Merawat layanan paliatif (Img: media.mehrnews.com)
Ketika kita membahas tentang peran terapis okupasi rasanya tidak pernah ada batasannya. Salah satu tujuan terapis okupasi adalah membuat hidup klien kita menjadi lebih bermakna dengan ataupun tanpa kondisi yang klien alami.
Praktisi terapi okupasi berperan penting pada tim perawatan paliatif dan hospice (perawatan terminal atau stadium akhir) dengan mengidentifikasi peran dan kegiatan kehidupan (occupation) yang bermakna bagi klien dan mengatasi hambatan yang dialami klien dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Tidak seperti penyedia layanan kesehatan lainnya, terapis okupasi mempertimbangkan kebutuhan kesehatan fisik dan psikososial/perilaku klien, berfokus pada apa yang paling penting bagi klien untuk dicapai, sumber daya dan sistem pendukung yang tersedia, dan lingkungan di mana klien ingin dan dapat berpartisipasi (AOTA, 2015).
Apa Itu Perawatan Paliatif ?
Saat mendengar kata palliate yang terpikirkan adalah sebuah tindakan meringankan atau meredakan. Perawatan paliatif adalah pendekatan tim interdisipliner yang digunakan untuk orang-orang dengan penyakit serius atau mengancam jiwa untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Tujuan perawatan paliatif termasuk memberikan bantuan untuk manajemen rasa sakit dan manajemen gejala, memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga klien, dan mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual perawatan dengan perawatan medis yang diperlukan (Guo & Shin, 2005).
Menguatkan klien selama perawatan paliatif (Img: media.istockphoto.com)
Kanker, Alzheimer, penyakit jantung kronis, multiple sclerosis, brain injury dan lain-lain merupakan diagnosis-diagnosis yang masuk ke dalam perawatan paliatif. Namun, cakupan penyakit yang termasuk ke dalam paliatif masih belum jelas hingga saat ini terutama di bidang psikiatri atau kejiwaan, karena banyak gangguan mental yang bersifat persisten dan berdampak negatif pada kualitas hidup serta harapan hidup seseorang.
Sedangkan di lain hal berdasarkan pada definisi perawatan paliatif WHO yang diterima secara luas saat ini hanya mencakup penyakit kejiwaan persisten yang parah. Hal ini menjadi concern paliatif psikiatri agar definisi perawatan paliatif oleh WHO yang lebih berfokus terhadap penyakit, diubah menjadi lebih fokus ke dalam berpusat pada klien mengingat tujuan dari perawatan paliatif adalah peningkatan kualitas hidup seseorang yang berada pada ambang kematiannya (Lindblad, Helgesson & Sjöstrand, 2019).
The multi-professional academic network at the Interdisciplinary Center for Palliative Medicine.
Peran Terapi Okupasi secara Spesifik
Seperti yang kita ketahui perawatan paliatif bersifat interdisiplin, dimana berbagai macam profesi termasuk terapis okupasi bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan. Terapis okupasi bekerja pada orang-orang dengan penyakit yang membatasi kehidupan dalam berbagai setting, termasuk kesehatan masyarakat, perawatan usia lanjut, rehabilitasi masyarakat, klinik rawat jalan, perawatan akut, pusat rehabilitasi rujukan spesialis, rumah sakit harian, rumah sakit dan unit perawatan paliatif rawat inap (OTA, 2015).
Dalam praktiknya terapis okupasi dapat bekerja pada bidang assessment dan intervensi, sebagai berikut:
Assessment
Melihat klien secara holistic adalah sebuah keharusan. Dalam perawatan paliatif terapis okupasi menggunakan pendekatan client-centered sehingga assessment yang dilakukan berpusat pada individu dan caregiver atau orang terdekat (Cooper, 2013). Pemeriksaan terstandar yang dapat digunakan saat assessment klien salah satunya adalah Canadian Occupational Performance Measure (COPM) dimana pemeriksaan ini sangat sejalan dengan client-centered approach.
Dalam melakukan assessment, seorang terapis okupasi harus dapat menganalisis gangguan fungsional klien dengan baik dan sedetail mungkin. Beberapa hal yang perlu diassesment oleh terapis okupasi selain gangguan fungsional dan konteks individu adalah konteks lingkungan. Terapis okupasi dapat melihat apakah pasien membutuhkan modifikasi lingkungan dimana klien tinggal maupun klien beraktivitas.
Oleh sebab itu praktisi terapi okupasi memahami hubungan transaksional antara orang, lingkungan, dan aktivitas bermakna untuk mendukung okupasi berkelanjutan yang diinginkan, dapat meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang yang sedang sekarat, serta untuk orang yang mereka cintai (WFOT, 2016).
Intervensi
Dalam tahapan intervensi, terapis okupasi juga harus menggunakan pendekatan client- centered bekerjasama dengan klien dan care giver. Hal ini berkaitan dengan bentuk intervensi dan tujuan yang akan dicapai bersama.
Sebagai contoh, klien dengan kanker memiliki kewaspadaan dan tingkat kesadaran lingkungan yang cukup baik namun memiliki permasalahan pada manajemen rasa sakit, pengendalian gejala yang menjadi dasar permasalahan kegiatan sehari-harinya akan berbeda dengan klien penyakit Alzheimer yang dirujuk pada tahap selanjutnya yang secara kognitif mengalami penurunan tetapi mengalami sedikit rasa sakit.
Memberikan ketenangan kepada klien (Img: www.all-can.org)
Berikutnya dalam situasi terminal, bentuk intervensi akan lebih tepat diarahkan pada berbagai tantangan yang dihadapi pengasuh, seperti memandu dalam mengelola perilaku dan tindakan keamanan bagi klien (Ann, et al., 2011).
Setelah tindakan assessment secara menyeluruh terapis okupasi dapat mengetahui area mana saja yang perlu dilakukan intervensi, apakah itu pada Activities of Daily Living (ADLs), Instrumental Activities of Daily Living (IADLs), Rest and Sleep, Leisure Participation,dan social participation.
Berikut adalah intervensi atau tindakan yang terapis okupasi lakukan berdasarkan area klien yang terdampak menurut panduan AOTA (2015).
Activities of Daily Living (ADLs) :
Berpakaian
Menggunakan peralatan adaptif, teknik pengerjaan aktivitas yang dimodifikasi, prinsip konservasi energi, dan mekanika tubuh yang tepat untuk meminimalkan rasa kelelahan berlebihan, dan rasa sakit (misalnya dalam berpakaian di tempat tidur untuk memaksimalkan kemandirian dan keselamatan).
Mandi
Menggunakan peralatan khusus atau adaptif untuk memaksimalkan keselamatan (misalnya grip bar dan bangku shower) dan menggabungkan prinsip konservasi energi.
Mobilitas fungsional
Menggabungkan strategi pencegahan jatuh (misalnya menghilangkan bahaya seperti menggunakan karpet dengan permukaan anti licin dan meningkatkan pencahayaan ruangan) dan menumbuhkan kesadaran akan masalah dan keterbatasan keselamatan dalam lingkungan, sambil memperkuat kepercayaan diri dan kemampuan klien. Menyediakan perangkat positioning dan mobilitas yang optimal untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan, sekaligus mengurangi risiko luka akibat tekanan.
