Banyak sekali jenis jenis olahraga di sekitar kita (Img: Freepik.com)
Olahraga & Atlet
Bermula dari Juni hingga Desember 2022 ke depan, dunia sedang berpesta olahraga, loh! Bila kita urutkan dari SEA Games 2022 di Hanoi, ASEAN Para Games 2022 di Indonesia, FIBA Basketball Asia Cup 2022 di Indonesia, Asian Games 2022 di Tiongkok dan terakhir di FIFA World Cup 2022 di Qatar (Kompas, 2022). Diantara pesta-pesta olahraga tersebut, beberapa kegiatan berlangsung di Indonesia, wah!
Tidak lupa, selamat untuk Indonesia sudah menjadi juara umum di ASEAN Para Games 2022 & memenangkan kompetisi sepak bola remaja tingkat Asia Tenggara, AFF U-16 2022, ya!
Pada era ini sport sangat populer dan kompetitif dengan banyak atlet yang berlatih sangat keras agar mendapatkan kemenangan, maka tak heran saat ini menjadi seorang atlet merasakan beban besar baik secara fisik dan emosional. Keterbebanan tersebut mengakibatkan para atlet memperbanyak latihannya dan dapat meningkatkan peluang resiko cedera akibat olahraga (Dhillon et al., 2017).
Ketika seorang atlet mengalami cedera fisik saat melakukan kompetisi ataupun aktivitas olahraga, maka hal itu dapat berimplikasi pada kemampuannya dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Sport Rehabilitation
Saat kita berbicara tentang rehabilitasi maka kita akan menemukan banyak profesi di dalamnya dikarenakan rehabilitasi selalu menggunakan pendekatan multidisiplin. Maka dari itu dalam memanajemen cidera akibat olahraga terdapat banyak spesialis yang terlibat didalamnya meliputi pelatih, manajer klub, conditioning specialist, fisioterapis, nutrisionis, exercise psychologist, terapis okupasi, dokter bedah, pekerja sosial dan tim rehabilitasi lainnya. (Comfort, 2010 & Heijnen, 2008).
Semua bentuk olahraga dapat mengakibatkan cidera tanpa terkecuali, entah itu olahraga sepak bola, berenang, gymnastic, angkat beban, hingga bulu tangkis.
Penyebab umum terjadinya cedera pada seorang atlet antara lain adalah overtraining, teknik yang buruk, kit/peralatan yang tidak pantas, tabrakan, jatuh, penggunaan kemampuan yang berlebihan (Cambridge Technicals, 2018). Maka adanya sport rehabilitation bertujuan untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sang atlit yang terganggu akibat cedera secara maksimal.
Pelayanan terapi okupasi juga dapat di ranah rehabilitasi olahraga. (Vid. Youtube.com)
Bagaimana Terapis Okupasi Dapat Berperan?
Cedera yang dialami seorang atlet dapat menyebabkan gangguan secara fisik dan psikis. Cidera fisik yang dialami dapat berupa cedera otot, ligamen dan tulang. Studi yang dilakukan oleh Hootman et al. (2007) terhadap atlet dari 15 jenis olahraga yang berbeda menunjukan lebih dari 50 % atlet mengalami cedera pada anggota tubuh bagian bawah dan peneliti mengobservasi lebih dari 16 tahun dan melihat adanya peningkatan kasus cedera pada atlet karena tuntutan secara fisik, partisipasi dan aturan pertandingan.
Berikutnya proses pemulihan atau proses rehabilitasi pasca cedera menjadi concern utama. Maka disinilah terapis okupasi turut serta menjadi bagian dari proses rehabilitasi seorang atlet.
Assessment
Sebelum menentukan sebuah program untuk klien maka seorang terapis okupasi wajib melakukan sebuah assessment. Ketika berbicara tentang terapi okupasi maka kita akan berorientasi terhadap aktivitas fungsional apa yang terdampak akibat cedera yang dialami klien. Sebuah assessment pada sport rehabilitation sangat penting dan harus didokumentasikan dengan baik dari awal hingga evaluasi akhir karena berkaitan dengan tindakan pencegahan re-injury (Dhillon, et al., 2017).
Cedera yang berkaitan dengan olahraga yang sering ditemukan adalah gegar otak, cedera otak, cedera pada visual, cedera tulang belakang, dan cedera keterampilan motorik. Ini semua adalah cedera yang terapis okupasi biasanya kerjakan dalam proses rehabilitasi. Namun, literatur menunjukkan layanan terapi okupasi masih belum familiar dianggap sebagai komponen dari tim rehabilitasi olahraga (Reed, 2011).
Pemeriksaan fungsi tangan dilakukan terapis okupasi (Img. res.cloudinary.com)
Maka dalam hal ini seorang terapis okupasi dapat menggunakan pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot serta pemeriksaan tonus otot sebagai pemeriksaan secara fisik, dan dapat menggunakan depression and anxiety scale sebagai pemeriksaan psikis pasca injury.
Kemudian terapis okupasi dapat menggunakan Mini-Mental Status Examination (MMSE) maupun The Montreal Cognitive Assessment (MoCA) sebagai pemeriksaan kognitf klien secara umum pasca cedera serta menggunakan Functional Independence Measure (FIM), Performance Assessment of Self-Care Skills (PASS), maupun Canadian Occupational Performance Measure (COPM) untuk mengetaui permasalahan fungsional yang terdampak oleh cedera yang dialami klien (Manee, et al., 2020).
Intervensi
Setiap tujuan dan tindakan intervensi yang akan dilakukan dengan klien diputuskan berdasarkan hasil dari assessment dan keputusan bersama yang bersifat client-centered. Sebuah Studi menunjukkan bahwa partisipasi dalam aktivitas sangat penting untuk pemulihan setelah cedera, namun gejala mungkin masih mengganggu kemampuan seseorang untuk berpartisipasi.
Melalui gejala-gejala yang dialami klien ini dapat dilihat di area mana terapi okupasi dapat berperan dalam menemukan cara untuk membantu individu dalam menjaga partisipasi sehari-hari dalam aktivitas (Host & Mankie, 2018).
Bermodalitaskan permainan & olahraga (Img. neuroskills.com)
Berikut tindakan-tindakan intervensi yang dapat terapis okupasi lakukan pada sport rehabilitation :
Cedera pada Ekstremitas Atas
Banyak atlet yang mengalami cedera ekstremitas atas. Ekstremitas atas termasuk cedera pada tangan, pergelangan tangan, siku, dan bahu. Cedera di daerah-daerah ini dapat menyebabkan penurunan lingkup jangkauan gerakan, motorik halus, motorik kasar, dan keterampilan koordinasi.
Ekstremitas atas memiliki peran sangat banyak dalam aktivitas keseharian. Ketika klien mengalami cedera pada salah satu ekstremitasnya (tangan atau kaki), hal tersebut dapat menyebabkan rasa sakit dalam waktu tertentu dan membutuhkan banyak waktu untuk memulihkan kondisi yang kemudian menurunkan partisipasi individu dalam okupasinya. (Host & Mankie, 2018).
Dalam tindakan-tindakan intervensi yang dapat dilakukan seorang terapis okupasi dapat mengacu pada AOTA (2014), yaitu dapat berupa :
Latihan peningkatan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi,
Latihan aktivitas terapeutik
Mendesain orthosis, fabrication, fitting, dan training
Joint protection dan/atau menerapkan teknik konservasi energi di rumah, pekerjaan, sekolah, atau kegiatan rekreasi
Pengenalan ulang sensorik
Mirror therapy
Manajemen bekas luka dan edema
Manajemen nyeri
Pengkondisian kerja atau persiapan kembali bekerja
Pelatihan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari dan perangkat adaptif atau bantu, Pendidikan untuk keselamatan pasca-bedah atau pasca-cedera, termasuk kehilangan sensorik.
Cedera pada Ekstremitas Bawah
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, cedera ekstremitas bawah banyaknya mencapai lebih dari 50%. Ekstremitas bawah membawa peran penting dalam aktivitas fungsional terutama mobilitas bagi para atlet. Intervensi yang dilakukan pada ekstremitas bawah pun tidak jauh berbeda dari ekstremitas atas.
Terapis okupasi dapat memilih bentuk intervensi apa yang tepat bagi ekstremitas bawah pasca cedera olahraga. Dalam proses intervensi ekstremitas bawah terapis okupasi dapat berfokus pada komponen-komponen penting yaitu kekuatan otot, lingkup gerak sendi, keseimbangan dan endurance.
