakan keserasian dengan masyarakat. Kemudian terdapat tiga hal yang dapat dievaluasi dan dilakukan tindakan intervensi oleh terapis okupasi dengan pendekatan ini, yaitu:
Body function (seperti melakukan rehabilitasi tangan, melakukan pelatihan fungsional klien untuk memaksimalkan ADL),
Activity (meliputi pelatihan vokasional, memberikan permainan untuk anak-anak yang terdampak sebagai aktivitas yang bermakna),
Partisipasi (seperti melakukan terapi kelompok, aktivitas olahraga dan pemanfaat waktu luang).
The Kawa Model (Pendekatan Terapis Okupasi Secara Komprehensif)
Kawa, berarti sungai dalam Bahasa jepang yaitu model yang dikembangkan oleh terapis okupasi asal Jepang Michael K. Iwama, merupakan model terbaru dengan perspektif orang timur dan menggunakan sungai sebagai metafora jalur kehidupan dan occupation yang mana dapat diimplementasikan pada situasi bencana alam.
Kawa Model (Img Google.com)
Air yang berarti adalah energi kehidupan, pinggiran sungai dan dasaran sungai yang berarti kehidupan sosial dan lingkungan fisik klien, batu yang berarti masalah dan tantangan kehidupan, kayu yang mengapung berarti aset dan kewajiban personal, ruang (space) aktivitas keseharian dan partisipasi.
Kawa model sangat berguna dalam promosi pendekatan secara client-centered, membuat prioritas dan mengevaluasi hasil intervensi, interprofessional teamwork dan mendukung klien dalam proses adaptasinya setelah peristiwa bencana alam yang dialami.
Dalam pelaksanaannya terapis okupasi dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan cara menggunakan assistive devices, menciptakan lingkungan yang aksesibel dan sikap positif terhadap konteks sosial dan personal .
Kesimpulan
Tidak ada satupun negara didunia yang terhindar dari bencana alam begitu pula Indonesia. Terapis okupasi menjadi salah satu tenaga kesehatan yang diperhitungkan untuk terlibat dalam peristiwa bencana alam baik dalam mitigasi bencana hingga post-disaster.
Dalam pelaksanaanya terapis okupasi harus bekerja dengan tenaga profesi lain, stakeholder dan masyarakat. Menggunakan pendekatan yang berfokus terhadap komunitas dan masyarakat, diharapkan terapis okupasi dapat membantu masyarakat menjalankan kehidupan secara sepenuhnya setelah peristiwa buruk yang dilalui.
Referensi
International Seminar (2008). Occupational therapy in post-disaster relief. Rheinsberg, Germany.
Yamkovenko, S., 2008. Occupational Therapy’s Role in Disaster Relief. [online] Aota.org. Available at: <https://www.aota.org/About-Occupational Therapy/Professionals/MH/Articles/Disaster-Relief.aspx> [Accessed 17 June 2022].
Penelitian tentang terapi pada kasus neurodevelopmental disorder terus berkembang tahun ke tahun. Banyak peneliti berusaha untuk menemukan cara terbaik untuk menangani gangguan yang mendasari gangguan neurodevelopmental. Gangguan neurodevelopmentaladalah disabilitas yang terkait dengan fungsi sistem neurologis dan otak. Umumnya terjadi pada perkembangan awal dan ditandai dengan defisit perkembangan yang mengakibatkan gangguan fungsi seseorang, sosial, akademik, atau pekerjaan. Secara luas defisit gangguan berkisar mulai dari keterbatasan keterampilan belajar atau komunikatif, hingga yang lebih spesifik adalah gangguan global, interaksi sosial atau fungsi intelektual (American’s Children and the Environment (2015) & Ahn (2017)).
Meskipun gangguan Neurodevelopmental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder (ASD) Intellectual Disabilty, Cerebral Palsy dan lain-lain umumnya terjadi saat masa kecil namun kondisinya dapat terus ada seumur hidup. Saat ini, perawatan yang tersedia seperti fisioterapi, terapi okupasi, terapi perilaku, intervensi psikologi, terapi wicara dan intervensi farmakologi hanya fokus pada meringankan gejala gangguan ini dan tidak mengatasi neuropathophysiology yang mendasarinya (Sharma, et al., 2017). Para ilmuwan saat ini pun sedang mengembangkan penggunaan stem sel sebagai terapi karena stem sel diyakini dapat menjadi pilihan lain yang menjanjikan untuk menyembuhkan penyakit.
Apa itu stem sel?
Stem sel menjadi topik yang banyak dibicaran tahun-tahun terakir ini di dunia medis. Stem sel atau ratu dari semua sel (Queen of all cells) adalah sel yang bersifat pleuropoten dan memiliki potensi luar biasa untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda dalam tubuh tanpa memiliki batas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Secara fundamental stem sel tidak memiliki struktur jaringan spesifik yang dapat membentuk fungsi spesifik tertentu.Namun bila dapat dikembangkan ke dalam fungsi spesifik, hal itulah yang dapat dimanfaatkan dalam dunia medis untuk membentuk sel otot jantung, sel darah dan sel saraf (Hassan, Hassan, G., & Rasool, 2009).
Stem sel ada di hampir setiap jaringan manusia, di dalam embrio, mereka berdiferensiasi ke semua jaringan dan organ tubuh, dan pada manusia yang berkembang sepenuhnya stem sel menyediakan kapasitas pembaruan di sebagian besar organ. Stem sel memiliki berbagai bentuk dan masing-masing memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut mengacu pada kemampuan stem sel untuk mereplikasi dan berdiferensiasi ke dalam tipe sel yang berbeda (Alessandrini, et al., 2019).
Bagaimana Mekanisme Stem Sel Pada Kasus Neurodevelopmental Disorder?
Beberapa tipe atau jenis stem sel ditemukan untuk treatment gangguan neurologis seperti bone marrow stem cells, embryonic stem cells, olfactory ensheathing cells dan umbilical cord blood cells (Sharma, et al., 2017). Tujuan dari terapi stem sel adalah untuk menempatkan sel terapeutik ke daerah sel yang terganggu / rusak di dalam otak, untuk merangsang perbaikan dan memelihara jaringan melalui efek parakrin (memberikan sinyal dari sel ke sel lain) , dan bahkan berpotensi untuk menghasilkan neuron baru (meskipun untuk menghasilkan neuron baru kemungkinan terjadinya lebih kecil) (Alessandrini, et al., 2019).