Membantu mengenakan pakaian (Img: stocks.adobe.com)
Instrumental Activities of Daily Living (IADLs)
Persiapan makan
Menggabungkan prinsip konservasi energi dan modifikasi aktivitas seperti menggunakan gerobak beroda dan mengatur ulang penyimpanan dapur untuk akses yang lebih mudah. Membantu diet sehat dan menyiapkan bahan makanan untuk manajemen nutrisi.
Manajemen rumah
Mengevaluasi toleransi aktivitas dan mekanika tubuh dengan tugas-tugas seperti membersihkan rumah atau mencuci pakaian. Menyarankan modifikasi aktivitas, sistem pendukung, peralatan adaptif, ritme dalam aktivitas, dan teknik konservasi energi.
Manajemen kesehatan
Memberikan strategi tentang cara mengelola gejala yang terkait dengan kelelahan, nyeri, kecemasan, atau sesak napas selama aktivitas sehari-hari.
Kegiatan keagamaan atau spiritual
Memodifikasi kegiatan atau sumber daya untuk membantu mengembangkan atau memelihara keterlibatan dalam kegiatan peribadatan atau kerohanian, jika diinginkan (Pizzi, 2010).
Rest and Sleep :
Mengevaluasi kebiasaan tidur dan siklus tidur /bangun klien, dan mengembangkan rutinitas sebelum tidur untuk memfasilitasi periode tidur restoratif yang lebih lama.
Memberikan teknik relaksasi dan positioning untuk meningkatkan kenyamanan dalam beristirahat, meningkatkan kemampuan beristirahat, dan mengurangi kerusakan kulit dari tekanan.
Partisipasi Rekreasi
Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi dan komunitas yang menyenangkan dengan adanya perubahan kemampuan dan peran melalui modifikasi dan/atau dengan mengeksplorasi alternatif.
Menggunakan teknik relaksasi, strategi mengatasi, manajemen kecemasan, manajemen waktu, dan ritme aktivitas untuk memfasilitasi partisipasi dalam kegiatan yang diinginkan.
Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara-cara untuk mempertahankan fungsi kognitif (misalnya, memori dan konsentrasi) untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bermakna.
Berinteraksi & Menghibur Klien (Img: www.pbs.org)
Kesehatan Psikososial/Perilaku
Melibatkan klien dan keluarga mereka dalam diskusi tentang perasaan, ketakutan, dan kecemasan mereka. Jika sesuai, berikan dukungan dan sumber daya untuk membantu menciptakan rencana akhir masa aktif, dan tetap terorganisir selama proses (Pizzi, 2010).
Mendorong keterlibatan komunikasi dan keluarga untuk mendukung keinginan klien, dan mempromosikan koneksi sosial yang berkelanjutan (Park Lala & Kinsella, 2011).
Mendukung peran pengasuh, termasuk komunikasi tentang harapan realistis, dan edukasi tentang mekanika dan teknik tubuh yang aman selama kegiatan sehari-hari dan berpindah tempat, manajemen diri, dan kemampuan untuk mengurangi burnout (misalnya, kelompok pendukung pengasuh, atau perawatan hari hospice dewasa).
Kesimpulan
Terapi Okupasi menjadi salah satu profesi yang melakukan perawatan paliatif bersama profesi lain. Meningkatkan kualitas hidup klien meski berada pada ujung akhir kehidupan menjadi salah satu tujuan terapi okupasi.
Dengan memahami peran dan tindakan intervensi yang tepat melalui client-centered approach terapis okupasi diharapkan dapat bekerjasama dengan klien dan caregiver dalam menciptakan kehidupan yang bermakna meskipun klien memiliki permasalahan kesehatan yang menghambat aktivitas kesehariannya.
Ann Burkhardt, O. T. D., Mack Ivy MOT, O. T. R., Kannenberg, K. R., & Youngstrom, M. J. (2011). The role of occupational therapy in end-of-life care. The American Journal of Occupational Therapy, 65(6), S66.
Cooper, J. (Ed.). (2013). Occupational therapy in oncology and palliative care. John Wiley & Sons.
Guo, Y., & Shin, K.Y. (2005). Rehabilitation needs of cancer patients. Critical Reviews in Physical and Rehabilitation Medicine, 17(2), 83–99. doi:10.1615/CritRevPhysRehabilMed.v17.i2.10
Lindblad, A., Helgesson, G., & Sjöstrand, M. (2019). Towards a palliative care approach in psychiatry: do we need a new definition?. Journal of medical ethics, 45(1), 26-30.
Melakukan kegiatan bermakna merupakan kebutuhan dasar dari manusia. Bertitel ‘makhluk okupasional’ sepanjang hidup merupakan peranan utama manusia sepanjang usia. Maka, menjadi wajar bila okupasi lekat, dekat dan terikat dengan manusia. Pemaknaan kegiatan bermakna atau okupasi menjadi pendapat masing-masing individu apakah sebuah okupasi menjadi bermakna ataupun tidak bagi dirinya.
Dalam Morrison et al. (2017), mendefinisikan okupasi adalah situasi klien di mana mampu berpartisipasi dalam kehidupan, misalnya perawatan diri, pemanfaatan waktu luang, produktivitas bekerja dan lainnya dengan terintegrasi pada konteks klien, memiliki manfaat terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien sepanjang hidupnya.
Selain kesehatan, okupasi juga melingkupi berbagai aspek mulai sosial, budaya, ekonomi, biologis dan filosofi. Maka, melihat okupasi perlu secara utuh.
Okupasi lekat dengan banyak aspek dan budaya masyarakat termasuk di dalamnya. Kita mengenal salah satu okupasi khas di Indonesia yang menjadi salah satu bentuk hasil budaya yang bahkan diakui oleh UNESCO pada tahun 2009 (UNESCO, 2009).
Bila ditelisik lebih lanjut, selain memiliki nilai budaya, kita ketahui bahwa membatik sebetulnya juga terdapat nilai okupasional di dalamnya yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modalitas terapi berbasis kepada okupasi.
Batik sebagai produk kebanggaan, bagian dari karya & ciri khas bangsa Indonesia (Img: awsimages.detik.net.id)
Membatik sebagai Modalitas yang Holistik
Membatik, Art Therapy yang Berbasis Okupasi
Aktivitas membatik dapat dikatakan merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan seni lukis sebagai bagian utama dalam keseluruhan tahap aktivitasnya. Dalam perspektif kesehatan, kita mengenal adanya art therapy atau terapi seni lukis sebagai salah satu modalitas psikoterapi dalam disiplin ilmu psikologi.
Aktivitas membatik dapat pula ditujukan sebagai bagian dari terapi melukis untuk diaplikasikan dalam layanan berbasis okupasi kepada klien, namun selain memanfaatkan esensi psikoterapinya, dapat pula terapis okupasi menerapkan prinsip terapi okupasi dan memanfaatkannya sebagai modalitas terapi.
Kelompok lansia sedang membatik (Img: statik.tempo.co)
Contoh modalitas art therapy yang dapat digunakan dalam terapi okupasi dalam praktik dan penelitian ditunjukkan dalam Ingkir, Wondal & Arfa (2020), Syafitri & Jaya (2020) & Rochmah & Hasibuan (2020) dengan menerapkan aktivitas membatik pada anak usia sekolah untuk melatih kemampuan motorik halus.
