Memelihara Kesehatan Penyintas Stroke Melalui Berkebun

Berkebun dengan Menyenangkan – Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Dalam memberikan pelayanan kepada klien, terapis okupasi berfokus pada okupasi klien. Profil klien digunakan sebagai bahan pertimbangan seorang terapis okupasi untuk memilih  aktivitas yang memberikan manfaat yang terapeutik (occupation as a means), dan aktivitas yang menjadi tujuan (occupation as goals). Berpusat pada klien menurut Fisher (2019), dilakukan secara kolaboratif antara klien dan terapis, dimana terapis menggunakan pertimbangan klinisnya untuk menyusun intervensi. Menyusun aktivitas bertujuan untuk klien stroke mengikuti minat tanpa menghilangkan sifat terapeutik bagi individu tersebut. Berkebun merupakan salah satu aktivitas yang unik dan banyak diminati oleh masyarakat saat ini. Melalui occupational-based practice, berkebun bisa menjadi aktivitas yang bermakna dan terapeutik bagi individu yang melakukannya.


Mengulik Berkebun

Berkebun, bukan hanya tentang aktivitas fisik yang dilakukan dalam pola dan tahap aktivitas dari menyiapkan, mengelola tanah dan tanaman, menyiram; memandang secara filosofis dari Heliker, Chadwick & O’Connel (2001), berkebun merupakan sarana menghubungkan manusia dengan alam dalam konteks hubungan antar-makhluk hidup. Berkebun memiliki makna, menjadi ruang inspirasi dan harapan untuk keberlanjutan hidup yang baru bagi sang perawat kebun. Melalui berkebun, rasa menyayangi dan merawat serta keinginan kembali produktif muncul kembali bersamaan dengan rasa kepemilikan dari individu terhadap dirinya dan kendali hidupnya. 

Melihat data dari populasi di Inggris oleh Brindley, Jorgensen & Maheswaran (2018) menunjukkan masyarakat yang memiliki dan merawat kebun dengan ukuran sedang dan besar cenderung lebih mendapat dampak positif kepada kesehatan daripada yang memiliki kebun luasan kecil. Ditambahkan dari populasi di Amerika Serikat menunjukkan kebiasaan berkebun di rumah memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap well-being pada sebagian kategori sampel masyarakat, utamanya pada perempuan dewasa (Ambrose, Das, Fan & Ramaswami, 2020). 

Berkebun memiliki banyak pengaruh positif secara fisik, mental/psikologis maupun sosial (Thompson, 2018). Berkebun memfasilitasi penyaluran energi tubuh, melatih fungsi koordinasi, persepsi dan aktivasi gerak otot sendi selama melakukan aktivitas berkebun. Selain itu, paparan multi-sensory dari sinar matahari pagi, udara alam, suara burung-burung, lalu-lalang kendaraan selama berkebun memberikan dampak menenangkan, informasi dan kesadaran terhadap lingkungan sekitar dan dampak pendukung lainnya terhadap rasa optimisme dan positivity pada kegelisahan, kecemasan, stress yang barangkali juga dirasakan. Kingsley, Foenander & Bailey (2019) dalam kasus klub berkebun di Australia, menunjukkan adanya pengaruh terhadap rasa saling terhubung satu sama lain yang kian terbentuk, menurunnya tingkat stress akibat rutinitas perkotaan, membentuk identitas dan rasa memiliki terhadap tanaman milik mereka (dalam merawat & melindungi tanaman-tanaman mereka). Melalui berkebun, terlebih dilakukan di luar rumah maupun berkelompok mampu menyediakan kesempatan untuk berpartisipasi sosial dalam masyarakat.


Bagaimana Dampak Berkebun Terhadap Sosial, Kesejahteraan Hidup dan Partisipasi Klien?

Layanan berkebun dikatakan memiliki manfaat besar dalam meningkatkan kebugaran fisik, kepuasan dan kualitas hidup pada sebagian populasi, termasuk penyintas stroke. Dalam riset Sommerfeld, Waliczeck & Zajicek (2010) dan Ho, Lin & Kuo (2016) menyebutkan layanan dan penerapan kegiatan berkebun menunjukkan peningkatan nilai dalam pemeriksaan kebugaran tubuh dan kualitas hidup. 

