Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak dituntut untuk dapat melakukan aktivitas menulis sebagaimana menulis sangat mempengaruhi performa akademik anak di sekolah. Tidak sedikit anak yang mengalami kesulitan dalam aktivitas menulis yang mengakibatkan anak mengalami hambatan belajar.
Menulis merupakan proses yang kompleks dalam melakukannya seseorang harus mengelola bahasa tertulis dengan mengkoordinasikan mata, lengan, tangan, pegangan pensil, pembentukan huruf, dan postur tubuh (AOTA, 2021).
Situasi pandemi menuntut anak untuk belajar dengan orang tua dirumah. Tak sedikit orang tua yang kebingungan dalam melatih anak yang mengalami hambatan dalam menulis.
Ketika dihadapi dengan anak dengan kesulitan menulis terapis okupasi dapat mengevaluasi komponen yang mendasari & mendukung tulisan tangan anak, seperti kekuatan otot, daya tahan, koordinasi & kontrol motorik. Selanjutnya, orang tua dapat mendorong kegiatan di rumah untuk mendukung keterampilan tulisan tangan yang baik (AOTA, 2021).
Berikut aktivitas- aktivitas untuk mengembangkan kemampuan menulis anak yang orangtua dapat lakukan dirumah.
Meningkatkan Kekuatan Otot dan Daya Tahan
Ketika anak belajar menulis terdapat beberapa kekuatan otot yang penting dan sangat diperlukan yaitu kekuatan otot postur atau batang tubuh, leher hingga kepala, bahu hingga jari-jari. Selain itu, daya tahan otot yang baik pada anak ketika melakukan aktivitas juga sangat penting.
Ketika anak memiliki kekuatan otot yang lemah dan daya tahan yang rendah maka anak tidak dapat menulis dengan performa yang maksimal. Aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk mengembangkan bagian tersebut, sebagai berikut :
Merangkak
Stick Ladder untuk melatih kekuatan otot postur dan ketangkasan alat gerak (Img. pinterest.com)
Melakukan animal exercise
Bergerak menyerupai hewan (Img. pinterest.com)
Melalukan yoga maupun olahraga lain
Terutama olahraga yang anak minati seperti badminton, lempar tangkap bola, basket dan lain-lain.
Yoga dengan gaya hewan-hewan untuk melatih fleksibilitas tubuh (Img. pinterest.com)
Koordinasi Mata dan Tangan
Koordinasi adalah kemampuan sistem penglihatan untuk mengkoordinasikan informasi yang diterima melalui mata untuk mengontrol, membimbing, dan mengarahkan tangan dalam pencapaian tugas yang diberikan, seperti tulisan tangan atau menangkap bola.
Penggunakan mata dalam koordinasi mata-tangan berguna untuk mengarahkan perhatian dan tangan untuk melaksanakan tugas (Children’s health , 2021).
Hal ini semakin menjelaskan betapa pentingnya kemampuan koordinasi mata tangan bagi anak salah satunya untuk aktivitas menulis dimana anak harus memegang kertas dan pensil kemudian menuliskan huruf diatasnya.
Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk meningkatkan koordinasi mata tangan:
Melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari, seperti memasak dan berkebun.
Saat memasak anak akan belajar bagaimana memotong sayuran, menggulung-gulung adonan, mengukur panjang adonan, menyekop tanah untuk menanam bunga dan menyiram tanaman. Aktivitas-aktivitas tersebut sangat sesuai untuk mengembangkan kemampuan koordinasi mata tangan anak.
Bermain memukul bola (Img. pinterest.com)
Ikut dalam kegiatan dapur (Img. pixabay.com)
Membantu kegiatan berkebun di rumah (Img. pixabay.com)
Ajak anak bermain aktivitas finger games
seperti finger painting, menulis di atas pasir, capit-capit popcorn dan lain-lain.
Finger Painting (Img. pixabay.com)
Bermain Sensory Bin (Img. pixabay.com)
Koordinasi Motorik Halus (Grasp dan Manipulasi jari-jari)
Saat anak mulai menggunakan pensil untuk menulis maka anak harus memiliki pola genggaman serta manipulasi jari-jari yang baik. Seiring bertambahnya usia anak-anak, keterampilan motorik halus mereka juga berkembang lebih lanjut untuk memungkinkan manipulasi objek yang lebih tepat.
Keterampilan motorik halus penting untuk pengembangan tulisan tangan. Ditemukan bahwa kesalahan menulis yang biasa dibuat oleh siswa kelas satu sebagian besar disebabkan oleh kesulitan dalam kontrol motorik halus (Feder &Majnemer 2007).
Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan koordinasi motoriK halus anak :
Aktivitas Menghias Kue
Saat anak melakukan aktivitas menghias kue, secara langsung anak sudah dilatih dalam meningkatkan kemampuan menggenggam saat anak menggulung adonan, menghias dengan krim dalam wadah dan juga manipulasi jari-jari saat menghias dengan coklat atau permen di atas kue atau cookies.
Ikut membuat cookies di rumah (Img. pixabay.com)
Berkreasi dengan cookies yang beranekaragam (Img. pixabay.com)
Bermain Mainan Tradisional, seperti Kelereng dan Congklak
Saat bermain kelereng, maupun congklak anak akan terstimulasi dalam meningkatkan kemampuan manipulasi jari- jarinya. Selain manipulasi jari- jari secara tidak langsung permainan ini dapat mengasak konsentrasi dan kemampuan berpikir anak.
Bermain kelereng di rumah (Img. pixabay.com)
Congklak (Img. pixabay.com)
Kesimpulan
Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang didapati dari latihan -latihan, sehingga anak sangat perlu difasilitasi dan dipersiapkan untuk dapat memiliki kemampuan menulis yang baik. Menulis merupakan aktivitas yang melibatkan banyak kemampuan seperti kekuatan otot dan ketahanan, koordinasi mata tangan dan motorik halus.
Pasca masa pandemi, banyak sekali anak yang masih cenderung menghabiskan waktunya dengan gadget atau screen time, sehingga anak mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan aktivitas menulis tangan. Hal tersebut dapat disiasati dengan memberikan aktivitas- aktivitas yang dapat dilakukan orangtua bersama anak dirumah.
Hubungan terapeutik berlanjut kepada kerja sama (Img. southpasadenan.com)
Sering kali kita mendengar klien berkata “Melihat terapis nya ramah senyum saja sudah mengurangi separuh nyeri saya”, atau kata seperti “Saya selalu semangat datang terapi, karena mbak dan mas terapis nya memotivasi saya dengan baik”.
