Membatik sebagai Modalitas Okupasional untuk Mencapai Well-Being

Membatik (Img: asset.kompas.com)

Melakukan kegiatan bermakna merupakan kebutuhan dasar dari manusia. Bertitel ‘makhluk okupasional’ sepanjang hidup merupakan peranan utama manusia sepanjang usia. Maka, menjadi wajar bila okupasi lekat, dekat dan terikat dengan manusia. Pemaknaan kegiatan bermakna atau okupasi menjadi pendapat masing-masing individu apakah sebuah okupasi menjadi bermakna ataupun tidak bagi dirinya.

Dalam Morrison et al. (2017), mendefinisikan okupasi adalah situasi klien di mana mampu berpartisipasi dalam kehidupan, misalnya perawatan diri, pemanfaatan waktu luang, produktivitas bekerja dan lainnya dengan terintegrasi pada konteks klien, memiliki manfaat terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien sepanjang hidupnya.

Selain kesehatan, okupasi juga melingkupi berbagai aspek mulai sosial, budaya, ekonomi, biologis dan filosofi. Maka, melihat okupasi perlu secara utuh.

Okupasi lekat dengan banyak aspek dan budaya masyarakat termasuk di dalamnya. Kita mengenal salah satu okupasi khas di Indonesia yang menjadi salah satu bentuk hasil budaya yang bahkan diakui oleh UNESCO pada tahun 2009 (UNESCO, 2009).

Bila ditelisik lebih lanjut, selain memiliki nilai budaya, kita ketahui bahwa membatik sebetulnya juga terdapat nilai okupasional di dalamnya yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modalitas terapi berbasis kepada okupasi.

Batik sebagai produk kebanggaan, bagian dari karya & ciri khas bangsa Indonesia (Img: awsimages.detik.net.id)

Membatik sebagai Modalitas yang Holistik

Membatik, Art Therapy yang Berbasis Okupasi

Aktivitas membatik dapat dikatakan merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan seni lukis sebagai bagian utama dalam keseluruhan tahap aktivitasnya. Dalam perspektif kesehatan, kita mengenal adanya art therapy atau terapi seni lukis sebagai salah satu modalitas psikoterapi dalam disiplin ilmu psikologi.

Aktivitas membatik dapat pula ditujukan sebagai bagian dari terapi melukis untuk diaplikasikan dalam layanan berbasis okupasi kepada klien, namun selain memanfaatkan esensi psikoterapinya, dapat pula terapis okupasi menerapkan prinsip terapi okupasi dan memanfaatkannya sebagai modalitas terapi.

Kelompok lansia sedang membatik (Img: statik.tempo.co)

Contoh modalitas art therapy yang dapat digunakan dalam terapi okupasi dalam praktik dan penelitian ditunjukkan dalam Ingkir, Wondal & Arfa (2020), Syafitri & Jaya (2020) & Rochmah & Hasibuan (2020) dengan menerapkan aktivitas membatik pada anak usia sekolah untuk melatih kemampuan motorik halus.

Dalam riset tersebut melakukan membatik dengan teknik jumputan, dengan mengikat kain dalam beberapa bagian kemudian masing-masing bagian diwarnai beragam warna dengan kuas lukis. Melalui contoh tahapan tersebut saja, proses holistik melibatkan beragam komponen dan keterampilan anak dapat berjalan bersamaan, mulai komponen fisik, mental (termasuk kognitif di dalamnya) dan sosial.

Pemberdayaan ODGJ melalui Membatik

Riset lain mengamati kegiatan lukis pada klien dengan masalah kejiwaan. Dalam Wulandari dkk. (2021) meneliti pemberdayaan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) stabil dan siap kembali ke masyarakat dalam kegiatan membatik secara berkelompok.

Riset tersebut dilakukan dalam 3 sesi, dengan dimulai penyuluhan kegiatan membatik, pendampingan proses membatik hingga tahap penjualan batik dengan partisipan secara kompleks berkreasi, membuat-mewarna batik dan bersosial dengan rekan ODGJ dalam kelompok sosial di sana.