Komponen tersebut dapat dicapai salah satunya melalui protection, rest, ice, compression, dan elevation (P.R.I.C.E) dengan tujuan menghindari kerusakan jaringan lebih lanjut, mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh cidera, edema, dan sebagai upaya untuk membantu meningkatkan proses penyembuhan (Dhillon et al., 2017).
Psikologis
Menjadi seorang atlet merupakan sebuah tuntutan besar bagi seseorang apalagi jika sudah masuk pada kompetisi dunia. Mengalami cedera merupakan mimpi buruk bagi seorang atlet, apalagi jika cedera berat karirnya sebagai atlet dapat berakhir. Maka dari itu sebagai terapis okupasi kita tidak boleh menyampingkan area psikologis klien dalam proses rehabilitasi.
Gangguan psikologis yang sering dialami para atlet seperti anger (perasaan marah), kecemasan (karena memikirkan berapa lama cedera akan berlangsung), depresi (karena tidak dapat bertanding atau berlatih), mengisolasi diri, frustrasi hingga turunnya kepercayaan diri (Cambridge Technicals, 2018).
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terapis okupasi pada area kesehatan mental setelah cedera dapat berupa menyediakan program edukasi, pembelajaran pengalaman dan kelompok perawatan atau kelas untuk mengatasi kepercayaan diri yang hilang, kesadaran diri, keterampilan interpersonal dan sosial, manajemen stres dan pengembangan peran, dan juga bekerja sama dengan klien untuk mengembangkan kepentingan dan pengejaran rekreasi atau avocational (AOTA, 2013).
Modalitas terapi menggunakan latihan tinju sederhana (Img. helenhayeshospital.org)
Kesimpulan
Menjadi seorang atlet sangatlah tidak mudah, tahun ke tahun tuntutan atlet semakin bertambah entah itu secara fisik maupun emosional. Cedera olahraga merupakan hal yang tidak dapat dihindari bagi seorang atlet. Maka dari itu monitoring cedera sejak sebelum dan sesudah aktivitas olahraga sangatlah penting bagi klien.
Tindakan rehabilitasi pasca cedera menjadi hal penting bagi para atlet. Assessment dan intervensi yang dilakukan pun harus didokumentasikan dengan baik agar tidak terjadi reinjury bagi klien. Peran terapis okupasi pada sport rehabilitation menjadi sangat penting, namun minimnya sumber informasi bagi terapis okupasi dan evidence-based practice menjadikan terapis okupasi memiliki peran yang minimal dalam perhelatan keolahragaan.
Maka dari itu, sangat penting bagi terapis okupasi mengetahui perannya agar kedepannya dapat terlibat lebih untuk sport rehabilitation.
Jadi, tertarik belajar dan mengambil peran sebagai terapis okupasi di bidang keolahragaan nih?
Referensi
American Occupational Therapy Association. (2014). The Role of Occupational Therapy for Rehabilitation of the Upper Extremity. USA.
Comfort, P., & Abrahamson, E. (Eds.). (2010). Sports rehabilitation and injury prevention. John Wiley & Sons.
Dhillon, H., Dhilllon, S., & Dhillon, M. S. (2017). Current concepts in sports injury rehabilitation. Indian journal of orthopaedics, 51(5), 529-536.
Heijnen, L. (2008). The role of rehabilitation and sports in haemophilia patients with inhibitors. Haemophilia, 14, 45-51.
Hootman JM, Dick R, Agel J. Epidemiology of collegiate injuries for 15 sports: Summary and recommendations for injury prevention initiatives. J Athl Train 2007;42:311-9.
Host, A., & Mankie, K. (2018). Occupational Therapy’s Role in Sport: A Website on Promotion and Education for OT’s and Coaches.
Manee, F. S., Nadar, M. S., Alotaibi, N. M., & Rassafiani, M. (2020). Cognitive assessments used in occupational therapy practice: A global perspective. Occupational Therapy International, 2020.
Reed, N. (2011). Sport-Related Concussion and Occupational Therapy: Expanding the Scope of Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 31(3), 222-224.
Merawat layanan paliatif (Img: media.mehrnews.com)
Ketika kita membahas tentang peran terapis okupasi rasanya tidak pernah ada batasannya. Salah satu tujuan terapis okupasi adalah membuat hidup klien kita menjadi lebih bermakna dengan ataupun tanpa kondisi yang klien alami.
Praktisi terapi okupasi berperan penting pada tim perawatan paliatif dan hospice (perawatan terminal atau stadium akhir) dengan mengidentifikasi peran dan kegiatan kehidupan (occupation) yang bermakna bagi klien dan mengatasi hambatan yang dialami klien dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Tidak seperti penyedia layanan kesehatan lainnya, terapis okupasi mempertimbangkan kebutuhan kesehatan fisik dan psikososial/perilaku klien, berfokus pada apa yang paling penting bagi klien untuk dicapai, sumber daya dan sistem pendukung yang tersedia, dan lingkungan di mana klien ingin dan dapat berpartisipasi (AOTA, 2015).
Apa Itu Perawatan Paliatif ?
Saat mendengar kata palliate yang terpikirkan adalah sebuah tindakan meringankan atau meredakan. Perawatan paliatif adalah pendekatan tim interdisipliner yang digunakan untuk orang-orang dengan penyakit serius atau mengancam jiwa untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Tujuan perawatan paliatif termasuk memberikan bantuan untuk manajemen rasa sakit dan manajemen gejala, memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga klien, dan mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual perawatan dengan perawatan medis yang diperlukan (Guo & Shin, 2005).
Menguatkan klien selama perawatan paliatif (Img: media.istockphoto.com)
Kanker, Alzheimer, penyakit jantung kronis, multiple sclerosis, brain injury dan lain-lain merupakan diagnosis-diagnosis yang masuk ke dalam perawatan paliatif. Namun, cakupan penyakit yang termasuk ke dalam paliatif masih belum jelas hingga saat ini terutama di bidang psikiatri atau kejiwaan, karena banyak gangguan mental yang bersifat persisten dan berdampak negatif pada kualitas hidup serta harapan hidup seseorang.
Sedangkan di lain hal berdasarkan pada definisi perawatan paliatif WHO yang diterima secara luas saat ini hanya mencakup penyakit kejiwaan persisten yang parah. Hal ini menjadi concern paliatif psikiatri agar definisi perawatan paliatif oleh WHO yang lebih berfokus terhadap penyakit, diubah menjadi lebih fokus ke dalam berpusat pada klien mengingat tujuan dari perawatan paliatif adalah peningkatan kualitas hidup seseorang yang berada pada ambang kematiannya (Lindblad, Helgesson & Sjöstrand, 2019).
The multi-professional academic network at the Interdisciplinary Center for Palliative Medicine.
Peran Terapi Okupasi secara Spesifik
Seperti yang kita ketahui perawatan paliatif bersifat interdisiplin, dimana berbagai macam profesi termasuk terapis okupasi bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan. Terapis okupasi bekerja pada orang-orang dengan penyakit yang membatasi kehidupan dalam berbagai setting, termasuk kesehatan masyarakat, perawatan usia lanjut, rehabilitasi masyarakat, klinik rawat jalan, perawatan akut, pusat rehabilitasi rujukan spesialis, rumah sakit harian, rumah sakit dan unit perawatan paliatif rawat inap (OTA, 2015).
Dalam praktiknya terapis okupasi dapat bekerja pada bidang assessment dan intervensi, sebagai berikut:
Assessment
Melihat klien secara holistic adalah sebuah keharusan. Dalam perawatan paliatif terapis okupasi menggunakan pendekatan client-centered sehingga assessment yang dilakukan berpusat pada individu dan caregiver atau orang terdekat (Cooper, 2013). Pemeriksaan terstandar yang dapat digunakan saat assessment klien salah satunya adalah Canadian Occupational Performance Measure (COPM) dimana pemeriksaan ini sangat sejalan dengan client-centered approach.
Dalam melakukan assessment, seorang terapis okupasi harus dapat menganalisis gangguan fungsional klien dengan baik dan sedetail mungkin. Beberapa hal yang perlu diassesment oleh terapis okupasi selain gangguan fungsional dan konteks individu adalah konteks lingkungan. Terapis okupasi dapat melihat apakah pasien membutuhkan modifikasi lingkungan dimana klien tinggal maupun klien beraktivitas.
Oleh sebab itu praktisi terapi okupasi memahami hubungan transaksional antara orang, lingkungan, dan aktivitas bermakna untuk mendukung okupasi berkelanjutan yang diinginkan, dapat meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang yang sedang sekarat, serta untuk orang yang mereka cintai (WFOT, 2016).
