Melakukan Layanan Terapi Okupasi yang Sepenuh Hati

Hubungan antara terapis dan klien (Img: post.medicalnewstoday.com)

Pelayanan terapi okupasi melibatkan banyak faktor yang dapat mendukung layanan yang memberikan dampak baik dan suportif terhadap perkembangan kondisi klien. Selain dengan memahami faktor klien, komponen performa okupasi, dan keterlibatan lingkungan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan klien dalam okupasi, peranan terapis baik keterampilan, kecakapan hingga kedekatan hubungan antara terapis dengan klien yang dijalin selama memberikan layanan terapi pada kenyataannya turut mendukung layanan terapi kepada klien. 

Dalam artikel ini, kita akan membahas perihal bagaimana pemberdayaan keberadaan terapis okupasi dalam pelayanan kepada klien (therapeutic use of self) dan keterampilan menjalin hubungan dekat dan berdampak (intentional relationship) antara terapis dengan klien agar dapat membantu pemberian layanan terapi lebih maksimal dan berdampak terapeutik.


Therapeutic use of self, intentional relationship & Terapi Okupasi

interaksi & hubungan (img: pexels.com)

Therapeutic use of self merupakan salah satu keterampilan dari seorang terapis okupasi yang secara sadar dilakukan oleh terapis selama memberikan layanan terapi kepada klien. Cole & Mc Lean (2003) menjelaskan bahwa therapeutic use of self adalah bentuk dari kepercayaan dan hubungan yang terbentuk dari kerjasama, komunikasi, empati dan kepercayaan yang saling berpengaruh positif dari yang dilakukan terapis kepada klien. Selain faktor-faktor oleh Cole & Mc Lean (2003) tersebut, konteks sosial dan budaya juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi hubungan, rasa percaya & penghargaan klien kepada terapis terhadap layanan diberikan. 

Therapeutic use of self erat hubungannya dengan hubungan yang intensif/intens (intentional relationship) yang dijalin oleh terapis sejak melakukan tahap awal proses terapi okupasi, ketika melakukan pemeriksaan dan menggali informasi klien hingga melaksanakan intervensi. Maka dalam membentuk hubungan intensif ini sejatinya merupakan proses yang panjang dan terus menerus dijalin, sehingga dapat terbentuk kedekatan ‘personal’, tetapi tetap dibatasi oleh sikap profesional terapis.

Bonsaksen, Vollestad & Taylor (2013) menyebutkan bahwa hubungan intensif ini melibatkan empat komponen yakni: klien, peristiwa interpersonal terapis-klien, terapis, interaksi di dalam sesi terapi okupasi bersama klien (komunikasi & partisipasi).

Faktor klien didasari atas kepribadian yang dimiliki klien dan situasi-konteks klien saat itu. Peristiwa interpersonal merupakan rangkaian peristiwa interaksi antara terapis-klien. Faktor terapis terkait dengan keterampilan terapis dalam menjalin hubungan dengan klien, keterampilan praktis dan profesionalisme. Terakhir interaksi sesi terapi okupasi bersama klien, bagaimana dapat membawa klien untuk terlibat dalam okupasinya dengan didukung oleh hubungan yang telah dijalin selama pelayanan.


Menjalin Hubungan Baik dalam Sesi Terapi Okupasi, pentingkah?

Menjalin hubungan dengan klien

Dalam riset Nelson & Allison (2007) memberikan penjelasan mengenai pentingnya hubungan yang terjalin di dalam praktik terapi okupasi. Ketika therapeutic use of self dilakukan, terjalinnya hubungan dengan klien dapat meningkatkan pencapaian terapi, berguna sebagai alat/media/cara untuk melibatkan orang tua dalam perjalanan terapi anak dan mengembangkan keterampilan terapis yang mampu profesional & adaptif dengan berbagai situasi.

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pendekatan terapeutik yang mendukung terapis dalam menjalin intentional relationship (Carstensen & Bonsaksen, 2017). Riset tersebut menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam praktik terapi okupasi pada kesehatan jiwa banyak mengedepankan empati dalam pelayanan dan dikatakan juga bahwa kepuasan terhadap pekerjaan sampel (terapis) disebabkan oleh cara kerja dengan memberikan instruksi.

Taylor (2008) menyatakan bahwa instruksi memberikan terapis kesempatan untuk menyusun secara terstruktur dan jelas pendekatan dari intervensi terapis, hingga memperagakan tata cara aktivitas. Hal ini dirasa lebih memudahkan terapis untuk memperhatikan perjalanan layanan kepada klien. Dalam melayani dengan memanfaatkan therapeutic use of self, partisipan (psikoterapis) menyampaikan meningkatnya kesadaran untuk profesional dan  mendekatkan hubungan terapeutik dalam pelayanan kepada klien (Sleater & Scheiner, 2020).

Kesadaran untuk profesional ditunjukkan melalui cara terapis dalam memperhatikan penuh interaksi bersama pasien, tetapi juga berusaha tidak meng-iya-kan alur pikir, kesadaran dan anggapan pasien saat komunikasi berlangsung.  


Bagaimana therapeutic use of self dalam praktik terapi okupasi?

Membersamai dalam sesi terapi (Img: New York Healths Career)

Tickle-Degnen (2002) menggambarkan alur model dari hubungan terapeutik, berhubungan dengan intentional relationship yang dijalin antara terapis dengan klien ketika diterapkan dalam praktik. 

  1. Mengembangkan hubungan; terapis melakukan komunikasi untuk mengumpulkan informasi, membangun sikap kooperatif yang konsisten, penuh kehangatan, membantu meregulasi dan mempengaruhi komunikasi interpersonal bersama klien.
  2. Mengembangkan kerjasama & kemitraan; terapis menentukan dan membelajarkan tahap-tahap dari terapi, menilai keberhasilan dan kegagalan dari layanan dan mengembangkan budaya hubungan saling bekerja sama dengan klien.
  3. Menjalin hubungan kerjasama yang terbentuk; menyesuaikan perubahan tidak menentu dari hubungan terapis-klien dengan bertukar informasi, ekspresi dan proses adaptasi dan kedekatan yang ditunjukkan, pun diperlukan juga penggunaan bukti penelitian ilmiah selama periode layanan.

Di sisi lain, riset D’Arrigo et al. (2020) menunjukkan bagaimana strategi sesi terapi berlangsung sejak terjalinnya hubungan dengan klien hingga mencapai keterlibatan bersama klien di setting praktik pediatri.

  1. Mendengarkan; perhatikan anak dengan seksama, lakukan interaksi dan komunikasi bersama anak, hargai respon keinginan, ekspresi maupun perilaku yang ditunjukkan anak serta bimbing anak untuk menemukan apa yang anak cari maupun untuk terlibat dalam aktivitasnya.
  2. Merencanakan sesi terapi; mengarahkan aktivitas yang bertujuan, ciptakan suasana yang positif dan menyenangkan. melibatkan musik, menyanyi, permainan, tantangan maupun eksperimen selama sesi terapi dan menggunakan media terapi yang dibutuhkan.
  3. Menyesuaikan kontrol dan kebebasan klien; memberikan kontrol terhadap keinginan anak, arahkan terapi untuk mencapai tujuan, berikan aturan kepada anak dan berikan penjelasan detail dari  aktivitas yang ingin dilakukan sebelum melakukan.
  4. Use of self; mengendalikan respon kita (terapis) terhadap respon yang diberikan anak selama sesi terapi, seperti ikut memposisikan diri ketika bermain, mengatur suara, ekspresi mimik wajah, perasaan senang dan bersikap bijaksana dengan tetap menyenangkan di depan anak.
  5. Membantu mencapai keberhasilan; mengadaptasikan aktivitas dan tugas menyesuaikan kemampuan anak, mengurangi demonstrasi aktivitas, memberikan tanda-tanda untuk membantu anak, menerapkan metode chainning, memberikan tantangan untuk memicu keberanian, rayakan keberhasilan anak ketika menyelesaikan tugas dan konsisten berikan pujian positif di tiap usaha anak.
  6. Membantu anak memahami, mengeksplorasi dan menemukan yang ingin dicari; membantu anak menemukan solusi, berikan masukan, evaluasi dari kesalahan anak dan biarkan belajar dari kesalahan.

Bagaimana membentuk intentional relationship dalam pelayanan?

Merekatkan hubungan terapis-klien selama pelayanan terapi okupasi (Img: Mindsoother Therapy Center)

Spiritualitas & Kepercayaan

Kepercayaan terhadap spiritual dan pendalaman kepada diri sendiri, dikatakan oleh Collins (2007) dapat melibatkan kita untuk menyadari diri dan ‘bayangan’ (kelemahan) kita dalam hal tertentu.  Namun, dengan menemui kelemahan tersebut membuat terapis dapat mengeksplorasi dengan sadar terhadap keunggulan yang terapis miliki. Collins (2007) menyebutkan kembali bahwa kesadaran pada pendalaman terhadap spiritualitas dan kelemahan diri terapis, baiknya dapat dikendalikan dengan baik agar tidak mengganggu value therapeutic use of self yang diyakini oleh terapis dan tetap membangun hubungan dengan klien.

Komunikasi & Empati

Faktor terapeutik dalam praktik terapi okupasi turut dibantu oleh adanya keterampilan komunikasi dari terapis. Dalam riset Eklund, Erlandsson & Wastberg (2015) pada setting rehabilitasi vokasional, terapis dalam mengembangkan komunikasi perlu mengedepankan kejujuran dan tetap membantu klien dengan keterampilan yang kompeten dan rasa pengertian, sehingga dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi klien. Kejujuran yang disampaikan itu bermaksud untuk menerangkan fakta dan penjelasan yang benar, tanpa melibatkan perasaan saat menyampaikan (objektif).


Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional (KE) merupakan komponen karakter yang perlu dimiliki terapis okupasi, sebab dapat membantu dalam mengendalikan kontrol pada kendali regulasi diri & kemampuan merespon dengan berperasaan (berempati) dalam pelayanan yang diberikan kepada klien. McKenna & Mellson (2013) mengatakan bahwa KE berguna untuk memfasilitasi perasaan, mengendalikan tekanan dan kecemasan dan satu-satunya program kendali perasaan kita dalam memahami diri sendiri dan orang lain (klien). Komponen empati dan keterampilan komunikasi bersama KE dibutuhkan untuk membantu kita terhubung dengan klien dalam hubungan yang intens (intentional relationship) selama sesi terapi.

Pertimbangan Klinis

Terjalinnya hubungan intens antara terapis dengan klien turut didukung dengan keterampilan reasoning terapis. Pertimbangan klinis yang dilakukan oleh terapis dapat mengembangkan kerjasama antara terapis dan klien dalam layanan. Hal tersebut dapat terjadi sebab cara pelayanan terapis, pengetahuan, perhatian dan motivasi yang diberikan dapat mempengaruhi pelayanan yang terapis berikan dan mengembangkan respon positif dari klien kepada terapis (Shafaroodi et al., 2014).


Kesimpulan

Menyadari pentingnya membangun hubungan yang dekat, konsisten dan berdampak bersama klien dari awal bertemu hingga selama sesi terapi berjalan, maka kenyataan untuk menguasai dan mengaplikasikan therapeutic use of self dalam praktik klinis tentu dapat berguna bagi terapis untuk membantu mempromosikan kesejahteraan hidup klien. Melalui cerita dan bukti ilmiah yang direkam dalam literatur, kita dapat belajar dan mengasah teknik untuk bagaimana mewujudkan intentional relationship dan keterampilan kita dalam mengaplikasikan therapeutic use of self, memberdayakan diri kita membantu klien sehat, bahagia dan terlibat kembali dalam okupasinya.


REFERENSI

Bonsaksen, Tore, Vøllestad, Knut & Taylor, Renee. (2013). The Intentional Relationship Model – Use of the therapeutic relationship in occupational therapy practice. Ergoterapeuten. 56. 26-31. 

Carstensen, T., & Bonsaksen, T. (2017). Factors Associated with Therapeutic Approaches Among Norwegian Occupational Therapists: An Exploratory Study. Occupational Therapy in Mental Health, 34(1), 75-85. doi:10.1080/0164212x.2017.1383220

Cole, M. B., & Mclean, V. (2003). Therapeutic Relationships Re-Defined. Occupational Therapy in Mental Health, 19(2), 33-56. doi:10.1300/j004v19n02_03

Collins, M. (2007). Spirituality and the Shadow: Reflection and the Therapeutic Use of Self. British Journal of Occupational Therapy, 70(2), 88-90. doi:10.1177/030802260707000208

D’Arrigo, R. G., Copley, J. A., Poulsen, A. A., & Ziviani, J. (2020). Strategies occupational therapists use to engage children and parents in therapy sessions. Australian Occupational Therapy Journal, 67(6), 537-549. doi:10.1111/1440-1630.12670

Eklund, M., Erlandsson, L., & Wästberg, B. A. (2015). A longitudinal study of the working relationship and return to work: Perceptions by clients and occupational therapists in primary health care. BMC Family Practice, 16(1). doi:10.1186/s12875-015-0258-1

Mckenna, J., & Mellson, J. (2013). Emotional Intelligence and the Occupational Therapist. British Journal of Occupational Therapy, 76(9), 427-430. doi:10.4276/030802213×13782044946382

Nelson, A., & Allison, H. (2007). Relationships: The key to effective occupational therapy practice with urban Australian Indigenous children. Occupational Therapy International, 14(1), 57-70. doi:10.1002/oti.224

Tickle-Degnen, L. (2002). Client-Centered Practice, Therapeutic Relationship, and the Use of Research Evidence. American Journal of Occupational Therapy, 56(4), 470-474. doi:10.5014/ajot.56.4.470

Taylor, R. R. (2008). The intentional relationship. Occupational therapy and the use of self. Philadelphia, PA: FA Davis.