Ternyata belum melakukan tindakan intervensi yang jauh saja sudah membuat klien kita merasa sedikit lebih baik. Menjadi tenaga kesehatan memang menguras tenaga baik fisik maupun emosional.
Namun, menjadi klien yang mengalami disfungsi menguras tenaga fisik dan emosional untuk datang mengakses layanan kesehatan pula. Maka kita terapis harus bisa menjadi professional dan melayani sepenuh hati.
Pada tahun 1913, Sigmund Freud berhipotesis bahwa hubungan antara terapis dan pasien adalah komponen kunci dari pengobatan yang sukses. Sejak saat itu, penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas hubungan ini (‘aliansi terapeutik’ seperti yang disebut) merupakan prediktor terkuat keberhasilan terapi (Knobloch, 2008).
Lalu bagaimana cara membangun hubungan yang baik antara terapis dan klien secara profesional? Sebelum sampai kesana, mari kita belajar manfaat dari menjalin hubungan yang baik dengan klien.
Manfaat memiliki Hubungan yang Baik dengan Klien
Dapat memunculkan kolaborasi yang baik antara klien dan terapis
Kolaborasi yang baik dapat membuat kita berada pada satu jalan dengan klien. Tanpa kolaborasi yang baik, seperti klien yang hanya menggantungkan pada terapis tanpa melakukan home program yang diberikan, terapis yang tidak memberikan umpan balik saat klien berkeluh kesah makaproses terapi yang dijalankan pun akan terasa sulit.
Dalam setting pediatri, kolaborasi pertama terjadi antara terapis, orang tua dan anak. Tetapi, kolaborasi paling awal yang harus dibangun dalam setting pediatri adalah antara terapis dan orang tua. Kolaborasi antara terapis dan orangtua yang kuat dapat meningkatkan rasa pemahaman, harapan dan rasa syukur terhadap anak.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan baiknya hubungan kolaborasi tersebut berimplikasi sangat kuat dan meningkatkan efektivitas proses terapi yang dijalankan, sehingga outcome yang dihasilkan dalam terapi pun lebih baik (Feinstein, Udvari-Solner & Joshi, 2009).
Menjalin komunikasi dengan klien (Img. www.gebauer.com)
Meningkatkan kualitas komunikasi yang dijalin
Saat kita memiliki hubungan baik dengan klien, maka akan mudah sekali dalam menjalin komunikasi. Melalui komunikasi yang terjalin dengan baik, terciptalah hubungan emosi yang kuat. Sehingga klien lebih leluasa menyampaikan keluhan dan harapannya.
Penelitian menunjukan hubungan yang baik dapat membuat klien lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan respon emosi negative yang dialami dan juga dapat menyelesaikan permasalahan negative yang dialami lebih baik (Knobloch, 2008).
Dapat menuntun ke hasil terapi yang lebih baik
Berdasarkan meta analysis pada aspek hubungan terapi tentang hubungan berbasis bukti & responsif, ditemukan bahwa sejumlah faktor hubungan, seperti menyetujui tujuan terapi, mendapatkan umpan balik klien selama perawatan dan memperbaiki masalah klien secara bersama memberikan hasil yang positif karena membantu dalam penggunaan metode perawatan yang tepat kepada klien (Deangelis, 2019).
Bagaimana Membangun Hubungan Terapetik dengan Klien?
Saat berbicara tentang hubungan terapetik Secara historis, studi tentang hubungan terapeutik hanya berfokus pada hubungan pasien dengan terapis. Namun, penelitian yang dilakukan di The Family Institute di Northwestern University dan Dr. William Pinsof (2019) menunjukkan pentingnya memperluas definisi ini untuk memasukkan pengaruh orang lain yang signifikan dalam kehidupan pasien seperti anggota keluarga, pasangan, teman dekat.
Penelitian yang dilakukan Knobloch (2008) tentang Pentingnya Hubungan dengan Terapis memaparkan bahwa cara menciptakan hubungan yang baik antara terapis dan klien adalah membangun empati dan pemahaman, menciptakan rasa keterbukaan, memiliki fleksibilitas dan kemauan beradaptasi dengan klien. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan terapetik bersama klien :
Berempati terhadap kondisi klien (Img. nursesusa.org)
Bangun rasa empati dan memahami klien
Saat awal terapis bertemu klien, hal yang harus kita bangun adalah rasa empati dan memahami keadaan dan perasaan klin kita, bukan apa masalah klien dan apa tujuan terapi yang bisa diberikan. Saat awal-awal pertemuan, ibaratkan kita (terapis) adalah seseorang yang bertamu di suatu rumah baru.
Sangat tidak etik bukan jika kita langsung mengunjungi dapur tanpa mengenal ruang depan? Begitu pula dengan klien, klien akan merasa tidak nyaman jika kita langsung terjun ke dalam tanpa berkenalan dan membangun rasa saling memahami.
Berdasarkan pengalaman saya, saya selalu berusaha membangun empati dan memahami klien saat awal-awal klien menjalankan terapi, seperti memahami apa yang klien suka dan tidak suka, apa yang membuat klien bersemangat, apa yang membuat klien tidak nyaman & tidak memaksakan klien untuk melakukan aktivitas yang kita minta dan berikan.
Oleh sebab itu, klien akan menunjukan kepercayaan terhadap kita karena merasa aman dan nyaman dengan kita sebagai terapis sehingga proses terapi yang dijalankan pun menjadi lebih baik.
Ciptakan Keterbukaan
Keterbukaan sangat penting saat membangun hubungan terapetik dengan klien. Saat dengan klien dewasa, terapis diharapkan dapat terbuka dengan tujuan & proses terapi yang akan dijalankan. Sehingga klien tidak merasa seperti sebuah objek yang di otak-atik oleh terapis, namun bisa merasa menjadi seorang “partner” yang bersama-sama menuju tujuan yang sama.
Dalam setting pediatri, keterbukaan sangat perlu terjalin dengan orang tua dan juga anak. Menciptakan keterbukaan dapat dilakukan seperti menyampaikan pada orang tua bagaimana permasalahan anak, dan bagaimana cara yang dapat dilakukan bersama agar mendapatkan hasil yang memuaskan.
Maka sangat penting mengkomunikasikan hasil terapi di setiap setelah pertemuan, seperti apa yang telah dapat dicapai anak hari ini dan bagaimana cara memaksimalkan potensi anak dirumah melalui home program.