Intervensi
Dalam tahapan intervensi, terapis okupasi juga harus menggunakan pendekatan client- centered bekerjasama dengan klien dan care giver. Hal ini berkaitan dengan bentuk intervensi dan tujuan yang akan dicapai bersama.
Sebagai contoh, klien dengan kanker memiliki kewaspadaan dan tingkat kesadaran lingkungan yang cukup baik namun memiliki permasalahan pada manajemen rasa sakit, pengendalian gejala yang menjadi dasar permasalahan kegiatan sehari-harinya akan berbeda dengan klien penyakit Alzheimer yang dirujuk pada tahap selanjutnya yang secara kognitif mengalami penurunan tetapi mengalami sedikit rasa sakit.
Memberikan ketenangan kepada klien (Img: www.all-can.org)
Berikutnya dalam situasi terminal, bentuk intervensi akan lebih tepat diarahkan pada berbagai tantangan yang dihadapi pengasuh, seperti memandu dalam mengelola perilaku dan tindakan keamanan bagi klien (Ann, et al., 2011).
Setelah tindakan assessment secara menyeluruh terapis okupasi dapat mengetahui area mana saja yang perlu dilakukan intervensi, apakah itu pada Activities of Daily Living (ADLs), Instrumental Activities of Daily Living (IADLs), Rest and Sleep, Leisure Participation,dan social participation.
Berikut adalah intervensi atau tindakan yang terapis okupasi lakukan berdasarkan area klien yang terdampak menurut panduan AOTA (2015).
Activities of Daily Living (ADLs) :
Berpakaian
Menggunakan peralatan adaptif, teknik pengerjaan aktivitas yang dimodifikasi, prinsip konservasi energi, dan mekanika tubuh yang tepat untuk meminimalkan rasa kelelahan berlebihan, dan rasa sakit (misalnya dalam berpakaian di tempat tidur untuk memaksimalkan kemandirian dan keselamatan).
Mandi
Menggunakan peralatan khusus atau adaptif untuk memaksimalkan keselamatan (misalnya grip bar dan bangku shower) dan menggabungkan prinsip konservasi energi.
Mobilitas fungsional
Menggabungkan strategi pencegahan jatuh (misalnya menghilangkan bahaya seperti menggunakan karpet dengan permukaan anti licin dan meningkatkan pencahayaan ruangan) dan menumbuhkan kesadaran akan masalah dan keterbatasan keselamatan dalam lingkungan, sambil memperkuat kepercayaan diri dan kemampuan klien. Menyediakan perangkat positioning dan mobilitas yang optimal untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan, sekaligus mengurangi risiko luka akibat tekanan.
Membantu mengenakan pakaian (Img: stocks.adobe.com)
Instrumental Activities of Daily Living (IADLs)
Persiapan makan
Menggabungkan prinsip konservasi energi dan modifikasi aktivitas seperti menggunakan gerobak beroda dan mengatur ulang penyimpanan dapur untuk akses yang lebih mudah. Membantu diet sehat dan menyiapkan bahan makanan untuk manajemen nutrisi.
Manajemen rumah
Mengevaluasi toleransi aktivitas dan mekanika tubuh dengan tugas-tugas seperti membersihkan rumah atau mencuci pakaian. Menyarankan modifikasi aktivitas, sistem pendukung, peralatan adaptif, ritme dalam aktivitas, dan teknik konservasi energi.
Manajemen kesehatan
Memberikan strategi tentang cara mengelola gejala yang terkait dengan kelelahan, nyeri, kecemasan, atau sesak napas selama aktivitas sehari-hari.
Kegiatan keagamaan atau spiritual
Memodifikasi kegiatan atau sumber daya untuk membantu mengembangkan atau memelihara keterlibatan dalam kegiatan peribadatan atau kerohanian, jika diinginkan (Pizzi, 2010).
Rest and Sleep :
Mengevaluasi kebiasaan tidur dan siklus tidur /bangun klien, dan mengembangkan rutinitas sebelum tidur untuk memfasilitasi periode tidur restoratif yang lebih lama.
Memberikan teknik relaksasi dan positioning untuk meningkatkan kenyamanan dalam beristirahat, meningkatkan kemampuan beristirahat, dan mengurangi kerusakan kulit dari tekanan.
Partisipasi Rekreasi
Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi dan komunitas yang menyenangkan dengan adanya perubahan kemampuan dan peran melalui modifikasi dan/atau dengan mengeksplorasi alternatif.
Menggunakan teknik relaksasi, strategi mengatasi, manajemen kecemasan, manajemen waktu, dan ritme aktivitas untuk memfasilitasi partisipasi dalam kegiatan yang diinginkan.
Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara-cara untuk mempertahankan fungsi kognitif (misalnya, memori dan konsentrasi) untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bermakna.
Berinteraksi & Menghibur Klien (Img: www.pbs.org)
Kesehatan Psikososial/Perilaku
Melibatkan klien dan keluarga mereka dalam diskusi tentang perasaan, ketakutan, dan kecemasan mereka. Jika sesuai, berikan dukungan dan sumber daya untuk membantu menciptakan rencana akhir masa aktif, dan tetap terorganisir selama proses (Pizzi, 2010).
Mendorong keterlibatan komunikasi dan keluarga untuk mendukung keinginan klien, dan mempromosikan koneksi sosial yang berkelanjutan (Park Lala & Kinsella, 2011).
Mendukung peran pengasuh, termasuk komunikasi tentang harapan realistis, dan edukasi tentang mekanika dan teknik tubuh yang aman selama kegiatan sehari-hari dan berpindah tempat, manajemen diri, dan kemampuan untuk mengurangi burnout (misalnya, kelompok pendukung pengasuh, atau perawatan hari hospice dewasa).
Kesimpulan
Terapi Okupasi menjadi salah satu profesi yang melakukan perawatan paliatif bersama profesi lain. Meningkatkan kualitas hidup klien meski berada pada ujung akhir kehidupan menjadi salah satu tujuan terapi okupasi.
Dengan memahami peran dan tindakan intervensi yang tepat melalui client-centered approach terapis okupasi diharapkan dapat bekerjasama dengan klien dan caregiver dalam menciptakan kehidupan yang bermakna meskipun klien memiliki permasalahan kesehatan yang menghambat aktivitas kesehariannya.
Ann Burkhardt, O. T. D., Mack Ivy MOT, O. T. R., Kannenberg, K. R., & Youngstrom, M. J. (2011). The role of occupational therapy in end-of-life care. The American Journal of Occupational Therapy, 65(6), S66.
Cooper, J. (Ed.). (2013). Occupational therapy in oncology and palliative care. John Wiley & Sons.
Guo, Y., & Shin, K.Y. (2005). Rehabilitation needs of cancer patients. Critical Reviews in Physical and Rehabilitation Medicine, 17(2), 83–99. doi:10.1615/CritRevPhysRehabilMed.v17.i2.10
Lindblad, A., Helgesson, G., & Sjöstrand, M. (2019). Towards a palliative care approach in psychiatry: do we need a new definition?. Journal of medical ethics, 45(1), 26-30.
Memasuki era globalisasi menuju era pemanfaatan teknologi dan digitalisasi, kita seringkali melihat beragam media, teknologi yang semakin canggih di berbagai bidang dan lingkungan tempat kita hidup di masa kini. Adakah yang menyangka media alat cetak (printing) yang telah kita temui sejak dulu (saat ini pun masih ada upgrade-nya) berfungsi untuk mencetak objek dari file elektronik ke dalam tampilan 2 dimensi yang dapat kita saksikan di kertas, kain maupun perantara lainnya, kini berkembang hingga dapat mencetak objek dalam 3 dimensi?
Munculnya teknologi ini cukup mengejutkan dan saat ini terus berkembang. Dalam Gebhardt & Fateri (2013) menunjukkan beberapa penggunaan 3D printing dalam bidang pendidikan, kuliner, manufaktur, konstruksi, kesehatan, dan kesenian.
[Gambar. Gebhardt & Fateri (2013)]
3D Printing merupakan metode menciptakan objek fisik dengan memproses beberapa bahan baku, misalnya plastik, besi, keramik dan bahan lainnya untuk memproduksi sebuah objek tiga (3) dimensi, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jenis printer, yakni Selective Laser Sintering (SLS), Thermal Inject Printing (TIP) dan Fused Deposition Modelling (FDM) (Ventola, 2014). Eshkalak et al. (2020) menjelaskan proses dari penggunaan 3D printing, sebagai berikut:
Pertama, membuat desain tiga dimensi di komputer menggunakan software (aplikasi pengakses 3D maupun CAD).
Kedua, membuat model STL (format file yang terkait dengan desain 3D print) dan ubah jenis file ke format yang dapat dibaca printer.