Saat stem sel ditransplantasikan, stem sel akan bermigrasi dan pergi ke area otak yang terdapat gangguan Kemudian dipasangkan dengan faktor pertumbuhan (growth factors), chemokine dan reseptor matriks ekstraseluler pada permukaan sel seperti stromal cell-derivedfactor 1 (SDF‑1), monocyte chemo attractant protein‑3 (MCP‑3), stem cell factor (SCF) dan/atau IL‑8. Mereka kemudian berdiferensiasi ke dalam sel jaringan inang dan mengganti jaringan neuronal yang rusak atau mati. Melalui mekanisme parakrin mereka menghentikan cedera lebih lanjut dan merangsang sel-sel endogen untuk melakukan proses perbaikan dan pemulihan.
Kemudian stem sel mengeluarkan beragam faktor pertumbuhan neuroprotektif termasuk faktor neurotrofi yang berasal dari otak (Brain‐Derived Neurotrophic Factor), faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor), neurotrophin-3 (NT‑3), garis sel glial – faktor neurotrofi yang diturunkan (glial cell line–derived neurotrophic factor) dan insulin seperti growth factor tipe 1. Faktor-faktor pertumbuhan ini mengaktifkan sejumlah jalur sinyal dan membantu dalam meningkatkan diferensiasi, kelangsungan hidup sel saraf dan mempertahankan fungsi persarafan.
Mereka juga menghasilkan vaskular endothelial growth factor (VEGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF‑2) yang meningkatkan aliran darah dan meningkatkan angiogenesis (perkembangan sel darah baru). Faktor parakrin anti-inflamasi seperti Interleukin 10 (IL 10) dan Transforming growth factor (TGF)-β membantu dalam imunomodulasi (Sharma, et al., 2017).
Mekanisme aksi dari stem sel dalam gangguan neurologi pada pediatri.
Stem Sel Pada Pada Kondisi Autisme, Cerebral Palsy dan Intellectual Disability
Stem sel pada Autisme
Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al., (2013) tentang stem sel untuk anak dengan autism, dengan jumlah responden 32 anak autism dan dilakukan follow-up selama 26 bulan dengan menggunakan pemeriksaan Childhood Autism Rating Scale (CARS), Indian Scale for Autism Assessment (ISAA), Clinical Global Impression (CGI) dan Functional Independence Measure (FIM/Wee‐FIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 dari 32, (91%) anak mengalami peningkatan pada pemeriksaan ISAA, dan 20 (62%) anak mengalami penurunan yang cukup signifikan pada pemeriksaan CGI-I dan pada pemeriksaan CGI-II 96% anak menunjukan perkembangan secara menyeluruh.
Persentase peningkatan kemampuan pada Autisme setelah terapi stem sel.
Stem Sel pada Cerebral Palsy
Patologis utama dari cerebral palsy adalah kerusakan pada white matter. Stem sel pada cerebral palsy bertujuan untuk memperbaiki dan menggantikan white matter yang rusak. Penelitian tentang terapi stem sel pada cerebral palsy sudah banyak dilakukan. Dua puluh enam Studi yang telah dipublikasikan menunjukan 90% anak menunjukan perkembangan setelah terapi stem sel (Sharma, et al., 2017). Kemudian studi yang dilakukan oleh Sharma, et al,. (2015) berjudul A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients menunjukan 38 dari 40 responden (95%) menunjukan perkembangan dan 2 lainnya menunjukan hasil stabil tanpa ada penurunan.
Peningkatan pada Cerebral Palsy setelah terapi stem sel.
Stem Sel pada Intellectual Disability
Pada kasus intellectual disability stem sel berfungsi untuk mengembalikan sinaptik penghubung yang terputus dan memberikan reinnervasi lokal ke area yang terkena dampak. Selain itu juga stem sel berfungsi mengintegrasikan jaringan saraf dan sinaptik yang ada dan membangun kembali koneksi sel-sel afferent fungsional dan efferent yang mungkin telah berkontribusi dalam memulihkan defisit kognitif dan fungsional pada ID (Kang H & Schuman EM (1995) dalam Sharma, et al., (2017)).
Studi yang dilakukan Sharma, et al., (2015) tentang stem sel pada mental retardasi (MR) dimana laporan menunjukan bahwa responden (seorang anak laki-laki) berusia 13 tahun dengan cacat intelektual yang menunjukkan peningkatan setelah terapi stem sel. Dia ditindak lanjuti setelah 3 dan 6 bulan intervensi. Tidak ada peristiwa buruk terjadi pasca intervensi. Selama 6 bulan, ia menunjukkan peningkatan kontak mata, kognisi, kemampuan belajar, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Skornya pada Pengukuran Kemandirian Fungsional (FIM) meningkat dari 67 menjadi 76. Selain itu juga pada pra dan pasca PET-CT scan, menunjukkan peningkatan aktivitas metabolisme hippocampus, amygdala kiri dan cerebellum. Perubahan ini berkorelasi dengan hasil fungsional.
Kesimpulan
Terapi stem sel merupakan inovasi teknologi yang memiliki efek penyembuhan pada gangguan “neurologi” kondisi neurodevelopmental disorders, namun, faktor “perkembangan” juga mempengaruhi plastisitas otak dan maturasi sel. Gabungan antara stem sel dan intervensi rehabilitasi diasumsikan memiliki efek pemulihan dan perkembangan yang lebih baik. Oleh karena itu, studi lanjut diperlukan untuk mengetahui efek gabungan antara terapi stem sel dan intervensi rehabilitasi terutama pada gangguan neurodevelopmental disorders.
Ahn, D. H. (2016). Introduction: neurodevelopmental disorders. Hanyang Medical Reviews, 36(1).
Sharma, A., Sane, H., Gokulchandran, N., Badhe, P., Kulkarni, P., Pai, S., … & Paranjape, A. (2017). Stem cell therapy in pediatric neurological disabilities. Physical Disabilities-Therapeutic Implications, 117.
Hassan, A. U., Hassan, G., & Rasool, Z. (2009). Role of stem cells in treatment of neurological disorder. International journal of health sciences, 3(2), 227.
Alessandrini, M., Preynat-Seauve, O., De Bruin, K., & Pepper, M. S. (2019). Stem cell therapy for neurological disorders. South African Medical Journal, 109(8 Supplement 1), S71-S78. https://www.icddelhi.org/Stem_cell_therapy.html
Sharma A, Gokulchandran N, Sane H, Nagrajan A, Paranjape A, et al. Autologous bone marrow mononuclear cell therapy for autism – An open label proof of concept study. Stem Cells International. 2013;2013:13 pages. Article ID 623875.