Fleksibilitas dan kemauan untuk beradaptasi dengan klien
Kondisi klien tidak dapat kita prediksi di setiap pertemuan. Pada beberapa kasus pediatri, emosi anak masih turun-naik seperti saat dirumah anak merasa baik-baik saja namun saat tiba di ruangan terapi anak merasa cemas. Begitu pula klien dewasa fisik maupun psikososial, pertemuan sebelumnya klien merasa bersemangat dan termotivasi, bisa jadi pertemuan kali ini klien merasa murung dan tidak bersemangat.
Fleksibilitas
Maka disinilah peran terapis, agar terciptanya hubungan yang baik dan klien dapat lebih mudah mengkomunikasikan perasaan negatif nya, terapis diharapkan menjadi pribadi yang fleksibel dan dapat beradaptasi.
Salah satu bentuk dari fleksibilitas adalah dengan cara tidak memaksakan program terapi yang sudah kita susun di hari itu terhadap klien saat klien tidak dalam kondisi baik. Meskipun klien harus mencapai tujuan yang telah disepakati, namun perasaan dan apa yang dialami klien di hari itu adalah lebih penting.
Kemauan Beradaptasi
Kemauan beradaptasi dengan klien dapat dilakukan dengan cara mengubah aktivitas yang sesuai dengan keadaan klien dihari itu juga, contoh nya klien anak yang minggu lalu sudah berfokus dalam meningkatkan kognitif karena hari ini anak mengalami cemas berlebih maka kita harus dapat mengubah aktivitas kearah calming bagi anak.
Hal tersebut dapat membuat klien merasa bahwa kita dapat beradaptasi dengan merasa dalam situasi apapun yang sedang mereka alami dan tidak menjadi pribadi yang kaku serta memaksakan.
Menyesuaikan diri dalam proses komunikasi bersama klien (Img. amavic.com.au)
Kesimpulan
Banyak klien yang saat sebelum mengakses terapi mereka berpikir “apakah mengikuti terapi ini akan benar-benar berguna bagi diriku?”. Penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor mempengaruhi apakah sebuah pengobatan akan berhasil, seperti tingkat keparahan masalah yang sedang diobati, keyakinan pasien bahwa treatment akan bekerja dan tingkat keterampilan terapis.
Namun, penelitian selama lima puluh tahun terakhir telah menunjukkan bahwa satu faktor, lebih dari yang lain, dikaitkan dengan pengobatan yang sukses yaitu kualitas hubungan antara terapis dan pasien. Maka, inilah betapa pentingnya menciptakan hubungan terapetik dengan klien agar outcome yang dihasilkan akan menjadi lebih baik.
Feinstein, N. R., Fielding, K., Udvari-Solner, A., & Joshi, S. V. (2009). The supporting alliance in child and adolescent treatment: Enhancing collaboration among therapists, parents, and teachers. American Journal of Psychotherapy, 63(4), 319-344.
Fenomena work life balance di kalangan pekerja masa kini (Img. static.wixstatic.com)
Bekerja sebagai terapis okupasi tidaklah selalu mudah. Selalu dituntut untuk menjadi professional di semua situasi saat bekerja. Banyak yang setuju bahwa menjadi terapis okupasi bukan hanya mengandalkan ilmu medis, namun juga ilmu sosial dan kemanusiaan karena terapis okupasi harus dapat melihat klien secara holistic.
Selain menjadi tenaga professional di tempat kerja, terapis okupasi juga memiliki peran di kehidupannya masing-masing, entah sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga, kepala keluarga, mahasiswa, ketua organisasi dan lain sebagainya.
Ketika seorang terapis okupasi mengalami kesulitan dalam mengatur perannya di dunia kerja dan di kehidupan seharinya atau work-life balance-nya, terapis okupasi dapat mengalami “occupational imbalance”.
Itu adalah situasi di mana terapis okupasi menjalani kehidupan yang tidak seimbang sebagai konsekuensi dari tekanan dari tempat kerja neoliberal untuk ‘melakukan’ dan ‘menjadi’ kegiatan di luar pekerjaannya yaitu perannya di kehidupan sehari-hari . Occupational imbalance sendiri dapat mempengaruhi pencapaian kesejahteraan seseorang. (Clouston, 2014).
Apa itu Work-Life Balance?
Semakin majunya teknologi, dunia terasa semakin mudah. Sehingga pekerjaan apapun bisa dikerjakan dimanapun dan kapanpun. Hal itulah yang membuat seseorang sulit mengorganisir waktunya kapan bekerja dan kapan melakukan perannya yang lain di luar pekerjaan nya. Beberapa ahli mengartikan work sebagai sesuatu pekerjaan yang dibayar seperti pekerjaan tetap dan permanen, sedangkan life diartikan sebagai pekerjaan kita yang tidak dibayar.
Tetapi, beberapa ahli juga mengartikan life sebagai kehidupan di keluarga maupun sosial kita, dan balance menyiratkan sebuah tujuan dimana terdapat keseimbangan antara partisipasi seseorang terhadap pekerjaan dan kehidupan selain pekerjaan dan setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengorganisasi dirinya dalam berbagai peran pun sebenarnya tidak semua hal harus memasukan keseimbangan didalamnya (Lewis & Beauregard, 2018).
Hayo, udah ada rencana liburan di minggu depan? (Img. piknikdong.com)
Apa Dampak Bermasalah pada Work-Life Balance?
Menyeimbangkan sesuatu hal yang berbeda memang tidak selalu mudah. Penulis pun merasa kesulitan menyeimbangkan kehidupan kerja dan dunia pribadi.
Sering sekali melewatkan hari minggu untuk bersantai dengan keluarga atau teman-teman terdekat seperti jalan-jalan, karena terlalu berfokus pada pekerjaan, bisa dibilang work a holic. Hal itu menyebabkan diri saya menjadi mudah stress dan selalu lesu saat hari senin serta menurunnya performa bekerja.
Sebuah survei tentang keseimbangan kerja / kehidupan yang dilakukan pada tahun 2002 oleh TrueCareers menyatakan bahwa 70% dari lebih dari 1.500 responden mengatakan mereka tidak memiliki keseimbangan yang sehat antara kehidupan pribadi dan pekerjaan mereka. Ketidak seimbangan antara work dan life dapat menyebabkan menurunnya kesehatan dan meningkatkan stress bagi seseorang (Dhas & Karthikeyan, 2015).
Stres dalam Pekerjaan (Img. topcareer.id)
Para ilmuwan setuju bahwa dalam jumlah yang sedang, stres bisa dihadapi bahkan bermanfaat dan kebanyakan orang diharuskan untuk menghadapinya. Namun, meningkatnya tingkat stres yang cepat menyebabkan moral karyawan menjadi rendah, produktivitas menjadi buruk, dan penurunan kepuasan kerja.