Ketiga, menyesuaikan file desain ke dalam format STL yang telah dibuat.
Keempat, cetak produk dengan printer dan bersihkan bagian-bagian yang tidak diperlukan.
Kelima, produk siap digunakan dan dilakukan pemeliharaan.
[Gambar Proses 3D Printing – Eshkalak et al. (2020)]
Dalam riset Campbell et al. (2011) mengenai pengaruh 3D printing terhadap pengembangan manufaktur di dunia yang mana penggunaan nanotechnology dalam 3D printing mulai diminati dan dirasa memiliki keuntungan lebih baik daripada teknologi konvensional sebelumnya. Keuntungan yang ditunjukkan seperti (Campbell et al., 2011):
Dapat menciptakan produk yang detail, kompleks dan murah daripada teknologi sebelumnya.
Terhubung dengan sistem data elektronik dan internet yang mudah dikelola dan dibuat dimana hal ini dapat mencegah ‘pemborosan’ karena kesalahan produksi,
Dapat memproduksi dalam jumlah besar dan dalam berbagai ukuran karena didesain melalui file dan dibantu fitur network filesharing sehingga desain dapat digunakan oleh banyak orang di dunia.
Mengurangi sampah sisa produksi karena penggunaan printer ini tepat, terukur dan teliti terhadap bahan baku produk yang digunakan.
Dikatakan lebih ramah lingkungan, ditunjukkan oleh tabel berikut.
[Gambar – 3D Printing disebut ramah lingkungan (Campbell et al., 2011)]
Meskipun kita memahami dengan keunggulan yang ada dari objek dan penggunaan 3D printing, kita juga perlu memahami ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait misalnya copyright terhadap hak kekayaan intelektual, tujuan penggunaan dan produksi produk ilegal dan berbahaya, terutama tentang keamanan bahan yang ramah lingkungan, tidak berdampak buruk terhadap manusia bila dipakai maupun dikonsumsi dan terakhir persoalan etik yang penting diperhatikan dari produk yang diciptakan (Fang & Kumar, 2018).
Penggunaan 3D Printing dalam Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi Kesehatan
Dalam Yan et al. (2018) mendeskripsikan beberapa aplikasi 3D printing dan objek yang dibuat dalam pelayanan kesehatan, berupa model/purwarupa organ untuk analisis pelayanan bedah dan perencanaan sebelum operasi bedah, implan permanen sintetis (non-bioactive), membuat dasaran bioaktif dan biodegradable pada jaringan tubuh lokal dan mencetak secara langsung jaringan maupun organ tubuh. Kemudian, ditambahkan Santos et al. (2019) menyebutkan pengaruh sendok dengan modifikasi objek 3D printing menunjukkan peningkatan pengaruh terhadap rata-rata kemampuan dan kepuasan dalam okupasi makan daripada hanya menggunakan sendok tanpa modifikasi.
Manero et al. (2019) menambahkan tentang peranan 3D printing dalam kolaborasinya dengan teknologi robotik untuk pembuatan prostetik tangan yang dapat didesain sedemikian rupa melalui aplikasi komputer dengan menyalurkan kreativitas, menarik dan dapat menyesuaikan keinginan klien hingga berlanjut kolaborasi dengan virtual reality untuk melatih kembali fungsi tangan klien dengan prostetik tersebut.
[Gambar. Yan et al. (2018)]
[Gambar. Manero et al. (2019)]
[Gambar. Santos et al. (2019)]
Bukti bukti ilmiah dari penggunaan objek 3D printing di atas, bila kemudian ditelusuri tentang bagaimana efektivitasnya dalam pelayanan kesehatan, Diment, Thompson & Bergmann (2017) menyebutkan bahwa pemanfaatan 3D printing yang telah banyak ditemui peranannya dalam pelayanan kesehatan maupun rehabilitasi kesehatan berupa meningkatkan efisiensi tenaga, waktu dan biaya serta meningkatkan tepat guna dalam pelayanan kepada klien.
Selanjutnya, Liu (2018) menyebutkan bahwa efektivitas tersebut didukung oleh objek desain dari 3D printing yang dapat dikreasi, dibagikan ke khalayak seluruh dunia melalui data, bisa melalui universal design (ukuran sebagian banyak populasi), inclusive design (ukuran pada populasi yang lebih kecil & modifikasi dari universal design)dan customized design (ukuran khusus sesuai kebutuhan individual) Namun, untuk menjadikan 3D printing ikut dalam standar praktik kesehatan di institusi kesehatan diperlukan pemeriksaan yang panjang, akurat dan mendalam (Diment, Thompson & Bergmann, 2017).
Penggunaan 3D Printing dalam Praktik Terapi Okupasi
Dalam praktik terapi okupasi penggunaan 3D printing dapat memfasilitasi client-centeredness, dimana desain dibuat untuk memenuhi faktor individual dan dalam kebutuhan yang sangat spesifik. Pemanfaatan alat bantu (assistive device maupun assistive technology) dalam memberikan pelayanan kepada klien.
Adapun penggunaan alat bantu baik konvensional maupun berbasis teknologi mumpuni diulas dalam review literatur Lindstrom & Hemmingsson (2014), menyebutkan beberapa manfaat yang dirasakan dalam penggunaan alat bantu pada anak dengan disabilitas, yakni meningkatkan produktivitas belajar, membantu dalam latihan menulis, mengetik, berkomunikasi dan berhitung. Dengan dampak yang begitu membantu, maka rasanya penggunaan 3D printingdikenalkan lebih mendalam agar semakin banyak pemanfaatannya dalam praktik kesehatan.
Riset Janson et al. (2020) mengenai penggunaan beberapa jenis assistive devices dari objek 3D printing pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) yang mengalami masalah tangan. Aplikasi alat bantu tersebut dikatakan dapat menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan kemampuan okupasi dan tingkat kepuasan klien. Satu riset menyebutkan penggunaan 3D printing dilakukan dengan kolaborasi 3 (tiga) profesi terapis okupasi, teknisi biomedis dan pemustaka kesehatan (Wagner et al., 2018). Proses kolaborasi tersebut berjalan bertahap mulai melakukan pengukuran, merencanakan desain, membuat gambaran 3 dimensi, hingga memproduksi desain ke dalam produk cetak.
Berikutnya, Lee et al. (2019) juga menunjukkan bagaimana menerapkan objek 3D printing kepada klien untuk memaksimalkan produktivitas menulis. Modifikasi pada splint dengan objek 3D printing dilakukan dengan menambahkan pengait untuk menempatkan pulpen pada splint dan memudahkan klien untuk terlibat kembali pada okupasinya.
[Gambar. Janson et al. (2020)]
[Gambar. Wagner et al., 2018)]
[Gambar. Lee et al. (2019)]
KESIMPULAN
Peradaban dunia semakin canggih dengan banyak inovasi yang diterapkan di dalam pelayanan kesehatan. Penggunaan 3D printing dan objek produksinya seperti ulasan di atas menunjukkan manfaat dan potensi yang nyata untuk memudahkan pelayanan kesehatan dan terapi okupasi yang menjunjung prinsip berpusat pada klien. Namun, tentu tetap ada beberapa hal yang patut diperhatikan, baik hal operasional, teknis, maupun persiapan peralatan hingga pendalaman riset riset ilmiah sebelum Anda aplikasikan di lahan praktik.
Penggunaan 3D printing pada level klien, perlu memperhatikan ketepatan desain, pengukuran, pemilihan bahan hingga perawatan dan pemahaman safety precaution. Semoga berdampak.
