
Pelayanan terapi okupasi melibatkan banyak faktor yang dapat mendukung layanan yang memberikan dampak baik dan suportif terhadap perkembangan kondisi klien. Selain dengan memahami faktor klien, komponen performa okupasi, dan keterlibatan lingkungan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan klien dalam okupasi, peranan terapis baik keterampilan, kecakapan hingga kedekatan hubungan antara terapis dengan klien yang dijalin selama memberikan layanan terapi pada kenyataannya turut mendukung layanan terapi kepada klien.
Dalam artikel ini, kita akan membahas perihal bagaimana pemberdayaan keberadaan terapis okupasi dalam pelayanan kepada klien (therapeutic use of self) dan keterampilan menjalin hubungan dekat dan berdampak (intentional relationship) antara terapis dengan klien agar dapat membantu pemberian layanan terapi lebih maksimal dan berdampak terapeutik.
Therapeutic use of self, intentional relationship & Terapi Okupasi

Therapeutic use of self merupakan salah satu keterampilan dari seorang terapis okupasi yang secara sadar dilakukan oleh terapis selama memberikan layanan terapi kepada klien. Cole & Mc Lean (2003) menjelaskan bahwa therapeutic use of self adalah bentuk dari kepercayaan dan hubungan yang terbentuk dari kerjasama, komunikasi, empati dan kepercayaan yang saling berpengaruh positif dari yang dilakukan terapis kepada klien. Selain faktor-faktor oleh Cole & Mc Lean (2003) tersebut, konteks sosial dan budaya juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi hubungan, rasa percaya & penghargaan klien kepada terapis terhadap layanan diberikan.
Therapeutic use of self erat hubungannya dengan hubungan yang intensif/intens (intentional relationship) yang dijalin oleh terapis sejak melakukan tahap awal proses terapi okupasi, ketika melakukan pemeriksaan dan menggali informasi klien hingga melaksanakan intervensi. Maka dalam membentuk hubungan intensif ini sejatinya merupakan proses yang panjang dan terus menerus dijalin, sehingga dapat terbentuk kedekatan ‘personal’, tetapi tetap dibatasi oleh sikap profesional terapis.
Bonsaksen, Vollestad & Taylor (2013) menyebutkan bahwa hubungan intensif ini melibatkan empat komponen yakni: klien, peristiwa interpersonal terapis-klien, terapis, interaksi di dalam sesi terapi okupasi bersama klien (komunikasi & partisipasi).
Faktor klien didasari atas kepribadian yang dimiliki klien dan situasi-konteks klien saat itu. Peristiwa interpersonal merupakan rangkaian peristiwa interaksi antara terapis-klien. Faktor terapis terkait dengan keterampilan terapis dalam menjalin hubungan dengan klien, keterampilan praktis dan profesionalisme. Terakhir interaksi sesi terapi okupasi bersama klien, bagaimana dapat membawa klien untuk terlibat dalam okupasinya dengan didukung oleh hubungan yang telah dijalin selama pelayanan.
Menjalin Hubungan Baik dalam Sesi Terapi Okupasi, pentingkah?

Dalam riset Nelson & Allison (2007) memberikan penjelasan mengenai pentingnya hubungan yang terjalin di dalam praktik terapi okupasi. Ketika therapeutic use of self dilakukan, terjalinnya hubungan dengan klien dapat meningkatkan pencapaian terapi, berguna sebagai alat/media/cara untuk melibatkan orang tua dalam perjalanan terapi anak dan mengembangkan keterampilan terapis yang mampu profesional & adaptif dengan berbagai situasi.
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pendekatan terapeutik yang mendukung terapis dalam menjalin intentional relationship (Carstensen & Bonsaksen, 2017). Riset tersebut menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam praktik terapi okupasi pada kesehatan jiwa banyak mengedepankan empati dalam pelayanan dan dikatakan juga bahwa kepuasan terhadap pekerjaan sampel (terapis) disebabkan oleh cara kerja dengan memberikan instruksi.
Taylor (2008) menyatakan bahwa instruksi memberikan terapis kesempatan untuk menyusun secara terstruktur dan jelas pendekatan dari intervensi terapis, hingga memperagakan tata cara aktivitas. Hal ini dirasa lebih memudahkan terapis untuk memperhatikan perjalanan layanan kepada klien. Dalam melayani dengan memanfaatkan therapeutic use of self, partisipan (psikoterapis) menyampaikan meningkatnya kesadaran untuk profesional dan mendekatkan hubungan terapeutik dalam pelayanan kepada klien (Sleater & Scheiner, 2020).