Dalam riset tersebut melakukan membatik dengan teknik jumputan, dengan mengikat kain dalam beberapa bagian kemudian masing-masing bagian diwarnai beragam warna dengan kuas lukis. Melalui contoh tahapan tersebut saja, proses holistik melibatkan beragam komponen dan keterampilan anak dapat berjalan bersamaan, mulai komponen fisik, mental (termasuk kognitif di dalamnya) dan sosial.
Pemberdayaan ODGJ melalui Membatik
Riset lain mengamati kegiatan lukis pada klien dengan masalah kejiwaan. Dalam Wulandari dkk. (2021) meneliti pemberdayaan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) stabil dan siap kembali ke masyarakat dalam kegiatan membatik secara berkelompok.
Riset tersebut dilakukan dalam 3 sesi, dengan dimulai penyuluhan kegiatan membatik, pendampingan proses membatik hingga tahap penjualan batik dengan partisipan secara kompleks berkreasi, membuat-mewarna batik dan bersosial dengan rekan ODGJ dalam kelompok sosial di sana.
Pembuatan batik di RSJD RM Soedjarwadi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Img: images.solopos.com)
Dalam sampel lain pada klien personality disorder, intervensi kegiatan melukis bebas dilakukan dengan melukis di kanvas sesuai dengan apa yang klien rasakan, pikirkan maupun yang klien ingin lakukan (Haeyen et al., 2018). Tujuan dari melukis tersebut untuk melatih respon reflektif klien terhadap lukisan yang menggambarkan klien, menyadarkan kontrol diri klien dan identitas klien sebenarnya kepada klien sendiri.
Pada prinsipnya, aktivitas membatik pun memiliki kesamaan dalam contoh-contoh tersebut. Melingkupi berbagai aspek komponen fungsi tubuh, baik komponen fisik, mental dan sosial. Seluruh komponen akan bekerja bersamaan terlebih bila dilakukan berkelompok, komponen interaksi sosial ikut berperan banyak.
Esensi Okupasional dalam Aktivitas Membatik
Klien ODGJ mengikuti terapi seni membatik di RSJD Magelang (Img: jogja.tribunnews.com)
Bila membahas penerapan membatik dalam konteks art therapy sebagai modalitas dalam praktik terapi okupasi, tentu akan memiliki makna yang berbeda ketika bergantung pada konteksnya apakah sebagai aktivitas pemanfaatan waktu luang, bermain atau produktivitas.
Masing-masing definisi konteks tersebut dapat anda akses dalam practice framework terapi okupasi dalam Occupational Therapy Practice Framework (Fourth Edition; 2020) maupun edisi lainnya oleh AOTA dengan setelah anda pahami, perencanaan intervensi tentu akan berbeda dan menyesuaikan pada prinsip masing-masing kategori okupasi.
Membatik, Dayaguna Kreativitas Seni LukisFungsional
Hansen, Erlandsson & Leufstadius (2020) melakukan riset perihal konsep penggunaan aktivitas kreatif sebagai modalitas intervensi dalam praktek terapi okupasi. Dikatakan bahwa aktivitas kreatif (apapun bentuk kegiatannya) sebagai modalitas intervensi memiliki beberapa poin:
Menggerakkan tubuh dan pikiran dengan melibatkan kesenian auat prakarya
Memiliki makna, dilakukan di lingkungan yang kreatif & mendukung
Meningkatkan proses kreatif, pengalaman dan kesempatan untuk mengekspresikan & merefleksikan diri.
Dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan, meningkatkan performa okupasi & memanajemen kehidupan sehari-hari.
Digunakan secara individual maupun kelompok, dimodifikasi melalui pendekatan terapeutik yang berbeda demi mencapai tujuan yang diharapkan dalam situasi/setting tertentu.
Selain melihat perspektif terapis dalam penggunaan aktivitas kreatif, terapis juga perlu melihat makna modalitas melukis atau menggambar sebagai aktivitas kreatif dalam terapi berdasarkan persepsi klien. Disebutkan dalam Stuckey & Nobel (2008) bahwa seni lukis membantu mengekspresikan perasaan ke dalam gambar, karena sulit mencurahkan dalam bentuk tulisan.
Membebaskan Ekspresi & Seni dalam Batik
Menyalurkan ekspresi tersebut membentuk identitas, keyakinan positif, berdamai dengan keadaan, sarana meditasi dan mindfulness, utamanya hal-hal tersebut dilakukan oleh klien-klien dengan masalah kejiwaan dan klien dalam masa paliatif maupun terminasi.
Seperti art therapy, aktivitas membatik memiliki tujuan sekaligus manfaat tertentu, khususnya dalam lingkup kesehatan bagi tiap individu yang melakukannya, misalnya menenangkan diri, mengurangi kecemasan, katarsis dari perasaan negatif, melatih komponen motorik halus, mengisi waktu luang, mereduksi gangguan sensori maupun bersosial dengan teman satu hobi atau komunitas.
Seorang Ibu sedang konsentrasi & tenang ketika membatik (Img: jogja.tribunnews.com)
Manfaat Melibatkan Art Therapy menurut Penelitian
Berikut ulasan perihal beberapa riset bagaimana melukis atau seni lukis sebagai modalitas terapi dapat memberikan manfaat dalam pelayanan kepada klien.
Dalam Kongkasuwan et al. (2015) disebutkan manfaat dari terapi lukis pada klien dengan stroke. Penggunaan terapi lukis dalam riset dilakukan dalam dua kali seminggu, dikombinasikan dengan fisioterapi lima kali tiap seminggu dalam empat minggu sesi didapatkan penurunan depresi dan adanya peningkatan pada kemampuan fungsional, nilai kepuasan hidup, motivasi, konsentrasi dan kepercayaan diri setelah terapi dilakukan.
Berikutnya ditemukan dalam review literatur, menyebutkan bahwa penggunaan seni kreatif sebagai modalitas terapi okupasi dikatakan mengubah sikap terhadap penderitaan klien, membantu menemukan tujuan hidup dan menumbuhkan dukungan sosial (Perruza & Kinsella, 2010)
Dalam riset Zeevi, Regev & Guttmann (2018) pada orang tua dengan anak prasekolah (normal; usia 5-8 tahun) tentang training melakukan terapi lukis bersama anak. Penelitian tersebut dilakukan dalam 24 sesi mengamati lukisan dan melukis, dengan 12 sesi pertama hanya melakukan melukis dan 12 sesi terakhir mengkombinasikan melukis dengan terapi music reminiscence.
Didapatkan hasil peningkatan pada perkembangan emosional dan psikologis anak, di mana turut meningkatkan kesadaran orang tua untuk lebih menjalin hubungan kedekatan dengan anak dengan banyak terlibat dalam dunia sang anak.
Riset pengaruh terapi seni lukis pada sampel lansia dengan masalah gangguan kognitif dikatakan meningkatkan kemampuan memori, atensi, memori jangka panjang dan seluruh kemampuan kognitif lansia (Lee et al., 2018).
Anak usia sekolah dasar sedang belajar membatik (Img: rmol.id/)
Kesimpulan
Dalam memberikan pelayanan terapi okupasi, kita perlu melihat klien secara holistik dengan mempertimbangkan modalitas yang akan diberikan tentu perlunya dapat berdampak secara holistik pula. Aktivitas kreatif dalam bentuk apapun kegiatannya, utamanya seni lukis, dikaji dalam berbagai riset ditemukan manfaat yang dapat membantu klien menuju well being.