REFERENSI
Avf, S., La, L., Mf, A., A, C., & Zc, S. (2019). User-centered design of a customized assistive device to support feeding. Procedia CIRP,84, 743-748. doi:10.1016/j.procir.2019.04.318
Diment, L. E., Thompson, M. S., & Bergmann, J. H. (2017). Clinical efficacy and effectiveness of 3D printing: A systematic review. BMJ Open,7(12). doi:10.1136/bmjopen-2017-016891
Eshkalak, S. K., Ghomi, E. R., Dai, Y., Choudhury, D., & Ramakrishna, S. (2020). The role of three-dimensional printing in healthcare and medicine. Materials & Design,194, 108940. doi:10.1016/j.matdes.2020.108940
Fang, E. H., & Kumar, S. (2018). The Trends and Challenges of 3D Printing. Encyclopedia of Information Science and Technology, Fourth Edition, 4382-4389. doi:10.4018/978-1-5225-2255-3.ch380
Gebhardt, A., & Fateri, M. (2016). 3D Printing and Its Applications. International Journal of Science and Research (IJSR),5(3), 1532-1535. doi:10.21275/v5i3.nov162160
Hurst, E. J. (2016). 3D Printing in Healthcare: Emerging Applications. Journal of Hospital Librarianship,16(3), 255-267. doi:10.1080/15323269.2016.1188042
Janson, R., Burkhart, K., Firchau, C., Hicks, K., Pittman, M., Yopps, M., . . . Garabrant, A. (2020). Three-dimensional printed assistive devices for addressing occupational performance issues of the hand: A case report. Journal of Hand Therapy,33(2), 164-169. doi:10.1016/j.jht.2020.03.025
Lee, K. H., Kim, D. K., Cha, Y. H., Kwon, J., Kim, D., & Kim, S. J. (2018). Personalized assistive device manufactured by 3D modelling and printing techniques. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,14(5), 526-531. doi:10.1080/17483107.2018.1494217
Lidström, H., & Hemmingsson, H. (2014). Benefits of the use of ICT in school activities by students with motor, speech, visual, and hearing impairment: A literature review. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,21(4), 251-266. doi:10.3109/11038128.2014.880940
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Manero, A., Smith, P., Sparkman, J., Dombrowski, M., Courbin, D., Kester, A., . . . Chi, A. (2019). Implementation of 3D Printing Technology in the Field of Prosthetics: Past, Present, and Future. International Journal of Environmental Research and Public Health,16(9), 1641. doi:10.3390/ijerph16091641
Tay, Y. W., Panda, B., Paul, S. C., Mohamed, N. A., Tan, M. J., & Leong, K. F. (2017). 3D printing trends in building and construction industry: A review. Virtual and Physical Prototyping,12(3), 261-276. doi:10.1080/17452759.2017.1326724
Wagner, J. B., Scheinfeld, L., Leeman, B., Pardini, K., Saragossi, J., & Flood, K. (2018). Three professions come together for an interdisciplinary approach to 3D printing: Occupational therapy, biomedical engineering, and medical librarianship. Journal of the Medical Library Association,106(3). doi:10.5195/jmla.2018.321
Yan, Q., Dong, H., Su, J., Han, J., Song, B., Wei, Q., & Shi, Y. (2018). A Review of 3D Printing Technology for Medical Applications. Engineering,4(5), 729-742. doi:10.1016/j.eng.2018.07.021
Kita Menuju Zaman Digitalisasi, Revolusi Industri 5.0 – Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Menuju tahun 2030, dunia kian berkembang dan menumbuhkan tren-tren baru seputar teknologi dan perangkat digital nirkabel yang beberapa dapat membawa kita ke realitas dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Mari melihat Indonesia dari tahun 2010, zaman dimulai dengan menjamurnya penggunaan komputer dengan game online dan kecanggihan akses internet nirkabel di masyarakat. Berjalan kembali dalam lima tahun berikutnya, penggunaan perangkat genggam (mobile tech) berkembang pesat bersamaan dengan pengembangan teknologi virtual yang saat itu belum begitu familiar. Hari ini, tahun 2021 kenyataannya kita masih belum familiar juga dengan penggunaan teknologi virtual ini, meskipun kita sudah temui beberapa contoh, misalnya Nintendo Wii, Google Cardboard, Oculus, Virtual Reality Playstation, Google Glass, banyak varian teknologi Smart Home dan banyak lagi, baik perangkat kreatif baru yang muncul maupun bentuk upgrade dari perangkat-perangkat lama yang sudah ada.
Pengembangan teknologi dalam ilmu terapi okupasi juga menunjukkan kemajuan pada setiap zamannya. Liu (2014) mencatat praktik terapi okupasi telah menunjukkan dedikasi dalam penerapan teknologi masa kini, seperti virtual reality, 3D printing, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotik, kendaraan otomatis-semi otomatis hingga pemanfaatan smart-home. Dalam Smith (2017) menceritakan bagaimana berkembangnya penggunaan teknologi di dunia terapi okupasi dari awal berdirinya terapi okupasi, hingga perspektifnya melihat penggunaan teknologi dalam terapi okupasi di sekian masa kedepannya. Hari ini pengembangan ilmu terapi okupasi sudah mendekati penerapan teknologi dalam pelayanan di banyak negara, khususnya di negara maju. Dalam melihat aspek klien dengan keterlibatan faktor person-environment-occupation di masa kini, aspek teknologi (technology) kini mulai ditambahkan sebagai tolak ukur dalam memandang klien dan melibatkan dalam intervensi.
Melihat klien secara holistik, selain menghubungkan aspek fisik-psikologis-okupasi-lingkungan dengan melibatkan maupun menambahkan penggunaan teknologi (Smith, 2017); Keterangan. AT: assistive techology, ET: environmental technology, TT: therapeutic technology, ORT: occupation-related technology.
Berkenalan dengan Virtual Reality
Penggunaan Virtual Home 3D – Sumber: https://www.nbcnews.com
Membahas virtual reality, kita mengenal kata reality dan virtual dari segi bahasa berarti kenyataan yang sebenarnya dan kemiripan dengan yang sebenarnya (KBBI, 2020). Realitas virtual menunjukkan kita adanya kenyataan yang mirip dengan yang kita lihat dari mata dan keberadaan kita. Ketika menggunakan virtual reality, kita akan masuk, terhubung dan berada di lingkungan yang berbeda, terlepas dari hal nyata. Penggunaan virtual reality membutuhkan beberapa persiapan seperti software, hardware dan keterampilan pengguna (Berntsen, Palacios & Herranz, 2016). Rose (2018) mendeskripsikan virtual reality terbagi atas 3 (tiga) tipe, non-immersive, semi-immersive dan fully immersive. Immersive, dari kata immersion, merupakan komponen penting pembangun lingkungan virtual di mana pengguna dapat sadar karena pengguna secara psikologis, perseptual dan terasa berada di sana (terhubung ke dalam dunia virtual) (Slater et al., 1996).
Melihat Virtual Reality pada Rehabilitasi Medis
Membuka pembahasan bagaimana pengaruh virtual reality dalam rehabilitasi medik, melansir satu editorial Weiss & Katz (2004) menerangkan adanya lingkungan virtual dapat menjadi potensi yang baik untuk dilibatkan dalam pelayanan rehabilitasi medik. Munculnya virtual reality dalam masa itu menjadi kemajuan yang cukup visioner dan menguntungkan. Keunggulan dari virtual reality yang menghubungkan klien untuk partisipatif kepada lingkungannya (walaupun dengan lingkungan virtual atau mirip lingkungan sebenarnya) tetap dapat berfungsi sama interaktifnya dengan dunia sebenarnya.
Melihat pengembangan virtual reality di ranah rehabilitasi medik, dalam penelitian Kizony, Katz & Weiss (2003), virtual reality di masa lalu dilakukan dengan penggunaan-penggunaan virtual reality terhubung dengan media yang diaplikasikan melalui games untuk melatih klien dengan masalah neuromuskular. Riset berikutnya dalam Moreira et al. (2013), virtual reality juga digunakan dalam intervensi pola jalan pada klien pasca stroke menggunakan virtual reality (VR) device. Hal tersebut menunjukkan manfaat dalam perbaikan pola jalan dengan melibatkan klien pada latihan yang menyenangkan, partisipatif dan memiliki arti bagi klien. Dalam kasus lainnya, intervensi dengan virtual reality menunjukkan pengaruh positif dalam menangani masalah keseimbangan pada klien rawat jalan dengan cedera otak (Cuthbert et al., 2014).
Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakan Virtual Reality di Praktik Terapi Okupasi
Dalam penggunaan virtual reality pada klien dalam berbagai setting tentunya terdapat beberapa pertimbangan untuk memutuskan penggunaan virtual reality pada klien. Dalam area pediatri, virtual reality memiliki beberapa pengaruh di antaranya menstimulasi input berbagai sensori, kemampuan gerak, fungsi kognitif dan kinerja area okupasi. Misalnya dalam Galvin & Levac (2011), penggunaan virtual reality memiliki kategori dan fungsi yang berbeda-beda dari setiap sistemnya. Maka, dalam menuju langkah intervensi dan tujuan terapi yang akan diwujudkan, kita perlu menentukan media virtual reality yang tepat.Mengutip Lange et al. (2012), dalam melibatkan virtual reality pada intervensi rehabilitasi terapis perlu memperhatikan ketentuan aktivitas yang diberikan kepada klien, sebagai berikut.
Diperlukan data pemeriksaan yang mendalam dan lengkap agar dapat menentukan target aktivitas terapi dengan tepat.
Menyesuaikan tingkat kesulitan tugas dari yang mudah dilakukan terlebih dahulu.
