Peran Terapi Okupasi pada Peristiwa Bencana Alam

Gambar oleh Angelo Giordano dari Pixabay

Bencana alam merupakan fenomena yang sering terjadi yang terkadang tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya. Setiap tahunnya Indonesia mengalami peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, longsor, tsunami hingga gunung meletus dikarenakan Indonesia sendiri berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas seismik). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.205 bencana alam terjadi dari 1 Januari 2021 hingga 30 April 2021 (Liputan 6, 2021).

Tidak hanya mengalami kehilangan harta dan benda, seseorang bahkan dapat mengalami luka fisik seperti luka-luka, patah tulang, Traumatic Brain Injury (TBI)  hingga luka psikis seperti trauma dan depresi pasca bencana alam yang dapat berimplikasi pada kehidupan keseharian seseorang seperti pada aktivitas sehari-hari, pekerjaaan hingga sosial (AOTA, 2008).

Gambar oleh Rafael Urdaneta Rojas dari Pixabay

Apakah Peran Terapi Okupasi pada Bencana Alam?

Dalam peristiwa bencana alam Terapis Okupasi harus dilibatkan dalam semua tahap penanggulangan bencana baik di tingkat lokal maupun nasional. Keterlibatan ini dimulai dari pasca bencana hingga rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk perencanaan dan persiapan (WFOT, 2014). Terapis okupasi berperan dalam tiga tahap situasi emergensi pada peristiwa bencana alam yaitu kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan.

Mitigasi bencana (Kesiapsiagaan)

Peristiwa bencana alam terkadang tidak dapat terprediksi kapan terjadinya. Maka dari itu perencanaan yang matang sangat diperlukan. Seorang terapis okupasi dalam disaster preparation memiliki peran  mengembangkan pengetahuan dan kapasitas pada level komunitas local, nasional hingga internasional untuk mengantisipasi dan merespon secara tepat terhadap bahaya atau resiko dari peristiwa bencana alam dan dampak yang menyertai, seperti dampak sosial, politik, ekonomi dan lingkungan serta berfokus terhadap ancaman yang akan dihadapi di waktu dekat maupun di masa mendatang (Rushford & Thomas, 2015).

Dalam praktiknya seorang terapis okupasi harus bekerjasama dengan stakeholder atau pemegang kebijakan di daerah tersebut untuk menjangkau seluruh masyarakat. Salah satu peran kesiapsiagaan yang dapat dilakukan terapis okupasi adalah menggunakan keahlian di bidang-bidang seperti merancang tempat penampungan berkebutuhan khusus yang aksesibel seperti mendesain ramp untuk pengguna kursi roda, mendesain kamar mandi darurat yang aksesibel dan membentuk staf pelatihan dan sukarelawan dalam membantu penyandang disabilitas selama masa krisis (AOTA, 2008).

Edukasi Kebencanaan sebagai Bentuk Mitigasi (Img. lipi.go.id)

Selain pada tingkat kelompok masyarakat, kesiapsiagaan bencana juga dapat menjadi intervensi okupasi terapi pada tingkat keluarga atau individu. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang rentan, seperti difabel atau anak berkebutuhan khusus, dapat mempersiapkan kegawatdaruratan melalui peningkatan pemahaman individu difabel dan anak akan terjadinya bencana (seperti misalnya banjir) melalui storytelling maupun roleplaying.

Supply kits berupa medikasi, alat transportasi, alat kesehatan seperti tabung oksigen, makanan yang sesuai diet individu dapat disiapkan dalam bentuk cadangan dengan memperhatikan kadaluarsa.

Respon Bencana

Pada tahapan ini adalah ketika peristiwa bencana alam terjadi. Seorang terapis okupasi ikut serta dalam memberikan layanan darurat dan bantuan publik, selama atau segera setelah kejadian peristiwa bencana alam yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, mengurangi dampak bencana, memastikan keselamatan masyarakat dan berfokus pada kebutuhan jangka pendek dan mendesak.

Merespon Bencana Alam (Img. ifaw.org)

Dalam praktiknya, terapis okupasi dapat berperan dalam mengelola tempat penampungan masyarakat berkebutuhan khusus, memfasilitasi support group untuk mengurangi kecemasan pengungsi, dan memberikan layanan dukungan kesehatan mental kepada korban dan personel militer. Selain itu juga terapis okupasi dapat membantu tenaga medis lainnya dalam mengidentifikasi korban luka-luka atau hilang (Rushford & Thomas (2015); AOTA (2008)).


Pemulihan Pasca Bencana

Pemulihan Bencana dari Segi Infrastruktur (Img. kompas.com)

Setelah peristiwa bencana alam terjadi, proses pemulihan adalah tahapan yang membutuhkan waktu lama. Dalam tahapan ini terapis okupasi berkontribusi dalam upaya pemulihan (recovery), melakukan perbaikan (rehabilitation) dan pembangunan kembali (reconstruction) terhadap kegiatan dan rutinitas masyarakat yang terganggu.