Seni lukis memiliki beragam bentuk pula, termasuk terpengaruh oleh sosial budaya setempat, sebagai contohnya batik. Melukis dan mewarna batik sebagai modalitas intervensi dalam terapi dikatakan dalam riset memiliki berbagai manfaat dalam konteks layanan manapun, baik pediatri, dewasa maupun kesehatan jiwa.
Referensi
Haeyen, S., Hooren, S. V., Dehue, F., & Hutschemaekers, G. (2017). Development of an art-therapy intervention for patients with personality disorders: An intervention mapping study. International Journal of Art Therapy,23(3), 125-135. doi:10.1080/17454832.2017.1403458
Hansen, B. W., Erlandsson, L., & Leufstadius, C. (2020). A concept analysis of creative activities as intervention in occupational therapy. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,28(1), 63-77. doi:10.1080/11038128.2020.1775884
Ingkir, Yuni, Wondal, Rosita, Arfa, Umikalsum. (2020). Kegiatan Membatik dalam Mengembangkan Kemampuan Motorik Halus Anak. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 3, No. 1, Oktober 2020.
Kongkasuwan, R., Voraakhom, K., Pisolayabutra, P., Maneechai, P., Boonin, J., & Kuptniratsaikul, V. (2016). Creative art therapy to enhance rehabilitation for stroke patients: A randomized controlled trial. Clinical Rehabilitation,30(10), 1016-1023. doi:10.1177/0269215515607072
Lee, R., Wong, J., Shoon, W. L., Gandhi, M., Lei, F., Eh, K., . . . Mahendran, R. (2019). Art therapy for the prevention of cognitive decline. The Arts in Psychotherapy,64, 20-25. doi:10.1016/j.aip.2018.12.003
Morrison, R., Gómez, S., Henny, E., Tapia, M. J., & Rueda, L. (2017). Principal Approaches to Understanding Occupation and Occupational Science Found in the Chilean Journal of Occupational Therapy (2001–2012). Occupational Therapy International,2017, 1-11. doi:10.1155/2017/5413628
Perruzza, N., & Kinsella, E. A. (2010). Creative Arts Occupations in Therapeutic Practice: A Review of the Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(6), 261-268. doi:10.4276/030802210×12759925468943
Stuckey, H. L., & Nobel, J. (2010). The Connection Between Art, Healing, and Public Health: A Review of Current Literature. American Journal of Public Health,100(2), 254-263. doi:10.2105/ajph.2008.156497
Syafitri, Della, Jaya, Indra. (2020). Pengaruh Membatik terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Kuraitaji. —- volume VI. No. 1, Januari-Juni 2020.
Wulandari, N., Nurmawati, T., Setyani, E. Y., Christiningtyas, E. B., Arifianti, K., & Saparudin, A. (2021). Empowerment of ODGJ (People with Mental Disorders) through Training of Batik Ikat Making in Posyandu Jiwa “Waluyo Jiwo” Bacem Village Ponggok Blitar. Journal of Community Service for Health,2(1), 001-009. doi:10.26699/jcsh.v2i1.art.p001-009
Zeevi, L. S., Regev, D., & Guttmann, J. (2018). The Efficiency of Art-Based Interventions in Parental Training. Frontiers in Psychology,9. doi:10.3389/fpsyg.2018.01495
Bencana alam merupakan fenomena yang sering terjadi yang terkadang tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya. Setiap tahunnya Indonesia mengalami peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, longsor, tsunami hingga gunung meletus dikarenakan Indonesia sendiri berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas seismik). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.205 bencana alam terjadi dari 1 Januari 2021 hingga 30 April 2021 (Liputan 6, 2021).
Tidak hanya mengalami kehilangan harta dan benda, seseorang bahkan dapat mengalami luka fisik seperti luka-luka, patah tulang, Traumatic Brain Injury (TBI) hingga luka psikis seperti trauma dan depresi pasca bencana alam yang dapat berimplikasi pada kehidupan keseharian seseorang seperti pada aktivitas sehari-hari, pekerjaaan hingga sosial (AOTA, 2008).
Dalam peristiwa bencana alam Terapis Okupasi harus dilibatkan dalam semua tahap penanggulangan bencana baik di tingkat lokal maupun nasional. Keterlibatan ini dimulai dari pasca bencana hingga rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk perencanaan dan persiapan (WFOT, 2014). Terapis okupasi berperan dalam tiga tahap situasi emergensi pada peristiwa bencana alam yaitu kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan.
Mitigasi bencana (Kesiapsiagaan)
Peristiwa bencana alam terkadang tidak dapat terprediksi kapan terjadinya. Maka dari itu perencanaan yang matang sangat diperlukan. Seorang terapis okupasi dalam disaster preparation memiliki peran mengembangkan pengetahuan dan kapasitas pada level komunitas local, nasional hingga internasional untuk mengantisipasi dan merespon secara tepat terhadap bahaya atau resiko dari peristiwa bencana alam dan dampak yang menyertai, seperti dampak sosial, politik, ekonomi dan lingkungan serta berfokus terhadap ancaman yang akan dihadapi di waktu dekat maupun di masa mendatang (Rushford & Thomas, 2015).
Dalam praktiknya seorang terapis okupasi harus bekerjasama dengan stakeholder atau pemegang kebijakan di daerah tersebut untuk menjangkau seluruh masyarakat. Salah satu peran kesiapsiagaan yang dapat dilakukan terapis okupasi adalah menggunakan keahlian di bidang-bidang seperti merancang tempat penampungan berkebutuhan khusus yang aksesibel seperti mendesain ramp untuk pengguna kursi roda, mendesain kamar mandi darurat yang aksesibel dan membentuk staf pelatihan dan sukarelawan dalam membantu penyandang disabilitas selama masa krisis (AOTA, 2008).
Edukasi Kebencanaan sebagai Bentuk Mitigasi (Img. lipi.go.id)
Selain pada tingkat kelompok masyarakat, kesiapsiagaan bencana juga dapat menjadi intervensi okupasi terapi pada tingkat keluarga atau individu. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang rentan, seperti difabel atau anak berkebutuhan khusus, dapat mempersiapkan kegawatdaruratan melalui peningkatan pemahaman individu difabel dan anak akan terjadinya bencana (seperti misalnya banjir) melalui storytelling maupun roleplaying.
Supply kits berupa medikasi, alat transportasi, alat kesehatan seperti tabung oksigen, makanan yang sesuai diet individu dapat disiapkan dalam bentuk cadangan dengan memperhatikan kadaluarsa.
Respon Bencana
Pada tahapan ini adalah ketika peristiwa bencana alam terjadi. Seorang terapis okupasi ikut serta dalam memberikan layanan darurat dan bantuan publik, selama atau segera setelah kejadian peristiwa bencana alam yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, mengurangi dampak bencana, memastikan keselamatan masyarakat dan berfokus pada kebutuhan jangka pendek dan mendesak.
Merespon Bencana Alam (Img. ifaw.org)
Dalam praktiknya, terapis okupasi dapat berperan dalam mengelola tempat penampungan masyarakat berkebutuhan khusus, memfasilitasi support group untuk mengurangi kecemasan pengungsi, dan memberikan layanan dukungan kesehatan mental kepada korban dan personel militer. Selain itu juga terapis okupasi dapat membantu tenaga medis lainnya dalam mengidentifikasi korban luka-luka atau hilang (Rushford & Thomas (2015); AOTA (2008)).