Mampu dilakukan klien dengan berulang-ulang dan bertahap secara terukur.
Klien maupun terapis mampu memberikan umpan balik (feedback;internalfeedback) terhadap kondisi klien demi tercapainya tujuan terapi.
Dapat diperhitungkan, maksudnya dalam mengukur kemampuan klien selama penggunaan perangkat virtual reality dan kemajuan yang diperoleh klien.
Suasana virtual dapat dibuat relevan dengan keadaan dunia sebenarnya termasuk dengan aktivitas fungsional yang dilakukan,
Mampu memotivasi keterlibatan klien dan interaksi klien dengan aktivitas yang dilakukan.
Menambahkan kembali dari Lange et al. (2012), adapun terdapat ketentuan-ketentuan software virtual reality yang perlu digunakan dalam rehabilitasi seperti (1) adanya pengaturan sistem agar dapat disesuaikan kepada pengguna, (2) platform atau permainan yang bervariasi, (3) terdapat variasi tema-tema tertentu di tiap platform, (4) adanya rangsangan kontrol yang diberikan (oleh sistem virtual reality), (5) terdapat beragam sudut pandang mode penggunaan dalam platform (first-person, third-person, role-play, dan sebagainya), (6) tampilan yang disajikan sistem, (7) feedback sistem yang ditimbulkan, (8) kemampuan pengguna yang dapat dicatat sebagai data, (9) penggunaan oleh banyak pengguna, (10) adanya kecerdasan buatan yang mendukung dan memberikan tantangan kepada pengguna, (11) serta adanya koneksi jaringan, baik media yang digunakan maupun koneksi dengan pusat sistem utama yang dikendalikan terapis.
Disamping memperhatikan teknis dalam fasilitas, terapis juga perlu memperhatikan masukan dari klien perihal umpan balik (feedback) yang menggunakan virtual reality. Dalam kasus klien stroke pada Lewis et al. (2011), responden menyebutkan dalam memanfaatkan virtual reality ini memberikan tantangan dan perasaan baru kepada mereka, berkesan menunjukkan side effect dibandingkan layanan konvensional dan mencatat bahwa program virtual reality harus memiliki upgrade yang variatif agar dapat memfasilitasi klien dengan lebih baik.
Dalam penggunaan perangkat virtual reality juga diperlukan dan memerhatikan panduan dan petunjuk penggunaan mencegah kesalahan maupun kecelakaan selama penggunaan. Berikut rangkuman petunjuk penggunaan dalam Class VR (2020).
Lakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada perangkat virtual reality Anda sebelum digunakan dan gunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan, ketidaknyamanan penggunaan dan resiko kecelakaan dari perangkat.
Pastikan kondisi Anda benar-bener sehat, tidak memiliki masalah kesehatan utamanya penyakit menular dan beresiko tinggi ketika menggunakan perangkat virtual reality.
Gunakan dengan perangkat virtual reality dengan pengaturan perangkat yang aman dan nyaman bagi Anda.
Batasi waktu penggunaan dalam durasi yang wajar dan aman (anak-anak: tidak lebih dari 15 menit; remaja atau dewasa: tidak lebih dari 30 menit; berikan jeda istirahat 10-15 menit setelah pemakaian).
Setidaknya minta seorang pengasuh maupun pendamping untuk menemani dan mengawasi Anda ketika sedang menggunakan perangkat virtual reality untuk menjamin keamanan dan mencegah resiko kecelakaan (lakukan ini terutama bila Anda merupakan anak-anak maupun lanjut usia).
Bila mengalami keluhan-keluhan setelah menggunakan perangkat, segera hubungi dokter.
Catatan Lebih Lanjut tentang Virtual Reality, Rehabilitasi dan Terapi Okupasi
Keterlibatan virtual reality dalam praktik rehabilitasi dan terapi okupasi juga tercatat dalam beberapa riset yang telah dilakukan. Pada setting pediatri, ditemukan intervensi virtual reality dalam beberapa kondisi seperti autism spectrum disorder, down syndrome, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. Dalam studi Levac et al. (2017) dan Snider, Majnemer & Darsaklis (2010), menunjukkan pengaruh penggunaan virtual reality pada klien dengan cerebral palsy. Penggunaan virtual reality ini dapat membantu klien untuk melatih kemampuan kontrol motorik, keseimbangan berdiri dan bergerak hingga persiapan berjalan, dan tercatat berpengaruh terhadap level plastisitas, masalah motorik dan visual-perseptual anak. Penggunaan virtual reality di rumahdapat meningkatkan ketertarikan dan partisipasi anak cerebral palsy hingga orang tua/pengasuh untuk melakukan terapi dan mendampingi selama terapi di rumah.
Berikutnya dalam Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015) dengan penggunaan media virtual reality di rumah menunjukkan dampak positif pada pola gerak untuk meraih dan kemampuan fungsional tangan pada anak dengan hemiplegiccerebral palsy. Selain itu dalam penanganan virtual reality pada anak dengan acquired brain injury terdapat pengaruh terhadap motivasi, kepuasan bermain (playfulness), partisipasi, keterlibatan hingga kinerja fungsional anak dalam okupasinya (Bart et al., 2011).
Visualisasi penggunaan virtual reality pada klien cerebral palsy – Sumber: Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015)
Selain dalam kondisi anak dengan cerebral palsy, ditemukan juga pengaruh virtual reality pada anak dengan down syndrome dan autism spectrum disorder level tinggi (Wuang et al., 2011; Gal et al., 2015). Virtual reality pada anak dengan down syndrome ditunjukkan memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsi sensori-motor dan disarankan sebagai layanan tambahan di rumah untuk membantu proses rehabilitasi. Pada anak dengan autism spectrum disorder level tinggi menunjukkan virtual reality dapat berperan meningkatkan interaksi sosial khususnya di lingkungan sekolah.
Hal yang sama juga ditemukan pada Stendal & Baladin (2015) bahwa anak dengan autism spectrum disorder terbantu untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya dengan menggunakan dunia virtual melalui virtual reality. Berada dalam virtual reality membawa anak dalam dunia yang menurutnya lebih menerima keberadaannya (daripada lingkungannya di dunia nyata) dan merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan interaksi dengan pengguna lainnya secara virtual. Dalam menerapkan virtual reality dalam setting pediatri (dalam berbagai kondisi klien) terapis perlu menerapkan inklusivitas penggunaan teknologi dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, ketepatan fungsi dan mampu menyesuaikan klien, serta dapat meningkatkan keterlibatan klien, tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sebenarnya dan memperhatikan perkembangan anak (Chantry & Dunford, 2010).
Dalam layanan terapi okupasi menggunakan media virtual reality di area fisik dan dewasa, secara khusus pada masalah neuromuskular terdapat beberapa riset yang mendalami hal tersebut. Berikutnya Mekbib et al. (2020); Wiley, Khattab & Tang (2020); Kong et al. (2016); Rand, Weiss & Katz (2009) tercatat membahas perihal peranan virtual reality pada kondisi stroke. Media virtual reality dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan fungsional alat gerak atas, kinerja okupasi dan partisipasi klien, kemampuan memori dan berpikir klien, kemudian juga menunjukkan manfaat untuk memotivasi dan dapat menjadi metode intervensi yang efektif untuk mengembangkan fungsi eksekutif dan memanajemen kemampuan multitasking/koordinasi dalam tugas (Wiley, Khattab & Tang, 2020; Boone, Wolf & Engsberg, 2019; Rand, Weiss & Katz, 2009).
Namun, pernyataan berlawanan dikatakan oleh Kong et al. (2016) bahwa penanganan dalam 12 sesi menggunakan virtual reality untuk latihan alat gerak atas belum dapat menunjukkan efektivitas yang maksimal pada klien dengan stroke. Maka setelah membaca rangkuman bukti ilmiah di atas, efek terapeutik dari virtual reality juga perlu penyesuaian dan ketentuan terapi yang tepat pada setiap klien.
Dalam kasus lain pada Dalam Cole et al. (2009), menghadapkan pasien pasca amputasi dengan stump kepada penggunaan virtual reality menunjukkan penurunan rasa nyeri yang signifikan ketika mengaplikasikan virtual reality dalam mencobakan kepada prostesis yang akan digunakan. Berikutnya dalam Sharar et al., (2008), pemanfaatan virtual reality digunakan kepada pasien dengan luka bakar (combustio) dalam rehabilitasi menunjukkan dampak yang lebih baik terhadap penurunan perasaan nyeri dan meningkatnya perasaan menyenangkan dibandingkan tanpa virtual reality. Kedua fenomena di atas memanfaatkan virtual reality dengan memanfaatkan virtual reality untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan dalam selama penyesuaian menggunakan prosthesis dan memfasilitasi latihan lingkup gerak sendi area luka kepada rasa menyenangkan dari virtual reality yang sedang digunakan.