Shafaroodi N, Kamali M, Parvizy S, Hassani Mehraban A, O’Toole G. (2014). Factors affecting clinical reasoning of occupational therapists: a qualitative study. Medical Journal Islam Republic of Iran, 2014 (19 Feb). Vol. 28:8.

Sleater, A. M., & Scheiner, J. (2020). Impact of the therapist’s “use of self”. The European Journal of Counselling Psychology, 8(1), 118-143. doi:10.5964/ejcop.v8i1.160

Praktik Terapi Okupasi pada Sleep Deprivation

Tidur (img: Singularity Hub)

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia karena manusia menggunakan sepertiga waktu hidupnya untuk tidur. Tidur dan istirahat memiliki peran penting dalam kesehatan seseorang. Dalam Occupational Therapy Practice Framework 4th Edition American Occupational Therapy Association (AOTA) (2020), tidur dan istirahat sudah tidak lagi masuk kedalam kategori Activity Daily Living (ADL) namun sudah berdiri sendiri yaitu menjadi domain tidur dan istirahat (sleep dan rest).

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tidur dan istirahat bagi seseorang. Tanpa tidur yang memadai, kinerja pekerjaan siang hari seperti mengemudi, produktivitas, leisure, dan partisipasi sosial dapat terganggu (Smallfield & Molitor, 2018). Hal tersebut menjadi salah satu concern seorang terapis okupasi dalam perihal meningkatkan kualitas hidup seseorang melalui peningkatan kualitas tidur klien.


Apa itu Sleep Deprivation dan Efeknya?

Sering Mengantuk saat Bekerja (Img: Dana Foundation)

Kurang tidur atau sleep deprivation (DEP-rih-VA-shun) adalah kondisi yang terjadi jika seseorang tidak cukup tidur. Sleep deprivation terjadi jika seseorang memiliki satu atau lebih tanda berikut (National Heart Lung and Blood Institute, 2012):

  1. Tidak mendapatkan cukup tidur (kurang tidur),
  2. Tidur pada waktu yang salah hari (yaitu, tidak sinkron dengan jam alami tubuh (Body’s Natural Clock)), 
  3. Tidur tidak nyenyak atau tidak mendapatkan semua jenis tidur yang dibutuhkan tubuh,
  4. Memiliki gangguan tidur yang menyebabkan tidur yang tidak cukup atau menyebabkan kualitas tidur yang buruk .

Adapun penyebab umum dan tambahan terjadinya sleep deprivation adalah kurang tidur, kemudian penyebab lainnya adalah (American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 2019; AOTA, 2019):

  • Adanya keterkaitan dengan kondisi medis seperti penyakit diabetes, mood disorder, jantung dan stroke yang menyebabkan circadian rhythm disturbance,
  • Kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder, Sleep disorder seperti insomnia,
  • Nyeri akibat artritis, osteoporosis dan penyakit yang menyebabkan nyeri lainnya,
  • Depresi, stress dan kecemasan.

Efek negatif dari sleep deprivation terbagi menjadi dua jenis yaitu short term effect dan long term effect (Bilwise (1997) dalam AOTA (2019)). Short term effect meliputi kecemasan, mengantuk saat berkendara, mudah lupa, sulit konsentrasi, penurunan performa aktivitas dan kesadaran,  gangguan memori dan kognitif, stress terhadap hubungan dan automobile accident (Kecelakaan mobil atau saat berkendara).

Kemudian long term effect berupa tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, obesitas, diabetes tipe 2, depresi dan gangguan emosi, dan kualitas hidup yang rendah. 


Screening, Evaluasi & Intervensi Terapi Okupasi pada Sleep deprivation

Gangguan Tidur perlu Dilakukan Pemeriksaan Terapi Okupasi (Img: Freepik)

Screening

Tahapan awal yang wajib dilakukan seorang terapis okupasi terhadap klien adalah screening. Screening yang dilakukan dapat berupa screening test dan screening task. Karena tidur memainkan peran utama dalam kehidupan semua orang, terapis okupasi harus menanyakan tentang tidur klien mereka dalam setiap evaluasi awal (Pierce & Summers, 2011).

Mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang sejauh mana masalah tidur seseorang adalah kunci untuk menemukan intervensi yang ideal. Informasi ini dapat mulai didapatkan di awal dengan evaluasi informal, seperti melihat kondisi fisik klien saat datang ke terapis seperti raut wajah, cara berjalan, berbicara dan melihat secara menyeluruh apakah muncul gejala-gejala yang diakibatkan oleh sleep deprivation seperti kecemasan, hilangnya memori & kesadaran serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang riwayat tidur klien. 

Pertanyaan-pertanyaan dasar tentang riwayat tidur seseorang harus mencakup pertanyaan seperti kualitas tidur klien (berapa lama durasi tidur klien, jadwal, pola tidur, dan perasaan saat bangun), lingkungan tidur klien (apakah ada gangguan dari luar seperti suara berisik, suhu kamar, jumlah orang yang tidur di ruangan klien, bagaimana cahaya di ruangan), faktor lain yang terkait (apakah menggunakan obat tidur, bagaimana rutinitas sebelum tidur yang dilakukan klien) dan bagaimana menurut klien tentang kualitas tidur yang dimiliki (Adequate (kuat), inadequate (kurang kuat), atau bermasalah) (AOTA, 2019).


Evaluasi

Evaluasi sangat penting dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang permasalahan klien dengan pemeriksaan terstandar. Evaluasi untuk sleep deprivation dapat dilakukan melalui pemeriksaan terstandar seperti Epworth Sleepiness Scale (1997), Pittsburgh Sleep Quality Index (Buysse et al., 1989), Dysfunctional Beliefs and Attitudes About Sleep (E Provide, 2007), Glasgow Sleep Effort Scale (Broomfield & Espie, 2005).

Selain itu seorang terapis okupasi juga dapat menggunakan pemeriksaan terstandar Occupational Profile of Sleep karya Pierce dan Summers (2011) dimana seorang terapis okupasi dapat menggunakannya untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana rutinitas tidur, pola tidur dan lingkungan tidur klien yang kemudian akan dianalisis dan memberikan rekomendasi atau tujuan terapi terbaik bagi klien (Pierce & Summers, 2011).

Berikutnya untuk mengetahui occupation yang terdampak dari permasalahan tidur. seorang terapis okupasi dapat menggunakan Canadian Occupational Performance Measurement (COPM) atau Functional Independent Measure (FIM) (Eris & Andrew, 2018). 

Sebelum menuju tahap penentuan intervensi, seorang terapis okupasi perlu memperhatikan faktor klien seperti tanggung jawab caregiver klien, pekerjaan dan kehidupan klien, nyeri dan kelelahan klien, gangguan keseimbangan, ketajaman penglihatan, kekuatan otot, integritas kulit, dan rentang gerakan di ekstremitas atas dan bawah, masalah integrasi atau pemrosesan sensorik, penggunaan obat-obatan, alkohol, nikotin dan lingkungan rumah klien (AOTA, 2019).


Intervensi

Setelah dilakukannya screening dan evaluasi maka seorang terapis okupasi akan dapat menentukan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan klien. Penelitian berjenis meta-anlysis yang dilakukan Eris & Andrew (2018) berjudul Review Article Occupational Therapy Practice in Sleep Management: A Review of Conceptual Models and Research Evidence membahas tentang beberapa bentuk intervensi terapi okupasi dalam permasalahan tidur. Terdapat empat jenis bentuk intervensi yang digunakan dan efektivitas yang dibahas, antara lain:

  1. Menggunakan assistive device atau assistive equipment,
  2. Menggunakan aktivitas,
  3. Cognitive behaviour therapy for insomnia,
  4. Intervensi gaya hidup (life style intervention).
Terapi Okupasi pada Manajemen Tidur (Eris & Andrew, 2018)

Menggunakan Assistive Device/Equipment

Bentuk intervensi ini terdapat dua jenis yaitu penggunaan assistive equipment dan positioning. Assistive device yang digunakan seperti bantal dreampad, selimut tebal, dan perlengkapan tidur seperti masker mata, penyumbat telinga (earplug) dan mesin peredam suara. Bantal Dreampad adalah sebuah teknologi yang sudah dipatenkan dimana dalam bantal tersebut terdapat musik yang menenangkan, yang merelaksasi tubuh dan pikiran, dan dilengkapi dengan fitur pencarian musik yang disukai klien. 

Dreampad pillow

Dreampad pillow dinilai efektif dalam membantu klien karena dapat meningkatkan durasi tidur, meningkatkan kualitas tidur, dan mengurangi frekuensi terbangun di malam hari. Ini juga membantu meningkatkan hasil sekunder dari anak autisme, seperti mengurangi perilaku maladaptive, meningkatkan atensi serta kualitas hidup dan kepuasan orang tua (Eris & Andrew, 2018). Kemudian positioning, bahwa posisi tidur terlentang lebih memberikan efek baik yaitu membuat tidur lebih lama dan mengurangi frekuensi bangun daripada posisi tengkurap (Jarus, et al., 2011).


Menggunakan Aktivitas

Cobalah Melakukan Meditasi sebelum Tidur (Img: Diario Sur)

Terapis okupasi tidak akan jauh dari penggunaan aktivitas bermakna dalam intervensinya. Beberapa studi menunjukan penggunanan mind-body activity seperti meditasi, yoga dan pernapasan dapat digunakan sebagai intervensi permasalahan tidur. Meditasi dinilai efektif dalam menangani permasalahan tidur yaitu dapat membuat durasi tidur lebih lama dari pada hanya mengedukasi cara sleep-hygiene (Gutman, et al., 2016).  Disamping itu, aktivitas yoga dan latihan pernapasan dinilai tidak efektif dalam mengatasi permasalahan tidur dan hanya mengurangi gejala depresi saja (Wen, et al., 2017). 


Menggunakan Terapi Kognitif Perilaku (cognitive behaviour therapy)

Terapi kognitif perilaku untuk mengatasi insomnia (CBTi) atau gangguan tidur telah lama dipertimbangkan sebagai evidence-based practice. CBTi adalah program terstruktur yang bertujuan untuk meningkatkan tidur dengan mengidentifikasi dan mengubah pikiran dan perilaku negatif yang terkait dengannya, seperti kognitif traps dan keyakinan tentang hal-hal yang membatasi tidur (Eris & Andrew, 2018).

Penelitian tentang efektivitas CBTi pada Parkinson disease dengan jumlah 22 partisipan, dengan pre-test dan post-test dengan menggunakan sleep diary dan pemeriksaan Parkinson’s Disease Sleep Scale menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kualitas tidur pada klien dengan Parkinson disease saat setelah dilakukan intervensi dengan metode CBTi (Yang & Petrini, 2012).


Intervensi Gaya Hidup

Gaya Hidup Sehat (Img: Freepik)

Intervensi gaya hidup berpusat pada peningkatan kebiasaan tidur sehat dan penjadwalan ulang aktivitas dan memfasilitasi pergantian peran pada elderly melalui edukasi, berbagi pengalaman dan pengaturan tujuan. Terlalu banyak atau terlalu sedikit aktivitas siang hari sangat terkait dengan pola tidur di malam hari, rescheduling aktivitas siang hari membantu seseorang dalam mencapai gaya hidup yang seimbang serta untuk memfasilitasi tidurnya pada malam hari. Program ini menunjukkan perubahan positif dalam perilaku tidur, termasuk peningkatan jam tidur, mengurangi kesulitan tidur, dan mengurangi mimpi buruk (Leland , et al., 2016).

Intervensi ini juga meminta klien agar mengurangi jam tidur siang hari dan meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas di siang hari, terutama kegiatan sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen tidur tidak hanya menyangkut tidur tetapi juga partisipasi kegiatan fungsional siang hari yang dilakukan klien (Eris & Andrew, 2018).


Kesimpulan

Tidur merupakan main occupation bagi manusia. Tanpa kualitas tidur yang baik seseorang akan mengalami penurunan kualitas fungsional sehari-harinya. Terapis okupasi berperan penting dalam melakukan screening, evaluasi hingga intervensi bagi klien dengan sleep deprivation agar dapat menentukan program terapi terbaik. Beberapa cara dalam mengatasi gangguan tidur seperti penggunaan assistive device, aktivitas body-mind, CBTi, hingga perubahan gaya hidup telah diteliti dan digunakan sebagai evidence-based practice. Seorang terapis okupasi hanya perlu menentukan jenis intervensi terbaik sesuai dengan kebutuhan klien untuk dapat meningkatkan fungsional dan kualitas hidup klien.


Referensi

American Occupational Therapy Association. (2020). Occupational therapy practice framework: Domain and process (p. 7412410010). AMERICAN OCCUPATIONAL THE.

Smallfield, S., & Molitor, W. L. (2018). Occupational therapy interventions addressing sleep for community-dwelling older adults: A systematic review. American Journal of Occupational Therapy72(4), 7204190030p1-7204190030p9.

National Heart, Lung, and Blood Institute. Sleep Deprivation and Deficiency. 2012.

Bandyopadhyay, A., & Sigua, N. L. (2019). What is sleep deprivation?. American journal of respiratory and critical care medicine199(6), P11-P12.

Pierce, D., & Summers, K. (2011). Rest and sleep. In C. Brown & V. C. Stoffel (Eds.), Occupational therapy in mental health: A vision for participation (pp. 736–758). Philadelphia: F. A. Davis. Pizzi, M., & Richards, L. (2017). Promoti

Manisha Sheth, O. T. D., & Thomas, H. (2014). Managing Sleep Deprivation in Older Adults: A Role for Occupational Therapy. Sleep, S20.

T. Jarus, O. Bart, G. Rabinovich et al., “Effects of prone and supine positions on sleep state and stress responses in preterm infants,” Infant Behavior and Development, vol. 34, no. 2, pp. 257–263, 2011.