Beberapa gejala spesifik yang berhubungan langsung dengan produktivitas di lingkungan kerja adalah penyalahgunaan waktu, kecurangan, ketidakhadiran ke tempat kerja secara berkepanjangan, ketidakpercayaan, penggelapan, sabotase organisasi, keterlambatan, penghindaran tugas, dan kekerasan di tempat kerja.
Dampak serius lainnya adalah depresi, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, masalah perkawinan dan keuangan, gangguan makan kompulsif, dan kelelahan karyawan (Lockwood, 2003). Selain itu ketidakseimbangan antara work & life menyebabkan masalah keluarga, seperti menurunnya kepuasan berkeluarga dan menurunnya seseorang melakukan perannya dalam keluarga (Delecta, 2011).
Bagaimana Cara Menyeimbangkan Work-Life Balance?
Menengok Budaya Tempat Anda Bekerja
Beberapa kasus, ketidak seimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi disebabkan oleh pola atau budaya tempat seseorang bekerja. Jadi sangat perlu melihat kembali apakah tempat anda bekerja mendukung program work life balance.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, seorang terapis okupasi sangat didukung agar memiliki keseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadinya. Berikut beberapa saran agar tempat kerja memilki program work life balance (Lockwood, 2003) :
Meninjau strategi sumber daya manusia untuk melihat apakah mendukung misi perusahaan,
Melalui kuesioner atau kelompok fokus, cari tahu apa yang dirasakan karyawan tentang keseimbangan kerja / kehidupan,
Menyelaraskan inisiatif kerja / kehidupan dengan strategi SDM (misalnya, pilihan atasan dengan bawahan),
Buat program penghargaan bagi pegawai yang menerapkan work life balance menggunakan insentif non-tunai yang selaras dengan tujuan bisnis.
Membangun budaya lingkungan kerja yang nyaman (Img. careerarc.com)
Memanajemen Waktu dengan Baik
Ketidakseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadi memang selalui berkaitan dengan waktu yang digunakan. Bagi work holic, bekerja adalah hal utama dalam hidupnya, minum kopi bersama teman bagi mereka sangat membuang waktu berharga.
Memanajemen waktu sangat diperlukan ketika kita memiliki banyak peran dalam kehidupan kita. Study yang dilakukan oleh Work institute of America (2011) tentang “Holding a job, having a life : Strategies for change” menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu mengurangi lembur, stres, dan beban kerja, dan meningkatkan fleksibilitas dan waktu bersantai dengan keluarga (Dhas & Karthikeyan, 2015).
Beberapa orang juga menggunakan asisten untuk melakukan beberapa pekerjaan pribadi yang tidak bisa dilakukan, untuk time saved sehingga mereka dapat memiliki waktu lebih agar dapat bersama keluarga (Lockwood, 2003).
Kesimpulan
Semakin majunya zaman, semua serba mudah. Hal tersebut mengakibatkan orang bekerja tanpa mengenal waktu. Bagi seorang terapis okupasi menyeimbangkan antara bekerja dan kehidupan pribadi sangat penting. Ketidak seimbangan antara bekerja dan kehidupan dapat menyebabkan stress dan masalah keluarga hingga kesehatan.
Maka dari itu terapis okupasi harus dapat menjaga well-being diri sendiri agar dapat memiliki performa bekerja yang baik saat bersama klien. Ketidak seimbangan antara work dan life yang tidak diatasi akan memiliki dampak kurang baik bagi seseorang di kehidupannya, sehingga sangat disarankan agar melakukan perbaikan sejak sekarang.
Lewis, S., & Beauregard, T. A. (2018). The meanings of work-life balance: A cultural perspective. In R. Johnson, W. Shen, & K. M. Shockley (Eds.), The Cambridge handbook of the global work-family interface (pp. 720-732). Cambridge: Cambridge University Press.
Lockwood, N. R. (2003). Work/life balance. Challenges and Solutions, SHRM Research, USA, 2-10.
Delecta, P. (2011). Work life balance. International Journal of Current Research, 3(4), 186-189.
Dhas, M. D. B., & Karthikeyan, D. P. (2015). Work-life balance challenges and solutions: overview. International Journal of Research in Humanities and Social Studies, 12(2).
Seksual orientasi maupun identitas gender, untuk era sekarang memang tidak hanya dia (laki-laki) ataupun dia (perempuan) atau laki-laki menyukai perempuan. Saat ini seksual orientasi dan identitas gender ada yang dinamakan LGBTQ+ yang berarti Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgander, Queer, + untuk lain-lain.
Mungkin artikel ini akan menjadi bacaan pertama tentang terapis okupasi pada LGBTQ+ dalam bahasa Indonesia. Maka dari itu sebelum kita belajar lebih dalam, mari kita mengambil waktu sejenak dan menyimpan persepsi pribadi. Penulis akan memposisikan diri sebagai profesional terapis okupasi bukan secara pribadi. Maka diharapkan pembaca juga melakukan hal yang sama.
Jika kawan-kawan sudah menempatkan diri sebagai profesional maka mari kita lanjutkan membaca artikel ini.
Seperti yang kita ketaui dalam kode etik okupasi terapis Indonesia (2021) menyatakan “Anggota IOTI berkomitmen untuk mempromosikan sistem inklusi, partisipasi, keamanan, dan kesejahteraan untuk individu, kelompok, keluarga, organisasi, masyarakat, dan atau populasi di berbagai tahap kehidupan dan tingkat kesehatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan okupasi mereka”.
Berikutnya, terdapat 7 core values yang menjadi inti pelayanan terapis okupasi yaitu Altruisme, Equality (kesetaraan), Freedom (kebebasan), Justice (keadilan), Dignity (bermartabat), Prudence (bijaksana). Maka dari aturan kode etik okupasi terapis Indonesia ini kita tau bahwa sebagai terapis okupasi, kita harus dapat menjadi tenaga kesehatan yang professional untuk semua kalangan tanpa adanya diskriminasi.
Apakah LGBTQ+ merupakan Penyakit Kejiwaan?
Sejak 1975, American Psychological Association telah meminta psikolog untuk memimpin dalam menghilangkan stigma gangguan kesehatan jiwa yang telah lama dikaitkan dengan orientasi lesbian, gay dan biseksual.
LGBTadalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. “LGB” dalam istilah ini mengacu pada orientasi seksual. Orientasi seksual didefinisikan sebagai pola ketertarikan emosional, romantis, dan/atau seksual yang sering bertahan lama dari pria ke wanita atau wanita ke pria (heteroseksual), dari wanita ke wanita atau pria ke pria (homoseksual), atau oleh pria atau wanita untuk kedua jenis kelamin (biseksual).