Peningkatan dalam pemeriksaan kebugaran tubuh ditunjukkan dengan kondisi kemampuan tubuh yang menunjukkan perubahan berbeda antara data sebelum, selama dan sesudah layanan berkebun diselesaikan, kemampuan kognitif yang dirasa lebih baik, perasaan bahagia karena banyak kontak dengan stimulan sensorik di kebun, mampu melakukan kegiatan oleh dirinya sendiri. Peningkatan kualitas hidup ditunjukkan dengan adanya kepuasan oleh penyintas terhadap dampak yang dirasakan, kepercayaan diri yang meningkat, beban psikologis yang menurun dan rasa terlibat/berpartisipasi dalam kegiatan & realita, baik secara mandiri maupun berkelompok.

Kondisi pada penyintas stroke terkadang tidak menentu, bukan? Melalui kegiatan berkebun, baik dengan motivasi tinggi maupun rendah, penyintas dapat terfasilitasi dengan sebaik-baiknya dengan variasi kegiatan yang berjenjang agar manfaatnya dapat terasa ‘satu demi satu’. Melalui Leaver & Wiseman (2016) dengan mengunjungi kebun, penyintas mendapatkan berbagai manfaat dalam menghargai keadaan saat ini, sebagai tempat mengekspresikan diri, tempat berbagi cerita, mengobrol dan terhubung dengan dunia luar kembali. 


Bagaimana Mengaplikasikan Berkebun sebagai Sarana Intervensi?

Dalam mengimplementasikan layanan berkebun pada penyintas stroke, kiranya terapis okupasi perlu memerhatikan rangkaian hal berikut: 

1. Profil Okupasi Klien

Dalam memulai layanan berkebun, terapis okupasi memerlukan kajian yang komprehensif dan analitik di awal terkait profil medis dan okupasi klien. Memahami limitasi dan aset yang dimiliki klien dapat menjadi rambu-rambu bagi terapis dalam menyikapi prioritas masalah klien dan tujuan terapi okupasi yang menjadi tujuan. Kiranya, tindakan terapi okupasi dengan layanan berkebun ini dapat dilakukan secara tepat, bertujuan dan membuat klien terlibat serta partisipasi aktif.

Adapun dalam Patil, Asbjornslett, Aurlien & Levin (2019) menyebutkan alasan-alasan yang mendasari terapis okupasi menggunakan berkebun sebagai sarana terapi, di antaranya: 

  1. Apakah/Bagaimana-agar klien mampu terlibat dalam terapi nantinya? 
  2. Apakah/Manakah aktivitas yang saya rekomendasikan dikuasai oleh klien?
  3. Apakah klien dapat menemukan momen menenangkan baginya?
  4. Bagaimana klien dapat menghubungkan aktivitas ini dengan pengalaman masa lalu atau pengalaman yang telah ia kuasai?
  5. Dapatkah klien membagikan pengalaman dan harapannya kepada rekan kelompoknya, keluarga maupun orang lain?

2. Analisis Aktivitas

Dalam berkebun, perlu dipahami bahwa kegiatan memiliki 2 jenis metode: lahan khusus & tanam pot. Dengan menentukan salah satu dari 2 kegiatan ini, berikutnya terapis okupasi diharapkan untuk menimbang poin-poin berikut: 

  1. Safety Precaution – Faktor keamanan dan pengendalian resiko dengan mempertimbangkan profil medis dan okupasi klien.
  2. Alat Bahan – Menyesuaikan kebutuhan dari jenis kegiatan.
  3. Lingkungan – Setting lingkungan (fisik) termasuk menjadi perhatian juga dalam merancang aktivitas yang sesuai untuk memfasilitasi klien agar lebih fleksibel dan aman; (bila diperlukan) dapat dilakukan dengan memperlebar akses, menyiapkan handrail dan kursi.
  4. Pelaku Kegiatan; Adakah selain klien dan terapis yang ikut dilibatkan, dilakukan dengan berkelompok atau mandiri.
  5. Langkah Aktivitas; Menentukan langkah aktivitas diperlukan analisis dengan menyesuaikan antara tahapan aktivitas dan kebutuhan performance klien, misalnya: bidang & pola gerak apa, otot apa yang berfungsi, adakah karakteristik flaccid atau spastik, adakah gangguan somatosensorik dan sebagainya.

3. Manajemen Ergonomi Pasien

  • Pengaturan Posisi Pengerjaan
    • Positioning klien perlu diperhatikan ketika mengerjakan langkah-langkah aktivitas, begitupula terapis. Pada dasarnya pengaturan posisi ini demi keamanan dan kenyamanan klien, juga untuk menyesuaikan terhadap pola gerak yang dilakukan di setiap langkah aktivitas dan dapat juga bertujuan dalam stimulasi balance, sikap duduk/berdiri yang tepat maupun respon protektif. 
  • Penggunaan Alat Bantu Bila Diperlukan
    • Pertimbangan alat bantu (assistive technology) ini dapat dilakukan bila klien benar-benar membutuhkan. Alat bantu yang dapat digunakan dapat berbagai macam, misalnya: preacher, forearm grip gardening tool set.
Contoh Alat Bantu yang dapat Dimanfaatkan
Contoh Alat Bantu yang dapat Dimanfaatkan (http://rotarybotanicalgarden.com)

Perempuan Berkebun dengan Kursi Duduk Beroda
Perempuan Berkebun dengan Kursi Duduk Beroda (http://pinterest.com)

Dapat kita simpulkan bahwa layanan terapi okupasi melalui aktivitas berkebun dapat menjadi rekomendasi resep layanan yang memenuhi aspek occupation-based dan tepat untuk klien penyintas stroke, baik implementasinya dalam bentuk aktivitas mandiri maupun secara berkelompok.

Bila dengan melihat faktor sosial budaya bumi Indonesia yang rata-rata masyarakat (khususnya generasi tua, masyarakat pedesaan) gemar melakukan gerakan menanam, ditambah mulai kembali booming-nya gerakan menanam di masa pandemi ini dapat menjadi satu aset yang dapat menjadi pertimbangan untuk melibatkan klien pada aktivitas berkebun, pun bila perlu membuat kebiasaan baru dalam memelihara lingkungan kepada klien. Pada populasi lainnya, aktivitas berkebun ini seringkali diterapkan pula pada kelompok lansia maupun penyintas gangguan kesehatan jiwa (Skizofrenia, Demensia, Alzheimer dan sebagainya).

Tertarik menerapkan? Semoga bermanfaat!

Referensi :

Brindley, P., Jorgensen, A., & Maheswaran, R. (2018). Domestic gardens and self-reported health: A national population study. International Journal of Health Geographics, 17(1). doi: 10.1186/s12942-018-0148-6

Fisher, A. G., & Marterella, A. (2019). Powerful practice: A model for authentic occupational therapy. Fort Collins, CO: Center for Innovative OT Solutions.

Heliker, D., Chadwick, A., & Oconnell, T. (2001). The Meaning of Gardening and the Effects on Perceived Well Being of a Gardening Project on Diverse Populations of Elders. Activities, Adaptation & Aging, 24(3), 35-56. doi: 10.1300/j016v24n03_03

Howarth, M., Brettle, A., Hardman, M., & Maden, M. (2020). What is the evidence for the impact of gardens and gardening on health and well-being: A scoping review and evidence-based logic model to guide healthcare strategy decision making on the use of gardening approaches as a social prescription. BMJ Open, 10(7). doi: 10.1136/bmjopen-2020-036923

Kingsley, J., Foenander, E., & Bailey, A. (2019). “You feel like you’re part of something bigger”: Exploring motivations for community garden participation in Melbourne, Australia. BMC Public Health, 19(1). doi: 10.1186/s12889-019-7108-3

Leaver, R., & Wiseman, T. (2016). Garden visiting as a meaningful occupation for people in later life. British Journal of Occupational Therapy, 79(12), 768-775. doi: 10.1177/0308022616666844

Patil, G., Asbjørnslett, M., Aurlien, K., & Levin, N. (2019). Gardening as a Meaningful Occupation in Initial Stroke Rehabilitation: An Occupational Therapist Perspective. The Open Journal of Occupational Therapy, 7(3), 1-15. doi: 10.15453/2168-6408.1561

Thompson, R. (2018). Gardening for Health: A Regular Dose of Gardening. Clinical Medicine, 18(3), 201-205. doi: 10.7861/clinmedicine.18-3-201

Definisi Terapi Okupasi: Selalu Menarik untuk Dibahas

Terapis Okupasi adalah profesi yang unik!