Game Whack a Mole ciptaan University of Alberta – Sumber: Liu (2014)
Peran virtual reality juga dapat dijumpai di ranah kesehatan jiwa. Penggunaan virtual reality pada klien dengan resiko obesitas menunjukkan respon tubuh yang cukup baik terhadap latihan (Bacon, Farnworth & Boyd, 2012). Riset lain meneliti peran virtual reality pada klien lansia dengan demensia untuk menerapkan terapi kognitif reminiscence tidak menunjukkan pengaruh yang berarti kepada kemampuan kognitif-memori klien dan ditemukan kontraindikasi ringan berupa keluhan nyeri mata, kepala terasa berat, kecemasan, dan perasaan sensitif (Coelho et al., 2020).Penggunaan virtual reality ini sebetulnya dapat menjadi rekomendasi bagi praktik terapi okupasi di setting kesehatan jiwa, dengan asumsi dapat memberikan keamanan dan variasi program yang lebih adaptif dan partisipatif seperti halnya melakukan aktivitas di realitas sebenarnya. Namun, hal tersebut diperlukan pertimbangan yang tepat dalam menerapkan virtual reality kepada beberapa kondisi klien tentu dengan berdasar pada bukti ilmiah yang kuat, relevan dan memperhatikan safety precaution setiap intervensi.
KESIMPULAN
Berada di zaman kemajuan dan digitalisasi, tantangan pelayanan terapi okupasi untuk bertransformasi melibatkan teknologi dalam pemberian layanan, menjadi catatan bagi kita semua untuk memanfaatkan majunya zaman dengan sebaik-baiknya. Di tengah pencarian dan pengembangan bukti ilmiah yang kuat dari pemanfaatan virtual reality dan teknologi lainnya menjadi pencapaian yang sedang dikejar untuk segera diwujudkan untuk menguatkan kebermanfaatan teknologi untuk dilibatkan sebagai media dalam layanan rehabilitasi, utamanya terapi okupasi.
Semoga menginspirasi, semoga berdampak.
REFERENSI
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Virtual. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/virtual
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Realitas. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/realitas
Bacon, N., Farnworth, L., & Boyd, R. (2012). The Use of the Wii Fit in Forensic Mental Health: Exercise for People at Risk of Obesity. British Journal of Occupational Therapy,75(2), 61-68. doi:10.4276/030802212×13286281650992
Bart, O., Agam, T., Weiss, P. L., & Kizony, R. (2011). Using video-capture virtual reality for children with acquired brain injury. Disability and Rehabilitation,33(17-18), 1579-1586. doi:10.3109/09638288.2010.540291
Berntsen, K., Palacios, R. C., & Herranz, E. (2016). Virtual reality and its uses. Proceedings of the Fourth International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality. doi:10.1145/3012430.3012553
Boone, A. E., Wolf, T. J., & Engsberg, J. R. (2019). Combining Virtual Reality Motor Rehabilitation With Cognitive Strategy Use in Chronic Stroke. American Journal of Occupational Therapy,73(4). doi:10.5014/ajot.2019.030130
Chantry, J., & Dunford, C. (2010). How do Computer Assistive Technologies EnhanceParticipation in Childhood Occupations for Children with Multiple and Complex Disabilities? A Review of the Current Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(8), 351-365. doi:10.4276/030802210×12813483277107
Chen, Y., Garcia-Vergara, S., & Howard, A. M. (2015). Effect of a Home-Based Virtual Reality Intervention for Children with Cerebral Palsy Using Super Pop VR Evaluation Metrics: A Feasibility Study. Rehabilitation Research and Practice,2015, 1-9. doi:10.1155/2015/812348
ClassVR. (2020). Retrieved April 1, 2021, from https://www.classvr.com/health-and-safety/
Coelho, T., Marques, C., Moreira, D., Soares, M., Portugal, P., Marques, A., . . . Fernandes, L. (2020). Promoting Reminiscences with Virtual Reality Headsets: A Pilot Study with People with Dementia. International Journal of Environmental Research and Public Health,17(24), 9301. doi:10.3390/ijerph17249301
Cole, J., Crowle, S., Austwick, G., & Slater, D. H. (2009). Exploratory findings with virtual reality for phantom limb pain; from stump motion to agency and analgesia. Disability and Rehabilitation,31(10), 846-854. doi:10.1080/09638280802355197
Cuthbert, J. P., Staniszewski, K., Hays, K., Gerber, D., Natale, A., & O’Dell, D. (2014). Virtual reality-based therapy for the treatment of balance deficits in patients receiving inpatient rehabilitation for traumatic brain injury. Brain Injury,28(2), 181-188. doi:10.3109/02699052.2013.860475
Gal, E., Lamash, L., Bauminger-Zviely, N., Zancanaro, M., & Weiss, P. L. (2015). Using Multitouch Collaboration Technology to Enhance Social Interaction of Children with High-Functioning Autism. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(1), 46-58. doi:10.3109/01942638.2015.1040572
Galvin, J., & Levac, D. (2011). Facilitating clinical decision-making about the use of virtual reality within paediatric motor rehabilitation: Describing and classifying virtual reality systems. Developmental Neurorehabilitation,14(2), 112-122. doi:10.3109/17518423.2010.535805
James, S., Ziviani, J., King, G., & Boyd, R. N. (2015). Understanding Engagement in Home-Based Interactive Computer Play: Perspectives of Children With Unilateral Cerebral Palsy and Their Caregivers. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(4), 343-358. doi:10.3109/01942638.2015.1076560
Kizony, R., Katz, N., & Weiss, P. L. (2003). Adapting an immersive virtual reality system for rehabilitation. The Journal of Visualization and Computer Animation,14(5), 261-268. doi:10.1002/vis.323
Kong, K., Loh, Y., Thia, E., Chai, A., Ng, C., Soh, Y., . . . Tjan, S. (2016). Efficacy of a Virtual Reality Commercial Gaming Device in Upper Limb Recovery after Stroke: A Randomized, Controlled Study. Topics in Stroke Rehabilitation,23(5), 333-340. doi:10.1080/10749357.2016.1139796
Lange, B., Koenig, S., Chang, C., Mcconnell, E., Suma, E., Bolas, M., & Rizzo, A. (2012). Designing informed game-based rehabilitation tasks leveraging advances in virtual reality. Disability and Rehabilitation,34(22), 1863-1870. doi:10.3109/09638288.2012.670029
Levac, D., Mccormick, A., Levin, M. F., Brien, M., Mills, R., Miller, E., & Sveistrup, H. (2017). Active Video Gaming for Children with Cerebral Palsy: Does a Clinic-Based Virtual Reality Component Offer an Additive Benefit? A Pilot Study. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,38(1), 74-87. doi:10.1080/01942638.2017.1287810
Lewis, G. N., Woods, C., Rosie, J. A., & Mcpherson, K. M. (2011). Virtual reality games for rehabilitation of people with stroke: Perspectives from the users. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,6(5), 453-463. doi:10.3109/17483107.2011.574310
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Moreira, M. C., Lima, A. M., Ferraz, K. M., & Rodrigues, M. A. (2013). Use of virtual reality in gait recovery among post stroke patients – a systematic literature review. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,8(5), 357-362. doi:10.3109/17483107.2012.749428
Rand, D., Weiss, P. L. (T.), & Katz, N. (2009). Training multitasking in a virtual supermarket: A novel intervention after stroke. American Journal of Occupational Therapy, 63, 535–542.
Rose, T., Nam, C. S., & Chen, K. B. (2018). Immersion of virtual reality for rehabilitation – Review. Applied Ergonomics,69, 153-161. doi:10.1016/j.apergo.2018.01.009
Slater, M., Linakis, V., Usoh, M., Kooper, R., 1996. Immersion, presence, and performance in virtual environments: an experiment with tri-dimensional chess. In: Proceedings of the 3rd {ACM} Symposium on Virtual Reality Software and Technology ({VRST} 1996), Hong Kong, China, pp. 163–172 10.1.1.34.6594.