Genderbreed Person V 2.0 (Img. https://www.itspronouncedmetrosexual.com/)
Ini juga mengacu pada rasa identitas pribadi dan sosial individu berdasarkan daya tarik tersebut, perilaku terkait dan keanggotaan dalam komunitas orang lain yang berbagi daya tarik dan perilaku tersebut. Beberapa orang yang memiliki ketertarikan atau hubungan sesama jenis dapat mengidentifikasi diri sebagai “aneh,” atau, karena berbagai alasan pribadi, sosial atau politik, mungkin memilih untuk tidak mengidentifikasi diri dengan label ini atau label apa pun.
“T” dalam LGBT adalah singkatan dari transgender atau gender yang tidak sesuai, dan merupakan istilah umum untuk orang-orang yang identitas gender atau ekspresi gendernya tidak sesuai dengan yang biasanya terkait dengan jenis kelamin yang diberikan kepada mereka saat lahir. Beberapa yang tidak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan lebih suka istilah “genderqueer.” Dan penting untuk dipahami bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukanlah hal yang sama (APA, 2008).
Apa yang Menyebabkan Seseorang Memiliki Seksual Orientasi Tertentu?
Tidak ada konsensus (persetujuan secara umum) di antara para ilmuwan tentang alasan yang tepat bahwa seseorang mengembangkan orientasi heteroseksual, biseksual, gay, atau lesbian. Meskipun banyak penelitian telah meneliti kemungkinan pengaruh genetik, hormonal, perkembangan, sosial, dan budaya pada orientasi seksual, tidak ada temuan yang muncul yang memungkinkan para ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh faktor atau faktor tertentu.
Banyak yang berpikir bahwa nature (secara alamiah) dan nurture (proses didikan dan asuhan) keduanya memainkan peran yang kompleks; bahkan kebanyakan orang mengalami sedikit atau tidak ada pilihan tentang orientasi seksual mereka (APA, 2008).
Permasalahan yang Dihadapi oleh Individu dengan LGBTQ+
Menghadapi Prasangka Tidak Baik dan Diskriminasi
Sebelum 1970-an, homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang menyimpang, menular, berbahaya, dan tidak dapat diobati yang diagnosisnya paling sering menyebabkan pengusiran dari institusi (Tierney & Dilley, 1998 dalam Kay, 2022). Untuk menghilangkan anggapan negatif ini tentunya tidak mudah dan membutuhkan waktu serta dukungan dari berbagai pihak.
Bahkan di negara maju, orang-orang lesbian, gay, dan biseksual di Amerika Serikat menghadapi prasangka, diskriminasi, dan kekerasan yang luas karena orientasi seksual mereka. Prasangka yang intens terhadap lesbian, pria gay, dan orang biseksual tersebar luas di sebagian besar abad ke-20 , bahkan sikap diskriminasi yang sebagian besar dialami berupa kekerasan verbal maupun fisik (APA, 2008).
Occupational Injustice
Occupational injustices digambarkan sebagai kondisi seseorang yang memiliki pengalaman occupation dengan penuh tekanan karena kondisinya (Hammell & Beagan, 2017) Sedangkan occupational justice yang dideskripsikan oleh Nilsson and Townsend (2010) merupakan keadilan dari perbedaan: keadilan untuk mengakui hak-hak occupational tanpa memandang usia, kemampuan, jenis kelamin, kelas sosial, atau perbedaan lainnya”.
Individu dengan LGBTQ+ banyak yang mengalami kesulitan dan terisolasi dalam aspek sekolah atau akademik, kependudukan dan struktur sosial karena harus menanggung kebijakan yang membatasi mereka, staf-staf yang tidak mendukung, bias gender dan orientasi, dan intimidasi atau bullying dari orang sekitar (Kay, 2022).
Namun faktanya individu dengan LGBTQ+ mengalami occupational injustice bukan hanya hasil dari masyarakat luar namun dari lingkungan profesi kesehatan, dimana orang dewasa dan remaja yang mengidentifikasi sebagai selain laki-laki / perempuan atau heteroseksual, sering mengalami jumlah kesempatan yang tidak proporsional dari kesenjangan perawatan kesehatan mental dan fisik daripada rekan-rekan heteroseksual (Willey, 2021).
Selain itu occupational injustice juga terjadi pada kalangan terapis okupasi karena hasil dari kurangnya pengetahuan & kompetensi klinisi. Menurut penelitian yang dilakukan Willey (2021) tentang Occupational Therapists’ Consideration of Sexual Orientation and Gender Identity when Working with Adolescents: An Exploratory Study, menyatakan bahwa occupational justice lebih mungkin terjadi jika OTs memasukkan SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) sebagai faktor klien yang relevan dalam praktik terapi okupasi.
Sebaliknya, situasi occupational injustice jika semua faktor klien tidak dipertimbangkan (AOTA, 2020). Contoh, jika seorang terapis okupasi tidak bertanya tentang SOGI klien, maka kemungkinan mereka menganggap klien mereka heteroseksual dan / atau pria atau wanita. Jika terapis okupasi tidak bertanya tentang SOGI klien, dan klien tidak menawarkan informasi ini, maka OTs tidak akan tahu apakah klien remaja membutuhkan dukungan, baik dengan topik khusus SOGI atau dukungan untuk mengejar occupation yang paling berarti bagi mereka.
Mengalami Permasalahan Fisik maupun Mental
Viktimisasi, diskriminasi, penolakan, dan prasangka yang terus dialami dan dihadapi adalah sumber stres yang mengarah pada masalah dan kekhawatiran kesehatan fisik dan mental yang sering terlihat di komunitas LGBT.
Pengalaman yang buruk selama bertahun-tahun dan penyembunyian identitas asli seseorang dianggap sebagai faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kondisi medis kronis yang lebih tinggi, seperti penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, radang sendi, dan gangguan kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan, yang terlihat pada populasi LGBT (Branstrom, 2017; Fredriksen-Goldsen et al., 2013; Meyer, 2003 dalam Simon, et al., 2021).
Bagaimana peran Terapi Okupasi pada individual dengan LGBTQ+ ?
Melakukan Pemeriksaan (Img. Brooks.ac.uk)
Memasukan SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) dalam Proses Terapi Okupasi
Untuk pertama kalinya SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) dianggap sebagai bagian dari proses terapi okupasi setelah depalan belas tahun sejak dikeluarkannya edisi pertama.