Kesadaran untuk profesional ditunjukkan melalui cara terapis dalam memperhatikan penuh interaksi bersama pasien, tetapi juga berusaha tidak meng-iya-kan alur pikir, kesadaran dan anggapan pasien saat komunikasi berlangsung.
Bagaimana therapeutic use of self dalam praktik terapi okupasi?

Tickle-Degnen (2002) menggambarkan alur model dari hubungan terapeutik, berhubungan dengan intentional relationship yang dijalin antara terapis dengan klien ketika diterapkan dalam praktik.
- Mengembangkan hubungan; terapis melakukan komunikasi untuk mengumpulkan informasi, membangun sikap kooperatif yang konsisten, penuh kehangatan, membantu meregulasi dan mempengaruhi komunikasi interpersonal bersama klien.
- Mengembangkan kerjasama & kemitraan; terapis menentukan dan membelajarkan tahap-tahap dari terapi, menilai keberhasilan dan kegagalan dari layanan dan mengembangkan budaya hubungan saling bekerja sama dengan klien.
- Menjalin hubungan kerjasama yang terbentuk; menyesuaikan perubahan tidak menentu dari hubungan terapis-klien dengan bertukar informasi, ekspresi dan proses adaptasi dan kedekatan yang ditunjukkan, pun diperlukan juga penggunaan bukti penelitian ilmiah selama periode layanan.
Di sisi lain, riset D’Arrigo et al. (2020) menunjukkan bagaimana strategi sesi terapi berlangsung sejak terjalinnya hubungan dengan klien hingga mencapai keterlibatan bersama klien di setting praktik pediatri.
- Mendengarkan; perhatikan anak dengan seksama, lakukan interaksi dan komunikasi bersama anak, hargai respon keinginan, ekspresi maupun perilaku yang ditunjukkan anak serta bimbing anak untuk menemukan apa yang anak cari maupun untuk terlibat dalam aktivitasnya.
- Merencanakan sesi terapi; mengarahkan aktivitas yang bertujuan, ciptakan suasana yang positif dan menyenangkan. melibatkan musik, menyanyi, permainan, tantangan maupun eksperimen selama sesi terapi dan menggunakan media terapi yang dibutuhkan.
- Menyesuaikan kontrol dan kebebasan klien; memberikan kontrol terhadap keinginan anak, arahkan terapi untuk mencapai tujuan, berikan aturan kepada anak dan berikan penjelasan detail dari aktivitas yang ingin dilakukan sebelum melakukan.
- Use of self; mengendalikan respon kita (terapis) terhadap respon yang diberikan anak selama sesi terapi, seperti ikut memposisikan diri ketika bermain, mengatur suara, ekspresi mimik wajah, perasaan senang dan bersikap bijaksana dengan tetap menyenangkan di depan anak.
- Membantu mencapai keberhasilan; mengadaptasikan aktivitas dan tugas menyesuaikan kemampuan anak, mengurangi demonstrasi aktivitas, memberikan tanda-tanda untuk membantu anak, menerapkan metode chainning, memberikan tantangan untuk memicu keberanian, rayakan keberhasilan anak ketika menyelesaikan tugas dan konsisten berikan pujian positif di tiap usaha anak.
- Membantu anak memahami, mengeksplorasi dan menemukan yang ingin dicari; membantu anak menemukan solusi, berikan masukan, evaluasi dari kesalahan anak dan biarkan belajar dari kesalahan.
Bagaimana membentuk intentional relationship dalam pelayanan?

Spiritualitas & Kepercayaan
Kepercayaan terhadap spiritual dan pendalaman kepada diri sendiri, dikatakan oleh Collins (2007) dapat melibatkan kita untuk menyadari diri dan ‘bayangan’ (kelemahan) kita dalam hal tertentu. Namun, dengan menemui kelemahan tersebut membuat terapis dapat mengeksplorasi dengan sadar terhadap keunggulan yang terapis miliki. Collins (2007) menyebutkan kembali bahwa kesadaran pada pendalaman terhadap spiritualitas dan kelemahan diri terapis, baiknya dapat dikendalikan dengan baik agar tidak mengganggu value therapeutic use of self yang diyakini oleh terapis dan tetap membangun hubungan dengan klien.
Komunikasi & Empati
Faktor terapeutik dalam praktik terapi okupasi turut dibantu oleh adanya keterampilan komunikasi dari terapis. Dalam riset Eklund, Erlandsson & Wastberg (2015) pada setting rehabilitasi vokasional, terapis dalam mengembangkan komunikasi perlu mengedepankan kejujuran dan tetap membantu klien dengan keterampilan yang kompeten dan rasa pengertian, sehingga dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi klien. Kejujuran yang disampaikan itu bermaksud untuk menerangkan fakta dan penjelasan yang benar, tanpa melibatkan perasaan saat menyampaikan (objektif).
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (KE) merupakan komponen karakter yang perlu dimiliki terapis okupasi, sebab dapat membantu dalam mengendalikan kontrol pada kendali regulasi diri & kemampuan merespon dengan berperasaan (berempati) dalam pelayanan yang diberikan kepada klien. McKenna & Mellson (2013) mengatakan bahwa KE berguna untuk memfasilitasi perasaan, mengendalikan tekanan dan kecemasan dan satu-satunya program kendali perasaan kita dalam memahami diri sendiri dan orang lain (klien). Komponen empati dan keterampilan komunikasi bersama KE dibutuhkan untuk membantu kita terhubung dengan klien dalam hubungan yang intens (intentional relationship) selama sesi terapi.
Pertimbangan Klinis
Terjalinnya hubungan intens antara terapis dengan klien turut didukung dengan keterampilan reasoning terapis. Pertimbangan klinis yang dilakukan oleh terapis dapat mengembangkan kerjasama antara terapis dan klien dalam layanan. Hal tersebut dapat terjadi sebab cara pelayanan terapis, pengetahuan, perhatian dan motivasi yang diberikan dapat mempengaruhi pelayanan yang terapis berikan dan mengembangkan respon positif dari klien kepada terapis (Shafaroodi et al., 2014).
Kesimpulan
Menyadari pentingnya membangun hubungan yang dekat, konsisten dan berdampak bersama klien dari awal bertemu hingga selama sesi terapi berjalan, maka kenyataan untuk menguasai dan mengaplikasikan therapeutic use of self dalam praktik klinis tentu dapat berguna bagi terapis untuk membantu mempromosikan kesejahteraan hidup klien. Melalui cerita dan bukti ilmiah yang direkam dalam literatur, kita dapat belajar dan mengasah teknik untuk bagaimana mewujudkan intentional relationship dan keterampilan kita dalam mengaplikasikan therapeutic use of self, memberdayakan diri kita membantu klien sehat, bahagia dan terlibat kembali dalam okupasinya.
REFERENSI
Bonsaksen, Tore, Vøllestad, Knut & Taylor, Renee. (2013). The Intentional Relationship Model – Use of the therapeutic relationship in occupational therapy practice. Ergoterapeuten. 56. 26-31.
Carstensen, T., & Bonsaksen, T. (2017). Factors Associated with Therapeutic Approaches Among Norwegian Occupational Therapists: An Exploratory Study. Occupational Therapy in Mental Health, 34(1), 75-85. doi:10.1080/0164212x.2017.1383220
Cole, M. B., & Mclean, V. (2003). Therapeutic Relationships Re-Defined. Occupational Therapy in Mental Health, 19(2), 33-56. doi:10.1300/j004v19n02_03
Collins, M. (2007). Spirituality and the Shadow: Reflection and the Therapeutic Use of Self. British Journal of Occupational Therapy, 70(2), 88-90. doi:10.1177/030802260707000208
D’Arrigo, R. G., Copley, J. A., Poulsen, A. A., & Ziviani, J. (2020). Strategies occupational therapists use to engage children and parents in therapy sessions. Australian Occupational Therapy Journal, 67(6), 537-549. doi:10.1111/1440-1630.12670
Eklund, M., Erlandsson, L., & Wästberg, B. A. (2015). A longitudinal study of the working relationship and return to work: Perceptions by clients and occupational therapists in primary health care. BMC Family Practice, 16(1). doi:10.1186/s12875-015-0258-1
Mckenna, J., & Mellson, J. (2013). Emotional Intelligence and the Occupational Therapist. British Journal of Occupational Therapy, 76(9), 427-430. doi:10.4276/030802213×13782044946382
Nelson, A., & Allison, H. (2007). Relationships: The key to effective occupational therapy practice with urban Australian Indigenous children. Occupational Therapy International, 14(1), 57-70. doi:10.1002/oti.224
Tickle-Degnen, L. (2002). Client-Centered Practice, Therapeutic Relationship, and the Use of Research Evidence. American Journal of Occupational Therapy, 56(4), 470-474. doi:10.5014/ajot.56.4.470
Taylor, R. R. (2008). The intentional relationship. Occupational therapy and the use of self. Philadelphia, PA: FA Davis.
Shafaroodi N, Kamali M, Parvizy S, Hassani Mehraban A, O’Toole G. (2014). Factors affecting clinical reasoning of occupational therapists: a qualitative study. Medical Journal Islam Republic of Iran, 2014 (19 Feb). Vol. 28:8.
Sleater, A. M., & Scheiner, J. (2020). Impact of the therapist’s “use of self”. The European Journal of Counselling Psychology, 8(1), 118-143. doi:10.5964/ejcop.v8i1.160