Smith, R. O. (2017). Technology and Occupation: Past, Present, and the Next 100 Years of Theory and Practice. American Journal of Occupational Therapy,71(6). doi:10.5014/ajot.2017.716003
Snider, L., Majnemer, A., & Darsaklis, V. (2010). Virtual reality as a therapeutic modality for children with cerebral palsy. Developmental Neurorehabilitation,13(2), 120-128. doi:10.3109/17518420903357753
Stendal, K., & Balandin, S. (2015). Virtual worlds for people with autism spectrum disorder: A case study in Second Life. Disability and Rehabilitation,37(17), 1591-1598. doi:10.3109/09638288.2015.1052577
Weiss PL, Katz N. The potential of virtual reality for rehabilitation. J Rehabil Res Dev. 2004 Sep; 41(5) : vii-x. PMID: 15558392.
Wiley, E., Khattab, S., & Tang, A. (2020). Examining the effect of virtual reality therapy on cognition post-stroke: A systematic review and meta-analysis. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 1-11. doi:10.1080/17483107.2020.1755376
Wuang, Y., Chiang, C., Su, C., & Wang, C. (2011). Effectiveness of virtual reality using Wii gaming technology in children with Down syndrome. Research in Developmental Disabilities,32(1), 312-321. doi:10.1016/j.ridd.2010.10.002
Pemanfaatan teknologi robot tampaknya sudah tak asing lagi saat ini. Banyak orang berlomba-lomba menciptakan robot guna memudahkan pekerjaan sehari-hari manusia karena robot dapat digunakan di berbagai setting seperti pada industri, keamanan hingga pada bidang medis terapan. Penggunaan robotika pada bidang medis terutama pada rehabilitasi medis sudah sejak lama diteliti dan dikembangkan. Hal ini dibuktikan dengan telah dilakukannya penelitian oleh Glass & Hall (1987) yang mengungkapkan bahwa penggunaan robot pada rehabilitasi medis dinilai dapat memberikan manfaat bagi terapis maupun klien di masa depan karena dapat menghemat biaya dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan terapis. Bahkan 51 terapis okupasi di empat rumah sakit yang menjadi responden penelitian memiliki respon positif dan mengungkapkan ingin mempelajari lebih dalam tentang penggunaan robot untuk membantu orang-orang dengan disabilitas.
Gambar : Quadriplegic Commands Robot to Brush His Teeth Robotic System Developed by the Palo Alto Veterans Administration Hospital and Stanford University
Penggunaan Robotika Pada Rehabilitasi Medis
Pada rehabilitasi medis penggunaan robot dikenal dengan istilah “Robotic Therapy” atau “Robot- assisted- therapy”. Robot didefinisikan sebagai mesin yang mampu melakukan serangkaian tindakan kompleks secara otomatis, terutama yang dapat diprogram oleh komputer (Robot, n.d).Keuntungan terpenting menggunakan teknologi robot dalam intervensi rehabilitasi adalah kemampuan untuk memberikan dosis tinggi dan pelatihan intensitas tinggi yang mana digunakan untuk pengoptimalan kemampuan neuroplatisitas dalam pengembalian kemampuan fungsional klien. Selain itu robot juga diharapkan dapat digunakan klien untuk latihan secara mandiri dirumah, bukan untuk menggantikan peran terapis namun untuk membantu meningkatkan kesuksesan program terapi (Sivan (2011) dalam Chang & Kim, (2013) & Díaz, Gil, & Sánchez (2011)).
Robotics rehabilitation dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu therapeutic robots dan assistive robots. Therapeutic robots merupakan robot yang didesain untuk latihan aktivitas tertentu (task-specifictraining) sedangkan assistive robots bertujuan sebagai alat bantu atau kompensasi (Lum, 2012).
Example of Therapeutic Robotic : device for motor training : (A) End effector- type (InMotion 2.O Interactive motion technologies, Watertown, MA, USA, (B) ExoskeletonType (Armeo, Hocoma, Swizeland)
Gambar Eating Assistive Robot : www.assistive-innovations.com/en/eatingdevices
Apakah Penggunaan Robot untuk Rehabilitasi Efektif?
Penelitian tentang robot therapy berkembang sangat cepat dari tahun ke tahun. Telah banyak penelitian dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan robotika ini dalam menunjang proses rehabilitasi. Penelitian yang dilakukan Kim G (2017) melalui investigasi literatur apakah robot efektif digunakan untuk membantu proses recovery klien stroke dengan permasalahan ekstremitas atas, mengkonfirmasi bahwa terapi yang dibantu robot dengan gerakan tiga dimensi dan tingkat kebebasan yang tinggi, memiliki efek positif pada pemulihan fungsi motorik ekstremitas atas pada pasien dengan stroke tahap awal dalam pengaturan klinis. Kemudian terdapat penelitian yang membandingkan efektivitas terapi konvensional dengan terapi menggunakan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas atas pada klien post-stroke menunjukkan bahwa terapi menggunakan robot memiliki keuntungan lebih dibanding dengan terapi konvensional, grup terapi dengan robot memiliki peningkatan gerakan yang lebih luas dalam hal kekuatan, lingkup gerak sendi bahkan dalam level kemandirian ( Lum, 2002).
Penelitian telah banyak menunjukkan bahwa menggunakan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas atas dinilai sebanding atau lebih baik daripada terapi konvensional, namun penggunaan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas bawah dinilai masih belum begitu jelas apakah lebih lebih baik dibanding dengan terapi konvensional jika diberikan tanpa terapi konvensional, karena selama ini terapi robot untuk ekstremitas bawah masih digunakan untuk melengkapi terapi konvensional (Chang & Kim , 2013).
Apa Saja Tantangan Yang Dihadapi Dalam Penggunaan Robotic Therapy?
Sistem robotik diyakini akan banyak diterapkan sebagai alat rehabilitasi standar dalam waktu dekat. Saat ini upaya di seluruh dunia sedang dilakukan dalam penyempurnaan penggunaan robotika dalam rehabilitasi. Banyakrobot therapy yang telah dibuat dan dikembangkan namun masih sedikit yang dipasarkan. Selain itu, sistem yang tersedia di pasar belum dikembangkan untuk aplikasi di rumah. Alasan utamanya adalah peningkatan biaya, kurangnya bukti peningkatan klinis yang tinggi, dan kebutuhan akan protokol terapi dan kriteria assessment yang akan digunakan. Selain itu, masih banyak kekurangan dari segi sistem dan ketahanan daya dari robotic therapy. Penggunaan sistem robotik memungkinkan pengukuran pola gerakdan dinamika gerakan yang tepat, yang harus digunakan untuk menilai kemampuan dan kemajuan proses recovery klien. Selain meningkatkan kualitas gerak, robotika juga dapat memfasilitasi kemandirian fungsional dalam kerangka penerapan robotika sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari. Tentu, diperlukan penyesuaian kebutuhan individual, pengembangan protokol dan prosedur standar perawatan dan pengukuran untuk mendapatkan data penilaian yang akurat.
Proses recovery kemampuan berjalan pasien yang diterapi menggunakan robot tetap membutuhkan menggunakan pemeriksaan klinis. Mengenai penggunaan sistem robotik, kecepatan langkah kaki dan jarak dalam berjalan kaki, lingkup gerak sendi, dan langkah dinamis lainnya telah digunakan untuk penilaian assessment dengan sistem robotika ini. Dalam okupasional, aktivitas menggunakan bantuan robotika dapat dinilai secara kualitatif, baik tentang kinerjanya maupun kepuasannya. Memang tidak ada metode terstandar dalam penerapan robotika ini. Oleh karena itu, diperlukan uji klinis yang besar untuk menentukan kriteria klinis untuk penggunaannya (Díaz, Gil, & Sánchez, 2011).
Referensi
Glass, K., & Hall, K. (1987). Occupational therapists’ views about the use of robotic aids for people with disabilities. American Journal of Occupational Therapy, 41(11), 745-747.
Chang, W. H., & Kim, Y. H. (2013). Robot-assisted therapy in stroke rehabilitation. Journal of stroke, 15(3), 174.
Lum PS, Godfrey SB, Brokaw EB, Holley RJ, Nichols D. Robotic approaches for rehabilitation of hand function after stroke. Am J Phys Med Rehabil. 2012;91:S242–S254.
Kim, G., Lim, S., Kim, H., Lee, B., Seo, S., Cho, K., & Lee, W. (2017). Is robot-assisted therapy effective in upper extremity recovery in early stage stroke?—a systematic literature review. Journal of physical therapy science, 29(6), 1108-1112.
Díaz, I., Gil, J. J., & Sánchez, E. (2011). Lower-limb robotic rehabilitation: literature review and challenges. Journal of Robotics, 2011.
Lum, P. S., Burgar, C. G., Shor, P. C., Majmundar, M., & Van der Loos, M. (2002). Robot-assisted movement training compared with conventional therapy techniques for the rehabilitation of upper-limb motor function after stroke. Archives of physical medicine and rehabilitation, 83(7), 952-959.