OTPF menggambarkan SOGI sebagai faktor pribadi yang harus dipertimbangkan, bersama dengan informasi demografis lainnya seperti: usia kronologis; ras dan etnis; identifikasi dan sikap budaya; latar belakang sosial, status sosial, dan status sosial ekonomi; pola pengasuhan dan pengalaman hidup; kebiasaan dan pola perilaku masa lalu dan saat ini; aset psikologis, temperamen, karakter unik yang dimiliki individu, dan gaya koping; pendidikan; profesi dan identitas profesional; gaya hidup; dan kondisi kesehatan dan status kebugaran (yang dapat mempengaruhi occupation seseorang tetapi bukan perhatian utama dari pertemuan terapi okupasi) (AOTA (2020), hlm. 10-11 dalam Willey, 2021).
Memasukan SOGI kedalam proses terapi sangatlah penting, karena dengan itu terapis okupasi dapat menentukan bentuk assessment, intervensi dan evaluasi yang sesuai dengan indidvidu, karena jika seorang tenaga kesehatan tidak mempertimbangakan SOGI dalam proses medikasi, maka hal ini dianggap tindakan yang menyakitkan karena tidak semua klien masuk kedalam heteroseksual, laku-laki maupun perempuan (Logie et al., 2019)
Mengidentifikasi Occupational Profile Individu dengan LGBTQ+ yang Terimplikasi karena SOGI Klien
Terapis okupasi harus sadar dan memiliki pengetauan tentang bagaimana kesenjangan kesehatan, kondisi kesehatan fisik, gangguan kejiwaan, dan tantangan sosial yang dihadapi yang berdampak pada occupational profile individu dengan LGBTQ+.
Dalam penelitian yang dilakukan Simon et al., (2021). The Role of Occupational Therapy in Supporting the Needs of Older Adults who Identify as Lesbian, Gay, Bisexual, and/or Transgender (LGBT). Memaparkan gambaran umum tentang perspektif ekologis terhadap narasi occupation dan perjalanan orang dewasa LGBT yang lebih tua dan dampaknya pada occupational profile-nya.
Person
Orang dewasa LGBT hadir dengan berbagai perubahan sistem terkait usia yang berdampak pada fungsi fisiologis, psikologis, motorik, kognitif, dan / atau spiritual.
Peningkatan risiko kesenjangan kesehatan menciptakan kebutuhan kritis untuk assessment yang akurat, evaluasi komprehensif, intervensi, dan proses rujukan yang tepat.
Environment
Orang dewasa LGBT dihadapkan pada “tantangan lingkungan,” mengingat jaringan dukungan sosial mereka, penentu sosial, lingkungan fisik dan sosial yang ada, dan kebijakan kesehatan dan hukum yang berlaku (Lecompte et al., 2020).
Dilema dan konflik dapat muncul ketika para penatua LGBT dihadapkan pada “lingkungan” yang tidak inklusif dan tidak mempertimbangkan kebutuhan populasi ini (Donaldson & Vacha-Haase, 2016).
Misalnya, pasangan mungkin tidak diterima sebagai kerabat berikutnya karena polisi yang ada di lingkungan tertentu. Beberapa akan melupakan bantuan yang diperlukan karena takut akan pekerja perawatan di rumah dan pengasuh yang tidak kompeten secara budaya dan mungkin tidak menerima gaya hidup mereka.
Occupational Performance
Ada beragam kebutuhan dan keinginan orang dewasa LGBT yang bersaing dengan perubahan peran dan tujuan berdasarkan tingkat fungsi mereka; kebutuhan di rumah, di masyarakat, atau di tempat kerja; tahap kehidupan; dan adaptasi terhadap proses penuaan (Abbruzzese & Simon, 2018).
Tingkat fungsional sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan manusia. Klien mungkin tidak ingin melakukan terapi atau terbuka terhadap strategi yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan fungsi.
Hambatan dan kendala tambahan menciptakan tantangan dalam memfasilitasi kinerja dan partisipasi occupational yang optimal.
Seperti yang kita ketahui bahwa individu LGBT memiliki occupational profile yang unik. Beberapa topik termasuk berpakaian atau masalah seksualitas, yang harus kita ketahui dan sadari. Mengatasi beragam ADL dan pekerjaan memerlukan pendekatan yang terbuka dan tidak menghakimi.
Sensitivitas untuk masalah ADLs yang berkaitan dengan berpakaian, perawatan, atau seksualitas dapat muncul, dan seorang terapis mungkin tidak yakin bagaimana mengatasi masalah dengan cara yang kompeten secara budaya dan klinis.
Misalnya, seseorang mungkin menghadapi kebutuhan transisi pada individu transgender yang mungkin mengalami tantangan berpakaian, beradaptasi dengan gaya baru, dan yang perlu mengelola berbagai jenis pakaian atau aksesori. Ini mungkin keadaan yang unik bagi seorang tenaga kesehatan yang tidak yakin, tidak mudah dan perlu merasa lebih sadar secara klinis dan kompetensi (Simon et al., 2021).
Mengembangkan Pengetahuan dan Perubahan Praktik
Terapis okupasi merupakan bagian dari agen perubahan. Seluruh terapis okupasi sebaiknya menyadari isu-isu terbaru yang membutuhkan peranan terapis okupasi dan ikut berproses serta mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Untuk mengatasi kurangnya pengetahuan mengenai masalah dan kekhawatiran populasi LGBT, kita perlu membuat perubahan dalam pendidikan dan pelatihan kita baik fakultas maupun mahasiswa. Kerendahan hati budaya harus didorong dan peluang untuk menjadi lebih kompeten secara budaya dan klinis diperlukan. Kebutuhan, kekhawatiran, dan sejarah narasi LGBT harus lebih terlihat dalam pendidikan dan pelatihan (Simon et al., 2021).
Upaya harus dilakukan oleh terapis okupasi untuk menciptakan lingkungan ramah LGBT dengan (a) mempromosikan penggunaan terminologi yang tepat, (b) merevisi formulir dan penilaian untuk memastikan inklusivitas, dan (c) memastikan selebaran pendidikan pasien netral gender.
Seluruh tenaga kesehatan harus didorong untuk melayani sebagai advokat untuk populasi ini di seluruh kontinum perawatan. Semua mekanisme ini akan mendorong peningkatan pemberian layanan OT (Simon et al., 2021).
Mengembangkan Ilmu Wajib Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan (Img. scopeblog.stanford.edu)
Kesimpulan
Peran terapis okupasi pada komunitas LGBTQ+ memang terbilang baru, penelitian serta evidence based yang adapun masih terbatas. Namun isu ini sudah menjadi hal yang harus terapis okupasi ketahui mengingat terapis okupasi merupakan salah satu profesi yang membantu klien nya mencapai kehidupan yang penuh makna meskipun dengan kondisi tertentu.