Korban bencana perlu mengembangkan keterampilan dirinya untuk menangani dampak dari pengalaman yang mereka lalui. Dengan melibatkan penyintas bencana dalam aktivitas bermakna, penyintas bencana dapat merestrukturisasi rutinitas mereka untuk mengatasi stres dan rasa cemas (AOTA, 2008).

Rumah Tahan Gempa (Img. rumah.com)

Dalam seminar internasional tentang Occupational Therapy in Post-Disaster Relief (2008) di Jerman, memaparkan bahwa dalam praktiknya terapis okupasi dapat melakukan asesmen situasional kepada masyarakat yang terdampak bencana alam dengan cara melihat kebutuhan dan kapasitas masyarakat secara langsung, kemudian merencanakan projek ke depan secara objektif dan melakukan evaluasi di kemudian hari. Kemudian terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan oleh terapis okupasi dalam situasi post-bencana alam yaitu:

Menggunakan Pendekatan Bio-Psycho-Social

Dalam implementasinya terapis okupasi berfokus terhadap sumber daya yang ada, penguatan kapasitas diri masyarakat, menyediakan dukungan dan menciptakan keserasian dengan masyarakat. Kemudian terdapat tiga hal yang dapat dievaluasi dan dilakukan tindakan intervensi oleh terapis okupasi dengan pendekatan ini, yaitu:

  1. Body function (seperti melakukan rehabilitasi tangan, melakukan pelatihan fungsional klien untuk memaksimalkan ADL),
  2. Activity (meliputi pelatihan vokasional, memberikan permainan untuk anak-anak yang terdampak sebagai aktivitas yang bermakna),
  3. Partisipasi (seperti melakukan terapi kelompok, aktivitas olahraga dan pemanfaat waktu luang).
Trauma Healing Pasca Bencana (Img. jabar.tribunnews.com/)

The Kawa Model (Pendekatan Terapis Okupasi Secara Komprehensif)

Kawa, berarti sungai dalam Bahasa jepang yaitu model yang dikembangkan oleh terapis okupasi asal Jepang Michael K. Iwama, merupakan model terbaru dengan perspektif orang timur dan menggunakan sungai sebagai metafora jalur kehidupan dan occupation yang mana dapat diimplementasikan pada situasi bencana alam.

Kawa Model (Img Google.com)

Air yang berarti adalah energi kehidupan, pinggiran sungai dan dasaran sungai yang berarti kehidupan sosial dan lingkungan fisik klien, batu yang berarti masalah dan tantangan kehidupan, kayu yang mengapung berarti aset dan kewajiban personal, ruang (space) aktivitas keseharian dan partisipasi.

Kawa model sangat berguna dalam promosi pendekatan secara client-centered, membuat prioritas dan mengevaluasi hasil intervensi, interprofessional teamwork dan mendukung klien dalam proses adaptasinya setelah peristiwa bencana alam yang dialami.

Dalam pelaksanaannya terapis okupasi dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan cara menggunakan assistive devices, menciptakan lingkungan yang aksesibel dan sikap positif terhadap konteks sosial dan personal .


Kesimpulan 

Tidak ada satupun negara didunia yang terhindar dari bencana alam begitu pula Indonesia. Terapis okupasi menjadi salah satu tenaga kesehatan yang diperhitungkan untuk terlibat dalam peristiwa bencana alam baik dalam mitigasi bencana hingga post-disaster.

Dalam pelaksanaanya terapis okupasi harus bekerja dengan tenaga profesi lain, stakeholder dan masyarakat. Menggunakan pendekatan yang berfokus terhadap komunitas dan masyarakat, diharapkan terapis okupasi dapat membantu masyarakat menjalankan kehidupan secara sepenuhnya setelah peristiwa buruk yang dilalui.

Referensi

International Seminar (2008). Occupational therapy in post-disaster relief. Rheinsberg, Germany.

Liputan6.com News (2021). BNPB: 1.205 Bencana Alam Terjadi Sejak 1 Januari hingga 30 April 2021. https://www.liputan6.com/news/read/4547346/bnpb-1205-bencana-alam-terjadi-sejak-1-januari-hingga-30-april-2021

Rushford, N., & Thomas, K. (Eds.). (2015). Disaster and development: An occupational perspective. Elsevier Health Sciences.

World Federation of Occupational Therapists. (2014). Occupational Therapy in Disaster Preparedness and Response (DP&R). https://www.wfot.org/resources/occupational-therapy-in-disaster-preparedness-and-response-dp-r 

Yamkovenko, S., 2008. Occupational Therapy’s Role in Disaster Relief. [online] Aota.org. Available at: <https://www.aota.org/About-Occupational Therapy/Professionals/MH/Articles/Disaster-Relief.aspx> [Accessed 17 June 2022].

Instagram