Mendefinisikan profesi ini, tidak semudah mendefinisikan profesi kesehatan lainnya, yang bisa kita maknai dari sebutannya. Saking uniknya, bahkan banyak negara memiliki sebutan definisi masing-masing. (Lihat: gambar ilustrasi)

Menurut Kementerian Kesehatan R.I tahun 2014 yang tertuang didalam Standar Layanan Terapi Okupasi, Terapi Okupasi adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada klien dengan kelainan/kecacatan fisik dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada kinerja okupasional, dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang.

Kata kuncinya adalah pada istilah “occupational”, atau kemudian dialihbahasakan menjadi okupasi. yang menurut beberapa sumber, berarti “berhubungan dengan pekerjaan”. Makna okupasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia memang belum mewakili kata okupasi yang disepakati oleh para pioneer Terapis Okupasi di Indonesia.

Menurut Japanese Association of Occupational Therapists (2018), Okupasi merupakan aktivitas yang dibutuhkan seseorang, diinginkan, atau diharapkan, dan memiliki tujuan dan makna untuk  masing-masing individu, meliputi aktivitas sehari-hari seperti aktivitas rutin, kegiatan rumahtangga, bekerja, hobi, bermain, interaksi antarpersonal, dan istirahat; dan adanya komponen fisik dan mental dalam aktivitas tersebut.

Sedangkan Terapi Okupasi adalah terapi yang berfokus pada okupasi, berfokus pada okupasi, bimbingan dan dukungan disediakan di berbagai bidang seperti perawatan medis, kesehatan masyarakat, kesejahteraan, pendidikan dan pekerjaan, dengan tujuan mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan manusia.

Terapi Okupasi berpijak pada prinsip dasar dan bukti akademik bahwa kesehatan dan kesejahteraan bisa diperoleh melalui okupasi. Sehat saja tidak cukup ya, harus bahagia sejahtera, istilah kerennya health and wellbeing menurut WHO.

Nah, Canadian Association of Occupational Therapists (2019), menyediakan definisi yang mudah dipahami, bahwa, Terapi Okupasi merupakan layanan kesehatan yang membantu masalah yang menghalangi kemampuan seseorang untuk melakukan hal yang penting, berhubungan dengan keseharian, seperti:

Perawatan diri– berpakaian, makan, bergerak disekitar rumah

Melakukan hal produktif – kesekolah atau bekerja, berpartisipasi dalam masyarakat

Pemanfaatan waktu luang– olahraga, berkebun, aktivitas sosial.

Okupasi terapi juga dapat mengantisipasi masalah tersebut datang, atau meminimalkan efeknya.

Pada praktiknya terapis okupasi dapat bekerja di berbagai setting baik dalam kesehatan maupun kemasyarakatan: dalam keluarga, rumah sakit, rumah sakit khusus, rumah sakit jiwa, klinik tumbuh tembang, klinik neurologi, klinik pelayanan lansia, pusat rehabilitasi, komunitas difabel, industri, lembaga pemasyarakatan, dll.

Terapis okupasi dapat memberi intervensi secara luas pada berbagai kasus, seperti pediatri, neurologi, geriatric; kasus fisik seperti penyakit dalam dan bedah, rehabilitasi tangan; gangguan kesehatan mental seperti skizofrenia, drug abuse; dan masih banyak lagi. Terapis okupasi juga berperan dalam program-program promotif, seperti pemberdayaan masyarakat, pengelolaan safety dan ergonomi.

Di Indonesia, untuk menjadi seorang terapis okupasi, seseorang diharuskan menempuh pendidikan minimal Diploma III sebagai entri level profesi kesehatan di Indonesia, dan telah teregistrasi resmi di Kementerian Kesehatan R.I yang dibuktikan dengan kepemilikan Surat Tanda Registrasi (STR). Salah satu instansi pendidikan yang mendidik calon Terapis Okupasi di Indonesia adalah Jurusan Terapi Okupasi Poltekkes Surakarta, yang merupakan perguruan tinggi negeri dibawah naungan Kementerian Kesehatan RI. Hal –hal detail mengenai profesi Terapis Okupasi dapat diperoleh dari Ikatan Okupasi Terapis Indonesia.

Terapis Okupasi secara global termasuk dalam 10 profesi terbaik di dunia. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan bagi para terapis okupasi. Definisinya saja menarik, apalagi praktiknya.

Salam!

Erayanti Saloko

Terapis Okupasi

Instagram