Melayani tanpa diskriminasi, melihat klien secara holistic seharusnya tidak dibatasi oleh seksual orientasi dan identitas gender. Terapis okupasi harus memposisikan diri sebagai tenaga profesional yang tentunya memiliki kompetensi ketika dihadapkan dengan klien dengan SOGI yang tidak ada dalam kategori umumnya.
Populasi LGBTQ+ juga menghadapi permasalahan kesehatan fisik maupun jiwa seperti yang lain dan juga yang diakibatkan oleh pengalam sosial yang tidak baik yang terus dihadapi serta occupational injustice yang mempengaruhi occupational individu LGBTQ+ yang mana peranan terapis okupasi sangat dibutuhkan pada hal ini.
Referensi
American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a better understanding of sexual orientation and homosexuality. https://www.apa.org/topics/lgbtq
Hammell, K. R. W., & Beagan, B. (2017). Occupational injustice: A critique: L’injustice occupationnelle: une critique. Canadian Journal of Occupational Therapy, 84(1), 58-68.
IOTI (2021). SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN OKUPASI TERAPIS INDONESIA NOMOR : 134/SKep/IOTI.PUSAT/V/2021. Ikatan Okupasi Terapis Indonesia
Kay, C. M. (2022). Challenges of Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Intersex, and Asexual (LGBTQIA) Students in Higher Education (Doctoral dissertation, Walden University).
Logie, C., Lys, C., Dias, L., Schott, N., Zouboules, M. R., MacNeill, N., & Mackay, K., (2019). “Automatic assumption of your gender, sexuality and sexual practices is also discrimination”: Exploring sexual healthcare experiences and recommendations among sexually and gender diverse persons in Artic Canada. Health Soc Care Community, 27, 1204–1213. https://doi.org/10.1111/hsc.12757
Nilsson, I., & Townsend, E. (2010). Occupational justice: Bridging theory and practice. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 17, 57–63. doi:10.3109/11038120903287182
Simon, P., Grajo, L., & Powers Dirette, D. (2021). The Role of Occupational Therapy in Supporting the Needs of Older Adults who Identify as Lesbian, Gay, Bisexual, and/or Transgender (LGBT). The Open Journal of Occupational Therapy, 9(4), 1-9.
Willey, K. (2021). Occupational Therapists’ Consideration of Sexual Orientation and Gender Identity when Working with Adolescents: An Exploratory Study.
Penelitian tentang terapi pada kasus neurodevelopmental disorder terus berkembang tahun ke tahun. Banyak peneliti berusaha untuk menemukan cara terbaik untuk menangani gangguan yang mendasari gangguan neurodevelopmental. Gangguan neurodevelopmentaladalah disabilitas yang terkait dengan fungsi sistem neurologis dan otak. Umumnya terjadi pada perkembangan awal dan ditandai dengan defisit perkembangan yang mengakibatkan gangguan fungsi seseorang, sosial, akademik, atau pekerjaan. Secara luas defisit gangguan berkisar mulai dari keterbatasan keterampilan belajar atau komunikatif, hingga yang lebih spesifik adalah gangguan global, interaksi sosial atau fungsi intelektual (American’s Children and the Environment (2015) & Ahn (2017)).
Meskipun gangguan Neurodevelopmental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder (ASD) Intellectual Disabilty, Cerebral Palsy dan lain-lain umumnya terjadi saat masa kecil namun kondisinya dapat terus ada seumur hidup. Saat ini, perawatan yang tersedia seperti fisioterapi, terapi okupasi, terapi perilaku, intervensi psikologi, terapi wicara dan intervensi farmakologi hanya fokus pada meringankan gejala gangguan ini dan tidak mengatasi neuropathophysiology yang mendasarinya (Sharma, et al., 2017). Para ilmuwan saat ini pun sedang mengembangkan penggunaan stem sel sebagai terapi karena stem sel diyakini dapat menjadi pilihan lain yang menjanjikan untuk menyembuhkan penyakit.
Apa itu stem sel?
Stem sel menjadi topik yang banyak dibicaran tahun-tahun terakir ini di dunia medis. Stem sel atau ratu dari semua sel (Queen of all cells) adalah sel yang bersifat pleuropoten dan memiliki potensi luar biasa untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda dalam tubuh tanpa memiliki batas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Secara fundamental stem sel tidak memiliki struktur jaringan spesifik yang dapat membentuk fungsi spesifik tertentu.Namun bila dapat dikembangkan ke dalam fungsi spesifik, hal itulah yang dapat dimanfaatkan dalam dunia medis untuk membentuk sel otot jantung, sel darah dan sel saraf (Hassan, Hassan, G., & Rasool, 2009).
Stem sel ada di hampir setiap jaringan manusia, di dalam embrio, mereka berdiferensiasi ke semua jaringan dan organ tubuh, dan pada manusia yang berkembang sepenuhnya stem sel menyediakan kapasitas pembaruan di sebagian besar organ. Stem sel memiliki berbagai bentuk dan masing-masing memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut mengacu pada kemampuan stem sel untuk mereplikasi dan berdiferensiasi ke dalam tipe sel yang berbeda (Alessandrini, et al., 2019).
Bagaimana Mekanisme Stem Sel Pada Kasus Neurodevelopmental Disorder?
Beberapa tipe atau jenis stem sel ditemukan untuk treatment gangguan neurologis seperti bone marrow stem cells, embryonic stem cells, olfactory ensheathing cells dan umbilical cord blood cells (Sharma, et al., 2017). Tujuan dari terapi stem sel adalah untuk menempatkan sel terapeutik ke daerah sel yang terganggu / rusak di dalam otak, untuk merangsang perbaikan dan memelihara jaringan melalui efek parakrin (memberikan sinyal dari sel ke sel lain) , dan bahkan berpotensi untuk menghasilkan neuron baru (meskipun untuk menghasilkan neuron baru kemungkinan terjadinya lebih kecil) (Alessandrini, et al., 2019).
Saat stem sel ditransplantasikan, stem sel akan bermigrasi dan pergi ke area otak yang terdapat gangguan Kemudian dipasangkan dengan faktor pertumbuhan (growth factors), chemokine dan reseptor matriks ekstraseluler pada permukaan sel seperti stromal cell-derivedfactor 1 (SDF‑1), monocyte chemo attractant protein‑3 (MCP‑3), stem cell factor (SCF) dan/atau IL‑8. Mereka kemudian berdiferensiasi ke dalam sel jaringan inang dan mengganti jaringan neuronal yang rusak atau mati. Melalui mekanisme parakrin mereka menghentikan cedera lebih lanjut dan merangsang sel-sel endogen untuk melakukan proses perbaikan dan pemulihan.