S. A. Gutman, K. A. Gregory, M. M. Sadlier-Brown et al., “Comparative effectiveness of three occupational therapy sleep interventions,” OTJR: Occupation, Participation and Health, vol. 37, no. 1, pp. 5–13, 2016.

P.-S. Wen, I. Herrin, A. L. de Mola et al., “Yoga for sleep, pain, mood, and executive functioning in persons with traumatic brain injury,” American Journal of Occupational Therapy, vol. 71, article 7111515267p1, 4_Supplement_1, 2017.

Yang, H., & Petrini, M. (2012). Effect of cognitive behavior therapy on sleep disorder in Parkinson’s disease in China: a pilot study. Nursing & health sciences14(4), 458-463.

N. E. Leland, D. Fogelberg, A. Sleight et al., “Napping and nighttime sleep: findings from an occupation-based intervention,” American Journal of Occupational Therapy, vol. 70, no. 4, pp. 7004270010p1–7004270010p7, 2016.

Teknologi 3D Printing dalam Rehabilitasi Kesehatan dan Praktik Terapi Okupasi

3D Printing dan Tren di Dunia Saat Ini

Memasuki era globalisasi menuju era pemanfaatan teknologi dan digitalisasi, kita seringkali melihat beragam media, teknologi yang semakin canggih di berbagai bidang dan lingkungan tempat kita hidup di masa kini. Adakah yang menyangka media alat cetak (printing) yang telah kita temui sejak dulu (saat ini pun masih ada upgrade-nya) berfungsi untuk mencetak objek dari file elektronik ke dalam tampilan 2 dimensi yang dapat kita saksikan di kertas, kain maupun perantara lainnya, kini berkembang hingga dapat mencetak objek dalam 3 dimensi?

Munculnya teknologi ini cukup mengejutkan dan saat ini terus berkembang. Dalam Gebhardt & Fateri (2013) menunjukkan beberapa penggunaan 3D printing dalam bidang pendidikan, kuliner, manufaktur, konstruksi, kesehatan, dan kesenian.

[Gambar. Gebhardt & Fateri (2013)]

3D Printing merupakan metode menciptakan objek fisik dengan memproses beberapa bahan baku, misalnya plastik, besi, keramik dan bahan lainnya untuk memproduksi sebuah objek tiga (3) dimensi, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jenis printer, yakni Selective Laser Sintering (SLS), Thermal Inject Printing (TIP) dan Fused Deposition Modelling (FDM) (Ventola, 2014). Eshkalak et al. (2020) menjelaskan proses dari penggunaan 3D printing, sebagai berikut:

  • Pertama, membuat desain tiga dimensi di komputer menggunakan software (aplikasi pengakses 3D maupun CAD).
  • Kedua, membuat model STL (format file yang terkait dengan desain 3D print) dan ubah jenis file ke format yang dapat dibaca printer.
  • Ketiga, menyesuaikan file desain ke dalam format STL yang telah dibuat.
  • Keempat, cetak produk dengan printer dan bersihkan bagian-bagian yang tidak diperlukan.
  • Kelima, produk siap digunakan dan dilakukan pemeliharaan.
[Gambar Proses 3D Printing – Eshkalak et al. (2020)]

Dalam riset Campbell et al. (2011) mengenai pengaruh 3D printing terhadap pengembangan manufaktur di dunia yang mana penggunaan nanotechnology dalam 3D printing mulai diminati dan dirasa memiliki keuntungan lebih baik daripada teknologi konvensional sebelumnya. Keuntungan yang ditunjukkan seperti (Campbell et al., 2011):

  1. Dapat menciptakan produk yang detail, kompleks dan murah daripada teknologi sebelumnya.
  2. Terhubung dengan sistem data elektronik dan internet yang mudah dikelola dan dibuat dimana hal ini dapat mencegah ‘pemborosan’ karena kesalahan produksi,
  3. Dapat memproduksi dalam jumlah besar dan dalam berbagai ukuran karena didesain melalui file dan dibantu fitur network file sharing sehingga desain dapat digunakan oleh banyak orang di dunia.
  4. Mengurangi sampah sisa produksi karena penggunaan printer ini tepat, terukur dan teliti terhadap bahan baku produk yang digunakan.
  5. Dikatakan lebih ramah lingkungan, ditunjukkan oleh tabel berikut.
[Gambar – 3D Printing disebut ramah lingkungan (Campbell et al., 2011)]

Meskipun kita memahami dengan keunggulan yang ada dari objek dan penggunaan 3D printing,  kita juga perlu memahami ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait misalnya copyright terhadap hak kekayaan intelektual, tujuan penggunaan dan produksi produk ilegal dan berbahaya, terutama tentang keamanan bahan yang ramah lingkungan, tidak berdampak buruk terhadap manusia bila dipakai maupun dikonsumsi dan terakhir persoalan etik yang penting diperhatikan dari produk yang diciptakan (Fang & Kumar, 2018).


Penggunaan 3D Printing dalam Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi Kesehatan

Dalam Yan et al. (2018) mendeskripsikan beberapa aplikasi 3D printing dan objek yang dibuat dalam pelayanan kesehatan, berupa model/purwarupa organ untuk analisis pelayanan bedah dan perencanaan sebelum operasi bedah, implan permanen sintetis (non-bioactive), membuat dasaran bioaktif dan biodegradable pada jaringan tubuh lokal dan mencetak secara langsung jaringan maupun organ tubuh. Kemudian, ditambahkan Santos et al. (2019) menyebutkan pengaruh sendok dengan modifikasi objek 3D printing menunjukkan peningkatan pengaruh terhadap rata-rata kemampuan dan kepuasan dalam okupasi makan daripada hanya menggunakan sendok tanpa modifikasi.

Manero et al. (2019) menambahkan tentang peranan 3D printing dalam kolaborasinya dengan teknologi robotik untuk pembuatan prostetik tangan yang dapat didesain sedemikian rupa melalui aplikasi komputer dengan menyalurkan kreativitas, menarik dan dapat menyesuaikan keinginan klien hingga berlanjut kolaborasi dengan virtual reality untuk melatih kembali fungsi tangan klien dengan prostetik tersebut.

[Gambar. Yan et al. (2018)]
[Gambar. Manero et al. (2019)]
[Gambar. Santos et al. (2019)]

Bukti bukti ilmiah dari penggunaan objek 3D printing di atas, bila kemudian ditelusuri tentang bagaimana efektivitasnya dalam pelayanan kesehatan, Diment, Thompson & Bergmann (2017) menyebutkan bahwa pemanfaatan 3D printing yang telah banyak ditemui peranannya dalam pelayanan kesehatan maupun rehabilitasi kesehatan berupa meningkatkan efisiensi tenaga, waktu dan biaya serta meningkatkan tepat guna dalam pelayanan kepada klien.

Selanjutnya, Liu (2018) menyebutkan bahwa efektivitas tersebut didukung oleh objek desain dari 3D printing yang dapat dikreasi, dibagikan ke khalayak seluruh dunia melalui data, bisa melalui universal design (ukuran sebagian banyak populasi), inclusive design (ukuran pada populasi yang lebih kecil & modifikasi dari universal design) dan customized design (ukuran khusus sesuai kebutuhan individual)  Namun, untuk menjadikan 3D printing ikut dalam standar praktik kesehatan di institusi kesehatan diperlukan pemeriksaan yang panjang, akurat dan mendalam (Diment, Thompson & Bergmann, 2017).


Penggunaan 3D Printing dalam Praktik Terapi Okupasi 

Dalam praktik terapi okupasi penggunaan 3D printing dapat memfasilitasi client-centeredness, dimana desain dibuat untuk memenuhi faktor individual dan dalam kebutuhan yang sangat spesifik. Pemanfaatan alat bantu (assistive device maupun assistive technology) dalam memberikan pelayanan kepada klien.

Adapun penggunaan alat bantu baik konvensional maupun berbasis teknologi mumpuni diulas dalam review literatur Lindstrom & Hemmingsson (2014), menyebutkan beberapa manfaat yang dirasakan dalam penggunaan alat bantu pada anak dengan disabilitas, yakni meningkatkan produktivitas belajar, membantu dalam latihan menulis, mengetik, berkomunikasi dan berhitung. Dengan dampak yang begitu membantu, maka rasanya penggunaan 3D printing dikenalkan lebih mendalam agar semakin banyak pemanfaatannya dalam praktik kesehatan.

Riset Janson et al. (2020) mengenai penggunaan beberapa jenis assistive devices dari objek 3D printing pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) yang mengalami masalah tangan. Aplikasi alat bantu tersebut dikatakan dapat menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan kemampuan okupasi dan tingkat kepuasan klien. Satu riset menyebutkan penggunaan 3D printing dilakukan dengan kolaborasi 3 (tiga) profesi terapis okupasi, teknisi biomedis dan pemustaka kesehatan (Wagner et al., 2018). Proses kolaborasi tersebut berjalan bertahap mulai melakukan pengukuran, merencanakan desain, membuat gambaran 3 dimensi, hingga memproduksi desain ke dalam produk cetak.

Berikutnya, Lee et al. (2019) juga menunjukkan bagaimana menerapkan objek 3D printing kepada klien untuk memaksimalkan produktivitas menulis. Modifikasi pada splint dengan objek 3D printing dilakukan dengan menambahkan pengait untuk menempatkan pulpen pada splint dan memudahkan klien untuk terlibat kembali pada okupasinya.

[Gambar. Janson et al. (2020)]
[Gambar. Wagner et al., 2018)]
[Gambar. Lee et al. (2019)]

KESIMPULAN

Peradaban dunia semakin canggih dengan banyak inovasi yang diterapkan di dalam pelayanan kesehatan. Penggunaan 3D printing dan objek produksinya seperti ulasan di atas menunjukkan manfaat dan potensi yang nyata untuk memudahkan pelayanan kesehatan dan terapi okupasi yang menjunjung prinsip berpusat pada klien. Namun, tentu tetap ada beberapa hal yang patut diperhatikan, baik hal operasional, teknis, maupun persiapan peralatan hingga pendalaman riset riset ilmiah sebelum Anda aplikasikan di lahan praktik.

Penggunaan 3D printing pada level klien, perlu memperhatikan ketepatan desain, pengukuran, pemilihan bahan hingga perawatan dan pemahaman safety precaution. Semoga berdampak. 


REFERENSI

Avf, S., La, L., Mf, A., A, C., & Zc, S. (2019). User-centered design of a customized assistive device to support feeding. Procedia CIRP, 84, 743-748. doi:10.1016/j.procir.2019.04.318

Campbell, T., William, C., Ivanova, O., & Garrett, B. (2011). Could 3D Printing Change the World? Technologies, Potential, and Implications of Additive Manufacturing. Atlantic Council_ Strategic Foresight Report, 1-15. Retrieved from http://globaltrends.thedialogue.org/wp-content/uploads/2014/11/Could-3D-Printing-Change-the-World-Technologies-Potential-and-Implications-of-Additive-Manufacturing.pdf

Diment, L. E., Thompson, M. S., & Bergmann, J. H. (2017). Clinical efficacy and effectiveness of 3D printing: A systematic review. BMJ Open, 7(12). doi:10.1136/bmjopen-2017-016891

Eshkalak, S. K., Ghomi, E. R., Dai, Y., Choudhury, D., & Ramakrishna, S. (2020). The role of three-dimensional printing in healthcare and medicine. Materials & Design, 194, 108940. doi:10.1016/j.matdes.2020.108940

Fang, E. H., & Kumar, S. (2018). The Trends and Challenges of 3D Printing. Encyclopedia of Information Science and Technology, Fourth Edition, 4382-4389. doi:10.4018/978-1-5225-2255-3.ch380

Gebhardt, A., & Fateri, M. (2016). 3D Printing and Its Applications. International Journal of Science and Research (IJSR), 5(3), 1532-1535. doi:10.21275/v5i3.nov162160

Hurst, E. J. (2016). 3D Printing in Healthcare: Emerging Applications. Journal of Hospital Librarianship, 16(3), 255-267. doi:10.1080/15323269.2016.1188042

Janson, R., Burkhart, K., Firchau, C., Hicks, K., Pittman, M., Yopps, M., . . . Garabrant, A. (2020). Three-dimensional printed assistive devices for addressing occupational performance issues of the hand: A case report. Journal of Hand Therapy, 33(2), 164-169. doi:10.1016/j.jht.2020.03.025

Lee, K. H., Kim, D. K., Cha, Y. H., Kwon, J., Kim, D., & Kim, S. J. (2018). Personalized assistive device manufactured by 3D modelling and printing techniques. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 14(5), 526-531. doi:10.1080/17483107.2018.1494217

Lidström, H., & Hemmingsson, H. (2014). Benefits of the use of ICT in school activities by students with motor, speech, visual, and hearing impairment: A literature review. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 21(4), 251-266. doi:10.3109/11038128.2014.880940

Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy, 85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179

Manero, A., Smith, P., Sparkman, J., Dombrowski, M., Courbin, D., Kester, A., . . . Chi, A. (2019). Implementation of 3D Printing Technology in the Field of Prosthetics: Past, Present, and Future. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(9), 1641. doi:10.3390/ijerph16091641

Tay, Y. W., Panda, B., Paul, S. C., Mohamed, N. A., Tan, M. J., & Leong, K. F. (2017). 3D printing trends in building and construction industry: A review. Virtual and Physical Prototyping, 12(3), 261-276. doi:10.1080/17452759.2017.1326724

Ventola, C. L. (2014). Medical Applications for 3D Printing Current and Projected Uses. Pharmacy and Therapeutics, 39(10), 704-711. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4189697/

Wagner, J. B., Scheinfeld, L., Leeman, B., Pardini, K., Saragossi, J., & Flood, K. (2018). Three professions come together for an interdisciplinary approach to 3D printing: Occupational therapy, biomedical engineering, and medical librarianship. Journal of the Medical Library Association, 106(3). doi:10.5195/jmla.2018.321

Yan, Q., Dong, H., Su, J., Han, J., Song, B., Wei, Q., & Shi, Y. (2018). A Review of 3D Printing Technology for Medical Applications. Engineering, 4(5), 729-742. doi:10.1016/j.eng.2018.07.021

Terapi Stem Sel pada Pediatric Neurodevelopmental Disorder

Penelitian tentang terapi pada kasus neurodevelopmental disorder terus berkembang tahun ke tahun. Banyak peneliti berusaha untuk menemukan cara terbaik untuk menangani gangguan yang mendasari gangguan neurodevelopmental. Gangguan neurodevelopmental adalah disabilitas yang terkait dengan fungsi sistem neurologis dan otak. Umumnya terjadi pada perkembangan awal dan ditandai dengan defisit perkembangan yang mengakibatkan gangguan fungsi seseorang, sosial, akademik, atau pekerjaan. Secara luas defisit gangguan berkisar mulai dari keterbatasan keterampilan belajar atau komunikatif, hingga yang lebih spesifik adalah gangguan global, interaksi sosial atau fungsi intelektual (American’s Children and the Environment (2015) & Ahn (2017)).