Sharma A, Sane H, Gokulchandran N, Kulkarni P, Gandhi S, et al. A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients: a new frontier. Stem Cells International. 2015;2015:11 pages. Article ID 905874
Sharma A, Sane H, Paranjape A, Gokulchandran N, Kulkarni P, Nagrajan A, Badhe P. Positron emission tomography–computer tomography scan used as a monitoring tool following cellular therapy in cerebral palsy and mental retardation – A case report. Case Reports in Neurological Medicine. 2013;2013:6 pages. Article ID 141983
Memasuki era globalisasi menuju era pemanfaatan teknologi dan digitalisasi, kita seringkali melihat beragam media, teknologi yang semakin canggih di berbagai bidang dan lingkungan tempat kita hidup di masa kini. Adakah yang menyangka media alat cetak (printing) yang telah kita temui sejak dulu (saat ini pun masih ada upgrade-nya) berfungsi untuk mencetak objek dari file elektronik ke dalam tampilan 2 dimensi yang dapat kita saksikan di kertas, kain maupun perantara lainnya, kini berkembang hingga dapat mencetak objek dalam 3 dimensi?
Munculnya teknologi ini cukup mengejutkan dan saat ini terus berkembang. Dalam Gebhardt & Fateri (2013) menunjukkan beberapa penggunaan 3D printing dalam bidang pendidikan, kuliner, manufaktur, konstruksi, kesehatan, dan kesenian.
[Gambar. Gebhardt & Fateri (2013)]
3D Printing merupakan metode menciptakan objek fisik dengan memproses beberapa bahan baku, misalnya plastik, besi, keramik dan bahan lainnya untuk memproduksi sebuah objek tiga (3) dimensi, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jenis printer, yakni Selective Laser Sintering (SLS), Thermal Inject Printing (TIP) dan Fused Deposition Modelling (FDM) (Ventola, 2014). Eshkalak et al. (2020) menjelaskan proses dari penggunaan 3D printing, sebagai berikut:
Pertama, membuat desain tiga dimensi di komputer menggunakan software (aplikasi pengakses 3D maupun CAD).
Kedua, membuat model STL (format file yang terkait dengan desain 3D print) dan ubah jenis file ke format yang dapat dibaca printer.
Ketiga, menyesuaikan file desain ke dalam format STL yang telah dibuat.
Keempat, cetak produk dengan printer dan bersihkan bagian-bagian yang tidak diperlukan.
Kelima, produk siap digunakan dan dilakukan pemeliharaan.
[Gambar Proses 3D Printing – Eshkalak et al. (2020)]
Dalam riset Campbell et al. (2011) mengenai pengaruh 3D printing terhadap pengembangan manufaktur di dunia yang mana penggunaan nanotechnology dalam 3D printing mulai diminati dan dirasa memiliki keuntungan lebih baik daripada teknologi konvensional sebelumnya. Keuntungan yang ditunjukkan seperti (Campbell et al., 2011):
Dapat menciptakan produk yang detail, kompleks dan murah daripada teknologi sebelumnya.
Terhubung dengan sistem data elektronik dan internet yang mudah dikelola dan dibuat dimana hal ini dapat mencegah ‘pemborosan’ karena kesalahan produksi,
Dapat memproduksi dalam jumlah besar dan dalam berbagai ukuran karena didesain melalui file dan dibantu fitur network filesharing sehingga desain dapat digunakan oleh banyak orang di dunia.
Mengurangi sampah sisa produksi karena penggunaan printer ini tepat, terukur dan teliti terhadap bahan baku produk yang digunakan.
Dikatakan lebih ramah lingkungan, ditunjukkan oleh tabel berikut.
[Gambar – 3D Printing disebut ramah lingkungan (Campbell et al., 2011)]
Meskipun kita memahami dengan keunggulan yang ada dari objek dan penggunaan 3D printing, kita juga perlu memahami ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait misalnya copyright terhadap hak kekayaan intelektual, tujuan penggunaan dan produksi produk ilegal dan berbahaya, terutama tentang keamanan bahan yang ramah lingkungan, tidak berdampak buruk terhadap manusia bila dipakai maupun dikonsumsi dan terakhir persoalan etik yang penting diperhatikan dari produk yang diciptakan (Fang & Kumar, 2018).
Penggunaan 3D Printing dalam Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi Kesehatan
Dalam Yan et al. (2018) mendeskripsikan beberapa aplikasi 3D printing dan objek yang dibuat dalam pelayanan kesehatan, berupa model/purwarupa organ untuk analisis pelayanan bedah dan perencanaan sebelum operasi bedah, implan permanen sintetis (non-bioactive), membuat dasaran bioaktif dan biodegradable pada jaringan tubuh lokal dan mencetak secara langsung jaringan maupun organ tubuh. Kemudian, ditambahkan Santos et al. (2019) menyebutkan pengaruh sendok dengan modifikasi objek 3D printing menunjukkan peningkatan pengaruh terhadap rata-rata kemampuan dan kepuasan dalam okupasi makan daripada hanya menggunakan sendok tanpa modifikasi.
Manero et al. (2019) menambahkan tentang peranan 3D printing dalam kolaborasinya dengan teknologi robotik untuk pembuatan prostetik tangan yang dapat didesain sedemikian rupa melalui aplikasi komputer dengan menyalurkan kreativitas, menarik dan dapat menyesuaikan keinginan klien hingga berlanjut kolaborasi dengan virtual reality untuk melatih kembali fungsi tangan klien dengan prostetik tersebut.
[Gambar. Yan et al. (2018)]
[Gambar. Manero et al. (2019)]
[Gambar. Santos et al. (2019)]
Bukti bukti ilmiah dari penggunaan objek 3D printing di atas, bila kemudian ditelusuri tentang bagaimana efektivitasnya dalam pelayanan kesehatan, Diment, Thompson & Bergmann (2017) menyebutkan bahwa pemanfaatan 3D printing yang telah banyak ditemui peranannya dalam pelayanan kesehatan maupun rehabilitasi kesehatan berupa meningkatkan efisiensi tenaga, waktu dan biaya serta meningkatkan tepat guna dalam pelayanan kepada klien.
Selanjutnya, Liu (2018) menyebutkan bahwa efektivitas tersebut didukung oleh objek desain dari 3D printing yang dapat dikreasi, dibagikan ke khalayak seluruh dunia melalui data, bisa melalui universal design (ukuran sebagian banyak populasi), inclusive design (ukuran pada populasi yang lebih kecil & modifikasi dari universal design)dan customized design (ukuran khusus sesuai kebutuhan individual) Namun, untuk menjadikan 3D printing ikut dalam standar praktik kesehatan di institusi kesehatan diperlukan pemeriksaan yang panjang, akurat dan mendalam (Diment, Thompson & Bergmann, 2017).
Penggunaan 3D Printing dalam Praktik Terapi Okupasi
Dalam praktik terapi okupasi penggunaan 3D printing dapat memfasilitasi client-centeredness, dimana desain dibuat untuk memenuhi faktor individual dan dalam kebutuhan yang sangat spesifik. Pemanfaatan alat bantu (assistive device maupun assistive technology) dalam memberikan pelayanan kepada klien.
Adapun penggunaan alat bantu baik konvensional maupun berbasis teknologi mumpuni diulas dalam review literatur Lindstrom & Hemmingsson (2014), menyebutkan beberapa manfaat yang dirasakan dalam penggunaan alat bantu pada anak dengan disabilitas, yakni meningkatkan produktivitas belajar, membantu dalam latihan menulis, mengetik, berkomunikasi dan berhitung. Dengan dampak yang begitu membantu, maka rasanya penggunaan 3D printingdikenalkan lebih mendalam agar semakin banyak pemanfaatannya dalam praktik kesehatan.
Riset Janson et al. (2020) mengenai penggunaan beberapa jenis assistive devices dari objek 3D printing pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) yang mengalami masalah tangan. Aplikasi alat bantu tersebut dikatakan dapat menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan kemampuan okupasi dan tingkat kepuasan klien. Satu riset menyebutkan penggunaan 3D printing dilakukan dengan kolaborasi 3 (tiga) profesi terapis okupasi, teknisi biomedis dan pemustaka kesehatan (Wagner et al., 2018). Proses kolaborasi tersebut berjalan bertahap mulai melakukan pengukuran, merencanakan desain, membuat gambaran 3 dimensi, hingga memproduksi desain ke dalam produk cetak.
Berikutnya, Lee et al. (2019) juga menunjukkan bagaimana menerapkan objek 3D printing kepada klien untuk memaksimalkan produktivitas menulis. Modifikasi pada splint dengan objek 3D printing dilakukan dengan menambahkan pengait untuk menempatkan pulpen pada splint dan memudahkan klien untuk terlibat kembali pada okupasinya.
[Gambar. Janson et al. (2020)]
[Gambar. Wagner et al., 2018)]
[Gambar. Lee et al. (2019)]
KESIMPULAN
Peradaban dunia semakin canggih dengan banyak inovasi yang diterapkan di dalam pelayanan kesehatan. Penggunaan 3D printing dan objek produksinya seperti ulasan di atas menunjukkan manfaat dan potensi yang nyata untuk memudahkan pelayanan kesehatan dan terapi okupasi yang menjunjung prinsip berpusat pada klien. Namun, tentu tetap ada beberapa hal yang patut diperhatikan, baik hal operasional, teknis, maupun persiapan peralatan hingga pendalaman riset riset ilmiah sebelum Anda aplikasikan di lahan praktik.
Penggunaan 3D printing pada level klien, perlu memperhatikan ketepatan desain, pengukuran, pemilihan bahan hingga perawatan dan pemahaman safety precaution. Semoga berdampak.
REFERENSI
Avf, S., La, L., Mf, A., A, C., & Zc, S. (2019). User-centered design of a customized assistive device to support feeding. Procedia CIRP,84, 743-748. doi:10.1016/j.procir.2019.04.318
Diment, L. E., Thompson, M. S., & Bergmann, J. H. (2017). Clinical efficacy and effectiveness of 3D printing: A systematic review. BMJ Open,7(12). doi:10.1136/bmjopen-2017-016891
Eshkalak, S. K., Ghomi, E. R., Dai, Y., Choudhury, D., & Ramakrishna, S. (2020). The role of three-dimensional printing in healthcare and medicine. Materials & Design,194, 108940. doi:10.1016/j.matdes.2020.108940
Fang, E. H., & Kumar, S. (2018). The Trends and Challenges of 3D Printing. Encyclopedia of Information Science and Technology, Fourth Edition, 4382-4389. doi:10.4018/978-1-5225-2255-3.ch380
Gebhardt, A., & Fateri, M. (2016). 3D Printing and Its Applications. International Journal of Science and Research (IJSR),5(3), 1532-1535. doi:10.21275/v5i3.nov162160
Hurst, E. J. (2016). 3D Printing in Healthcare: Emerging Applications. Journal of Hospital Librarianship,16(3), 255-267. doi:10.1080/15323269.2016.1188042
Janson, R., Burkhart, K., Firchau, C., Hicks, K., Pittman, M., Yopps, M., . . . Garabrant, A. (2020). Three-dimensional printed assistive devices for addressing occupational performance issues of the hand: A case report. Journal of Hand Therapy,33(2), 164-169. doi:10.1016/j.jht.2020.03.025
Lee, K. H., Kim, D. K., Cha, Y. H., Kwon, J., Kim, D., & Kim, S. J. (2018). Personalized assistive device manufactured by 3D modelling and printing techniques. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,14(5), 526-531. doi:10.1080/17483107.2018.1494217
Lidström, H., & Hemmingsson, H. (2014). Benefits of the use of ICT in school activities by students with motor, speech, visual, and hearing impairment: A literature review. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,21(4), 251-266. doi:10.3109/11038128.2014.880940
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Manero, A., Smith, P., Sparkman, J., Dombrowski, M., Courbin, D., Kester, A., . . . Chi, A. (2019). Implementation of 3D Printing Technology in the Field of Prosthetics: Past, Present, and Future. International Journal of Environmental Research and Public Health,16(9), 1641. doi:10.3390/ijerph16091641
Tay, Y. W., Panda, B., Paul, S. C., Mohamed, N. A., Tan, M. J., & Leong, K. F. (2017). 3D printing trends in building and construction industry: A review. Virtual and Physical Prototyping,12(3), 261-276. doi:10.1080/17452759.2017.1326724
Wagner, J. B., Scheinfeld, L., Leeman, B., Pardini, K., Saragossi, J., & Flood, K. (2018). Three professions come together for an interdisciplinary approach to 3D printing: Occupational therapy, biomedical engineering, and medical librarianship. Journal of the Medical Library Association,106(3). doi:10.5195/jmla.2018.321
Yan, Q., Dong, H., Su, J., Han, J., Song, B., Wei, Q., & Shi, Y. (2018). A Review of 3D Printing Technology for Medical Applications. Engineering,4(5), 729-742. doi:10.1016/j.eng.2018.07.021
Kita Menuju Zaman Digitalisasi, Revolusi Industri 5.0 – Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Menuju tahun 2030, dunia kian berkembang dan menumbuhkan tren-tren baru seputar teknologi dan perangkat digital nirkabel yang beberapa dapat membawa kita ke realitas dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Mari melihat Indonesia dari tahun 2010, zaman dimulai dengan menjamurnya penggunaan komputer dengan game online dan kecanggihan akses internet nirkabel di masyarakat. Berjalan kembali dalam lima tahun berikutnya, penggunaan perangkat genggam (mobile tech) berkembang pesat bersamaan dengan pengembangan teknologi virtual yang saat itu belum begitu familiar. Hari ini, tahun 2021 kenyataannya kita masih belum familiar juga dengan penggunaan teknologi virtual ini, meskipun kita sudah temui beberapa contoh, misalnya Nintendo Wii, Google Cardboard, Oculus, Virtual Reality Playstation, Google Glass, banyak varian teknologi Smart Home dan banyak lagi, baik perangkat kreatif baru yang muncul maupun bentuk upgrade dari perangkat-perangkat lama yang sudah ada.
Pengembangan teknologi dalam ilmu terapi okupasi juga menunjukkan kemajuan pada setiap zamannya. Liu (2014) mencatat praktik terapi okupasi telah menunjukkan dedikasi dalam penerapan teknologi masa kini, seperti virtual reality, 3D printing, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotik, kendaraan otomatis-semi otomatis hingga pemanfaatan smart-home. Dalam Smith (2017) menceritakan bagaimana berkembangnya penggunaan teknologi di dunia terapi okupasi dari awal berdirinya terapi okupasi, hingga perspektifnya melihat penggunaan teknologi dalam terapi okupasi di sekian masa kedepannya. Hari ini pengembangan ilmu terapi okupasi sudah mendekati penerapan teknologi dalam pelayanan di banyak negara, khususnya di negara maju. Dalam melihat aspek klien dengan keterlibatan faktor person-environment-occupation di masa kini, aspek teknologi (technology) kini mulai ditambahkan sebagai tolak ukur dalam memandang klien dan melibatkan dalam intervensi.
Melihat klien secara holistik, selain menghubungkan aspek fisik-psikologis-okupasi-lingkungan dengan melibatkan maupun menambahkan penggunaan teknologi (Smith, 2017); Keterangan. AT: assistive techology, ET: environmental technology, TT: therapeutic technology, ORT: occupation-related technology.
Berkenalan dengan Virtual Reality
Penggunaan Virtual Home 3D – Sumber: https://www.nbcnews.com
Membahas virtual reality, kita mengenal kata reality dan virtual dari segi bahasa berarti kenyataan yang sebenarnya dan kemiripan dengan yang sebenarnya (KBBI, 2020). Realitas virtual menunjukkan kita adanya kenyataan yang mirip dengan yang kita lihat dari mata dan keberadaan kita. Ketika menggunakan virtual reality, kita akan masuk, terhubung dan berada di lingkungan yang berbeda, terlepas dari hal nyata. Penggunaan virtual reality membutuhkan beberapa persiapan seperti software, hardware dan keterampilan pengguna (Berntsen, Palacios & Herranz, 2016). Rose (2018) mendeskripsikan virtual reality terbagi atas 3 (tiga) tipe, non-immersive, semi-immersive dan fully immersive. Immersive, dari kata immersion, merupakan komponen penting pembangun lingkungan virtual di mana pengguna dapat sadar karena pengguna secara psikologis, perseptual dan terasa berada di sana (terhubung ke dalam dunia virtual) (Slater et al., 1996).
Melihat Virtual Reality pada Rehabilitasi Medis
Membuka pembahasan bagaimana pengaruh virtual reality dalam rehabilitasi medik, melansir satu editorial Weiss & Katz (2004) menerangkan adanya lingkungan virtual dapat menjadi potensi yang baik untuk dilibatkan dalam pelayanan rehabilitasi medik. Munculnya virtual reality dalam masa itu menjadi kemajuan yang cukup visioner dan menguntungkan. Keunggulan dari virtual reality yang menghubungkan klien untuk partisipatif kepada lingkungannya (walaupun dengan lingkungan virtual atau mirip lingkungan sebenarnya) tetap dapat berfungsi sama interaktifnya dengan dunia sebenarnya.
Melihat pengembangan virtual reality di ranah rehabilitasi medik, dalam penelitian Kizony, Katz & Weiss (2003), virtual reality di masa lalu dilakukan dengan penggunaan-penggunaan virtual reality terhubung dengan media yang diaplikasikan melalui games untuk melatih klien dengan masalah neuromuskular. Riset berikutnya dalam Moreira et al. (2013), virtual reality juga digunakan dalam intervensi pola jalan pada klien pasca stroke menggunakan virtual reality (VR) device. Hal tersebut menunjukkan manfaat dalam perbaikan pola jalan dengan melibatkan klien pada latihan yang menyenangkan, partisipatif dan memiliki arti bagi klien. Dalam kasus lainnya, intervensi dengan virtual reality menunjukkan pengaruh positif dalam menangani masalah keseimbangan pada klien rawat jalan dengan cedera otak (Cuthbert et al., 2014).
Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakan Virtual Reality di Praktik Terapi Okupasi
Dalam penggunaan virtual reality pada klien dalam berbagai setting tentunya terdapat beberapa pertimbangan untuk memutuskan penggunaan virtual reality pada klien. Dalam area pediatri, virtual reality memiliki beberapa pengaruh di antaranya menstimulasi input berbagai sensori, kemampuan gerak, fungsi kognitif dan kinerja area okupasi. Misalnya dalam Galvin & Levac (2011), penggunaan virtual reality memiliki kategori dan fungsi yang berbeda-beda dari setiap sistemnya. Maka, dalam menuju langkah intervensi dan tujuan terapi yang akan diwujudkan, kita perlu menentukan media virtual reality yang tepat.Mengutip Lange et al. (2012), dalam melibatkan virtual reality pada intervensi rehabilitasi terapis perlu memperhatikan ketentuan aktivitas yang diberikan kepada klien, sebagai berikut.
Diperlukan data pemeriksaan yang mendalam dan lengkap agar dapat menentukan target aktivitas terapi dengan tepat.
Menyesuaikan tingkat kesulitan tugas dari yang mudah dilakukan terlebih dahulu.
Mampu dilakukan klien dengan berulang-ulang dan bertahap secara terukur.
Klien maupun terapis mampu memberikan umpan balik (feedback;internalfeedback) terhadap kondisi klien demi tercapainya tujuan terapi.
Dapat diperhitungkan, maksudnya dalam mengukur kemampuan klien selama penggunaan perangkat virtual reality dan kemajuan yang diperoleh klien.
Suasana virtual dapat dibuat relevan dengan keadaan dunia sebenarnya termasuk dengan aktivitas fungsional yang dilakukan,
Mampu memotivasi keterlibatan klien dan interaksi klien dengan aktivitas yang dilakukan.
Menambahkan kembali dari Lange et al. (2012), adapun terdapat ketentuan-ketentuan software virtual reality yang perlu digunakan dalam rehabilitasi seperti (1) adanya pengaturan sistem agar dapat disesuaikan kepada pengguna, (2) platform atau permainan yang bervariasi, (3) terdapat variasi tema-tema tertentu di tiap platform, (4) adanya rangsangan kontrol yang diberikan (oleh sistem virtual reality), (5) terdapat beragam sudut pandang mode penggunaan dalam platform (first-person, third-person, role-play, dan sebagainya), (6) tampilan yang disajikan sistem, (7) feedback sistem yang ditimbulkan, (8) kemampuan pengguna yang dapat dicatat sebagai data, (9) penggunaan oleh banyak pengguna, (10) adanya kecerdasan buatan yang mendukung dan memberikan tantangan kepada pengguna, (11) serta adanya koneksi jaringan, baik media yang digunakan maupun koneksi dengan pusat sistem utama yang dikendalikan terapis.
Disamping memperhatikan teknis dalam fasilitas, terapis juga perlu memperhatikan masukan dari klien perihal umpan balik (feedback) yang menggunakan virtual reality. Dalam kasus klien stroke pada Lewis et al. (2011), responden menyebutkan dalam memanfaatkan virtual reality ini memberikan tantangan dan perasaan baru kepada mereka, berkesan menunjukkan side effect dibandingkan layanan konvensional dan mencatat bahwa program virtual reality harus memiliki upgrade yang variatif agar dapat memfasilitasi klien dengan lebih baik.
Dalam penggunaan perangkat virtual reality juga diperlukan dan memerhatikan panduan dan petunjuk penggunaan mencegah kesalahan maupun kecelakaan selama penggunaan. Berikut rangkuman petunjuk penggunaan dalam Class VR (2020).
Lakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada perangkat virtual reality Anda sebelum digunakan dan gunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan, ketidaknyamanan penggunaan dan resiko kecelakaan dari perangkat.
Pastikan kondisi Anda benar-bener sehat, tidak memiliki masalah kesehatan utamanya penyakit menular dan beresiko tinggi ketika menggunakan perangkat virtual reality.
Gunakan dengan perangkat virtual reality dengan pengaturan perangkat yang aman dan nyaman bagi Anda.
Batasi waktu penggunaan dalam durasi yang wajar dan aman (anak-anak: tidak lebih dari 15 menit; remaja atau dewasa: tidak lebih dari 30 menit; berikan jeda istirahat 10-15 menit setelah pemakaian).
Setidaknya minta seorang pengasuh maupun pendamping untuk menemani dan mengawasi Anda ketika sedang menggunakan perangkat virtual reality untuk menjamin keamanan dan mencegah resiko kecelakaan (lakukan ini terutama bila Anda merupakan anak-anak maupun lanjut usia).
Bila mengalami keluhan-keluhan setelah menggunakan perangkat, segera hubungi dokter.
Catatan Lebih Lanjut tentang Virtual Reality, Rehabilitasi dan Terapi Okupasi
Keterlibatan virtual reality dalam praktik rehabilitasi dan terapi okupasi juga tercatat dalam beberapa riset yang telah dilakukan. Pada setting pediatri, ditemukan intervensi virtual reality dalam beberapa kondisi seperti autism spectrum disorder, down syndrome, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. Dalam studi Levac et al. (2017) dan Snider, Majnemer & Darsaklis (2010), menunjukkan pengaruh penggunaan virtual reality pada klien dengan cerebral palsy. Penggunaan virtual reality ini dapat membantu klien untuk melatih kemampuan kontrol motorik, keseimbangan berdiri dan bergerak hingga persiapan berjalan, dan tercatat berpengaruh terhadap level plastisitas, masalah motorik dan visual-perseptual anak. Penggunaan virtual reality di rumahdapat meningkatkan ketertarikan dan partisipasi anak cerebral palsy hingga orang tua/pengasuh untuk melakukan terapi dan mendampingi selama terapi di rumah.
Berikutnya dalam Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015) dengan penggunaan media virtual reality di rumah menunjukkan dampak positif pada pola gerak untuk meraih dan kemampuan fungsional tangan pada anak dengan hemiplegiccerebral palsy. Selain itu dalam penanganan virtual reality pada anak dengan acquired brain injury terdapat pengaruh terhadap motivasi, kepuasan bermain (playfulness), partisipasi, keterlibatan hingga kinerja fungsional anak dalam okupasinya (Bart et al., 2011).
Visualisasi penggunaan virtual reality pada klien cerebral palsy – Sumber: Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015)
Selain dalam kondisi anak dengan cerebral palsy, ditemukan juga pengaruh virtual reality pada anak dengan down syndrome dan autism spectrum disorder level tinggi (Wuang et al., 2011; Gal et al., 2015). Virtual reality pada anak dengan down syndrome ditunjukkan memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsi sensori-motor dan disarankan sebagai layanan tambahan di rumah untuk membantu proses rehabilitasi. Pada anak dengan autism spectrum disorder level tinggi menunjukkan virtual reality dapat berperan meningkatkan interaksi sosial khususnya di lingkungan sekolah.
Hal yang sama juga ditemukan pada Stendal & Baladin (2015) bahwa anak dengan autism spectrum disorder terbantu untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya dengan menggunakan dunia virtual melalui virtual reality. Berada dalam virtual reality membawa anak dalam dunia yang menurutnya lebih menerima keberadaannya (daripada lingkungannya di dunia nyata) dan merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan interaksi dengan pengguna lainnya secara virtual. Dalam menerapkan virtual reality dalam setting pediatri (dalam berbagai kondisi klien) terapis perlu menerapkan inklusivitas penggunaan teknologi dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, ketepatan fungsi dan mampu menyesuaikan klien, serta dapat meningkatkan keterlibatan klien, tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sebenarnya dan memperhatikan perkembangan anak (Chantry & Dunford, 2010).
Dalam layanan terapi okupasi menggunakan media virtual reality di area fisik dan dewasa, secara khusus pada masalah neuromuskular terdapat beberapa riset yang mendalami hal tersebut. Berikutnya Mekbib et al. (2020); Wiley, Khattab & Tang (2020); Kong et al. (2016); Rand, Weiss & Katz (2009) tercatat membahas perihal peranan virtual reality pada kondisi stroke. Media virtual reality dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan fungsional alat gerak atas, kinerja okupasi dan partisipasi klien, kemampuan memori dan berpikir klien, kemudian juga menunjukkan manfaat untuk memotivasi dan dapat menjadi metode intervensi yang efektif untuk mengembangkan fungsi eksekutif dan memanajemen kemampuan multitasking/koordinasi dalam tugas (Wiley, Khattab & Tang, 2020; Boone, Wolf & Engsberg, 2019; Rand, Weiss & Katz, 2009).
Namun, pernyataan berlawanan dikatakan oleh Kong et al. (2016) bahwa penanganan dalam 12 sesi menggunakan virtual reality untuk latihan alat gerak atas belum dapat menunjukkan efektivitas yang maksimal pada klien dengan stroke. Maka setelah membaca rangkuman bukti ilmiah di atas, efek terapeutik dari virtual reality juga perlu penyesuaian dan ketentuan terapi yang tepat pada setiap klien.
Dalam kasus lain pada Dalam Cole et al. (2009), menghadapkan pasien pasca amputasi dengan stump kepada penggunaan virtual reality menunjukkan penurunan rasa nyeri yang signifikan ketika mengaplikasikan virtual reality dalam mencobakan kepada prostesis yang akan digunakan. Berikutnya dalam Sharar et al., (2008), pemanfaatan virtual reality digunakan kepada pasien dengan luka bakar (combustio) dalam rehabilitasi menunjukkan dampak yang lebih baik terhadap penurunan perasaan nyeri dan meningkatnya perasaan menyenangkan dibandingkan tanpa virtual reality. Kedua fenomena di atas memanfaatkan virtual reality dengan memanfaatkan virtual reality untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan dalam selama penyesuaian menggunakan prosthesis dan memfasilitasi latihan lingkup gerak sendi area luka kepada rasa menyenangkan dari virtual reality yang sedang digunakan.
Game Whack a Mole ciptaan University of Alberta – Sumber: Liu (2014)
Peran virtual reality juga dapat dijumpai di ranah kesehatan jiwa. Penggunaan virtual reality pada klien dengan resiko obesitas menunjukkan respon tubuh yang cukup baik terhadap latihan (Bacon, Farnworth & Boyd, 2012). Riset lain meneliti peran virtual reality pada klien lansia dengan demensia untuk menerapkan terapi kognitif reminiscence tidak menunjukkan pengaruh yang berarti kepada kemampuan kognitif-memori klien dan ditemukan kontraindikasi ringan berupa keluhan nyeri mata, kepala terasa berat, kecemasan, dan perasaan sensitif (Coelho et al., 2020).Penggunaan virtual reality ini sebetulnya dapat menjadi rekomendasi bagi praktik terapi okupasi di setting kesehatan jiwa, dengan asumsi dapat memberikan keamanan dan variasi program yang lebih adaptif dan partisipatif seperti halnya melakukan aktivitas di realitas sebenarnya. Namun, hal tersebut diperlukan pertimbangan yang tepat dalam menerapkan virtual reality kepada beberapa kondisi klien tentu dengan berdasar pada bukti ilmiah yang kuat, relevan dan memperhatikan safety precaution setiap intervensi.
KESIMPULAN
Berada di zaman kemajuan dan digitalisasi, tantangan pelayanan terapi okupasi untuk bertransformasi melibatkan teknologi dalam pemberian layanan, menjadi catatan bagi kita semua untuk memanfaatkan majunya zaman dengan sebaik-baiknya. Di tengah pencarian dan pengembangan bukti ilmiah yang kuat dari pemanfaatan virtual reality dan teknologi lainnya menjadi pencapaian yang sedang dikejar untuk segera diwujudkan untuk menguatkan kebermanfaatan teknologi untuk dilibatkan sebagai media dalam layanan rehabilitasi, utamanya terapi okupasi.
Semoga menginspirasi, semoga berdampak.