Pemulihan Pasca Bencana
Pemulihan Bencana dari Segi Infrastruktur (Img. kompas.com)
Setelah peristiwa bencana alam terjadi, proses pemulihan adalah tahapan yang membutuhkan waktu lama. Dalam tahapan ini terapis okupasi berkontribusi dalam upaya pemulihan (recovery), melakukan perbaikan (rehabilitation) dan pembangunan kembali (reconstruction) terhadap kegiatan dan rutinitas masyarakat yang terganggu.
Korban bencana perlu mengembangkan keterampilan dirinya untuk menangani dampak dari pengalaman yang mereka lalui. Dengan melibatkan penyintas bencana dalam aktivitas bermakna, penyintas bencana dapat merestrukturisasi rutinitas mereka untuk mengatasi stres dan rasa cemas (AOTA, 2008).
Rumah Tahan Gempa (Img. rumah.com)
Dalam seminar internasional tentang Occupational Therapy in Post-Disaster Relief (2008) di Jerman, memaparkan bahwa dalam praktiknya terapis okupasi dapat melakukan asesmen situasional kepada masyarakat yang terdampak bencana alam dengan cara melihat kebutuhan dan kapasitas masyarakat secara langsung, kemudian merencanakan projek ke depan secara objektif dan melakukan evaluasi di kemudian hari. Kemudian terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan oleh terapis okupasi dalam situasi post-bencana alam yaitu:
Menggunakan Pendekatan Bio-Psycho-Social
Dalam implementasinya terapis okupasi berfokus terhadap sumber daya yang ada, penguatan kapasitas diri masyarakat, menyediakan dukungan dan menciptakan keserasian dengan masyarakat. Kemudian terdapat tiga hal yang dapat dievaluasi dan dilakukan tindakan intervensi oleh terapis okupasi dengan pendekatan ini, yaitu:
Body function (seperti melakukan rehabilitasi tangan, melakukan pelatihan fungsional klien untuk memaksimalkan ADL),
Activity (meliputi pelatihan vokasional, memberikan permainan untuk anak-anak yang terdampak sebagai aktivitas yang bermakna),
Partisipasi (seperti melakukan terapi kelompok, aktivitas olahraga dan pemanfaat waktu luang).
The Kawa Model (Pendekatan Terapis Okupasi Secara Komprehensif)
Kawa, berarti sungai dalam Bahasa jepang yaitu model yang dikembangkan oleh terapis okupasi asal Jepang Michael K. Iwama, merupakan model terbaru dengan perspektif orang timur dan menggunakan sungai sebagai metafora jalur kehidupan dan occupation yang mana dapat diimplementasikan pada situasi bencana alam.
Kawa Model (Img Google.com)
Air yang berarti adalah energi kehidupan, pinggiran sungai dan dasaran sungai yang berarti kehidupan sosial dan lingkungan fisik klien, batu yang berarti masalah dan tantangan kehidupan, kayu yang mengapung berarti aset dan kewajiban personal, ruang (space) aktivitas keseharian dan partisipasi.
Kawa model sangat berguna dalam promosi pendekatan secara client-centered, membuat prioritas dan mengevaluasi hasil intervensi, interprofessional teamwork dan mendukung klien dalam proses adaptasinya setelah peristiwa bencana alam yang dialami.
Dalam pelaksanaannya terapis okupasi dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan cara menggunakan assistive devices, menciptakan lingkungan yang aksesibel dan sikap positif terhadap konteks sosial dan personal .
Kesimpulan
Tidak ada satupun negara didunia yang terhindar dari bencana alam begitu pula Indonesia. Terapis okupasi menjadi salah satu tenaga kesehatan yang diperhitungkan untuk terlibat dalam peristiwa bencana alam baik dalam mitigasi bencana hingga post-disaster.
Dalam pelaksanaanya terapis okupasi harus bekerja dengan tenaga profesi lain, stakeholder dan masyarakat. Menggunakan pendekatan yang berfokus terhadap komunitas dan masyarakat, diharapkan terapis okupasi dapat membantu masyarakat menjalankan kehidupan secara sepenuhnya setelah peristiwa buruk yang dilalui.
Referensi
International Seminar (2008). Occupational therapy in post-disaster relief. Rheinsberg, Germany.
Yamkovenko, S., 2008. Occupational Therapy’s Role in Disaster Relief. [online] Aota.org. Available at: <https://www.aota.org/About-Occupational Therapy/Professionals/MH/Articles/Disaster-Relief.aspx> [Accessed 17 June 2022].
Kita Menuju Zaman Digitalisasi, Revolusi Industri 5.0 – Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Menuju tahun 2030, dunia kian berkembang dan menumbuhkan tren-tren baru seputar teknologi dan perangkat digital nirkabel yang beberapa dapat membawa kita ke realitas dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Mari melihat Indonesia dari tahun 2010, zaman dimulai dengan menjamurnya penggunaan komputer dengan game online dan kecanggihan akses internet nirkabel di masyarakat. Berjalan kembali dalam lima tahun berikutnya, penggunaan perangkat genggam (mobile tech) berkembang pesat bersamaan dengan pengembangan teknologi virtual yang saat itu belum begitu familiar. Hari ini, tahun 2021 kenyataannya kita masih belum familiar juga dengan penggunaan teknologi virtual ini, meskipun kita sudah temui beberapa contoh, misalnya Nintendo Wii, Google Cardboard, Oculus, Virtual Reality Playstation, Google Glass, banyak varian teknologi Smart Home dan banyak lagi, baik perangkat kreatif baru yang muncul maupun bentuk upgrade dari perangkat-perangkat lama yang sudah ada.
Pengembangan teknologi dalam ilmu terapi okupasi juga menunjukkan kemajuan pada setiap zamannya. Liu (2014) mencatat praktik terapi okupasi telah menunjukkan dedikasi dalam penerapan teknologi masa kini, seperti virtual reality, 3D printing, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotik, kendaraan otomatis-semi otomatis hingga pemanfaatan smart-home. Dalam Smith (2017) menceritakan bagaimana berkembangnya penggunaan teknologi di dunia terapi okupasi dari awal berdirinya terapi okupasi, hingga perspektifnya melihat penggunaan teknologi dalam terapi okupasi di sekian masa kedepannya. Hari ini pengembangan ilmu terapi okupasi sudah mendekati penerapan teknologi dalam pelayanan di banyak negara, khususnya di negara maju. Dalam melihat aspek klien dengan keterlibatan faktor person-environment-occupation di masa kini, aspek teknologi (technology) kini mulai ditambahkan sebagai tolak ukur dalam memandang klien dan melibatkan dalam intervensi.
Melihat klien secara holistik, selain menghubungkan aspek fisik-psikologis-okupasi-lingkungan dengan melibatkan maupun menambahkan penggunaan teknologi (Smith, 2017); Keterangan. AT: assistive techology, ET: environmental technology, TT: therapeutic technology, ORT: occupation-related technology.