Meskipun gangguan Neurodevelopmental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),  Autism Spectrum Disorder (ASD) Intellectual Disabilty, Cerebral Palsy dan lain-lain umumnya terjadi saat masa kecil namun kondisinya dapat terus ada seumur hidup. Saat ini, perawatan yang tersedia seperti fisioterapi, terapi okupasi, terapi perilaku, intervensi  psikologi, terapi wicara dan intervensi farmakologi hanya fokus pada meringankan gejala gangguan ini dan tidak mengatasi neuropathophysiology yang mendasarinya (Sharma, et al., 2017). Para ilmuwan saat ini pun sedang mengembangkan penggunaan stem sel sebagai terapi karena stem sel diyakini dapat menjadi pilihan lain yang menjanjikan untuk menyembuhkan penyakit.


Apa itu stem sel?

Stem sel  menjadi topik yang banyak dibicaran tahun-tahun terakir ini di dunia medis. Stem sel atau ratu dari semua sel (Queen of all cells) adalah sel yang bersifat pleuropoten dan memiliki potensi luar biasa untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda dalam tubuh tanpa memiliki batas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Secara fundamental stem sel tidak memiliki struktur jaringan spesifik yang dapat membentuk fungsi spesifik tertentu. Namun bila dapat dikembangkan ke dalam fungsi spesifik, hal itulah yang dapat dimanfaatkan dalam dunia medis untuk membentuk sel otot jantung, sel darah dan sel saraf (Hassan, Hassan, G., & Rasool, 2009)

Stem sel ada di hampir setiap jaringan manusia, di dalam embrio, mereka berdiferensiasi ke semua jaringan dan organ tubuh, dan pada manusia yang berkembang sepenuhnya stem sel menyediakan kapasitas pembaruan di sebagian besar organ. Stem sel memiliki berbagai bentuk dan masing-masing memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut mengacu pada kemampuan stem sel untuk mereplikasi dan berdiferensiasi ke dalam tipe sel yang berbeda (Alessandrini, et al., 2019).


Bagaimana Mekanisme Stem Sel Pada Kasus Neurodevelopmental Disorder?

Beberapa tipe atau jenis stem sel ditemukan untuk treatment gangguan neurologis seperti bone marrow stem cells, embryonic stem cells, olfactory ensheathing cells dan umbilical cord blood cells (Sharma, et al., 2017). Tujuan dari terapi stem sel adalah untuk menempatkan sel terapeutik ke daerah sel yang terganggu / rusak di dalam otak, untuk merangsang perbaikan dan memelihara jaringan melalui efek parakrin (memberikan sinyal dari sel ke sel lain) , dan bahkan berpotensi untuk menghasilkan neuron baru (meskipun untuk menghasilkan neuron baru kemungkinan terjadinya lebih kecil) (Alessandrini, et al., 2019). 

Saat stem sel ditransplantasikan, stem sel akan bermigrasi dan pergi ke area otak yang terdapat gangguan Kemudian dipasangkan dengan faktor pertumbuhan (growth factors), chemokine dan reseptor matriks ekstraseluler pada permukaan sel seperti stromal cell-derived factor 1 (SDF‑1), monocyte chemo attractant protein‑3 (MCP‑3), stem cell factor (SCF) dan/atau IL‑8. Mereka kemudian berdiferensiasi ke dalam sel jaringan inang dan mengganti jaringan neuronal yang rusak atau mati. Melalui mekanisme parakrin mereka menghentikan cedera lebih lanjut dan merangsang sel-sel endogen untuk melakukan proses perbaikan dan pemulihan.

Kemudian stem sel mengeluarkan beragam faktor pertumbuhan neuroprotektif termasuk faktor neurotrofi yang berasal dari otak (Brain‐Derived Neurotrophic Factor), faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor), neurotrophin-3 (NT‑3), garis sel glial – faktor neurotrofi yang diturunkan (glial cell line–derived neurotrophic factor) dan insulin seperti growth factor tipe 1. Faktor-faktor pertumbuhan ini mengaktifkan sejumlah jalur sinyal dan membantu dalam meningkatkan diferensiasi, kelangsungan hidup sel saraf dan mempertahankan fungsi persarafan.

Mereka juga menghasilkan vaskular endothelial growth factor (VEGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF‑2) yang meningkatkan aliran darah dan meningkatkan angiogenesis (perkembangan sel darah baru). Faktor parakrin anti-inflamasi seperti Interleukin 10 (IL 10) dan Transforming growth factor (TGF)-β membantu dalam imunomodulasi (Sharma, et al., 2017).

Mekanisme aksi dari stem sel dalam gangguan neurologi pada pediatri.

Stem Sel Pada Pada Kondisi Autisme, Cerebral Palsy dan Intellectual Disability

Stem sel pada Autisme

Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al., (2013) tentang stem sel untuk anak dengan autism, dengan jumlah responden 32 anak autism dan dilakukan follow-up selama 26 bulan dengan menggunakan pemeriksaan Childhood Autism Rating Scale (CARS), Indian Scale for Autism Assessment (ISAA), Clinical Global Impression (CGI) dan Functional Independence Measure (FIM/Wee‐FIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 dari 32, (91%) anak mengalami peningkatan pada pemeriksaan ISAA, dan 20 (62%) anak mengalami penurunan yang cukup signifikan pada pemeriksaan CGI-I dan pada pemeriksaan CGI-II 96% anak menunjukan perkembangan secara menyeluruh.

Persentase peningkatan kemampuan pada Autisme setelah terapi stem sel.

Stem Sel pada Cerebral Palsy

Patologis utama dari cerebral palsy adalah kerusakan pada white matter. Stem sel pada cerebral palsy bertujuan untuk memperbaiki dan menggantikan white matter yang rusak. Penelitian tentang terapi stem sel pada cerebral palsy sudah banyak dilakukan. Dua puluh enam Studi yang telah dipublikasikan menunjukan 90% anak menunjukan perkembangan setelah terapi stem sel (Sharma, et al., 2017). Kemudian studi yang dilakukan oleh Sharma, et al,. (2015) berjudul A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients menunjukan 38 dari 40 responden (95%) menunjukan perkembangan dan 2 lainnya menunjukan hasil stabil tanpa ada penurunan. 

Peningkatan pada Cerebral Palsy setelah terapi stem sel.

Stem Sel pada Intellectual Disability

Pada kasus intellectual disability stem sel berfungsi untuk mengembalikan sinaptik penghubung yang terputus dan memberikan reinnervasi lokal ke area yang terkena dampak. Selain itu juga stem sel berfungsi mengintegrasikan jaringan saraf dan sinaptik yang ada dan membangun kembali koneksi sel-sel afferent fungsional dan efferent yang mungkin telah berkontribusi dalam memulihkan defisit kognitif dan fungsional pada ID (Kang H & Schuman EM (1995) dalam Sharma, et al., (2017)).

Studi yang dilakukan Sharma, et al., (2015) tentang stem sel pada mental retardasi (MR) dimana laporan menunjukan bahwa responden (seorang anak laki-laki) berusia 13 tahun dengan cacat intelektual yang menunjukkan peningkatan setelah terapi stem sel. Dia ditindak lanjuti setelah 3 dan 6 bulan intervensi. Tidak ada peristiwa buruk terjadi pasca intervensi. Selama 6 bulan, ia menunjukkan peningkatan kontak mata, kognisi, kemampuan belajar, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Skornya pada Pengukuran Kemandirian Fungsional (FIM) meningkat dari 67 menjadi 76. Selain itu juga pada pra dan pasca PET-CT scan, menunjukkan peningkatan aktivitas metabolisme hippocampus, amygdala kiri dan cerebellum. Perubahan ini berkorelasi dengan hasil fungsional.


Kesimpulan

Terapi stem sel merupakan inovasi teknologi yang memiliki efek penyembuhan pada gangguan “neurologi” kondisi neurodevelopmental disorders, namun, faktor “perkembangan” juga mempengaruhi plastisitas otak dan  maturasi sel. Gabungan antara stem sel dan intervensi rehabilitasi diasumsikan memiliki efek pemulihan dan perkembangan yang lebih baik. Oleh karena itu, studi lanjut diperlukan untuk mengetahui efek gabungan antara terapi stem sel dan intervensi rehabilitasi terutama pada gangguan neurodevelopmental disorders.


Referensi

American’s Children and the Environment.(2015). Neurodevelopemntal Disorder. EPA Govermen Production. USA https://www.epa.gov/sites/production/files/2015-10/documents/ace3_neurodevelopmental.pdf 

Ahn, D. H. (2016). Introduction: neurodevelopmental disorders. Hanyang Medical Reviews36(1).

Sharma, A., Sane, H., Gokulchandran, N., Badhe, P., Kulkarni, P., Pai, S., … & Paranjape, A. (2017). Stem cell therapy in pediatric neurological disabilities. Physical Disabilities-Therapeutic Implications117.

Hassan, A. U., Hassan, G., & Rasool, Z. (2009). Role of stem cells in treatment of neurological disorder. International journal of health sciences3(2), 227.

Alessandrini, M., Preynat-Seauve, O., De Bruin, K., & Pepper, M. S. (2019). Stem cell therapy for neurological disorders. South African Medical Journal109(8 Supplement 1), S71-S78. https://www.icddelhi.org/Stem_cell_therapy.html

Sharma A, Gokulchandran N, Sane H, Nagrajan A, Paranjape A, et al. Autologous bone marrow mononuclear cell therapy for autism – An open label proof of concept study. Stem Cells International. 2013;2013:13 pages. Article ID 623875.

Sharma A, Sane H, Gokulchandran N, Kulkarni P, Gandhi S, et al. A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients: a new frontier. Stem Cells International. 2015;2015:11 pages. Article ID 905874

Sharma A, Sane H, Paranjape A, Gokulchandran N, Kulkarni P, Nagrajan A, Badhe P. Positron emission tomography–computer tomography scan used as a monitoring tool following cellular therapy in cerebral palsy and mental retardation – A case report. Case Reports in Neurological Medicine. 2013;2013:6 pages. Article ID 141983

Virtual Reality dalam Terapi Okupasi

Sejauh Mana Globalisasi Berjalan?

Kita Menuju Zaman Digitalisasi, Revolusi Industri 5.0 – Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Menuju tahun 2030, dunia kian berkembang dan menumbuhkan tren-tren baru seputar teknologi dan perangkat digital nirkabel yang beberapa dapat membawa kita ke realitas dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Mari melihat Indonesia dari tahun 2010, zaman dimulai dengan menjamurnya penggunaan komputer dengan game online dan kecanggihan akses internet nirkabel di masyarakat. Berjalan kembali dalam lima tahun berikutnya, penggunaan perangkat genggam (mobile tech) berkembang pesat bersamaan dengan pengembangan teknologi virtual yang saat itu belum begitu familiar. Hari ini, tahun 2021 kenyataannya kita masih belum familiar juga dengan penggunaan teknologi virtual ini, meskipun kita sudah temui beberapa contoh, misalnya Nintendo Wii, Google Cardboard, Oculus, Virtual Reality Playstation, Google Glass, banyak varian teknologi Smart Home dan banyak lagi, baik perangkat kreatif baru yang muncul maupun bentuk upgrade dari perangkat-perangkat lama yang sudah ada. 

Pengembangan teknologi dalam ilmu terapi okupasi juga menunjukkan kemajuan pada setiap zamannya. Liu (2014) mencatat praktik terapi okupasi telah menunjukkan dedikasi dalam penerapan teknologi masa kini, seperti virtual reality, 3D printing, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotik, kendaraan otomatis-semi otomatis hingga pemanfaatan smart-home. Dalam Smith (2017) menceritakan bagaimana berkembangnya penggunaan teknologi di dunia terapi okupasi dari awal berdirinya terapi okupasi, hingga perspektifnya melihat penggunaan teknologi dalam terapi okupasi di sekian masa kedepannya. Hari ini pengembangan ilmu terapi okupasi sudah mendekati penerapan teknologi dalam pelayanan di banyak negara, khususnya di negara maju. Dalam melihat aspek klien dengan keterlibatan faktor person-environment-occupation di masa kini, aspek teknologi (technology) kini mulai ditambahkan sebagai tolak ukur dalam memandang klien dan melibatkan dalam intervensi.

Melihat klien secara holistik, selain menghubungkan aspek fisik-psikologis-okupasi-lingkungan dengan melibatkan maupun menambahkan penggunaan teknologi (Smith, 2017); Keterangan. AT: assistive techology, ET: environmental technology, TT: therapeutic technology, ORT: occupation-related technology.