REFERENSI
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Virtual. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/virtual
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Realitas. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/realitas
Bacon, N., Farnworth, L., & Boyd, R. (2012). The Use of the Wii Fit in Forensic Mental Health: Exercise for People at Risk of Obesity. British Journal of Occupational Therapy,75(2), 61-68. doi:10.4276/030802212×13286281650992
Bart, O., Agam, T., Weiss, P. L., & Kizony, R. (2011). Using video-capture virtual reality for children with acquired brain injury. Disability and Rehabilitation,33(17-18), 1579-1586. doi:10.3109/09638288.2010.540291
Berntsen, K., Palacios, R. C., & Herranz, E. (2016). Virtual reality and its uses. Proceedings of the Fourth International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality. doi:10.1145/3012430.3012553
Boone, A. E., Wolf, T. J., & Engsberg, J. R. (2019). Combining Virtual Reality Motor Rehabilitation With Cognitive Strategy Use in Chronic Stroke. American Journal of Occupational Therapy,73(4). doi:10.5014/ajot.2019.030130
Chantry, J., & Dunford, C. (2010). How do Computer Assistive Technologies EnhanceParticipation in Childhood Occupations for Children with Multiple and Complex Disabilities? A Review of the Current Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(8), 351-365. doi:10.4276/030802210×12813483277107
Chen, Y., Garcia-Vergara, S., & Howard, A. M. (2015). Effect of a Home-Based Virtual Reality Intervention for Children with Cerebral Palsy Using Super Pop VR Evaluation Metrics: A Feasibility Study. Rehabilitation Research and Practice,2015, 1-9. doi:10.1155/2015/812348
ClassVR. (2020). Retrieved April 1, 2021, from https://www.classvr.com/health-and-safety/
Coelho, T., Marques, C., Moreira, D., Soares, M., Portugal, P., Marques, A., . . . Fernandes, L. (2020). Promoting Reminiscences with Virtual Reality Headsets: A Pilot Study with People with Dementia. International Journal of Environmental Research and Public Health,17(24), 9301. doi:10.3390/ijerph17249301
Cole, J., Crowle, S., Austwick, G., & Slater, D. H. (2009). Exploratory findings with virtual reality for phantom limb pain; from stump motion to agency and analgesia. Disability and Rehabilitation,31(10), 846-854. doi:10.1080/09638280802355197
Cuthbert, J. P., Staniszewski, K., Hays, K., Gerber, D., Natale, A., & O’Dell, D. (2014). Virtual reality-based therapy for the treatment of balance deficits in patients receiving inpatient rehabilitation for traumatic brain injury. Brain Injury,28(2), 181-188. doi:10.3109/02699052.2013.860475
Gal, E., Lamash, L., Bauminger-Zviely, N., Zancanaro, M., & Weiss, P. L. (2015). Using Multitouch Collaboration Technology to Enhance Social Interaction of Children with High-Functioning Autism. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(1), 46-58. doi:10.3109/01942638.2015.1040572
Galvin, J., & Levac, D. (2011). Facilitating clinical decision-making about the use of virtual reality within paediatric motor rehabilitation: Describing and classifying virtual reality systems. Developmental Neurorehabilitation,14(2), 112-122. doi:10.3109/17518423.2010.535805
James, S., Ziviani, J., King, G., & Boyd, R. N. (2015). Understanding Engagement in Home-Based Interactive Computer Play: Perspectives of Children With Unilateral Cerebral Palsy and Their Caregivers. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(4), 343-358. doi:10.3109/01942638.2015.1076560
Kizony, R., Katz, N., & Weiss, P. L. (2003). Adapting an immersive virtual reality system for rehabilitation. The Journal of Visualization and Computer Animation,14(5), 261-268. doi:10.1002/vis.323
Kong, K., Loh, Y., Thia, E., Chai, A., Ng, C., Soh, Y., . . . Tjan, S. (2016). Efficacy of a Virtual Reality Commercial Gaming Device in Upper Limb Recovery after Stroke: A Randomized, Controlled Study. Topics in Stroke Rehabilitation,23(5), 333-340. doi:10.1080/10749357.2016.1139796
Lange, B., Koenig, S., Chang, C., Mcconnell, E., Suma, E., Bolas, M., & Rizzo, A. (2012). Designing informed game-based rehabilitation tasks leveraging advances in virtual reality. Disability and Rehabilitation,34(22), 1863-1870. doi:10.3109/09638288.2012.670029
Levac, D., Mccormick, A., Levin, M. F., Brien, M., Mills, R., Miller, E., & Sveistrup, H. (2017). Active Video Gaming for Children with Cerebral Palsy: Does a Clinic-Based Virtual Reality Component Offer an Additive Benefit? A Pilot Study. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,38(1), 74-87. doi:10.1080/01942638.2017.1287810
Lewis, G. N., Woods, C., Rosie, J. A., & Mcpherson, K. M. (2011). Virtual reality games for rehabilitation of people with stroke: Perspectives from the users. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,6(5), 453-463. doi:10.3109/17483107.2011.574310
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Moreira, M. C., Lima, A. M., Ferraz, K. M., & Rodrigues, M. A. (2013). Use of virtual reality in gait recovery among post stroke patients – a systematic literature review. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,8(5), 357-362. doi:10.3109/17483107.2012.749428
Rand, D., Weiss, P. L. (T.), & Katz, N. (2009). Training multitasking in a virtual supermarket: A novel intervention after stroke. American Journal of Occupational Therapy, 63, 535–542.
Rose, T., Nam, C. S., & Chen, K. B. (2018). Immersion of virtual reality for rehabilitation – Review. Applied Ergonomics,69, 153-161. doi:10.1016/j.apergo.2018.01.009
Slater, M., Linakis, V., Usoh, M., Kooper, R., 1996. Immersion, presence, and performance in virtual environments: an experiment with tri-dimensional chess. In: Proceedings of the 3rd {ACM} Symposium on Virtual Reality Software and Technology ({VRST} 1996), Hong Kong, China, pp. 163–172 10.1.1.34.6594.
Smith, R. O. (2017). Technology and Occupation: Past, Present, and the Next 100 Years of Theory and Practice. American Journal of Occupational Therapy,71(6). doi:10.5014/ajot.2017.716003
Snider, L., Majnemer, A., & Darsaklis, V. (2010). Virtual reality as a therapeutic modality for children with cerebral palsy. Developmental Neurorehabilitation,13(2), 120-128. doi:10.3109/17518420903357753
Stendal, K., & Balandin, S. (2015). Virtual worlds for people with autism spectrum disorder: A case study in Second Life. Disability and Rehabilitation,37(17), 1591-1598. doi:10.3109/09638288.2015.1052577
Weiss PL, Katz N. The potential of virtual reality for rehabilitation. J Rehabil Res Dev. 2004 Sep; 41(5) : vii-x. PMID: 15558392.
Wiley, E., Khattab, S., & Tang, A. (2020). Examining the effect of virtual reality therapy on cognition post-stroke: A systematic review and meta-analysis. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 1-11. doi:10.1080/17483107.2020.1755376
Wuang, Y., Chiang, C., Su, C., & Wang, C. (2011). Effectiveness of virtual reality using Wii gaming technology in children with Down syndrome. Research in Developmental Disabilities,32(1), 312-321. doi:10.1016/j.ridd.2010.10.002
Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel.
Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka
Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi
Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).
Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini.
Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org
Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.
Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi
Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC).
Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan.
Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.
Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.
Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi
Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:
OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/
Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:
Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.
Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:
Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan),
Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.
Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus
Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:
Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang ditujutentu menyesuaikan individual klien.
Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri.
Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada.
Sekian, semoga memberikan dampak.
Referensi
Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation,41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398
Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health,17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993
Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy,77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7
Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581
Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy,77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791
Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation,40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474
Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal,62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175
Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics,38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466
Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation,42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521
Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal,66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573
Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy,68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006
Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation,26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932
Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury,32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365
Artikel Suplemen
Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119
Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development,36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x
Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy,82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944
Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy,4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219
Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation,30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256
Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics,32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845
Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy,81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869
Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy,81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001