Pembuatan batik di RSJD RM Soedjarwadi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Img: images.solopos.com)

Dalam sampel lain pada klien personality disorder, intervensi kegiatan melukis bebas dilakukan dengan melukis di kanvas sesuai dengan apa yang klien rasakan, pikirkan maupun yang klien ingin lakukan (Haeyen et al., 2018). Tujuan dari melukis tersebut untuk melatih respon reflektif klien terhadap lukisan yang menggambarkan klien, menyadarkan kontrol diri klien dan identitas klien sebenarnya kepada klien sendiri.

Pada prinsipnya, aktivitas membatik pun memiliki kesamaan dalam contoh-contoh tersebut. Melingkupi berbagai aspek komponen fungsi tubuh, baik komponen fisik, mental dan sosial. Seluruh komponen akan bekerja bersamaan terlebih bila dilakukan berkelompok, komponen interaksi sosial ikut berperan banyak.

Esensi Okupasional dalam Aktivitas Membatik

Klien ODGJ mengikuti terapi seni membatik di RSJD Magelang (Img: jogja.tribunnews.com)

Bila membahas penerapan membatik dalam konteks art therapy sebagai modalitas dalam praktik terapi okupasi, tentu akan memiliki makna yang berbeda ketika bergantung pada konteksnya apakah sebagai aktivitas pemanfaatan waktu luang, bermain atau produktivitas.

Masing-masing definisi konteks tersebut dapat anda akses dalam practice framework terapi okupasi dalam Occupational Therapy Practice Framework (Fourth Edition; 2020) maupun edisi lainnya oleh AOTA dengan setelah anda pahami, perencanaan intervensi tentu akan berbeda dan menyesuaikan pada prinsip masing-masing kategori okupasi.

Membatik, Dayaguna Kreativitas Seni Lukis Fungsional

Hansen, Erlandsson & Leufstadius (2020) melakukan riset perihal konsep penggunaan aktivitas kreatif sebagai modalitas intervensi dalam praktek terapi okupasi. Dikatakan bahwa aktivitas kreatif (apapun bentuk kegiatannya) sebagai modalitas intervensi memiliki beberapa poin:

  1. Menggerakkan tubuh dan pikiran dengan melibatkan kesenian auat prakarya
  2. Memiliki makna, dilakukan di lingkungan yang kreatif & mendukung
  3. Meningkatkan proses kreatif, pengalaman dan kesempatan untuk mengekspresikan & merefleksikan diri.
  4. Dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan, meningkatkan performa okupasi & memanajemen kehidupan sehari-hari.
  5. Digunakan secara individual maupun kelompok, dimodifikasi melalui pendekatan terapeutik yang berbeda demi mencapai tujuan yang diharapkan dalam situasi/setting tertentu.

Selain melihat perspektif terapis dalam penggunaan aktivitas kreatif, terapis juga perlu melihat makna modalitas melukis atau menggambar sebagai aktivitas kreatif dalam terapi berdasarkan persepsi klien. Disebutkan dalam Stuckey & Nobel (2008) bahwa seni lukis membantu mengekspresikan perasaan ke dalam gambar, karena sulit mencurahkan dalam bentuk tulisan.

Membebaskan Ekspresi & Seni dalam Batik

Menyalurkan ekspresi tersebut membentuk identitas, keyakinan positif, berdamai dengan keadaan, sarana meditasi dan mindfulness, utamanya hal-hal tersebut dilakukan oleh klien-klien dengan masalah kejiwaan dan klien dalam masa paliatif maupun terminasi.

Seperti art therapy, aktivitas membatik memiliki tujuan sekaligus manfaat tertentu, khususnya dalam lingkup kesehatan bagi tiap individu yang melakukannya, misalnya menenangkan diri, mengurangi kecemasan, katarsis dari perasaan negatif, melatih komponen motorik halus, mengisi waktu luang, mereduksi gangguan sensori maupun bersosial dengan teman satu hobi atau komunitas.

Seorang Ibu sedang konsentrasi & tenang ketika membatik (Img: jogja.tribunnews.com)

Manfaat Melibatkan Art Therapy menurut Penelitian

Berikut ulasan perihal beberapa riset bagaimana melukis atau seni lukis sebagai modalitas terapi dapat memberikan manfaat dalam pelayanan kepada klien.

Dalam Kongkasuwan et al. (2015) disebutkan manfaat dari terapi lukis pada klien dengan stroke. Penggunaan terapi lukis dalam riset dilakukan dalam dua kali seminggu, dikombinasikan dengan fisioterapi lima kali tiap seminggu dalam empat minggu sesi didapatkan penurunan depresi dan adanya peningkatan pada kemampuan fungsional, nilai kepuasan hidup, motivasi, konsentrasi dan kepercayaan diri setelah terapi dilakukan.

Berikutnya ditemukan dalam review literatur, menyebutkan bahwa penggunaan seni kreatif sebagai modalitas terapi okupasi dikatakan mengubah sikap terhadap penderitaan klien, membantu menemukan tujuan hidup dan menumbuhkan dukungan sosial (Perruza & Kinsella, 2010)

Dalam riset Zeevi, Regev & Guttmann (2018) pada orang tua dengan anak prasekolah (normal; usia 5-8 tahun) tentang training melakukan terapi lukis bersama anak. Penelitian tersebut dilakukan dalam 24 sesi mengamati lukisan dan melukis, dengan 12 sesi pertama hanya melakukan melukis dan 12 sesi terakhir mengkombinasikan melukis dengan terapi music reminiscence.

Didapatkan hasil peningkatan pada perkembangan emosional dan psikologis anak, di mana turut meningkatkan kesadaran orang tua untuk lebih menjalin hubungan kedekatan dengan anak dengan banyak terlibat dalam dunia sang anak.

Riset pengaruh terapi seni lukis pada sampel lansia dengan masalah gangguan kognitif dikatakan meningkatkan kemampuan memori, atensi, memori jangka panjang dan seluruh kemampuan kognitif lansia (Lee et al., 2018).  

Anak usia sekolah dasar sedang belajar membatik (Img: rmol.id/)

Kesimpulan

Dalam memberikan pelayanan terapi okupasi, kita perlu melihat klien secara holistik dengan mempertimbangkan modalitas yang akan diberikan tentu perlunya dapat berdampak secara holistik pula. Aktivitas kreatif dalam bentuk apapun kegiatannya, utamanya seni lukis, dikaji dalam berbagai riset ditemukan manfaat yang dapat membantu klien menuju well being.

Seni lukis memiliki beragam bentuk pula, termasuk terpengaruh oleh sosial budaya setempat, sebagai contohnya batik. Melukis dan mewarna batik sebagai modalitas intervensi dalam terapi dikatakan dalam riset memiliki berbagai manfaat dalam konteks layanan manapun, baik pediatri, dewasa maupun kesehatan jiwa. 


Referensi

Haeyen, S., Hooren, S. V., Dehue, F., & Hutschemaekers, G. (2017). Development of an art-therapy intervention for patients with personality disorders: An intervention mapping study. International Journal of Art Therapy, 23(3), 125-135. doi:10.1080/17454832.2017.1403458

Hansen, B. W., Erlandsson, L., & Leufstadius, C. (2020). A concept analysis of creative activities as intervention in occupational therapy. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 28(1), 63-77. doi:10.1080/11038128.2020.1775884

Indonesian Batik. (n.d.). Retrieved from https://ich.unesco.org/en/RL/indonesian-batik-00170

Ingkir, Yuni, Wondal, Rosita, Arfa, Umikalsum. (2020). Kegiatan Membatik dalam Mengembangkan Kemampuan Motorik Halus Anak. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 3, No. 1, Oktober 2020.

Kongkasuwan, R., Voraakhom, K., Pisolayabutra, P., Maneechai, P., Boonin, J., & Kuptniratsaikul, V. (2016). Creative art therapy to enhance rehabilitation for stroke patients: A randomized controlled trial. Clinical Rehabilitation, 30(10), 1016-1023. doi:10.1177/0269215515607072

Lee, R., Wong, J., Shoon, W. L., Gandhi, M., Lei, F., Eh, K., . . . Mahendran, R. (2019). Art therapy for the prevention of cognitive decline. The Arts in Psychotherapy, 64, 20-25. doi:10.1016/j.aip.2018.12.003

Morrison, R., Gómez, S., Henny, E., Tapia, M. J., & Rueda, L. (2017). Principal Approaches to Understanding Occupation and Occupational Science Found in the Chilean Journal of Occupational Therapy (2001–2012). Occupational Therapy International, 2017, 1-11. doi:10.1155/2017/5413628

Perruzza, N., & Kinsella, E. A. (2010). Creative Arts Occupations in Therapeutic Practice: A Review of the Literature. British Journal of Occupational Therapy, 73(6), 261-268. doi:10.4276/030802210×12759925468943

Stuckey, H. L., & Nobel, J. (2010). The Connection Between Art, Healing, and Public Health: A Review of Current Literature. American Journal of Public Health, 100(2), 254-263. doi:10.2105/ajph.2008.156497

Syafitri, Della, Jaya, Indra. (2020). Pengaruh Membatik terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Kuraitaji. —- volume VI. No. 1, Januari-Juni 2020.

Wulandari, N., Nurmawati, T., Setyani, E. Y., Christiningtyas, E. B., Arifianti, K., & Saparudin, A. (2021). Empowerment of ODGJ (People with Mental Disorders) through Training of Batik Ikat Making in Posyandu Jiwa “Waluyo Jiwo” Bacem Village Ponggok Blitar. Journal of Community Service for Health, 2(1), 001-009. doi:10.26699/jcsh.v2i1.art.p001-009

Zeevi, L. S., Regev, D., & Guttmann, J. (2018). The Efficiency of Art-Based Interventions in Parental Training. Frontiers in Psychology, 9. doi:10.3389/fpsyg.2018.01495

Neurodevelopmental Treatment (NDT); Apakah (Masih) Efektif?

Neurodevelopmental Treatment (NDT) (Img. bisamandiri.com)

Neurodevelopmental Treatment (NDT) adalah bentuk layanan rehabilitasi medik yang diberikan oleh profesi kesehatan terkait kepada klien dengan masalah sistem saraf pusat (SSP), seperti cerebral palsy, stroke, traumatic brain injury, pun masalah terkait SSP lainnya. Pendekatan NDT pun menjadi salah satu pendekatan yang populer digunakan terapis di pelayanan rehabilitasi medik untuk memberikan pelayanan kepada klien.

Namun, temuan riset terbaru dikatakan bahwa NDT tidak lagi dianjurkan dalam praktik klinis, kenapa? Mari kita simak pembahasan berikut.


Mengenal Neurodevelopmental Treatment (NDT)

Neurodevelopmental Treatment (NDT) merupakan produk berwujud konsep, teori dan kerangka praktik yang biasa kita kenal sebagai: Metode Bobath, yang dapat diterapkan oleh profesi kesehatan di ranah pediatri – rehabilitasi medik, utamanya oleh fisioterapi maupun terapi okupasi.

Seputar NDT atau metode Bobath berikut, mengutip Vaughan-Graham & Cott (2016) terdapat 3 (tiga) poin kunci dari Bobath, yakni (1) analisis gerak dari tahapan aktivitas, (2) keseimbangan postur tubuh dengan gerakan, dan (3) peran senso-motor dalam kontrol motorik. Ketika diterapkan dalam praktik, metode Bobath berdasar kepada berikut (Graham et al., 2009):

  1. Fasilitasi gerak oleh terapis secara hands-on, sekaligus memberikan input sensori yang dapat membantu meningkatkan kontrol postural.
  2. Latihan gerak untuk memperoleh kualitas pola gerak motorik yang normal; dengan meminimalkan pola gerak tidak normal (atypical). 

Bobath: Perspektif Lama vs Baru

Metode Bobath mengalami perkembangan secara ilmu pengetahuan dan praktis. Berikut di bawah merupakan ulasan mengenai gambaran Bobath metode lama dan metode baru. 

Diterjemahkan dari paparan Dr. Maheshwari Harishchandre (https://www.slideshare.net/Vimscopt/bobath-approaches)

Kajian konten ini membahas pandangan riset terbaru terhadap metode Bobath lama yang ditemukan dalam riset pada ranah pediatri, dengan sampel anak dengan masalah cerebral palsy.


Neurodevelopmental Treatment (NDT) dalam Praktik Terapi Okupasi

Metode Bobath pada Anak (Img. secangkirterapi.com)

Pada konteks layanan terapi okupasi di Indonesia, penggunaan metode NDT pada ranah pediatri rasanya cukup banyak dikenal dan dilakukan. Namun, ketika mencoba menemukan referensi penerapan metode NDT dengan praktik terapi okupasi pada pediatri edisi terbaru beberapa tahun ke belakang, rasanya tidak banyak. Berikut merupakan rangkuman dari beberapa temuan.

Behzadi, Noroozi, Mohamadi (2014) melakukan tindakan kepada sampel cerebral palsy dengan membandingkan antara penggunaan NDT saja (1) dengan NDT dikombinasikan dengan home program terapi okupasi (2). Pelaksanaan pada (1) dilakukan dengan menyesuaikan prinsip Bobath seperti fasilitasi dan inhibisi saja di lahan praktik, sedangkan pada (2) dilakukan Bobath dengan diberikan tambahan dengan program home-based menggunakan pamflet dan kaset tutorial.

Melalui perbandingan berikut diperoleh pada (2) dengan kombinasi NDT dan home-based menunjukkan peningkatan lebih baik.

Riset dengan hasil serupa juga terdapat dalam Russell et al. (2017) dengan menerapkan Combined Therapy Approaches (CAT) pada sampel anak cerebral palsy, kombinasi antara NDT dengan kerangka konsep lain, dengan satu grup kontrol yang diukur secara pre-post menunjukkan pengaruh yang lebih baik poin tingkat kemandirian anak pada post terapi.


Melihat Efektivitas Neurodevelopmental Treatment (NDT) – 5 Tahun Terakhir

Menerapkan Bobath pada Anak (Img. littlestepspt.com)

Melalui kajian riset terkini dengan sajian review sistematik seputar NDT dalam praktik terapi okupasi maupun rehabilitasi medik pada pediatri, sebagai berikut.

Dampak pada Komponen & Fungsi Tubuh Manusia

Melalui kajian Novak & Honan (2019), dikatakan bahwa penerapan NDT (metode lama; secara pasif) pada CP termasuk dalam kelompok tidak efektif dan disarankan tidak dilakukan, dibandingkan dengan bimanual therapy, constraint induced movement therapy (CIMT) dan pendekatan lain. Dalam dimensi melatih fungsional anak, NDT juga tidak tercantum sebagai kerangka praktik di segala kelompok. Penggunaan pendekatan family centered care mapun lainnya lebih disarankan untuk dilakukan.

Dinukil dari Novak & Honan (2019). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).

Kajian lain oleh Novak et al. (2020) menyajikan rambu-rambu pendekatan rehabilitasi dan penanganan fungsional pada cerebral palsy dengan hasil sebagai berikut. Ditemukan bahwa pendekatan NDT (melalui kajian literature-literatur) pada beberapa kolom kemampuan anak. dikatakan tidak disarankan hingga dilarang penggunaannya untuk penanganan. 

Dinukil dari Novak et al. (2020). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).

Mengapa demikian?

Menyoroti pengaruh NDT pada dimensi motorik dan fungsional dengan merangkum dari Novak & Honan (2019) & Novak et al. (2020), melihat dimensi motorik dan kemampuan fungsional anak cerebral palsy bertujuan untuk memberikan pengalaman bergerak, beraktivitas secara langsung dan terfasilitasi dengan mandiri dapat meningkatkan fungsi kompleks dari neuroplastisitas otak anak. Sebaliknya, ketika menggunakan NDT, SI dan metode lain pada diagram, tidak membelajarkan & memberikan pengalaman aktif kepada anak sehingga tidak mengaktifkan kerja fungsi motorik di otak. 

Penanganan yang bersifat top-down yang diaplikasikan pada anak CP lebih memberikan pengalaman dan hasil yang nyata daripada pendekatan bottom-up dari pendekatan NDT/Bobath & SI (metode lama) (Novak & Honan, 2019)


NDT vs Pendekatan Lainnya

Riset dari te Velde et al. (2022) menelisik seputar efektivitas pendekatan NDT dibandingkan dengan pendekatan berbasis aktivitas (activity-based) dalam beragam dimensi & model penerapan, penggunaannya untuk meningkatkan fungsi motorik pada anak dan bayi dengan CP maupun resiko tinggi CP. 

Bimanual Training & Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) (Img. www.cimt.co.uk)

Rangkuman kajian tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian dampak; (1) latihan activity-based lebih diunggulkan, (2) latihan struktur-fungsi tubuh sepadan dengan NDT, dan (3) NDT & berapapun dosis terapi NDT tidak dianjurkan dilakukan.

Mengapa demikian?

  1. Temuan efektivitas activity-based ketika melibatkan anak untuk aktif dan mandiri dalam sesi terapi lebih meningkatkan pencapaian anak (dibandingkan menggunakan NDT yang masih difasilitasi). Keterlibatan lingkungan yang sebenarnya, beragam dan menyenangkan membuat anak lebih banyak belajar.
    • Eliasson et al. (2014) menyebutkan activity based pada bayi resiko tinggi CP melibatkan lingkungan penuh mainan yang sesuai dengan kemampuan motorik anak & berkembang sesuai level kognitif perkembangannya ketika sesi terapi dilakukan, seperti kalung, mainan masak-masakan, mainan halus-kasar, dan sebagainya.
  1. Temuan riset latihan berbasis fungsi-komponen tubuh dibandingkan dengan penarapan NDT, menunjukkan dampak yang sama (meningkatkan fungsi motorik tubuh), akan tetapi tidak banyak ditemukan varian riset lain dan masih ditemukan bias.
  2. Penggunaan pendekatan NDT metode lama dianjurkan untuk tidak digunakan dalam pelayanan kepada bayi dan anak dengan CP maupun resiko tinggi CP. 
    • Hal tersebut disebabkan berdasarkan kajian meta analisis dan review sistematik, ditemukan dampak activity-based lebih baik daripada NDT lama dalam sampel yang memadai & bias relatif rendah, pun kajian yang tersedia tidak cukup memadai dan terpercaya lewat hasil data statistik (te Velde et al., 2022).
  1. Batasi tindakan yang tidak efektif seperti: membantu, menggerakkan dan memposisikan – dengan tujuan menormalisasi gerakan maupun membatasi gerak abnormal, tonus & refleks, melakukan stretching pasif, memberikan input sensori maupun vestibular.
  2. Perbanyak membelajarkan pola gerak aktif, bertahap, berulang dan  bervariasi pada setiap tugas aktivitas, memberikan umpan balik terhadap kemampuan anak, menetapkan tujuan terapi yang sebenarnya dan mengembangkan keterampilan problem-solving anak.

Ulasan-ulasan di atas banyak menyoroti kajian seputar efektivitas NDT lama dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat activity-based (seperti CIMT, bimanual training dsb.) pada populasi CP di beragam kondisi dan usia perkembangan. 

Sejelasnya, uji efektivitas tersebut diseleksi berdasarkan metodologi riset, baik secara review sistematik dan/maupun meta analisis, terhadap beragam literatur menyesuaikan pada kata kunci akses literaturnya; misalnya: neurodevelopmental treatment, cerebral palsy

Berlanjut kepada membandingkan signifikansi hasil dari setiap literatur terseleksi hingga menarik kesimpulan: penerapan pendekatan NDT lama dalam praktik menunjukkan dampak tidak lebih baik daripada pendekatan lainnya, utamanya pendekatan yang bersifat activity-based.


Kesimpulan

Penggunaan pendekatan NDT (metode lama) bila dihubungkan dengan tren dan tujuan rehabilitasi kesehatan masa kini yang bersifat partisipatif dan melibatkan kepada lingkungan sebenarnya (perspektif top-down) tidak lagi relevan dan sejalan.

Perlunya kolaborasi, kombinasi, upgrade kepada perspektif NDT metode baru maupun tidak menerapkan NDT dengan mengaplikasikan metode yang evidence-based  lainnya, kiranya dapat memberikan pelayanan yang lebih maksimal, memberikan pengalaman lebih partisipatif dan aktif kepada klien, sejalan ke arah occupation-centered dan client-centered pada layanan terapi okupasi pediatri.

Referensi

Ann-Christin Eliasson, Linda Nordstrand, Linda Ek, Finn Lennartsson, Lena Sjöstrand, Kristina Tedroff, Lena Krumlinde-Sundholm. The effectiveness of Baby-CIMT in infants younger than 12 months with clinical signs of unilateral-cerebral palsy; an explorative study with randomized design. Research in Developmental Disabilities,Volume 72, 2018, 191-201. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2017.11.006.

Anna te Velde, Catherine Morgan, Megan Finch-Edmondson, Lynda McNamara, Maria McNamara, Madison Claire Badawy Paton, Emma Stanton, Annabel Webb, Nadia Badawi, Iona Novak; Neurodevelopmental Therapy for Cerebral Palsy: A Meta-analysis. Pediatrics June 2022; 149 (6): e2021055061. 10.1542/peds.2021-055061

Behzadi, Faranak & Noroozi, Hesammedin & Mohamadi, Marzieh. (2014). The Comparison of Neurodevelopmental-Bobath Approach with Occupational Therapy Home Program on Gross Motor Function of Children with Cerebral Palsy. Journal of Rehabilitation sciences and Research. 1. 21-24.

Graham JV, Eustace C, Brock K, Swain E, Irwin-Carruthers S. The Bobath concept in contemporary clinical practice. Top Stroke Rehabil. 2009;16(1):57–68

Novak, I. and Honan, I. (2019), Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Aust Occup Ther J, 66: 258-273. https://doi.org/10.1111/1440-1630.12573

Novak, I., Morgan, C., Fahey, M. et al. State of the Evidence Traffic Lights 2019: Systematic Review of Interventions for Preventing and Treating Children with Cerebral Palsy. Curr Neurol Neurosci Rep 20, 3 (2020). https://doi.org/10.1007/s11910-020-1022-z

Russell, Dorothy Charmaine, Scholtz, Christa, Greyling, Petro, Taljaard, Marin, Viljoen, Elmien, & Very, Corné. (2018). A pilot study on high dosage intervention of children with CP using combined therapy approaches. South African Journal of Occupational Therapy48(2), 26-33. https://dx.doi.org/10.17159/2310-3833/2017/vol48n2a5

Vaughan-Graham J, Cott C. Defining a Bobath clinical framework – a modified e-Delphi study. Physiother Theory Pract. 2016;32(8):612–627

Praktik Terapi Okupasi pada Sleep Deprivation

Tidur (img: Singularity Hub)

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia karena manusia menggunakan sepertiga waktu hidupnya untuk tidur. Tidur dan istirahat memiliki peran penting dalam kesehatan seseorang. Dalam Occupational Therapy Practice Framework 4th Edition American Occupational Therapy Association (AOTA) (2020), tidur dan istirahat sudah tidak lagi masuk kedalam kategori Activity Daily Living (ADL) namun sudah berdiri sendiri yaitu menjadi domain tidur dan istirahat (sleep dan rest).

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tidur dan istirahat bagi seseorang. Tanpa tidur yang memadai, kinerja pekerjaan siang hari seperti mengemudi, produktivitas, leisure, dan partisipasi sosial dapat terganggu (Smallfield & Molitor, 2018). Hal tersebut menjadi salah satu concern seorang terapis okupasi dalam perihal meningkatkan kualitas hidup seseorang melalui peningkatan kualitas tidur klien.


Apa itu Sleep Deprivation dan Efeknya?

Sering Mengantuk saat Bekerja (Img: Dana Foundation)

Kurang tidur atau sleep deprivation (DEP-rih-VA-shun) adalah kondisi yang terjadi jika seseorang tidak cukup tidur. Sleep deprivation terjadi jika seseorang memiliki satu atau lebih tanda berikut (National Heart Lung and Blood Institute, 2012):

  1. Tidak mendapatkan cukup tidur (kurang tidur),
  2. Tidur pada waktu yang salah hari (yaitu, tidak sinkron dengan jam alami tubuh (Body’s Natural Clock)), 
  3. Tidur tidak nyenyak atau tidak mendapatkan semua jenis tidur yang dibutuhkan tubuh,
  4. Memiliki gangguan tidur yang menyebabkan tidur yang tidak cukup atau menyebabkan kualitas tidur yang buruk .

Adapun penyebab umum dan tambahan terjadinya sleep deprivation adalah kurang tidur, kemudian penyebab lainnya adalah (American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 2019; AOTA, 2019):

  • Adanya keterkaitan dengan kondisi medis seperti penyakit diabetes, mood disorder, jantung dan stroke yang menyebabkan circadian rhythm disturbance,
  • Kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder, Sleep disorder seperti insomnia,
  • Nyeri akibat artritis, osteoporosis dan penyakit yang menyebabkan nyeri lainnya,
  • Depresi, stress dan kecemasan.

Efek negatif dari sleep deprivation terbagi menjadi dua jenis yaitu short term effect dan long term effect (Bilwise (1997) dalam AOTA (2019)). Short term effect meliputi kecemasan, mengantuk saat berkendara, mudah lupa, sulit konsentrasi, penurunan performa aktivitas dan kesadaran,  gangguan memori dan kognitif, stress terhadap hubungan dan automobile accident (Kecelakaan mobil atau saat berkendara).

Kemudian long term effect berupa tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, obesitas, diabetes tipe 2, depresi dan gangguan emosi, dan kualitas hidup yang rendah. 


Screening, Evaluasi & Intervensi Terapi Okupasi pada Sleep deprivation

Gangguan Tidur perlu Dilakukan Pemeriksaan Terapi Okupasi (Img: Freepik)

Screening

Tahapan awal yang wajib dilakukan seorang terapis okupasi terhadap klien adalah screening. Screening yang dilakukan dapat berupa screening test dan screening task. Karena tidur memainkan peran utama dalam kehidupan semua orang, terapis okupasi harus menanyakan tentang tidur klien mereka dalam setiap evaluasi awal (Pierce & Summers, 2011).

Mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang sejauh mana masalah tidur seseorang adalah kunci untuk menemukan intervensi yang ideal. Informasi ini dapat mulai didapatkan di awal dengan evaluasi informal, seperti melihat kondisi fisik klien saat datang ke terapis seperti raut wajah, cara berjalan, berbicara dan melihat secara menyeluruh apakah muncul gejala-gejala yang diakibatkan oleh sleep deprivation seperti kecemasan, hilangnya memori & kesadaran serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang riwayat tidur klien. 

Pertanyaan-pertanyaan dasar tentang riwayat tidur seseorang harus mencakup pertanyaan seperti kualitas tidur klien (berapa lama durasi tidur klien, jadwal, pola tidur, dan perasaan saat bangun), lingkungan tidur klien (apakah ada gangguan dari luar seperti suara berisik, suhu kamar, jumlah orang yang tidur di ruangan klien, bagaimana cahaya di ruangan), faktor lain yang terkait (apakah menggunakan obat tidur, bagaimana rutinitas sebelum tidur yang dilakukan klien) dan bagaimana menurut klien tentang kualitas tidur yang dimiliki (Adequate (kuat), inadequate (kurang kuat), atau bermasalah) (AOTA, 2019).


Evaluasi

Evaluasi sangat penting dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang permasalahan klien dengan pemeriksaan terstandar. Evaluasi untuk sleep deprivation dapat dilakukan melalui pemeriksaan terstandar seperti Epworth Sleepiness Scale (1997), Pittsburgh Sleep Quality Index (Buysse et al., 1989), Dysfunctional Beliefs and Attitudes About Sleep (E Provide, 2007), Glasgow Sleep Effort Scale (Broomfield & