Mempersiapkan Kemampuan Menulis Anak Selama Dirumah

Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak dituntut untuk dapat melakukan aktivitas menulis sebagaimana menulis sangat mempengaruhi performa akademik anak di sekolah. Tidak sedikit anak yang mengalami kesulitan dalam aktivitas menulis yang mengakibatkan anak mengalami hambatan belajar.

Menulis merupakan proses yang kompleks dalam melakukannya seseorang harus mengelola bahasa tertulis dengan mengkoordinasikan mata, lengan, tangan, pegangan pensil, pembentukan huruf, dan postur tubuh (AOTA, 2021).

Situasi pandemi menuntut anak untuk belajar dengan orang tua dirumah. Tak sedikit orang tua yang kebingungan dalam melatih anak yang mengalami hambatan dalam menulis.

Ketika dihadapi dengan anak dengan kesulitan menulis terapis okupasi dapat mengevaluasi komponen yang mendasari & mendukung tulisan tangan anak, seperti kekuatan otot, daya tahan, koordinasi & kontrol motorik. Selanjutnya, orang tua dapat mendorong kegiatan di rumah untuk mendukung keterampilan tulisan tangan yang baik (AOTA, 2021).

Berikut aktivitas- aktivitas untuk mengembangkan kemampuan menulis anak yang orangtua dapat lakukan dirumah.

Meningkatkan Kekuatan Otot dan Daya Tahan

Ketika anak belajar menulis terdapat beberapa kekuatan otot yang penting dan sangat diperlukan yaitu kekuatan otot postur atau batang tubuh, leher hingga kepala, bahu hingga jari-jari. Selain itu, daya tahan otot yang baik pada anak ketika melakukan aktivitas juga sangat penting.

Ketika anak memiliki kekuatan otot yang lemah dan daya tahan yang rendah maka anak tidak dapat menulis dengan performa yang maksimal. Aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk mengembangkan bagian tersebut, sebagai berikut :

Merangkak

Stick Ladder untuk melatih kekuatan otot postur dan ketangkasan alat gerak (Img. pinterest.com)

Melakukan animal exercise 

Bergerak menyerupai hewan (Img. pinterest.com)

Melalukan yoga maupun olahraga lain

Terutama olahraga yang anak minati seperti badminton, lempar tangkap bola, basket dan lain-lain.

Yoga dengan gaya hewan-hewan untuk melatih fleksibilitas tubuh (Img. pinterest.com)

Koordinasi Mata dan Tangan

Koordinasi adalah kemampuan sistem penglihatan untuk mengkoordinasikan informasi yang diterima melalui mata untuk mengontrol, membimbing, dan mengarahkan tangan dalam pencapaian tugas yang diberikan, seperti tulisan tangan atau menangkap bola.

Penggunakan mata dalam koordinasi mata-tangan berguna untuk mengarahkan perhatian dan tangan untuk melaksanakan tugas (Children’s health , 2021).

Hal ini semakin menjelaskan betapa pentingnya kemampuan koordinasi mata tangan bagi anak salah satunya untuk aktivitas menulis dimana anak harus memegang kertas dan pensil kemudian menuliskan huruf diatasnya.

Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk meningkatkan koordinasi mata tangan: 

Melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari, seperti memasak dan berkebun.

Saat memasak anak akan belajar bagaimana memotong sayuran, menggulung-gulung adonan, mengukur panjang adonan, menyekop tanah untuk menanam bunga dan menyiram tanaman. Aktivitas-aktivitas tersebut sangat sesuai untuk mengembangkan kemampuan koordinasi mata tangan anak.

Bermain memukul bola
(Img. pinterest.com)
Ikut dalam kegiatan dapur (Img. pixabay.com)

Membantu kegiatan berkebun di rumah (Img. pixabay.com)

Ajak anak bermain aktivitas finger games
seperti finger painting, menulis di atas pasir, capit-capit popcorn dan lain-lain.
Finger Painting (Img. pixabay.com)
Bermain Sensory Bin (Img. pixabay.com)

Koordinasi Motorik Halus (Grasp dan Manipulasi jari-jari)

Saat anak mulai menggunakan pensil untuk menulis maka anak harus memiliki pola genggaman serta manipulasi jari-jari yang baik. Seiring bertambahnya usia anak-anak, keterampilan motorik halus mereka juga berkembang lebih lanjut untuk memungkinkan manipulasi objek yang lebih tepat.

Keterampilan motorik halus penting untuk pengembangan tulisan tangan. Ditemukan bahwa kesalahan menulis yang biasa dibuat oleh siswa kelas satu sebagian besar disebabkan oleh kesulitan dalam kontrol motorik halus (Feder &Majnemer 2007).

Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan koordinasi motoriK halus anak :

Aktivitas Menghias Kue 

Saat anak melakukan aktivitas menghias kue, secara langsung anak sudah dilatih dalam meningkatkan kemampuan menggenggam saat anak menggulung adonan, menghias dengan krim dalam wadah dan juga manipulasi jari-jari saat menghias dengan coklat atau permen di atas kue atau cookies.

Ikut membuat cookies di rumah (Img. pixabay.com)
Berkreasi dengan cookies yang beranekaragam (Img. pixabay.com)
Bermain Mainan Tradisional, seperti Kelereng dan Congklak 

Saat bermain kelereng, maupun congklak anak akan terstimulasi dalam meningkatkan kemampuan manipulasi jari- jarinya. Selain manipulasi jari- jari secara tidak langsung permainan ini dapat mengasak konsentrasi dan kemampuan berpikir anak.

Bermain kelereng di rumah (Img. pixabay.com)
Congklak (Img. pixabay.com)

Kesimpulan 

Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang didapati dari latihan -latihan, sehingga anak sangat perlu difasilitasi dan dipersiapkan untuk dapat memiliki kemampuan menulis yang baik. Menulis merupakan aktivitas yang melibatkan banyak kemampuan seperti kekuatan otot dan ketahanan, koordinasi mata tangan dan motorik halus.

Pasca masa pandemi, banyak sekali anak yang masih cenderung menghabiskan waktunya dengan gadget atau screen time, sehingga anak mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan aktivitas menulis tangan. Hal tersebut dapat disiasati dengan memberikan aktivitas- aktivitas yang dapat dilakukan orangtua bersama anak dirumah.

Referensi

AOTA (2021). Handwriting. https://www.aota.org/About-Occupational-Therapy/Patients-Clients/ChildrenAndYouth/Schools/Handwriting.aspx

Hans-eye Coordination, diakses dari : http://www.healthofchildren.com/G-H/Hand-Eye-Coordination.html (23 Desember 2021)

Feder, K.P. & Majnemer, A. 2007. Handwriting development, competency, and intervention. Developmental Medicine & Child Neurology 49(4): 312-317.

Department of Occupational Therapy, Royal Children’s Hospital (2005). Occupational therapy : pre-writing activitiy idea. Melbourne. https://www.rch.org.au/uploadedFiles/Main/Content/ot/InfoSheet_H.pdf

Pentingnya Membangun Hubungan Terapetik Dengan Klien

Memulai Hubungan dari Hal Sederhana

Hubungan terapeutik berlanjut kepada kerja sama (Img. southpasadenan.com)

Sering kali kita mendengar klien berkata “Melihat terapis nya ramah senyum saja sudah mengurangi separuh nyeri saya”, atau kata seperti “Saya selalu semangat datang terapi, karena mbak dan mas terapis nya memotivasi saya dengan baik”. 

Ternyata belum melakukan tindakan intervensi yang jauh saja sudah membuat klien kita merasa sedikit lebih baik. Menjadi tenaga kesehatan memang menguras tenaga baik fisik maupun emosional.

Namun, menjadi klien yang mengalami disfungsi menguras tenaga fisik dan emosional untuk datang mengakses layanan kesehatan pula. Maka kita terapis harus bisa menjadi professional dan melayani sepenuh hati. 

Pada tahun 1913, Sigmund Freud berhipotesis bahwa hubungan antara terapis dan pasien adalah komponen kunci dari pengobatan yang sukses. Sejak saat itu, penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas hubungan ini (‘aliansi terapeutik’ seperti yang disebut) merupakan prediktor terkuat keberhasilan terapi (Knobloch, 2008). 

Lalu bagaimana cara membangun hubungan yang baik antara terapis dan klien secara profesional? Sebelum sampai kesana, mari kita belajar manfaat dari menjalin hubungan yang baik dengan klien.

Manfaat memiliki Hubungan yang Baik dengan Klien

Dapat memunculkan kolaborasi yang baik antara klien dan terapis

Kolaborasi yang baik dapat membuat kita berada pada satu jalan dengan klien. Tanpa kolaborasi yang baik, seperti klien yang hanya menggantungkan pada terapis tanpa melakukan home program yang diberikan, terapis yang tidak memberikan umpan balik saat klien berkeluh kesah maka proses terapi yang dijalankan pun akan terasa sulit.

Dalam setting pediatri, kolaborasi pertama terjadi antara terapis, orang tua dan anak. Tetapi, kolaborasi paling awal yang harus dibangun dalam setting pediatri adalah antara terapis dan orang tua. Kolaborasi antara terapis dan orangtua yang kuat dapat meningkatkan rasa pemahaman, harapan dan rasa syukur terhadap anak.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan baiknya hubungan kolaborasi tersebut berimplikasi sangat kuat dan meningkatkan efektivitas proses terapi yang dijalankan, sehingga outcome yang dihasilkan dalam terapi pun lebih baik (Feinstein, Udvari-Solner & Joshi, 2009).

Menjalin komunikasi dengan klien (Img. www.gebauer.com)

Meningkatkan kualitas komunikasi yang dijalin

Saat kita memiliki hubungan baik dengan klien, maka akan mudah sekali dalam menjalin komunikasi. Melalui komunikasi yang terjalin dengan baik, terciptalah hubungan emosi yang kuat. Sehingga klien lebih leluasa menyampaikan keluhan dan harapannya.

Penelitian menunjukan hubungan yang baik dapat membuat klien lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan respon emosi negative yang dialami dan juga dapat menyelesaikan permasalahan negative yang dialami lebih baik (Knobloch, 2008).

Dapat menuntun ke hasil terapi yang lebih baik

Berdasarkan meta analysis pada aspek hubungan terapi tentang hubungan berbasis bukti & responsif, ditemukan bahwa sejumlah faktor hubungan, seperti menyetujui tujuan terapi, mendapatkan umpan balik klien selama perawatan dan memperbaiki masalah klien secara bersama memberikan hasil yang positif karena membantu dalam penggunaan metode perawatan yang tepat kepada klien (Deangelis, 2019).


Bagaimana Membangun Hubungan Terapetik dengan Klien?

Saat berbicara tentang hubungan terapetik Secara historis, studi tentang hubungan terapeutik hanya berfokus pada hubungan pasien dengan terapis. Namun, penelitian yang dilakukan di The Family Institute di Northwestern University dan Dr. William Pinsof (2019) menunjukkan pentingnya memperluas definisi ini untuk memasukkan pengaruh orang lain yang signifikan dalam kehidupan pasien seperti anggota keluarga, pasangan, teman dekat.

Penelitian yang dilakukan Knobloch (2008) tentang Pentingnya Hubungan dengan Terapis memaparkan bahwa cara menciptakan hubungan yang baik  antara terapis dan klien adalah membangun empati dan pemahaman, menciptakan rasa keterbukaan, memiliki fleksibilitas dan kemauan beradaptasi dengan klien. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan terapetik bersama klien : 

Berempati terhadap kondisi klien (Img. nursesusa.org)

Bangun rasa empati dan memahami klien

Saat awal terapis bertemu klien, hal yang harus kita bangun adalah rasa empati dan memahami keadaan dan perasaan klin kita, bukan apa masalah klien dan apa tujuan terapi yang bisa diberikan. Saat awal-awal pertemuan, ibaratkan kita (terapis) adalah seseorang yang bertamu di suatu rumah baru.

Sangat tidak etik bukan jika kita langsung mengunjungi dapur tanpa mengenal ruang depan? Begitu pula dengan klien, klien akan merasa tidak nyaman jika kita langsung terjun ke dalam tanpa berkenalan dan membangun rasa saling memahami. 

Berdasarkan pengalaman saya, saya selalu berusaha membangun empati dan memahami klien saat awal-awal klien menjalankan terapi, seperti memahami apa yang klien suka dan tidak suka, apa yang membuat klien bersemangat, apa yang membuat klien tidak nyaman & tidak memaksakan klien untuk melakukan aktivitas yang kita minta dan berikan.

Oleh sebab itu, klien akan menunjukan kepercayaan terhadap kita karena merasa aman dan nyaman dengan kita sebagai terapis sehingga proses terapi yang dijalankan pun menjadi lebih baik.

Ciptakan Keterbukaan 

Keterbukaan sangat penting saat membangun hubungan terapetik dengan klien. Saat dengan klien dewasa, terapis diharapkan dapat terbuka dengan tujuan & proses terapi yang akan dijalankan. Sehingga klien tidak merasa seperti sebuah objek yang di otak-atik oleh terapis, namun bisa merasa menjadi seorang “partner” yang bersama-sama menuju tujuan yang sama. 

Dalam setting pediatri, keterbukaan sangat perlu terjalin dengan orang tua dan juga anak. Menciptakan keterbukaan dapat dilakukan seperti menyampaikan pada orang tua bagaimana permasalahan anak, dan bagaimana cara yang dapat dilakukan bersama agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Maka sangat penting mengkomunikasikan hasil terapi di setiap setelah pertemuan, seperti apa yang telah dapat dicapai anak hari ini dan bagaimana cara memaksimalkan potensi anak dirumah melalui home program.

Fleksibilitas dan kemauan untuk beradaptasi dengan klien

Kondisi klien tidak dapat kita prediksi di setiap pertemuan. Pada beberapa kasus pediatri, emosi anak masih turun-naik seperti saat dirumah anak merasa baik-baik saja namun saat tiba di ruangan terapi anak merasa cemas. Begitu pula klien dewasa fisik maupun psikososial, pertemuan sebelumnya klien merasa bersemangat dan termotivasi, bisa jadi pertemuan kali ini klien merasa murung dan tidak bersemangat.

Fleksibilitas

Maka disinilah peran terapis, agar terciptanya hubungan yang baik dan klien dapat lebih mudah mengkomunikasikan perasaan negatif nya, terapis diharapkan menjadi pribadi yang fleksibel dan dapat beradaptasi. 

Salah satu bentuk dari fleksibilitas adalah dengan cara tidak memaksakan program terapi yang sudah kita susun di hari itu terhadap klien saat klien tidak dalam kondisi baik. Meskipun klien harus mencapai tujuan yang telah disepakati, namun perasaan dan apa yang dialami klien di hari itu adalah lebih penting.

Kemauan Beradaptasi

Kemauan beradaptasi dengan klien dapat dilakukan dengan cara mengubah aktivitas yang sesuai dengan keadaan klien dihari itu juga, contoh nya klien anak yang minggu lalu sudah berfokus dalam meningkatkan kognitif karena hari ini anak mengalami cemas berlebih maka kita harus dapat mengubah aktivitas kearah calming bagi anak.

Hal tersebut dapat membuat klien merasa bahwa kita dapat beradaptasi dengan merasa dalam situasi apapun yang sedang mereka alami dan tidak menjadi pribadi yang kaku serta memaksakan.

Menyesuaikan diri dalam proses komunikasi bersama klien (Img. amavic.com.au)

Kesimpulan

Banyak klien yang saat sebelum mengakses terapi mereka berpikir “apakah mengikuti terapi ini akan benar-benar berguna bagi diriku?”. Penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor mempengaruhi apakah sebuah pengobatan akan berhasil, seperti tingkat keparahan masalah yang sedang diobati, keyakinan pasien bahwa treatment akan bekerja dan tingkat keterampilan terapis.

Namun, penelitian selama lima puluh tahun terakhir telah menunjukkan bahwa satu faktor, lebih dari yang lain, dikaitkan dengan pengobatan yang sukses yaitu kualitas hubungan antara terapis dan pasien. Maka, inilah betapa pentingnya menciptakan hubungan terapetik dengan klien agar outcome yang dihasilkan akan menjadi lebih baik.

Referensi 

Knobloch-Fedders, L. (2008). The importance of the relationship with the therapist. Clinical Science Insights1, 1-4. https://www.family-institute.org/behavioral-health-resources/importance-relationship-therapist

Pinsof, W. M. (2019). Family Institute at Northwestern University. Encyclopedia of Couple and Family Therapy, 1061-1068.

Deangelis, T. O. R. I. (2019). Continuing Education: Better relationships with patients lead to better outcomes. Monitor on Psychology50(10). https://www.apa.org/monitor/2019/11/ce-corner-relationships

Feinstein, N. R., Fielding, K., Udvari-Solner, A., & Joshi, S. V. (2009). The supporting alliance in child and adolescent treatment: Enhancing collaboration among therapists, parents, and teachers. American Journal of Psychotherapy63(4), 319-344.

Pentingnya Work Life Balance bagi Terapis Okupasi

Fenomena work life balance di kalangan pekerja masa kini (Img. static.wixstatic.com)

Bekerja sebagai terapis okupasi tidaklah selalu mudah. Selalu dituntut untuk menjadi professional di semua situasi saat bekerja. Banyak yang setuju bahwa menjadi terapis okupasi bukan hanya mengandalkan ilmu medis, namun juga ilmu sosial dan kemanusiaan karena terapis okupasi harus dapat melihat klien secara holistic.

Selain menjadi tenaga professional di tempat kerja, terapis okupasi juga memiliki peran di kehidupannya masing-masing, entah sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga, kepala keluarga, mahasiswa, ketua organisasi dan lain sebagainya. 

Ketika seorang terapis okupasi mengalami kesulitan dalam mengatur perannya di dunia kerja dan di kehidupan seharinya atau work-life balance-nya, terapis okupasi dapat mengalami “occupational imbalance”.

Itu adalah situasi di mana terapis okupasi menjalani kehidupan yang tidak seimbang sebagai konsekuensi dari tekanan dari tempat kerja neoliberal untuk ‘melakukan’ dan ‘menjadi’ kegiatan di luar pekerjaannya yaitu perannya di kehidupan sehari-hari . Occupational imbalance sendiri dapat mempengaruhi pencapaian kesejahteraan seseorang. (Clouston, 2014).

Apa itu Work-Life Balance?

Semakin majunya teknologi, dunia terasa semakin mudah. Sehingga pekerjaan apapun bisa dikerjakan dimanapun dan kapanpun. Hal itulah yang membuat seseorang sulit mengorganisir waktunya kapan bekerja dan kapan melakukan perannya yang lain di luar pekerjaan nya. Beberapa ahli mengartikan work sebagai sesuatu pekerjaan yang dibayar seperti pekerjaan tetap dan permanen, sedangkan life diartikan sebagai pekerjaan kita yang tidak dibayar. 

Tetapi, beberapa ahli juga mengartikan life sebagai kehidupan di keluarga maupun sosial kita, dan balance menyiratkan sebuah tujuan dimana terdapat keseimbangan antara partisipasi seseorang terhadap pekerjaan dan kehidupan selain pekerjaan dan setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengorganisasi dirinya dalam berbagai peran pun sebenarnya tidak semua hal harus memasukan keseimbangan didalamnya (Lewis & Beauregard, 2018). 

Hayo, udah ada rencana liburan di minggu depan? (Img. piknikdong.com)

Apa Dampak Bermasalah pada Work-Life Balance?

Menyeimbangkan sesuatu hal yang berbeda memang tidak selalu mudah. Penulis pun merasa kesulitan menyeimbangkan kehidupan kerja dan dunia pribadi.

Sering sekali melewatkan hari minggu untuk bersantai dengan keluarga atau teman-teman terdekat seperti jalan-jalan, karena terlalu berfokus pada pekerjaan, bisa dibilang work a holic. Hal itu menyebabkan diri saya menjadi mudah stress dan selalu lesu saat hari senin serta menurunnya performa bekerja. 

Sebuah survei tentang keseimbangan kerja / kehidupan yang dilakukan pada tahun 2002 oleh TrueCareers menyatakan bahwa 70% dari lebih dari 1.500 responden mengatakan mereka tidak memiliki keseimbangan yang sehat antara kehidupan pribadi dan pekerjaan mereka. Ketidak seimbangan antara work dan life dapat menyebabkan menurunnya kesehatan dan meningkatkan stress bagi seseorang (Dhas & Karthikeyan, 2015). 

Stres dalam Pekerjaan (Img. topcareer.id)

Para ilmuwan setuju bahwa dalam jumlah yang sedang, stres bisa dihadapi bahkan bermanfaat dan kebanyakan orang diharuskan untuk menghadapinya. Namun, meningkatnya tingkat stres yang cepat menyebabkan moral karyawan menjadi rendah, produktivitas menjadi buruk, dan penurunan kepuasan kerja.

Beberapa gejala spesifik yang berhubungan langsung dengan produktivitas di lingkungan kerja adalah penyalahgunaan waktu, kecurangan, ketidakhadiran ke tempat kerja secara berkepanjangan, ketidakpercayaan, penggelapan, sabotase organisasi, keterlambatan, penghindaran tugas, dan kekerasan di tempat kerja. 

Dampak serius lainnya adalah depresi, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, masalah perkawinan dan keuangan, gangguan makan kompulsif, dan kelelahan karyawan (Lockwood, 2003). Selain itu ketidakseimbangan antara work & life menyebabkan masalah keluarga, seperti menurunnya kepuasan berkeluarga dan menurunnya seseorang melakukan perannya dalam keluarga (Delecta, 2011).

Bagaimana Cara Menyeimbangkan Work-Life Balance?

Menengok Budaya Tempat Anda Bekerja

Beberapa kasus, ketidak seimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi disebabkan oleh pola atau budaya tempat seseorang bekerja. Jadi sangat perlu melihat kembali apakah tempat anda bekerja mendukung program work life balance.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, seorang terapis okupasi sangat didukung agar memiliki keseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadinya. Berikut beberapa saran agar tempat kerja memilki program work life balance (Lockwood, 2003) : 

  • Meninjau strategi sumber daya manusia untuk melihat apakah mendukung misi perusahaan,
  • Melalui kuesioner atau kelompok fokus, cari tahu apa yang dirasakan karyawan tentang keseimbangan kerja / kehidupan,
  • Menyelaraskan inisiatif kerja / kehidupan dengan strategi SDM (misalnya, pilihan atasan dengan bawahan),
  • Buat program penghargaan bagi pegawai yang menerapkan work life balance menggunakan insentif non-tunai yang selaras dengan tujuan bisnis.
Membangun budaya lingkungan kerja yang nyaman (Img. careerarc.com)

Memanajemen Waktu dengan Baik

Ketidakseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadi memang selalui berkaitan dengan waktu yang digunakan. Bagi work holic, bekerja adalah hal utama dalam hidupnya, minum kopi bersama teman bagi mereka sangat membuang waktu berharga.

Memanajemen waktu sangat diperlukan ketika kita memiliki banyak peran dalam kehidupan kita. Study yang dilakukan oleh Work institute of America (2011) tentang “Holding a job, having a life : Strategies for change” menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu mengurangi lembur, stres, dan beban kerja, dan meningkatkan fleksibilitas dan waktu bersantai dengan keluarga (Dhas & Karthikeyan, 2015).

Beberapa orang juga menggunakan asisten untuk melakukan beberapa pekerjaan pribadi yang tidak bisa dilakukan, untuk time saved sehingga mereka dapat memiliki waktu lebih agar dapat bersama keluarga (Lockwood, 2003).


Kesimpulan 

Semakin majunya zaman, semua serba mudah. Hal tersebut mengakibatkan orang bekerja tanpa mengenal waktu. Bagi seorang terapis okupasi menyeimbangkan antara bekerja dan kehidupan pribadi sangat penting. Ketidak seimbangan antara bekerja dan kehidupan dapat menyebabkan stress dan masalah keluarga hingga kesehatan.

Maka dari itu terapis okupasi harus dapat menjaga well-being diri sendiri agar dapat memiliki performa bekerja yang baik saat bersama klien. Ketidak seimbangan antara work dan life yang tidak diatasi akan memiliki dampak kurang baik bagi seseorang di kehidupannya, sehingga sangat disarankan agar melakukan perbaikan sejak sekarang.

Referensi

Clouston, T. J. (2014). Whose occupational balance is it anyway? The challenge of neoliberal capitalism and work–life imbalance. British Journal of Occupational Therapy77(10), 507-515. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.4276/030802214×14122630932430

Lewis, S., & Beauregard, T. A. (2018). The meanings of work-life balance: A cultural perspective. In R. Johnson, W. Shen, & K. M. Shockley (Eds.), The Cambridge handbook of the global work-family interface (pp. 720-732). Cambridge: Cambridge University Press.

Lockwood, N. R. (2003). Work/life balance. Challenges and Solutions, SHRM Research, USA, 2-10.

Delecta, P. (2011). Work life balance. International Journal of Current Research3(4), 186-189.

Dhas, M. D. B., & Karthikeyan, D. P. (2015). Work-life balance challenges and solutions: overview. International Journal of Research in Humanities and Social Studies12(2).

Mencapai Tujuan Terapi Okupasi Melalui Occupational Performance Coaching

Belajar didampingi Ibu – Gambar oleh Chuck Underwood dari Pixabay

Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel. 

Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka


Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi

Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).

Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini. 

Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org

Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.


Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi

Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC)

Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan. 


Seberapa Efektif Occupational Performance Coaching (OPC)?

Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.

Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.


Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi

Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:

  1. OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
  2. Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
  3. Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/

Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:

  1. Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
  2. Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
  3. Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
  4. Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.

Prosedur Penerapan Occupational Performance Coaching (OPC)

Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:

  1. Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan), 
  2. Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
  3. Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.

Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus

Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:

  1. Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang dituju tentu menyesuaikan individual klien.
  2. Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
  3. Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
  4. Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri. 

Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada. 

Sekian, semoga memberikan dampak.


Referensi

Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation, 41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398

Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993

Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy, 77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7

Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581

Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy, 77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791

Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation, 40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474

Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal, 62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175

Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466

Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation, 42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521

Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal, 66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573

Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy, 68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006

Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation, 26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932

Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury, 32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365


Artikel Suplemen

Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119

Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development, 36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x

Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy, 82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944

Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy, 4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219

Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation, 30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256

Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845

Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy, 81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869

Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy, 81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001

Instagram