Penelitian tentang terapi pada kasus neurodevelopmental disorder terus berkembang tahun ke tahun. Banyak peneliti berusaha untuk menemukan cara terbaik untuk menangani gangguan yang mendasari gangguan neurodevelopmental. Gangguan neurodevelopmental adalah disabilitas yang terkait dengan fungsi sistem neurologis dan otak. Umumnya terjadi pada perkembangan awal dan ditandai dengan defisit perkembangan yang mengakibatkan gangguan fungsi seseorang, sosial, akademik, atau pekerjaan. Secara luas defisit gangguan berkisar mulai dari keterbatasan keterampilan belajar atau komunikatif, hingga yang lebih spesifik adalah gangguan global, interaksi sosial atau fungsi intelektual (American’s Children and the Environment (2015) & Ahn (2017)).
Meskipun gangguan Neurodevelopmental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder (ASD) Intellectual Disabilty, Cerebral Palsy dan lain-lain umumnya terjadi saat masa kecil namun kondisinya dapat terus ada seumur hidup. Saat ini, perawatan yang tersedia seperti fisioterapi, terapi okupasi, terapi perilaku, intervensi psikologi, terapi wicara dan intervensi farmakologi hanya fokus pada meringankan gejala gangguan ini dan tidak mengatasi neuropathophysiology yang mendasarinya (Sharma, et al., 2017). Para ilmuwan saat ini pun sedang mengembangkan penggunaan stem sel sebagai terapi karena stem sel diyakini dapat menjadi pilihan lain yang menjanjikan untuk menyembuhkan penyakit.
Apa itu stem sel?
Stem sel menjadi topik yang banyak dibicaran tahun-tahun terakir ini di dunia medis. Stem sel atau ratu dari semua sel (Queen of all cells) adalah sel yang bersifat pleuropoten dan memiliki potensi luar biasa untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda dalam tubuh tanpa memiliki batas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Secara fundamental stem sel tidak memiliki struktur jaringan spesifik yang dapat membentuk fungsi spesifik tertentu. Namun bila dapat dikembangkan ke dalam fungsi spesifik, hal itulah yang dapat dimanfaatkan dalam dunia medis untuk membentuk sel otot jantung, sel darah dan sel saraf (Hassan, Hassan, G., & Rasool, 2009).
Stem sel ada di hampir setiap jaringan manusia, di dalam embrio, mereka berdiferensiasi ke semua jaringan dan organ tubuh, dan pada manusia yang berkembang sepenuhnya stem sel menyediakan kapasitas pembaruan di sebagian besar organ. Stem sel memiliki berbagai bentuk dan masing-masing memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut mengacu pada kemampuan stem sel untuk mereplikasi dan berdiferensiasi ke dalam tipe sel yang berbeda (Alessandrini, et al., 2019).
Bagaimana Mekanisme Stem Sel Pada Kasus Neurodevelopmental Disorder?
Beberapa tipe atau jenis stem sel ditemukan untuk treatment gangguan neurologis seperti bone marrow stem cells, embryonic stem cells, olfactory ensheathing cells dan umbilical cord blood cells (Sharma, et al., 2017). Tujuan dari terapi stem sel adalah untuk menempatkan sel terapeutik ke daerah sel yang terganggu / rusak di dalam otak, untuk merangsang perbaikan dan memelihara jaringan melalui efek parakrin (memberikan sinyal dari sel ke sel lain) , dan bahkan berpotensi untuk menghasilkan neuron baru (meskipun untuk menghasilkan neuron baru kemungkinan terjadinya lebih kecil) (Alessandrini, et al., 2019).
Saat stem sel ditransplantasikan, stem sel akan bermigrasi dan pergi ke area otak yang terdapat gangguan Kemudian dipasangkan dengan faktor pertumbuhan (growth factors), chemokine dan reseptor matriks ekstraseluler pada permukaan sel seperti stromal cell-derived factor 1 (SDF‑1), monocyte chemo attractant protein‑3 (MCP‑3), stem cell factor (SCF) dan/atau IL‑8. Mereka kemudian berdiferensiasi ke dalam sel jaringan inang dan mengganti jaringan neuronal yang rusak atau mati. Melalui mekanisme parakrin mereka menghentikan cedera lebih lanjut dan merangsang sel-sel endogen untuk melakukan proses perbaikan dan pemulihan.
Kemudian stem sel mengeluarkan beragam faktor pertumbuhan neuroprotektif termasuk faktor neurotrofi yang berasal dari otak (Brain‐Derived Neurotrophic Factor), faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor), neurotrophin-3 (NT‑3), garis sel glial – faktor neurotrofi yang diturunkan (glial cell line–derived neurotrophic factor) dan insulin seperti growth factor tipe 1. Faktor-faktor pertumbuhan ini mengaktifkan sejumlah jalur sinyal dan membantu dalam meningkatkan diferensiasi, kelangsungan hidup sel saraf dan mempertahankan fungsi persarafan.
Mereka juga menghasilkan vaskular endothelial growth factor (VEGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF‑2) yang meningkatkan aliran darah dan meningkatkan angiogenesis (perkembangan sel darah baru). Faktor parakrin anti-inflamasi seperti Interleukin 10 (IL 10) dan Transforming growth factor (TGF)-β membantu dalam imunomodulasi (Sharma, et al., 2017).