Berkenalan dengan Virtual Reality

Penggunaan Virtual Home 3D – Sumber: https://www.nbcnews.com

Membahas virtual reality, kita mengenal kata reality dan virtual dari segi bahasa berarti kenyataan yang sebenarnya dan kemiripan dengan yang sebenarnya (KBBI, 2020). Realitas virtual menunjukkan kita adanya kenyataan yang mirip dengan yang kita lihat dari mata dan keberadaan kita. Ketika menggunakan virtual reality, kita akan masuk, terhubung dan berada di lingkungan yang berbeda, terlepas dari hal nyata.  Penggunaan virtual reality membutuhkan beberapa persiapan seperti software, hardware dan keterampilan pengguna (Berntsen, Palacios & Herranz, 2016).  Rose (2018) mendeskripsikan virtual reality terbagi atas 3 (tiga) tipe, non-immersive, semi-immersive dan fully immersive. Immersive, dari kata immersion, merupakan komponen penting pembangun lingkungan virtual di mana pengguna dapat sadar karena pengguna secara psikologis, perseptual dan terasa berada di sana (terhubung ke dalam dunia virtual) (Slater et al., 1996).  


Melihat Virtual Reality pada Rehabilitasi Medis

Membuka pembahasan bagaimana pengaruh virtual reality dalam rehabilitasi medik, melansir satu editorial Weiss & Katz (2004) menerangkan adanya lingkungan virtual dapat menjadi potensi yang baik untuk dilibatkan dalam pelayanan rehabilitasi medik. Munculnya virtual reality dalam masa itu menjadi kemajuan yang cukup visioner dan menguntungkan. Keunggulan dari virtual reality yang menghubungkan klien untuk partisipatif kepada lingkungannya (walaupun dengan lingkungan virtual atau mirip lingkungan sebenarnya) tetap dapat berfungsi sama interaktifnya dengan dunia sebenarnya.

Melihat pengembangan virtual reality di ranah rehabilitasi medik, dalam penelitian Kizony, Katz & Weiss (2003), virtual reality di masa lalu dilakukan dengan penggunaan-penggunaan virtual reality terhubung dengan media yang diaplikasikan melalui games untuk melatih klien dengan masalah neuromuskular. Riset berikutnya dalam Moreira et al. (2013), virtual reality juga digunakan dalam intervensi pola jalan pada klien pasca stroke menggunakan virtual reality (VR) device. Hal tersebut menunjukkan manfaat dalam perbaikan pola jalan dengan melibatkan klien pada latihan yang menyenangkan, partisipatif dan memiliki arti bagi klien. Dalam kasus lainnya, intervensi dengan virtual reality menunjukkan pengaruh positif dalam menangani masalah keseimbangan pada klien rawat jalan dengan cedera otak (Cuthbert et al., 2014).


Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakan Virtual Reality di Praktik Terapi Okupasi

Penggunaan Virtual Reality di Rumah – Sumber: https://healthprofessions.missouri.edu/proffitt-vr-ar-lab/  

Dalam penggunaan virtual reality pada klien dalam berbagai setting tentunya terdapat beberapa pertimbangan untuk memutuskan penggunaan virtual reality pada klien. Dalam area pediatri, virtual reality memiliki beberapa pengaruh di antaranya menstimulasi input berbagai sensori, kemampuan gerak, fungsi kognitif dan kinerja area okupasi. Misalnya dalam Galvin & Levac (2011), penggunaan virtual reality memiliki kategori dan fungsi yang berbeda-beda dari setiap sistemnya. Maka, dalam menuju langkah intervensi dan tujuan terapi yang akan diwujudkan, kita perlu menentukan media virtual reality yang tepat. Mengutip Lange et al. (2012), dalam melibatkan virtual reality pada intervensi rehabilitasi terapis perlu memperhatikan ketentuan aktivitas yang diberikan kepada klien, sebagai berikut.

  1. Diperlukan data pemeriksaan yang mendalam dan lengkap agar dapat menentukan target aktivitas terapi dengan tepat.
  2. Menyesuaikan tingkat kesulitan tugas dari yang mudah dilakukan terlebih dahulu.
  3. Mampu dilakukan klien dengan berulang-ulang dan bertahap secara terukur.
  4. Klien maupun terapis mampu memberikan umpan balik (feedback; internal feedback) terhadap kondisi klien demi tercapainya tujuan terapi.
  5. Dapat diperhitungkan, maksudnya dalam mengukur kemampuan klien selama penggunaan perangkat virtual reality dan kemajuan yang diperoleh klien.
  6. Suasana virtual dapat dibuat relevan dengan keadaan dunia sebenarnya termasuk dengan aktivitas fungsional yang dilakukan,
  7. Mampu memotivasi keterlibatan klien dan interaksi klien dengan aktivitas yang dilakukan. 

Menambahkan kembali dari Lange et al. (2012), adapun terdapat ketentuan-ketentuan software virtual reality yang perlu digunakan dalam rehabilitasi seperti (1) adanya pengaturan sistem agar dapat disesuaikan kepada pengguna, (2) platform atau permainan yang bervariasi, (3) terdapat variasi tema-tema tertentu di tiap platform, (4) adanya rangsangan kontrol yang diberikan (oleh sistem virtual reality), (5) terdapat beragam sudut pandang mode penggunaan dalam platform (first-person, third-person, role-play, dan sebagainya), (6) tampilan yang disajikan sistem, (7) feedback sistem yang ditimbulkan, (8) kemampuan pengguna yang dapat dicatat sebagai data, (9) penggunaan oleh banyak pengguna, (10) adanya kecerdasan buatan yang mendukung dan memberikan tantangan kepada pengguna, (11) serta adanya koneksi jaringan, baik media yang digunakan maupun koneksi dengan pusat sistem utama yang dikendalikan terapis. 

Disamping memperhatikan teknis dalam fasilitas, terapis juga perlu memperhatikan masukan dari klien perihal umpan balik (feedback) yang menggunakan virtual reality. Dalam kasus klien stroke pada Lewis et al. (2011), responden menyebutkan dalam memanfaatkan virtual reality ini memberikan tantangan dan perasaan baru kepada mereka, berkesan menunjukkan side effect dibandingkan layanan konvensional dan mencatat bahwa program virtual reality harus memiliki upgrade yang variatif agar dapat memfasilitasi klien dengan lebih baik. 

Dalam penggunaan perangkat virtual reality juga diperlukan dan memerhatikan panduan dan petunjuk penggunaan mencegah kesalahan maupun kecelakaan selama penggunaan. Berikut rangkuman petunjuk penggunaan dalam Class VR (2020).

  1. Pahami dengan tepat petunjuk keamanan dan pencegahan kecelakaan yang lengkap pada website https://www.classvr.com/health-and-safety/
  2. Lakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada perangkat virtual reality Anda sebelum digunakan dan gunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan, ketidaknyamanan penggunaan dan resiko kecelakaan dari perangkat.
  3. Pastikan kondisi Anda benar-bener sehat, tidak memiliki masalah kesehatan utamanya penyakit menular dan beresiko tinggi ketika menggunakan perangkat virtual reality.
  4. Gunakan dengan perangkat virtual reality dengan pengaturan perangkat yang aman dan nyaman bagi Anda.
  5. Batasi waktu penggunaan dalam durasi yang wajar dan aman (anak-anak: tidak lebih dari 15 menit; remaja atau dewasa: tidak lebih dari 30 menit; berikan jeda istirahat 10-15 menit setelah pemakaian).
  6. Setidaknya minta seorang pengasuh maupun pendamping untuk menemani dan mengawasi Anda ketika sedang menggunakan perangkat virtual reality untuk menjamin keamanan dan mencegah resiko kecelakaan (lakukan ini terutama bila Anda merupakan anak-anak maupun lanjut usia).
  7. Bila mengalami keluhan-keluhan setelah menggunakan perangkat, segera hubungi dokter.

Catatan Lebih Lanjut tentang Virtual Reality, Rehabilitasi dan Terapi Okupasi 

Keterlibatan virtual reality dalam praktik rehabilitasi dan terapi okupasi juga tercatat dalam beberapa riset yang telah dilakukan. Pada setting pediatri, ditemukan intervensi virtual reality dalam beberapa kondisi seperti autism spectrum disorder, down syndrome, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. Dalam studi Levac et al. (2017) dan Snider, Majnemer & Darsaklis (2010), menunjukkan pengaruh penggunaan virtual reality pada klien dengan cerebral palsy. Penggunaan virtual reality ini dapat membantu klien untuk melatih kemampuan kontrol motorik, keseimbangan berdiri dan bergerak hingga persiapan berjalan, dan tercatat berpengaruh terhadap level plastisitas, masalah motorik dan visual-perseptual anak. Penggunaan virtual reality di rumah dapat meningkatkan ketertarikan dan partisipasi anak cerebral palsy hingga orang tua/pengasuh untuk melakukan terapi dan mendampingi selama terapi di rumah.

Berikutnya dalam Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015) dengan penggunaan media virtual reality di rumah menunjukkan dampak positif pada pola gerak untuk meraih dan kemampuan fungsional tangan pada anak dengan hemiplegic cerebral palsy. Selain itu dalam penanganan virtual reality pada anak dengan acquired brain injury terdapat pengaruh terhadap motivasi, kepuasan bermain (playfulness), partisipasi, keterlibatan hingga kinerja fungsional anak dalam okupasinya (Bart et al., 2011).

Visualisasi penggunaan virtual reality pada klien cerebral palsy – Sumber: Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015)

Selain dalam kondisi anak dengan cerebral palsy, ditemukan juga pengaruh virtual reality pada anak dengan down syndrome dan autism spectrum disorder level tinggi (Wuang et al., 2011; Gal et al., 2015). Virtual reality pada anak dengan down syndrome ditunjukkan memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsi sensori-motor dan disarankan sebagai layanan tambahan di rumah untuk membantu proses rehabilitasi. Pada anak dengan autism spectrum disorder level tinggi menunjukkan virtual reality dapat berperan meningkatkan interaksi sosial khususnya di lingkungan sekolah.

Hal yang sama juga ditemukan pada Stendal & Baladin (2015) bahwa anak dengan autism spectrum disorder terbantu untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya dengan menggunakan dunia virtual melalui virtual reality. Berada dalam virtual reality membawa anak dalam dunia yang menurutnya lebih menerima keberadaannya (daripada lingkungannya di dunia nyata) dan merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan interaksi dengan pengguna lainnya secara virtual. Dalam menerapkan virtual reality dalam setting pediatri (dalam berbagai kondisi klien) terapis perlu menerapkan inklusivitas penggunaan teknologi dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, ketepatan fungsi dan mampu menyesuaikan klien, serta dapat meningkatkan keterlibatan klien, tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sebenarnya dan memperhatikan perkembangan anak (Chantry & Dunford, 2010). 

Dalam layanan terapi okupasi menggunakan media virtual reality di area fisik dan dewasa, secara khusus pada masalah neuromuskular terdapat beberapa riset yang mendalami hal tersebut. Berikutnya Mekbib et al. (2020); Wiley, Khattab & Tang (2020); Kong et al. (2016); Rand, Weiss & Katz (2009) tercatat membahas perihal peranan virtual reality pada kondisi stroke. Media virtual reality dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan fungsional alat gerak atas, kinerja okupasi dan partisipasi klien, kemampuan memori dan berpikir klien, kemudian juga menunjukkan manfaat untuk memotivasi dan dapat menjadi metode intervensi yang efektif untuk mengembangkan fungsi eksekutif dan memanajemen kemampuan multitasking/koordinasi dalam tugas (Wiley, Khattab & Tang, 2020; Boone, Wolf & Engsberg, 2019; Rand, Weiss & Katz, 2009).

Namun, pernyataan berlawanan dikatakan oleh Kong et al. (2016) bahwa penanganan dalam 12 sesi menggunakan virtual reality untuk latihan alat gerak atas belum dapat menunjukkan efektivitas yang maksimal pada klien dengan stroke. Maka setelah membaca rangkuman bukti ilmiah di atas, efek terapeutik dari virtual reality juga perlu penyesuaian dan ketentuan terapi yang tepat pada setiap klien.

Dalam kasus lain pada Dalam Cole et al. (2009), menghadapkan pasien pasca amputasi dengan stump kepada penggunaan virtual reality menunjukkan penurunan rasa nyeri yang signifikan ketika mengaplikasikan virtual reality dalam mencobakan kepada prostesis yang akan digunakan. Berikutnya dalam Sharar et al., (2008), pemanfaatan virtual reality digunakan kepada pasien dengan luka bakar (combustio) dalam rehabilitasi menunjukkan dampak yang lebih baik terhadap penurunan perasaan nyeri dan meningkatnya perasaan menyenangkan dibandingkan tanpa virtual reality. Kedua fenomena di atas memanfaatkan virtual reality dengan memanfaatkan virtual reality untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan dalam selama penyesuaian menggunakan prosthesis dan  memfasilitasi  latihan lingkup gerak sendi area luka kepada rasa menyenangkan dari virtual reality yang sedang digunakan. 

Game Whack a Mole ciptaan University of Alberta – Sumber: Liu (2014)

Peran virtual reality juga dapat dijumpai di ranah kesehatan jiwa. Penggunaan virtual reality pada klien dengan resiko obesitas menunjukkan respon tubuh yang cukup baik terhadap latihan (Bacon, Farnworth & Boyd, 2012). Riset lain meneliti peran virtual reality pada klien lansia dengan demensia untuk menerapkan terapi kognitif reminiscence tidak menunjukkan pengaruh yang berarti kepada kemampuan kognitif-memori klien dan ditemukan kontraindikasi ringan berupa keluhan nyeri mata, kepala terasa berat, kecemasan, dan perasaan sensitif (Coelho et al., 2020). Penggunaan virtual reality ini sebetulnya dapat menjadi rekomendasi bagi praktik terapi okupasi di setting kesehatan jiwa, dengan asumsi dapat memberikan keamanan dan variasi program yang lebih adaptif dan partisipatif seperti halnya melakukan aktivitas di realitas sebenarnya. Namun, hal tersebut diperlukan pertimbangan yang tepat dalam menerapkan virtual reality kepada beberapa kondisi klien tentu dengan berdasar pada bukti ilmiah yang kuat, relevan dan memperhatikan safety precaution setiap intervensi.


KESIMPULAN

Berada di zaman kemajuan dan digitalisasi, tantangan pelayanan terapi okupasi untuk bertransformasi melibatkan teknologi dalam pemberian layanan, menjadi catatan bagi kita semua untuk memanfaatkan majunya zaman dengan sebaik-baiknya. Di tengah pencarian dan pengembangan bukti ilmiah yang kuat dari pemanfaatan virtual reality dan teknologi lainnya menjadi pencapaian yang sedang dikejar untuk segera diwujudkan untuk menguatkan kebermanfaatan teknologi untuk dilibatkan sebagai media dalam layanan rehabilitasi, utamanya terapi okupasi.

Semoga menginspirasi, semoga berdampak. 


REFERENSI

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Virtual. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/virtual

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Realitas. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/realitas

Bacon, N., Farnworth, L., & Boyd, R. (2012). The Use of the Wii Fit in Forensic Mental Health: Exercise for People at Risk of Obesity. British Journal of Occupational Therapy, 75(2), 61-68. doi:10.4276/030802212×13286281650992

Bart, O., Agam, T., Weiss, P. L., & Kizony, R. (2011). Using video-capture virtual reality for children with acquired brain injury. Disability and Rehabilitation, 33(17-18), 1579-1586. doi:10.3109/09638288.2010.540291

Berntsen, K., Palacios, R. C., & Herranz, E. (2016). Virtual reality and its uses. Proceedings of the Fourth International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality. doi:10.1145/3012430.3012553

Boone, A. E., Wolf, T. J., & Engsberg, J. R. (2019). Combining Virtual Reality Motor Rehabilitation With Cognitive Strategy Use in Chronic Stroke. American Journal of Occupational Therapy, 73(4). doi:10.5014/ajot.2019.030130

Chantry, J., & Dunford, C. (2010). How do Computer Assistive Technologies EnhanceParticipation in Childhood Occupations for Children with Multiple and Complex Disabilities? A Review of the Current Literature. British Journal of Occupational Therapy, 73(8), 351-365. doi:10.4276/030802210×12813483277107

Chen, Y., Garcia-Vergara, S., & Howard, A. M. (2015). Effect of a Home-Based Virtual Reality Intervention for Children with Cerebral Palsy Using Super Pop VR Evaluation Metrics: A Feasibility Study. Rehabilitation Research and Practice, 2015, 1-9. doi:10.1155/2015/812348

ClassVR. (2020). Retrieved April 1, 2021, from https://www.classvr.com/health-and-safety/

Coelho, T., Marques, C., Moreira, D., Soares, M., Portugal, P., Marques, A., . . . Fernandes, L. (2020). Promoting Reminiscences with Virtual Reality Headsets: A Pilot Study with People with Dementia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(24), 9301. doi:10.3390/ijerph17249301

Cole, J., Crowle, S., Austwick, G., & Slater, D. H. (2009). Exploratory findings with virtual reality for phantom limb pain; from stump motion to agency and analgesia. Disability and Rehabilitation, 31(10), 846-854. doi:10.1080/09638280802355197

Cuthbert, J. P., Staniszewski, K., Hays, K., Gerber, D., Natale, A., & O’Dell, D. (2014). Virtual reality-based therapy for the treatment of balance deficits in patients receiving inpatient rehabilitation for traumatic brain injury. Brain Injury, 28(2), 181-188. doi:10.3109/02699052.2013.860475

Gal, E., Lamash, L., Bauminger-Zviely, N., Zancanaro, M., & Weiss, P. L. (2015). Using Multitouch Collaboration Technology to Enhance Social Interaction of Children with High-Functioning Autism. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 36(1), 46-58. doi:10.3109/01942638.2015.1040572

Galvin, J., & Levac, D. (2011). Facilitating clinical decision-making about the use of virtual reality within paediatric motor rehabilitation: Describing and classifying virtual reality systems. Developmental Neurorehabilitation, 14(2), 112-122. doi:10.3109/17518423.2010.535805

James, S., Ziviani, J., King, G., & Boyd, R. N. (2015). Understanding Engagement in Home-Based Interactive Computer Play: Perspectives of Children With Unilateral Cerebral Palsy and Their Caregivers. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 36(4), 343-358. doi:10.3109/01942638.2015.1076560

Kizony, R., Katz, N., & Weiss, P. L. (2003). Adapting an immersive virtual reality system for rehabilitation. The Journal of Visualization and Computer Animation, 14(5), 261-268. doi:10.1002/vis.323

Kong, K., Loh, Y., Thia, E., Chai, A., Ng, C., Soh, Y., . . . Tjan, S. (2016). Efficacy of a Virtual Reality Commercial Gaming Device in Upper Limb Recovery after Stroke: A Randomized, Controlled Study. Topics in Stroke Rehabilitation, 23(5), 333-340. doi:10.1080/10749357.2016.1139796

Lange, B., Koenig, S., Chang, C., Mcconnell, E., Suma, E., Bolas, M., & Rizzo, A. (2012). Designing informed game-based rehabilitation tasks leveraging advances in virtual reality. Disability and Rehabilitation, 34(22), 1863-1870. doi:10.3109/09638288.2012.670029

Levac, D., Mccormick, A., Levin, M. F., Brien, M., Mills, R., Miller, E., & Sveistrup, H. (2017). Active Video Gaming for Children with Cerebral Palsy: Does a Clinic-Based Virtual Reality Component Offer an Additive Benefit? A Pilot Study. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 38(1), 74-87. doi:10.1080/01942638.2017.1287810

Lewis, G. N., Woods, C., Rosie, J. A., & Mcpherson, K. M. (2011). Virtual reality games for rehabilitation of people with stroke: Perspectives from the users. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 6(5), 453-463. doi:10.3109/17483107.2011.574310

Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy, 85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179

Moreira, M. C., Lima, A. M., Ferraz, K. M., & Rodrigues, M. A. (2013). Use of virtual reality in gait recovery among post stroke patients – a systematic literature review. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 8(5), 357-362. doi:10.3109/17483107.2012.749428

Rand, D., Weiss, P. L. (T.), & Katz, N. (2009). Training multitasking in a virtual supermarket: A novel intervention after stroke. American Journal of Occupational Therapy, 63, 535–542. 

Rose, T., Nam, C. S., & Chen, K. B. (2018). Immersion of virtual reality for rehabilitation – Review. Applied Ergonomics, 69, 153-161. doi:10.1016/j.apergo.2018.01.009

Slater, M., Linakis, V., Usoh, M., Kooper, R., 1996. Immersion, presence, and performance in virtual environments: an experiment with tri-dimensional chess. In: Proceedings of the 3rd {ACM} Symposium on Virtual Reality Software and Technology ({VRST} 1996), Hong Kong, China, pp. 163–172 10.1.1.34.6594.

Smith, R. O. (2017). Technology and Occupation: Past, Present, and the Next 100 Years of Theory and Practice. American Journal of Occupational Therapy, 71(6). doi:10.5014/ajot.2017.716003

Snider, L., Majnemer, A., & Darsaklis, V. (2010). Virtual reality as a therapeutic modality for children with cerebral palsy. Developmental Neurorehabilitation, 13(2), 120-128. doi:10.3109/17518420903357753

Stendal, K., & Balandin, S. (2015). Virtual worlds for people with autism spectrum disorder: A case study in Second Life. Disability and Rehabilitation, 37(17), 1591-1598. doi:10.3109/09638288.2015.1052577

Weiss PL, Katz N. The potential of virtual reality for rehabilitation. J Rehabil Res Dev. 2004 Sep; 41(5) : vii-x. PMID: 15558392.

Wiley, E., Khattab, S., & Tang, A. (2020). Examining the effect of virtual reality therapy on cognition post-stroke: A systematic review and meta-analysis. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 1-11. doi:10.1080/17483107.2020.1755376

Wuang, Y., Chiang, C., Su, C., & Wang, C. (2011). Effectiveness of virtual reality using Wii gaming technology in children with Down syndrome. Research in Developmental Disabilities, 32(1), 312-321. doi:10.1016/j.ridd.2010.10.002

Robotics Dalam Terapi Okupasi

Pemanfaatan teknologi robot tampaknya sudah tak asing lagi saat ini. Banyak orang berlomba-lomba menciptakan robot guna memudahkan pekerjaan sehari-hari manusia karena robot dapat digunakan di berbagai setting seperti pada industri, keamanan hingga pada bidang medis terapan. Penggunaan robotika pada bidang medis terutama pada rehabilitasi medis sudah sejak lama diteliti dan dikembangkan. Hal ini dibuktikan dengan telah dilakukannya penelitian oleh Glass & Hall (1987)  yang mengungkapkan bahwa penggunaan robot pada rehabilitasi medis dinilai dapat memberikan manfaat bagi terapis maupun klien di masa depan karena dapat menghemat biaya dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan terapis. Bahkan 51 terapis okupasi di empat rumah sakit yang menjadi responden penelitian memiliki respon positif dan mengungkapkan ingin mempelajari lebih dalam tentang penggunaan robot untuk membantu orang-orang dengan disabilitas.

Gambar : Quadriplegic Commands Robot to Brush His Teeth Robotic System Developed by the Palo Alto Veterans Administration Hospital and Stanford University

Penggunaan Robotika Pada Rehabilitasi Medis

Pada rehabilitasi medis penggunaan robot dikenal dengan istilah  “Robotic Therapy” atau “Robot- assisted- therapy”. Robot didefinisikan sebagai mesin yang mampu melakukan serangkaian tindakan kompleks secara otomatis, terutama yang dapat diprogram oleh komputer (Robot, n.d). Keuntungan terpenting menggunakan teknologi robot dalam intervensi rehabilitasi adalah kemampuan untuk memberikan dosis tinggi dan pelatihan intensitas tinggi yang mana digunakan untuk pengoptimalan kemampuan neuroplatisitas dalam pengembalian kemampuan fungsional klien. Selain itu robot juga diharapkan dapat digunakan klien untuk latihan secara mandiri dirumah, bukan untuk menggantikan peran terapis namun untuk membantu meningkatkan kesuksesan program terapi (Sivan (2011) dalam Chang & Kim, (2013) & Díaz, Gil, & Sánchez (2011)).

Robotics rehabilitation dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu therapeutic robots dan assistive robots. Therapeutic robots merupakan robot yang didesain untuk latihan aktivitas tertentu (task-specific training) sedangkan  assistive robots bertujuan sebagai alat bantu atau kompensasi (Lum, 2012). 

Example of Therapeutic Robotic : device for motor training : (A) End effector- type (InMotion 2.O Interactive motion technologies, Watertown, MA, USA, (B) ExoskeletonType (Armeo, Hocoma, Swizeland)
Gambar Eating Assistive Robot : www.assistive-innovations.com/en/eatingdevices

Apakah Penggunaan Robot untuk Rehabilitasi Efektif?

Penelitian tentang robot therapy berkembang sangat cepat dari tahun ke tahun. Telah banyak penelitian dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan robotika ini dalam menunjang proses rehabilitasi. Penelitian yang dilakukan Kim G (2017) melalui investigasi literatur apakah robot efektif digunakan untuk membantu proses recovery klien stroke dengan permasalahan ekstremitas atas, mengkonfirmasi bahwa terapi yang dibantu robot dengan gerakan tiga dimensi dan tingkat kebebasan yang tinggi, memiliki efek positif pada pemulihan fungsi motorik ekstremitas atas pada pasien dengan stroke tahap awal dalam pengaturan klinis. Kemudian terdapat penelitian yang membandingkan efektivitas terapi konvensional dengan terapi menggunakan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas atas pada klien post-stroke menunjukkan bahwa terapi menggunakan robot memiliki keuntungan lebih dibanding dengan terapi konvensional, grup terapi dengan robot memiliki peningkatan gerakan yang lebih luas dalam hal kekuatan, lingkup gerak sendi bahkan dalam level  kemandirian ( Lum, 2002).

Penelitian telah banyak menunjukkan bahwa menggunakan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas atas dinilai sebanding atau lebih baik daripada terapi konvensional, namun penggunaan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas bawah dinilai masih belum begitu jelas apakah lebih lebih baik dibanding dengan terapi konvensional jika diberikan tanpa terapi konvensional, karena selama ini terapi robot untuk ekstremitas bawah masih digunakan untuk melengkapi terapi konvensional (Chang & Kim , 2013).


Apa Saja Tantangan Yang Dihadapi Dalam Penggunaan Robotic Therapy?

Sistem robotik diyakini akan banyak diterapkan sebagai alat rehabilitasi standar dalam waktu dekat. Saat ini upaya di seluruh dunia sedang dilakukan dalam penyempurnaan penggunaan robotika dalam rehabilitasi. Banyak robot therapy yang telah dibuat dan dikembangkan namun masih sedikit yang dipasarkan. Selain itu, sistem yang tersedia di pasar belum dikembangkan untuk aplikasi di rumah. Alasan utamanya adalah peningkatan biaya, kurangnya bukti peningkatan klinis yang tinggi, dan kebutuhan akan protokol terapi dan kriteria assessment yang akan digunakan. Selain itu, masih banyak kekurangan dari segi sistem dan ketahanan daya dari robotic therapy. Penggunaan sistem robotik memungkinkan pengukuran pola gerak dan dinamika gerakan yang tepat, yang harus digunakan untuk menilai kemampuan dan kemajuan proses recovery klien. Selain meningkatkan kualitas gerak, robotika juga dapat memfasilitasi kemandirian fungsional dalam kerangka penerapan robotika sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari. Tentu, diperlukan penyesuaian kebutuhan individual, pengembangan protokol dan prosedur standar perawatan dan pengukuran untuk mendapatkan data penilaian yang akurat. 

Proses recovery kemampuan berjalan pasien yang diterapi menggunakan robot tetap membutuhkan menggunakan pemeriksaan klinis. Mengenai penggunaan sistem robotik, kecepatan langkah kaki dan jarak dalam berjalan kaki, lingkup gerak sendi, dan langkah dinamis lainnya telah digunakan untuk penilaian assessment dengan sistem robotika ini. Dalam okupasional, aktivitas menggunakan bantuan robotika dapat dinilai secara kualitatif, baik tentang kinerjanya maupun kepuasannya. Memang tidak ada metode terstandar dalam penerapan robotika ini. Oleh karena itu, diperlukan uji klinis yang besar untuk menentukan kriteria klinis untuk penggunaannya (Díaz, Gil, & Sánchez, 2011).


Referensi 

Glass, K., & Hall, K. (1987). Occupational therapists’ views about the use of robotic aids for people with disabilities. American Journal of Occupational Therapy41(11), 745-747.

Robot [Def. 1]. (n.d.). Oxford Living Dictionaries. Retrieved March 6, 2021, from https://en.oxforddictionaries.com/definition/Robot

Chang, W. H., & Kim, Y. H. (2013). Robot-assisted therapy in stroke rehabilitation. Journal of stroke15(3), 174.

Lum PS, Godfrey SB, Brokaw EB, Holley RJ, Nichols D. Robotic approaches for rehabilitation of hand function after stroke. Am J Phys Med Rehabil. 2012;91:S242–S254. 

Kim, G., Lim, S., Kim, H., Lee, B., Seo, S., Cho, K., & Lee, W. (2017). Is robot-assisted therapy effective in upper extremity recovery in early stage stroke?—a systematic literature review. Journal of physical therapy science29(6), 1108-1112.

Díaz, I., Gil, J. J., & Sánchez, E. (2011). Lower-limb robotic rehabilitation: literature review and challenges. Journal of Robotics2011.

Lum, P. S., Burgar, C. G., Shor, P. C., Majmundar, M., & Van der Loos, M. (2002). Robot-assisted movement training compared with conventional therapy techniques for the rehabilitation of upper-limb motor function after stroke. Archives of physical medicine and rehabilitation83(7), 952-959.

Mencapai Tujuan Terapi Okupasi Melalui Occupational Performance Coaching

Belajar didampingi Ibu – Gambar oleh Chuck Underwood dari Pixabay

Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel. 

Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka


Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi

Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).

Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini. 

Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org

Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.


Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi

Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC)

Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan. 


Seberapa Efektif Occupational Performance Coaching (OPC)?

Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.

Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.


Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi

Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:

  1. OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
  2. Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
  3. Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/

Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:

  1. Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
  2. Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
  3. Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
  4. Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.

Prosedur Penerapan Occupational Performance Coaching (OPC)

Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:

  1. Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan), 
  2. Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
  3. Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.

Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus

Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:

  1. Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang dituju tentu menyesuaikan individual klien.
  2. Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
  3. Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
  4. Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri. 

Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada. 

Sekian, semoga memberikan dampak.


Referensi

Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation, 41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398

Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993

Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy, 77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7

Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581

Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy, 77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791

Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation, 40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474

Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal, 62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175

Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466

Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation, 42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521

Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal, 66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573

Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy, 68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006

Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation, 26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932

Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury, 32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365


Artikel Suplemen

Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119

Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development, 36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x

Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy, 82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944

Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy, 4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219

Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation, 30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256

Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845

Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy, 81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869

Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy, 81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001

Pentingnya Memahami Neuroplastisitas Bagi Terapis Okupasi

Masih ingatkah saat pertama kali bertemu dengan klien dengan kondisi stroke? dimana klien tidak mampu melakukan aktivitas kesehariannya bahkan hanya diminta mengangkat bahu ke atas saja sulit bagi mereka karena hilangnya memori di otak tentang hal tersebut yang diakibatkan oleh hilangnya 120 juta neuron 830 miliar synapses, dan 714 km serat myeline setiap jam nya saat setelah terserang stroke (Jaffrey, 2006).

Mungkin pernah terbesit apakah kemampuan fungsional klien akan diperoleh kembali. Namun setelah satu tahun berlalu melihat progress intervensi tersebut, klien bisa mengangkat bahunya bahkan sudah mulai makan dengan bantuan minimal. Hal itu disebabkan karena otak manusia memiliki kemampuan super yang dinamakan neuroplastisitas.


Apa itu Neuroplastisitas ?

     Neuroplastisitas didefinisikan sebagai kemampuan otak untuk mengubah, merombak dan mengorganisasi ulang untuk kemampuan yang lebih baik dalam beradaptasi di situasi baru. Sambungan atau sinap sistem saraf otak dapat terbentuk dan hilang secara dinamis tergantung pada pengalaman yang dialami (Cajal (1955) dalam Demarin Vida et al., (2016)). Neuroplastisitas ini sudah ada sejak otak kita terbentuk yaitu sejak dalam kandungan, berkembang pesat saat masa kecil dan masih terus ada hingga kita tua. Maka dari itu meskipun klien stroke  sudah berumur 50 tahun lebih dia masih mungkin tetap bisa mempelajari kemampuan yang hilang dari memori otaknya meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena stroke recovery merupakan hal yang kompleks.

Beberapa penelitian yang membahas tentang perbandingan waktu proses recovery pada otak tikus dan manusia yang sedang menderita stroke menunjukan bahwa pada hewan yaitu tikus membutuhkan waktu maksimal empat minggu sedangkan proses recovery pada klien stroke kebanyakan membutuhkan waktu tiga bulan (Krakauer et al,  (2012) & Dimyan & Cohen (2011).


Terjadinya neuroplastisitas di otak. – iStock

Bagaimana Memaksimalkan Neuroplastisitas Untuk Mengembalikan Kembali Fungsi Yang Hilang?

      Rehabilitasi training merupakan salah satu cara efektif untuk mengembalikan kemampuan otak dan kemampuan fungsional karena kerusakan saraf otak, karena otak dan sistem motor belajar dari pengulangan atau repetisi dan juga latihan (Jeffrey, 2008 & ESO (2008)). Rehabilitasi training meliputi proses mencapai kembali dan juga menjaga kemampuan fungsional fisik, intelektual, psikologis dan kehidupan sosial (Stucki, Cieza & Melvin, 2001).  Hal ini sangat sejalan dengan praktik terapi okupasi dalam menangani klien dengan kerusakan saraf otak seperti stroke. Maka seorang terapis okupasi harus dapat melakukan assessment dan intervensi yang tepat untuk memaksimalkan fungsional outcome.

     Seorang terapis okupasi juga harus dapat melakukan analisis aktivitas bagi kliennya, dikarenakan aktivitas yang kompleks seperti makan sebaiknya dipecah menjadi aktivitas sederhana agar otak mampu merekam dengan mudah. Pengulangan gerakan sangat disarankan dalam proses rehabilitasi, dikarenakan dapat memperkuat jalur saraf otak yang dibentuk kembali. Selain latihan gerak yang rutin dan berulang seorang okupasi terapis juga memberikan tujuan dan konteks dari gerakan tersebut, contohnya saat kita melatih klien kita untuk fleksi elbow maka klien juga memahami bahwa tujuan fungsional dari latihan gerakan fleksi elbow tersebut adalah untuk membawa makanan ke mulut saat aktivitas makan. Hal ini bertujuan agar otak terstimulasi untuk membentuk neural circuit atau jalur saraf yang dapat membawa ke tahapan eksekusi dari tujuan akhir ( Demarin Vida et al., 2016).

Terapi Okupasi dapat membantu perkembangan neuroplastisitas otak – Gambar oleh Hamilton Viana Viana dari Pixabay

Referensi

Demarin, V., & MOROVIĆ, S. (2014). Neuroplasticity. Periodicum biologorum116(2), 209-211.

Saver, J. L. (2006). Time is brain—quantified. Stroke37(1), 263-266.

Kleim, J. A., & Jones, T. A. (2008). Principles of experience-dependent neural plasticity: implications for rehabilitation after brain damage. Journal of speech, language, and hearing research

Stucki, G., Cieza, A., & Melvin, J. (2007). The international classification of functioning, disability and health: A unifying model for the conceptual description of the rehabilitation strategy. Journal of rehabilitation medicine39(4), 279-285. 

Krakauer, J. W., Carmichael, S. T., Corbett, D., & Wittenberg, G. F. (2012). Getting neurorehabilitation right: what can be learned from animal models?. Neurorehabilitation and neural repair26(8), 923-931.

Dimyan, M. A., & Cohen, L. G. (2011). Neuroplasticity in the context of motor rehabilitation after stroke. Nature Reviews Neurology7(2), 76-85.

Quinn, T. J., Paolucci, S., Sunnerhagen, K. S., Sivenius, J., Walker, M. F., Toni, D., & Lees, K. R. (2009). European Stroke Organisation (ESO) Executive Committee ESO Writing Committee Evidence-based stroke rehabilitation: an expanded guidance document from the European Stroke Organisation (ESO) guidelines for management of ischaemic stroke and transient ischaemic attack 2008. Journal of Rehabilitation Medicine: official journal of the uEMS European Board of physical and Rehabilitation Medicine41, 99-111.

Nature Based OT Seri Satu : Menggunakan Alam Sebagai Co-fasilitator

Setting terapi okupasi terus berkembang seiring berjalannya waktu. Saat ini terapis okupasi dapat mendayagunakan outdoor atau luar ruangan sebagai lingkungan yang terapetik. Lingkungan yang baik dan alami dipercaya  menjadi salah satu komponen yang dapat menunjang kesuksesan terapi dikarenakan memberikan efek yang positif terhadap individu. Sesuai dengan terapi okupasi model yaitu Person Occupation Environment (PEO), menyatakan bahwa person, occupation dan environment saling mempengaruhi satu sama lain dalam performance outcomes seseorang (Law, et al, 1996; Strong, et al, 1999; Turpin & Iwama, 2011) serta interaksi yang dilakukan antara individu dengan lingkungan dapat membantu perkembangan otak (Schaaf R.C & Miller L (2005).  Maka dari itu, seorang terapis okupasi sebaiknya dapat memberikan lingkungan positif dan sealami mungkin yang dapat meningkatkan performance outcome klien.

Anak-Anak Bermain bersama di Alam Terbuka – Gambar oleh 이룬 봉 dari Pixabay

Apa Itu Okupasi Terapis Berbasis Alam?

Alam didefinisikan sebagai bentuk fisik dunia, fenomena-fenemona yang terjadi di dalamnya dan juga objek-objek yang ada seperti hewan, air, pasir, tanaman dan lain-lain (Nature, n.d). Okupasi terapi berbasis alam berarti menggunakan lingkungan alami untuk intervensi terapi okupasi yang mana di dalamnya dapat difungsikan sebagai latihan keterampilan dan partisipasi client dalam aktivitas keseharian seperti yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Melibatkan antara aktivitas keseharian, alam, play & leisure sebagai alat serta proses mekanisme yang terapetik (Lauren, 2019). Penggunaan alam sebagai fasilitator terapi sebenarnya sudah sangat sering digunakan oleh seorang okupasi terapis, salah satunya adalah aktivitas berkebun atau gardening. Namun sering sekali seorang okupasi terapis menggunakan aktivitas berkebun hanya sebatas pemanfaatan waktu luang untuk client dengan gangguan jiwa. Padahal berkebun sendiri bukan hanya intervensi yang efektif untuk klien dengan gangguan jiwa saja namun bisa dimanfaatkan untuk klien anak, individu dengan keterbatasan fisik, dan kebutaan penglihatan, yang mana dapat meningkatkan  skill dan development level klien (Clarke (1950) dalam Lauren (2019)). Kemudian melakukan aktifitas di taman atau di lingkungan alam dengan danau kecil dan padang rumput dimana seseorang tersebut merasakan terik matahari yang alami, udara segar dan tanaman yang hijau juga diyakini dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang tersebut (Nilsson, et al, 2010).

Manfaat Apa Saja Yang Dapat Didapatkan Dari Penggunaan Alam Sebagai Co-Fasilitator?

Alam berperan penting bagi klien, maka dari itu menganggap alam sebagai co-fasilitator kita sangatlah tepat dikarenakan alam memiliki dinamika yang tidak hanya sebagai tempat dimana individu itu berpijak. Ketika kita sebagai terapis okupasi menggabungkan alam dengan aktivitas bertujuan, seperti mengajak klien dengan gangguan jiwa melakukan aktifitas menanam tanaman di kebun, mengajak klien anak melakukan halang rintang di sebuah hutan, alam akan secara langsung memberikan apa yang alam miliki didalamnya untuk meningkatkan komponen-komponen yang dibutuhkan individu dalam mencapai performance skills agar individu tersebut dapat berpartisipasi dalam aktivitas bermaknanya dalam kehidupan seharri-hari (Lauren, 2019). Performance skills sendiri diklasifikasikan menjadi motor skills, process skills dan motor functioning. Komponen-komponen tersebut mencakup body functions, mental functions, sensory functions, muscle functions, and movement functions yang mana akan bertemu dengan struktur dan konteks lingkungan yang nantinya muncul sebagai performance skills (AOTA, 2014). Jadi, dapat disimpulkan bahwa alam mampu  untuk menjadi co-fasilitator yang baik jika seorang terapis okupasi dapat secara tepat menggunakan dan mengkombinasikannya dengan aktivitas bertujuan karena alam bisa memberikan efek terapetik pada komponen-komponen performance skill klien. Untuk lebih tahu secara lebih detail tentang manfaat alam terhadap performance skill , nantikan nature based OT seri dua.

Referensi :

Tanta, K. J., & Knox, S. H. (2015). Play. In J. Case-Smith & J. C. O’Brien (Eds.), Occupational therapy for children and adolescents (7th ed., pp. 483–497). Elsevier Mosby.