Kemudian stem sel mengeluarkan beragam faktor pertumbuhan neuroprotektif termasuk faktor neurotrofi yang berasal dari otak (Brain‐Derived Neurotrophic Factor), faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor), neurotrophin-3 (NT‑3), garis sel glial – faktor neurotrofi yang diturunkan (glial cell line–derived neurotrophic factor) dan insulin seperti growth factor tipe 1. Faktor-faktor pertumbuhan ini mengaktifkan sejumlah jalur sinyal dan membantu dalam meningkatkan diferensiasi, kelangsungan hidup sel saraf dan mempertahankan fungsi persarafan.
Mereka juga menghasilkan vaskular endothelial growth factor (VEGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF‑2) yang meningkatkan aliran darah dan meningkatkan angiogenesis (perkembangan sel darah baru). Faktor parakrin anti-inflamasi seperti Interleukin 10 (IL 10) dan Transforming growth factor (TGF)-β membantu dalam imunomodulasi (Sharma, et al., 2017).
Mekanisme aksi dari stem sel dalam gangguan neurologi pada pediatri.
Stem Sel Pada Pada Kondisi Autisme, Cerebral Palsy dan Intellectual Disability
Stem sel pada Autisme
Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al., (2013) tentang stem sel untuk anak dengan autism, dengan jumlah responden 32 anak autism dan dilakukan follow-up selama 26 bulan dengan menggunakan pemeriksaan Childhood Autism Rating Scale (CARS), Indian Scale for Autism Assessment (ISAA), Clinical Global Impression (CGI) dan Functional Independence Measure (FIM/Wee‐FIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 dari 32, (91%) anak mengalami peningkatan pada pemeriksaan ISAA, dan 20 (62%) anak mengalami penurunan yang cukup signifikan pada pemeriksaan CGI-I dan pada pemeriksaan CGI-II 96% anak menunjukan perkembangan secara menyeluruh.
Persentase peningkatan kemampuan pada Autisme setelah terapi stem sel.
Stem Sel pada Cerebral Palsy
Patologis utama dari cerebral palsy adalah kerusakan pada white matter. Stem sel pada cerebral palsy bertujuan untuk memperbaiki dan menggantikan white matter yang rusak. Penelitian tentang terapi stem sel pada cerebral palsy sudah banyak dilakukan. Dua puluh enam Studi yang telah dipublikasikan menunjukan 90% anak menunjukan perkembangan setelah terapi stem sel (Sharma, et al., 2017). Kemudian studi yang dilakukan oleh Sharma, et al,. (2015) berjudul A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients menunjukan 38 dari 40 responden (95%) menunjukan perkembangan dan 2 lainnya menunjukan hasil stabil tanpa ada penurunan.
Peningkatan pada Cerebral Palsy setelah terapi stem sel.
Stem Sel pada Intellectual Disability
Pada kasus intellectual disability stem sel berfungsi untuk mengembalikan sinaptik penghubung yang terputus dan memberikan reinnervasi lokal ke area yang terkena dampak. Selain itu juga stem sel berfungsi mengintegrasikan jaringan saraf dan sinaptik yang ada dan membangun kembali koneksi sel-sel afferent fungsional dan efferent yang mungkin telah berkontribusi dalam memulihkan defisit kognitif dan fungsional pada ID (Kang H & Schuman EM (1995) dalam Sharma, et al., (2017)).
Studi yang dilakukan Sharma, et al., (2015) tentang stem sel pada mental retardasi (MR) dimana laporan menunjukan bahwa responden (seorang anak laki-laki) berusia 13 tahun dengan cacat intelektual yang menunjukkan peningkatan setelah terapi stem sel. Dia ditindak lanjuti setelah 3 dan 6 bulan intervensi. Tidak ada peristiwa buruk terjadi pasca intervensi. Selama 6 bulan, ia menunjukkan peningkatan kontak mata, kognisi, kemampuan belajar, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Skornya pada Pengukuran Kemandirian Fungsional (FIM) meningkat dari 67 menjadi 76. Selain itu juga pada pra dan pasca PET-CT scan, menunjukkan peningkatan aktivitas metabolisme hippocampus, amygdala kiri dan cerebellum. Perubahan ini berkorelasi dengan hasil fungsional.
Kesimpulan
Terapi stem sel merupakan inovasi teknologi yang memiliki efek penyembuhan pada gangguan “neurologi” kondisi neurodevelopmental disorders, namun, faktor “perkembangan” juga mempengaruhi plastisitas otak dan maturasi sel. Gabungan antara stem sel dan intervensi rehabilitasi diasumsikan memiliki efek pemulihan dan perkembangan yang lebih baik. Oleh karena itu, studi lanjut diperlukan untuk mengetahui efek gabungan antara terapi stem sel dan intervensi rehabilitasi terutama pada gangguan neurodevelopmental disorders.
Ahn, D. H. (2016). Introduction: neurodevelopmental disorders. Hanyang Medical Reviews, 36(1).
Sharma, A., Sane, H., Gokulchandran, N., Badhe, P., Kulkarni, P., Pai, S., … & Paranjape, A. (2017). Stem cell therapy in pediatric neurological disabilities. Physical Disabilities-Therapeutic Implications, 117.
Hassan, A. U., Hassan, G., & Rasool, Z. (2009). Role of stem cells in treatment of neurological disorder. International journal of health sciences, 3(2), 227.
Alessandrini, M., Preynat-Seauve, O., De Bruin, K., & Pepper, M. S. (2019). Stem cell therapy for neurological disorders. South African Medical Journal, 109(8 Supplement 1), S71-S78. https://www.icddelhi.org/Stem_cell_therapy.html
Sharma A, Gokulchandran N, Sane H, Nagrajan A, Paranjape A, et al. Autologous bone marrow mononuclear cell therapy for autism – An open label proof of concept study. Stem Cells International. 2013;2013:13 pages. Article ID 623875.
Sharma A, Sane H, Gokulchandran N, Kulkarni P, Gandhi S, et al. A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients: a new frontier. Stem Cells International. 2015;2015:11 pages. Article ID 905874
Sharma A, Sane H, Paranjape A, Gokulchandran N, Kulkarni P, Nagrajan A, Badhe P. Positron emission tomography–computer tomography scan used as a monitoring tool following cellular therapy in cerebral palsy and mental retardation – A case report. Case Reports in Neurological Medicine. 2013;2013:6 pages. Article ID 141983