Stem Sel Pada Pada Kondisi Autisme, Cerebral Palsy dan Intellectual Disability
Stem sel pada Autisme
Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al., (2013) tentang stem sel untuk anak dengan autism, dengan jumlah responden 32 anak autism dan dilakukan follow-up selama 26 bulan dengan menggunakan pemeriksaan Childhood Autism Rating Scale (CARS), Indian Scale for Autism Assessment (ISAA), Clinical Global Impression (CGI) dan Functional Independence Measure (FIM/Wee‐FIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 dari 32, (91%) anak mengalami peningkatan pada pemeriksaan ISAA, dan 20 (62%) anak mengalami penurunan yang cukup signifikan pada pemeriksaan CGI-I dan pada pemeriksaan CGI-II 96% anak menunjukan perkembangan secara menyeluruh.

Stem Sel pada Cerebral Palsy
Patologis utama dari cerebral palsy adalah kerusakan pada white matter. Stem sel pada cerebral palsy bertujuan untuk memperbaiki dan menggantikan white matter yang rusak. Penelitian tentang terapi stem sel pada cerebral palsy sudah banyak dilakukan. Dua puluh enam Studi yang telah dipublikasikan menunjukan 90% anak menunjukan perkembangan setelah terapi stem sel (Sharma, et al., 2017). Kemudian studi yang dilakukan oleh Sharma, et al,. (2015) berjudul A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients menunjukan 38 dari 40 responden (95%) menunjukan perkembangan dan 2 lainnya menunjukan hasil stabil tanpa ada penurunan.

Stem Sel pada Intellectual Disability
Pada kasus intellectual disability stem sel berfungsi untuk mengembalikan sinaptik penghubung yang terputus dan memberikan reinnervasi lokal ke area yang terkena dampak. Selain itu juga stem sel berfungsi mengintegrasikan jaringan saraf dan sinaptik yang ada dan membangun kembali koneksi sel-sel afferent fungsional dan efferent yang mungkin telah berkontribusi dalam memulihkan defisit kognitif dan fungsional pada ID (Kang H & Schuman EM (1995) dalam Sharma, et al., (2017)).
Studi yang dilakukan Sharma, et al., (2015) tentang stem sel pada mental retardasi (MR) dimana laporan menunjukan bahwa responden (seorang anak laki-laki) berusia 13 tahun dengan cacat intelektual yang menunjukkan peningkatan setelah terapi stem sel. Dia ditindak lanjuti setelah 3 dan 6 bulan intervensi. Tidak ada peristiwa buruk terjadi pasca intervensi. Selama 6 bulan, ia menunjukkan peningkatan kontak mata, kognisi, kemampuan belajar, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Skornya pada Pengukuran Kemandirian Fungsional (FIM) meningkat dari 67 menjadi 76. Selain itu juga pada pra dan pasca PET-CT scan, menunjukkan peningkatan aktivitas metabolisme hippocampus, amygdala kiri dan cerebellum. Perubahan ini berkorelasi dengan hasil fungsional.
Kesimpulan
Terapi stem sel merupakan inovasi teknologi yang memiliki efek penyembuhan pada gangguan “neurologi” kondisi neurodevelopmental disorders, namun, faktor “perkembangan” juga mempengaruhi plastisitas otak dan maturasi sel. Gabungan antara stem sel dan intervensi rehabilitasi diasumsikan memiliki efek pemulihan dan perkembangan yang lebih baik. Oleh karena itu, studi lanjut diperlukan untuk mengetahui efek gabungan antara terapi stem sel dan intervensi rehabilitasi terutama pada gangguan neurodevelopmental disorders.
Referensi
American’s Children and the Environment.(2015). Neurodevelopemntal Disorder. EPA Govermen Production. USA https://www.epa.gov/sites/production/files/2015-10/documents/ace3_neurodevelopmental.pdf
Ahn, D. H. (2016). Introduction: neurodevelopmental disorders. Hanyang Medical Reviews, 36(1).
Sharma, A., Sane, H., Gokulchandran, N., Badhe, P., Kulkarni, P., Pai, S., … & Paranjape, A. (2017). Stem cell therapy in pediatric neurological disabilities. Physical Disabilities-Therapeutic Implications, 117.
Hassan, A. U., Hassan, G., & Rasool, Z. (2009). Role of stem cells in treatment of neurological disorder. International journal of health sciences, 3(2), 227.
Alessandrini, M., Preynat-Seauve, O., De Bruin, K., & Pepper, M. S. (2019). Stem cell therapy for neurological disorders. South African Medical Journal, 109(8 Supplement 1), S71-S78. https://www.icddelhi.org/Stem_cell_therapy.html
Sharma A, Gokulchandran N, Sane H, Nagrajan A, Paranjape A, et al. Autologous bone marrow mononuclear cell therapy for autism – An open label proof of concept study. Stem Cells International. 2013;2013:13 pages. Article ID 623875.
Sharma A, Sane H, Gokulchandran N, Kulkarni P, Gandhi S, et al. A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients: a new frontier. Stem Cells International. 2015;2015:11 pages. Article ID 905874
Sharma A, Sane H, Paranjape A, Gokulchandran N, Kulkarni P, Nagrajan A, Badhe P. Positron emission tomography–computer tomography scan used as a monitoring tool following cellular therapy in cerebral palsy and mental retardation – A case report. Case Reports in Neurological Medicine. 2013;2013:6 pages. Article ID 141983