Berkenalan dengan Virtual Reality
Penggunaan Virtual Home 3D – Sumber: https://www.nbcnews.com
Membahas virtual reality, kita mengenal kata reality dan virtual dari segi bahasa berarti kenyataan yang sebenarnya dan kemiripan dengan yang sebenarnya (KBBI, 2020). Realitas virtual menunjukkan kita adanya kenyataan yang mirip dengan yang kita lihat dari mata dan keberadaan kita. Ketika menggunakan virtual reality, kita akan masuk, terhubung dan berada di lingkungan yang berbeda, terlepas dari hal nyata. Penggunaan virtual reality membutuhkan beberapa persiapan seperti software, hardware dan keterampilan pengguna (Berntsen, Palacios & Herranz, 2016). Rose (2018) mendeskripsikan virtual reality terbagi atas 3 (tiga) tipe, non-immersive, semi-immersive dan fully immersive. Immersive, dari kata immersion, merupakan komponen penting pembangun lingkungan virtual di mana pengguna dapat sadar karena pengguna secara psikologis, perseptual dan terasa berada di sana (terhubung ke dalam dunia virtual) (Slater et al., 1996).
Melihat Virtual Reality pada Rehabilitasi Medis
Membuka pembahasan bagaimana pengaruh virtual reality dalam rehabilitasi medik, melansir satu editorial Weiss & Katz (2004) menerangkan adanya lingkungan virtual dapat menjadi potensi yang baik untuk dilibatkan dalam pelayanan rehabilitasi medik. Munculnya virtual reality dalam masa itu menjadi kemajuan yang cukup visioner dan menguntungkan. Keunggulan dari virtual reality yang menghubungkan klien untuk partisipatif kepada lingkungannya (walaupun dengan lingkungan virtual atau mirip lingkungan sebenarnya) tetap dapat berfungsi sama interaktifnya dengan dunia sebenarnya.
Melihat pengembangan virtual reality di ranah rehabilitasi medik, dalam penelitian Kizony, Katz & Weiss (2003), virtual reality di masa lalu dilakukan dengan penggunaan-penggunaan virtual reality terhubung dengan media yang diaplikasikan melalui games untuk melatih klien dengan masalah neuromuskular. Riset berikutnya dalam Moreira et al. (2013), virtual reality juga digunakan dalam intervensi pola jalan pada klien pasca stroke menggunakan virtual reality (VR) device. Hal tersebut menunjukkan manfaat dalam perbaikan pola jalan dengan melibatkan klien pada latihan yang menyenangkan, partisipatif dan memiliki arti bagi klien. Dalam kasus lainnya, intervensi dengan virtual reality menunjukkan pengaruh positif dalam menangani masalah keseimbangan pada klien rawat jalan dengan cedera otak (Cuthbert et al., 2014).
Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakan Virtual Reality di Praktik Terapi Okupasi
Dalam penggunaan virtual reality pada klien dalam berbagai setting tentunya terdapat beberapa pertimbangan untuk memutuskan penggunaan virtual reality pada klien. Dalam area pediatri, virtual reality memiliki beberapa pengaruh di antaranya menstimulasi input berbagai sensori, kemampuan gerak, fungsi kognitif dan kinerja area okupasi. Misalnya dalam Galvin & Levac (2011), penggunaan virtual reality memiliki kategori dan fungsi yang berbeda-beda dari setiap sistemnya. Maka, dalam menuju langkah intervensi dan tujuan terapi yang akan diwujudkan, kita perlu menentukan media virtual reality yang tepat.Mengutip Lange et al. (2012), dalam melibatkan virtual reality pada intervensi rehabilitasi terapis perlu memperhatikan ketentuan aktivitas yang diberikan kepada klien, sebagai berikut.
Diperlukan data pemeriksaan yang mendalam dan lengkap agar dapat menentukan target aktivitas terapi dengan tepat.
Menyesuaikan tingkat kesulitan tugas dari yang mudah dilakukan terlebih dahulu.
Mampu dilakukan klien dengan berulang-ulang dan bertahap secara terukur.
Klien maupun terapis mampu memberikan umpan balik (feedback;internalfeedback) terhadap kondisi klien demi tercapainya tujuan terapi.
Dapat diperhitungkan, maksudnya dalam mengukur kemampuan klien selama penggunaan perangkat virtual reality dan kemajuan yang diperoleh klien.
Suasana virtual dapat dibuat relevan dengan keadaan dunia sebenarnya termasuk dengan aktivitas fungsional yang dilakukan,
Mampu memotivasi keterlibatan klien dan interaksi klien dengan aktivitas yang dilakukan.
Menambahkan kembali dari Lange et al. (2012), adapun terdapat ketentuan-ketentuan software virtual reality yang perlu digunakan dalam rehabilitasi seperti (1) adanya pengaturan sistem agar dapat disesuaikan kepada pengguna, (2) platform atau permainan yang bervariasi, (3) terdapat variasi tema-tema tertentu di tiap platform, (4) adanya rangsangan kontrol yang diberikan (oleh sistem virtual reality), (5) terdapat beragam sudut pandang mode penggunaan dalam platform (first-person, third-person, role-play, dan sebagainya), (6) tampilan yang disajikan sistem, (7) feedback sistem yang ditimbulkan, (8) kemampuan pengguna yang dapat dicatat sebagai data, (9) penggunaan oleh banyak pengguna, (10) adanya kecerdasan buatan yang mendukung dan memberikan tantangan kepada pengguna, (11) serta adanya koneksi jaringan, baik media yang digunakan maupun koneksi dengan pusat sistem utama yang dikendalikan terapis.
Disamping memperhatikan teknis dalam fasilitas, terapis juga perlu memperhatikan masukan dari klien perihal umpan balik (feedback) yang menggunakan virtual reality. Dalam kasus klien stroke pada Lewis et al. (2011), responden menyebutkan dalam memanfaatkan virtual reality ini memberikan tantangan dan perasaan baru kepada mereka, berkesan menunjukkan side effect dibandingkan layanan konvensional dan mencatat bahwa program virtual reality harus memiliki upgrade yang variatif agar dapat memfasilitasi klien dengan lebih baik.
Dalam penggunaan perangkat virtual reality juga diperlukan dan memerhatikan panduan dan petunjuk penggunaan mencegah kesalahan maupun kecelakaan selama penggunaan. Berikut rangkuman petunjuk penggunaan dalam Class VR (2020).
Lakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada perangkat virtual reality Anda sebelum digunakan dan gunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan, ketidaknyamanan penggunaan dan resiko kecelakaan dari perangkat.
Pastikan kondisi Anda benar-bener sehat, tidak memiliki masalah kesehatan utamanya penyakit menular dan beresiko tinggi ketika menggunakan perangkat virtual reality.
Gunakan dengan perangkat virtual reality dengan pengaturan perangkat yang aman dan nyaman bagi Anda.
Batasi waktu penggunaan dalam durasi yang wajar dan aman (anak-anak: tidak lebih dari 15 menit; remaja atau dewasa: tidak lebih dari 30 menit; berikan jeda istirahat 10-15 menit setelah pemakaian).
Setidaknya minta seorang pengasuh maupun pendamping untuk menemani dan mengawasi Anda ketika sedang menggunakan perangkat virtual reality untuk menjamin keamanan dan mencegah resiko kecelakaan (lakukan ini terutama bila Anda merupakan anak-anak maupun lanjut usia).
Bila mengalami keluhan-keluhan setelah menggunakan perangkat, segera hubungi dokter.
Catatan Lebih Lanjut tentang Virtual Reality, Rehabilitasi dan Terapi Okupasi
Keterlibatan virtual reality dalam praktik rehabilitasi dan terapi okupasi juga tercatat dalam beberapa riset yang telah dilakukan. Pada setting pediatri, ditemukan intervensi virtual reality dalam beberapa kondisi seperti autism spectrum disorder, down syndrome, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. Dalam studi Levac et al. (2017) dan Snider, Majnemer & Darsaklis (2010), menunjukkan pengaruh penggunaan virtual reality pada klien dengan cerebral palsy. Penggunaan virtual reality ini dapat membantu klien untuk melatih kemampuan kontrol motorik, keseimbangan berdiri dan bergerak hingga persiapan berjalan, dan tercatat berpengaruh terhadap level plastisitas, masalah motorik dan visual-perseptual anak. Penggunaan virtual reality di rumahdapat meningkatkan ketertarikan dan partisipasi anak cerebral palsy hingga orang tua/pengasuh untuk melakukan terapi dan mendampingi selama terapi di rumah.
Berikutnya dalam Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015) dengan penggunaan media virtual reality di rumah menunjukkan dampak positif pada pola gerak untuk meraih dan kemampuan fungsional tangan pada anak dengan hemiplegiccerebral palsy. Selain itu dalam penanganan virtual reality pada anak dengan acquired brain injury terdapat pengaruh terhadap motivasi, kepuasan bermain (playfulness), partisipasi, keterlibatan hingga kinerja fungsional anak dalam okupasinya (Bart et al., 2011).
Visualisasi penggunaan virtual reality pada klien cerebral palsy – Sumber: Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015)
Selain dalam kondisi anak dengan cerebral palsy, ditemukan juga pengaruh virtual reality pada anak dengan down syndrome dan autism spectrum disorder level tinggi (Wuang et al., 2011; Gal et al., 2015). Virtual reality pada anak dengan down syndrome ditunjukkan memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsi sensori-motor dan disarankan sebagai layanan tambahan di rumah untuk membantu proses rehabilitasi. Pada anak dengan autism spectrum disorder level tinggi menunjukkan virtual reality dapat berperan meningkatkan interaksi sosial khususnya di lingkungan sekolah.
Hal yang sama juga ditemukan pada Stendal & Baladin (2015) bahwa anak dengan autism spectrum disorder terbantu untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya dengan menggunakan dunia virtual melalui virtual reality. Berada dalam virtual reality membawa anak dalam dunia yang menurutnya lebih menerima keberadaannya (daripada lingkungannya di dunia nyata) dan merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan interaksi dengan pengguna lainnya secara virtual. Dalam menerapkan virtual reality dalam setting pediatri (dalam berbagai kondisi klien) terapis perlu menerapkan inklusivitas penggunaan teknologi dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, ketepatan fungsi dan mampu menyesuaikan klien, serta dapat meningkatkan keterlibatan klien, tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sebenarnya dan memperhatikan perkembangan anak (Chantry & Dunford, 2010).
Dalam layanan terapi okupasi menggunakan media virtual reality di area fisik dan dewasa, secara khusus pada masalah neuromuskular terdapat beberapa riset yang mendalami hal tersebut. Berikutnya Mekbib et al. (2020); Wiley, Khattab & Tang (2020); Kong et al. (2016); Rand, Weiss & Katz (2009) tercatat membahas perihal peranan virtual reality pada kondisi stroke. Media virtual reality dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan fungsional alat gerak atas, kinerja okupasi dan partisipasi klien, kemampuan memori dan berpikir klien, kemudian juga menunjukkan manfaat untuk memotivasi dan dapat menjadi metode intervensi yang efektif untuk mengembangkan fungsi eksekutif dan memanajemen kemampuan multitasking/koordinasi dalam tugas (Wiley, Khattab & Tang, 2020; Boone, Wolf & Engsberg, 2019; Rand, Weiss & Katz, 2009).
Namun, pernyataan berlawanan dikatakan oleh Kong et al. (2016) bahwa penanganan dalam 12 sesi menggunakan virtual reality untuk latihan alat gerak atas belum dapat menunjukkan efektivitas yang maksimal pada klien dengan stroke. Maka setelah membaca rangkuman bukti ilmiah di atas, efek terapeutik dari virtual reality juga perlu penyesuaian dan ketentuan terapi yang tepat pada setiap klien.
Dalam kasus lain pada Dalam Cole et al. (2009), menghadapkan pasien pasca amputasi dengan stump kepada penggunaan virtual reality menunjukkan penurunan rasa nyeri yang signifikan ketika mengaplikasikan virtual reality dalam mencobakan kepada prostesis yang akan digunakan. Berikutnya dalam Sharar et al., (2008), pemanfaatan virtual reality digunakan kepada pasien dengan luka bakar (combustio) dalam rehabilitasi menunjukkan dampak yang lebih baik terhadap penurunan perasaan nyeri dan meningkatnya perasaan menyenangkan dibandingkan tanpa virtual reality. Kedua fenomena di atas memanfaatkan virtual reality dengan memanfaatkan virtual reality untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan dalam selama penyesuaian menggunakan prosthesis dan memfasilitasi latihan lingkup gerak sendi area luka kepada rasa menyenangkan dari virtual reality yang sedang digunakan.
Game Whack a Mole ciptaan University of Alberta – Sumber: Liu (2014)
Peran virtual reality juga dapat dijumpai di ranah kesehatan jiwa. Penggunaan virtual reality pada klien dengan resiko obesitas menunjukkan respon tubuh yang cukup baik terhadap latihan (Bacon, Farnworth & Boyd, 2012). Riset lain meneliti peran virtual reality pada klien lansia dengan demensia untuk menerapkan terapi kognitif reminiscence tidak menunjukkan pengaruh yang berarti kepada kemampuan kognitif-memori klien dan ditemukan kontraindikasi ringan berupa keluhan nyeri mata, kepala terasa berat, kecemasan, dan perasaan sensitif (Coelho et al., 2020).Penggunaan virtual reality ini sebetulnya dapat menjadi rekomendasi bagi praktik terapi okupasi di setting kesehatan jiwa, dengan asumsi dapat memberikan keamanan dan variasi program yang lebih adaptif dan partisipatif seperti halnya melakukan aktivitas di realitas sebenarnya. Namun, hal tersebut diperlukan pertimbangan yang tepat dalam menerapkan virtual reality kepada beberapa kondisi klien tentu dengan berdasar pada bukti ilmiah yang kuat, relevan dan memperhatikan safety precaution setiap intervensi.
KESIMPULAN
Berada di zaman kemajuan dan digitalisasi, tantangan pelayanan terapi okupasi untuk bertransformasi melibatkan teknologi dalam pemberian layanan, menjadi catatan bagi kita semua untuk memanfaatkan majunya zaman dengan sebaik-baiknya. Di tengah pencarian dan pengembangan bukti ilmiah yang kuat dari pemanfaatan virtual reality dan teknologi lainnya menjadi pencapaian yang sedang dikejar untuk segera diwujudkan untuk menguatkan kebermanfaatan teknologi untuk dilibatkan sebagai media dalam layanan rehabilitasi, utamanya terapi okupasi.
Semoga menginspirasi, semoga berdampak.
REFERENSI
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Virtual. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/virtual
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Realitas. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/realitas
Bacon, N., Farnworth, L., & Boyd, R. (2012). The Use of the Wii Fit in Forensic Mental Health: Exercise for People at Risk of Obesity. British Journal of Occupational Therapy,75(2), 61-68. doi:10.4276/030802212×13286281650992
Bart, O., Agam, T., Weiss, P. L., & Kizony, R. (2011). Using video-capture virtual reality for children with acquired brain injury. Disability and Rehabilitation,33(17-18), 1579-1586. doi:10.3109/09638288.2010.540291
Berntsen, K., Palacios, R. C., & Herranz, E. (2016). Virtual reality and its uses. Proceedings of the Fourth International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality. doi:10.1145/3012430.3012553
Boone, A. E., Wolf, T. J., & Engsberg, J. R. (2019). Combining Virtual Reality Motor Rehabilitation With Cognitive Strategy Use in Chronic Stroke. American Journal of Occupational Therapy,73(4). doi:10.5014/ajot.2019.030130
Chantry, J., & Dunford, C. (2010). How do Computer Assistive Technologies EnhanceParticipation in Childhood Occupations for Children with Multiple and Complex Disabilities? A Review of the Current Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(8), 351-365. doi:10.4276/030802210×12813483277107
Chen, Y., Garcia-Vergara, S., & Howard, A. M. (2015). Effect of a Home-Based Virtual Reality Intervention for Children with Cerebral Palsy Using Super Pop VR Evaluation Metrics: A Feasibility Study. Rehabilitation Research and Practice,2015, 1-9. doi:10.1155/2015/812348
ClassVR. (2020). Retrieved April 1, 2021, from https://www.classvr.com/health-and-safety/
Coelho, T., Marques, C., Moreira, D., Soares, M., Portugal, P., Marques, A., . . . Fernandes, L. (2020). Promoting Reminiscences with Virtual Reality Headsets: A Pilot Study with People with Dementia. International Journal of Environmental Research and Public Health,17(24), 9301. doi:10.3390/ijerph17249301
Cole, J., Crowle, S., Austwick, G., & Slater, D. H. (2009). Exploratory findings with virtual reality for phantom limb pain; from stump motion to agency and analgesia. Disability and Rehabilitation,31(10), 846-854. doi:10.1080/09638280802355197
Cuthbert, J. P., Staniszewski, K., Hays, K., Gerber, D., Natale, A., & O’Dell, D. (2014). Virtual reality-based therapy for the treatment of balance deficits in patients receiving inpatient rehabilitation for traumatic brain injury. Brain Injury,28(2), 181-188. doi:10.3109/02699052.2013.860475
Gal, E., Lamash, L., Bauminger-Zviely, N., Zancanaro, M., & Weiss, P. L. (2015). Using Multitouch Collaboration Technology to Enhance Social Interaction of Children with High-Functioning Autism. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(1), 46-58. doi:10.3109/01942638.2015.1040572
Galvin, J., & Levac, D. (2011). Facilitating clinical decision-making about the use of virtual reality within paediatric motor rehabilitation: Describing and classifying virtual reality systems. Developmental Neurorehabilitation,14(2), 112-122. doi:10.3109/17518423.2010.535805
James, S., Ziviani, J., King, G., & Boyd, R. N. (2015). Understanding Engagement in Home-Based Interactive Computer Play: Perspectives of Children With Unilateral Cerebral Palsy and Their Caregivers. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(4), 343-358. doi:10.3109/01942638.2015.1076560
Kizony, R., Katz, N., & Weiss, P. L. (2003). Adapting an immersive virtual reality system for rehabilitation. The Journal of Visualization and Computer Animation,14(5), 261-268. doi:10.1002/vis.323
Kong, K., Loh, Y., Thia, E., Chai, A., Ng, C., Soh, Y., . . . Tjan, S. (2016). Efficacy of a Virtual Reality Commercial Gaming Device in Upper Limb Recovery after Stroke: A Randomized, Controlled Study. Topics in Stroke Rehabilitation,23(5), 333-340. doi:10.1080/10749357.2016.1139796
Lange, B., Koenig, S., Chang, C., Mcconnell, E., Suma, E., Bolas, M., & Rizzo, A. (2012). Designing informed game-based rehabilitation tasks leveraging advances in virtual reality. Disability and Rehabilitation,34(22), 1863-1870. doi:10.3109/09638288.2012.670029
Levac, D., Mccormick, A., Levin, M. F., Brien, M., Mills, R., Miller, E., & Sveistrup, H. (2017). Active Video Gaming for Children with Cerebral Palsy: Does a Clinic-Based Virtual Reality Component Offer an Additive Benefit? A Pilot Study. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,38(1), 74-87. doi:10.1080/01942638.2017.1287810
Lewis, G. N., Woods, C., Rosie, J. A., & Mcpherson, K. M. (2011). Virtual reality games for rehabilitation of people with stroke: Perspectives from the users. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,6(5), 453-463. doi:10.3109/17483107.2011.574310
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Moreira, M. C., Lima, A. M., Ferraz, K. M., & Rodrigues, M. A. (2013). Use of virtual reality in gait recovery among post stroke patients – a systematic literature review. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,8(5), 357-362. doi:10.3109/17483107.2012.749428
Rand, D., Weiss, P. L. (T.), & Katz, N. (2009). Training multitasking in a virtual supermarket: A novel intervention after stroke. American Journal of Occupational Therapy, 63, 535–542.
Rose, T., Nam, C. S., & Chen, K. B. (2018). Immersion of virtual reality for rehabilitation – Review. Applied Ergonomics,69, 153-161. doi:10.1016/j.apergo.2018.01.009
Slater, M., Linakis, V., Usoh, M., Kooper, R., 1996. Immersion, presence, and performance in virtual environments: an experiment with tri-dimensional chess. In: Proceedings of the 3rd {ACM} Symposium on Virtual Reality Software and Technology ({VRST} 1996), Hong Kong, China, pp. 163–172 10.1.1.34.6594.
Smith, R. O. (2017). Technology and Occupation: Past, Present, and the Next 100 Years of Theory and Practice. American Journal of Occupational Therapy,71(6). doi:10.5014/ajot.2017.716003
Snider, L., Majnemer, A., & Darsaklis, V. (2010). Virtual reality as a therapeutic modality for children with cerebral palsy. Developmental Neurorehabilitation,13(2), 120-128. doi:10.3109/17518420903357753
Stendal, K., & Balandin, S. (2015). Virtual worlds for people with autism spectrum disorder: A case study in Second Life. Disability and Rehabilitation,37(17), 1591-1598. doi:10.3109/09638288.2015.1052577
Weiss PL, Katz N. The potential of virtual reality for rehabilitation. J Rehabil Res Dev. 2004 Sep; 41(5) : vii-x. PMID: 15558392.
Wiley, E., Khattab, S., & Tang, A. (2020). Examining the effect of virtual reality therapy on cognition post-stroke: A systematic review and meta-analysis. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 1-11. doi:10.1080/17483107.2020.1755376
Wuang, Y., Chiang, C., Su, C., & Wang, C. (2011). Effectiveness of virtual reality using Wii gaming technology in children with Down syndrome. Research in Developmental Disabilities,32(1), 312-321. doi:10.1016/j.ridd.2010.10.002