Law, M., Cooper, B., Strong, S., Stweart, D., Rigby, P., & Letts, L. (1996). The Person-

Environment-Occupation Model: A transactive approach to occupational performance. Canadian Journal of Occupational Therapy,63 (1), 9-23.

Turpin, M. & Iwama, M.K. (2011). Using Occupational Therapy Models In Practice: A

Field Guide. Toronto, Canada: Elsevier.

Schaaf, R. C., & Miller, L. J. (2005). Occupational therapy using a sensory integrative approach for children with developmental disabilities. Mental retardation and developmental disabilities research reviews11(2), 143-148.

Nature [Def. 1]. (n.d.). Oxford Living Dictionaries. Retrieved January 10, 2019, from https://en.oxforddictionaries.com/definition/nature

Nilsson, K., Sangster, M., Gallis, C., Hartig, T., De Vries, S., Seeland, K., & Schipperijn, J. (Eds.). (2010). Forests, trees and human health. Springer Science & Business Media.

Koch, L. (2019). The Use of Nature as a Treatment Modality in Occupational Therapy.

American Occupational Therapy Association (2014). Occupational therapy practice framework: Domain and process. American Journal of Occupational Therapy,68(Suppl. 1), S1–S48. http://dx.doi.org/10.5014/ajot.2014.682006

Memelihara Kesehatan Penyintas Stroke Melalui Berkebun

Berkebun dengan Menyenangkan – Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Dalam memberikan pelayanan kepada klien, terapis okupasi berfokus pada okupasi klien. Profil klien digunakan sebagai bahan pertimbangan seorang terapis okupasi untuk memilih  aktivitas yang memberikan manfaat yang terapeutik (occupation as a means), dan aktivitas yang menjadi tujuan (occupation as goals). Berpusat pada klien menurut Fisher (2019), dilakukan secara kolaboratif antara klien dan terapis, dimana terapis menggunakan pertimbangan klinisnya untuk menyusun intervensi. Menyusun aktivitas bertujuan untuk klien stroke mengikuti minat tanpa menghilangkan sifat terapeutik bagi individu tersebut. Berkebun merupakan salah satu aktivitas yang unik dan banyak diminati oleh masyarakat saat ini. Melalui occupational-based practice, berkebun bisa menjadi aktivitas yang bermakna dan terapeutik bagi individu yang melakukannya.


Mengulik Berkebun

Berkebun, bukan hanya tentang aktivitas fisik yang dilakukan dalam pola dan tahap aktivitas dari menyiapkan, mengelola tanah dan tanaman, menyiram; memandang secara filosofis dari Heliker, Chadwick & O’Connel (2001), berkebun merupakan sarana menghubungkan manusia dengan alam dalam konteks hubungan antar-makhluk hidup. Berkebun memiliki makna, menjadi ruang inspirasi dan harapan untuk keberlanjutan hidup yang baru bagi sang perawat kebun. Melalui berkebun, rasa menyayangi dan merawat serta keinginan kembali produktif muncul kembali bersamaan dengan rasa kepemilikan dari individu terhadap dirinya dan kendali hidupnya. 

Melihat data dari populasi di Inggris oleh Brindley, Jorgensen & Maheswaran (2018) menunjukkan masyarakat yang memiliki dan merawat kebun dengan ukuran sedang dan besar cenderung lebih mendapat dampak positif kepada kesehatan daripada yang memiliki kebun luasan kecil. Ditambahkan dari populasi di Amerika Serikat menunjukkan kebiasaan berkebun di rumah memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap well-being pada sebagian kategori sampel masyarakat, utamanya pada perempuan dewasa (Ambrose, Das, Fan & Ramaswami, 2020). 

Berkebun memiliki banyak pengaruh positif secara fisik, mental/psikologis maupun sosial (Thompson, 2018). Berkebun memfasilitasi penyaluran energi tubuh, melatih fungsi koordinasi, persepsi dan aktivasi gerak otot sendi selama melakukan aktivitas berkebun. Selain itu, paparan multi-sensory dari sinar matahari pagi, udara alam, suara burung-burung, lalu-lalang kendaraan selama berkebun memberikan dampak menenangkan, informasi dan kesadaran terhadap lingkungan sekitar dan dampak pendukung lainnya terhadap rasa optimisme dan positivity pada kegelisahan, kecemasan, stress yang barangkali juga dirasakan. Kingsley, Foenander & Bailey (2019) dalam kasus klub berkebun di Australia, menunjukkan adanya pengaruh terhadap rasa saling terhubung satu sama lain yang kian terbentuk, menurunnya tingkat stress akibat rutinitas perkotaan, membentuk identitas dan rasa memiliki terhadap tanaman milik mereka (dalam merawat & melindungi tanaman-tanaman mereka). Melalui berkebun, terlebih dilakukan di luar rumah maupun berkelompok mampu menyediakan kesempatan untuk berpartisipasi sosial dalam masyarakat.


Bagaimana Dampak Berkebun Terhadap Sosial, Kesejahteraan Hidup dan Partisipasi Klien?

Layanan berkebun dikatakan memiliki manfaat besar dalam meningkatkan kebugaran fisik, kepuasan dan kualitas hidup pada sebagian populasi, termasuk penyintas stroke. Dalam riset Sommerfeld, Waliczeck & Zajicek (2010) dan Ho, Lin & Kuo (2016) menyebutkan layanan dan penerapan kegiatan berkebun menunjukkan peningkatan nilai dalam pemeriksaan kebugaran tubuh dan kualitas hidup. 

Peningkatan dalam pemeriksaan kebugaran tubuh ditunjukkan dengan kondisi kemampuan tubuh yang menunjukkan perubahan berbeda antara data sebelum, selama dan sesudah layanan berkebun diselesaikan, kemampuan kognitif yang dirasa lebih baik, perasaan bahagia karena banyak kontak dengan stimulan sensorik di kebun, mampu melakukan kegiatan oleh dirinya sendiri. Peningkatan kualitas hidup ditunjukkan dengan adanya kepuasan oleh penyintas terhadap dampak yang dirasakan, kepercayaan diri yang meningkat, beban psikologis yang menurun dan rasa terlibat/berpartisipasi dalam kegiatan & realita, baik secara mandiri maupun berkelompok.

Kondisi pada penyintas stroke terkadang tidak menentu, bukan? Melalui kegiatan berkebun, baik dengan motivasi tinggi maupun rendah, penyintas dapat terfasilitasi dengan sebaik-baiknya dengan variasi kegiatan yang berjenjang agar manfaatnya dapat terasa ‘satu demi satu’. Melalui Leaver & Wiseman (2016) dengan mengunjungi kebun, penyintas mendapatkan berbagai manfaat dalam menghargai keadaan saat ini, sebagai tempat mengekspresikan diri, tempat berbagi cerita, mengobrol dan terhubung dengan dunia luar kembali. 


Bagaimana Mengaplikasikan Berkebun sebagai Sarana Intervensi?

Dalam mengimplementasikan layanan berkebun pada penyintas stroke, kiranya terapis okupasi perlu memerhatikan rangkaian hal berikut: 

1. Profil Okupasi Klien

Dalam memulai layanan berkebun, terapis okupasi memerlukan kajian yang komprehensif dan analitik di awal terkait profil medis dan okupasi klien. Memahami limitasi dan aset yang dimiliki klien dapat menjadi rambu-rambu bagi terapis dalam menyikapi prioritas masalah klien dan tujuan terapi okupasi yang menjadi tujuan. Kiranya, tindakan terapi okupasi dengan layanan berkebun ini dapat dilakukan secara tepat, bertujuan dan membuat klien terlibat serta partisipasi aktif.

Adapun dalam Patil, Asbjornslett, Aurlien & Levin (2019) menyebutkan alasan-alasan yang mendasari terapis okupasi menggunakan berkebun sebagai sarana terapi, di antaranya: 

  1. Apakah/Bagaimana-agar klien mampu terlibat dalam terapi nantinya? 
  2. Apakah/Manakah aktivitas yang saya rekomendasikan dikuasai oleh klien?
  3. Apakah klien dapat menemukan momen menenangkan baginya?
  4. Bagaimana klien dapat menghubungkan aktivitas ini dengan pengalaman masa lalu atau pengalaman yang telah ia kuasai?
  5. Dapatkah klien membagikan pengalaman dan harapannya kepada rekan kelompoknya, keluarga maupun orang lain?

2. Analisis Aktivitas

Dalam berkebun, perlu dipahami bahwa kegiatan memiliki 2 jenis metode: lahan khusus & tanam pot. Dengan menentukan salah satu dari 2 kegiatan ini, berikutnya terapis okupasi diharapkan untuk menimbang poin-poin berikut: 

  1. Safety Precaution – Faktor keamanan dan pengendalian resiko dengan mempertimbangkan profil medis dan okupasi klien.
  2. Alat Bahan – Menyesuaikan kebutuhan dari jenis kegiatan.
  3. Lingkungan – Setting lingkungan (fisik) termasuk menjadi perhatian juga dalam merancang aktivitas yang sesuai untuk memfasilitasi klien agar lebih fleksibel dan aman; (bila diperlukan) dapat dilakukan dengan memperlebar akses, menyiapkan handrail dan kursi.
  4. Pelaku Kegiatan; Adakah selain klien dan terapis yang ikut dilibatkan, dilakukan dengan berkelompok atau mandiri.
  5. Langkah Aktivitas; Menentukan langkah aktivitas diperlukan analisis dengan menyesuaikan antara tahapan aktivitas dan kebutuhan performance klien, misalnya: bidang & pola gerak apa, otot apa yang berfungsi, adakah karakteristik flaccid atau spastik, adakah gangguan somatosensorik dan sebagainya.

3. Manajemen Ergonomi Pasien

  • Pengaturan Posisi Pengerjaan
    • Positioning klien perlu diperhatikan ketika mengerjakan langkah-langkah aktivitas, begitupula terapis. Pada dasarnya pengaturan posisi ini demi keamanan dan kenyamanan klien, juga untuk menyesuaikan terhadap pola gerak yang dilakukan di setiap langkah aktivitas dan dapat juga bertujuan dalam stimulasi balance, sikap duduk/berdiri yang tepat maupun respon protektif. 
  • Penggunaan Alat Bantu Bila Diperlukan
    • Pertimbangan alat bantu (assistive technology) ini dapat dilakukan bila klien benar-benar membutuhkan. Alat bantu yang dapat digunakan dapat berbagai macam, misalnya: preacher, forearm grip gardening tool set.
Contoh Alat Bantu yang dapat Dimanfaatkan
Contoh Alat Bantu yang dapat Dimanfaatkan (http://rotarybotanicalgarden.com)

Perempuan Berkebun dengan Kursi Duduk Beroda
Perempuan Berkebun dengan Kursi Duduk Beroda (http://pinterest.com)

Dapat kita simpulkan bahwa layanan terapi okupasi melalui aktivitas berkebun dapat menjadi rekomendasi resep layanan yang memenuhi aspek occupation-based dan tepat untuk klien penyintas stroke, baik implementasinya dalam bentuk aktivitas mandiri maupun secara berkelompok.

Bila dengan melihat faktor sosial budaya bumi Indonesia yang rata-rata masyarakat (khususnya generasi tua, masyarakat pedesaan) gemar melakukan gerakan menanam, ditambah mulai kembali booming-nya gerakan menanam di masa pandemi ini dapat menjadi satu aset yang dapat menjadi pertimbangan untuk melibatkan klien pada aktivitas berkebun, pun bila perlu membuat kebiasaan baru dalam memelihara lingkungan kepada klien. Pada populasi lainnya, aktivitas berkebun ini seringkali diterapkan pula pada kelompok lansia maupun penyintas gangguan kesehatan jiwa (Skizofrenia, Demensia, Alzheimer dan sebagainya).

Tertarik menerapkan? Semoga bermanfaat!

Referensi :

Brindley, P., Jorgensen, A., & Maheswaran, R. (2018). Domestic gardens and self-reported health: A national population study. International Journal of Health Geographics, 17(1). doi: 10.1186/s12942-018-0148-6

Fisher, A. G., & Marterella, A. (2019). Powerful practice: A model for authentic occupational therapy. Fort Collins, CO: Center for Innovative OT Solutions.

Heliker, D., Chadwick, A., & Oconnell, T. (2001). The Meaning of Gardening and the Effects on Perceived Well Being of a Gardening Project on Diverse Populations of Elders. Activities, Adaptation & Aging, 24(3), 35-56. doi: 10.1300/j016v24n03_03

Howarth, M., Brettle, A., Hardman, M., & Maden, M. (2020). What is the evidence for the impact of gardens and gardening on health and well-being: A scoping review and evidence-based logic model to guide healthcare strategy decision making on the use of gardening approaches as a social prescription. BMJ Open, 10(7). doi: 10.1136/bmjopen-2020-036923

Kingsley, J., Foenander, E., & Bailey, A. (2019). “You feel like you’re part of something bigger”: Exploring motivations for community garden participation in Melbourne, Australia. BMC Public Health, 19(1). doi: 10.1186/s12889-019-7108-3

Leaver, R., & Wiseman, T. (2016). Garden visiting as a meaningful occupation for people in later life. British Journal of Occupational Therapy, 79(12), 768-775. doi: 10.1177/0308022616666844

Patil, G., Asbjørnslett, M., Aurlien, K., & Levin, N. (2019). Gardening as a Meaningful Occupation in Initial Stroke Rehabilitation: An Occupational Therapist Perspective. The Open Journal of Occupational Therapy, 7(3), 1-15. doi: 10.15453/2168-6408.1561

Thompson, R. (2018). Gardening for Health: A Regular Dose of Gardening. Clinical Medicine, 18(3), 201-205. doi: 10.7861/clinmedicine.18-3-201

Instagram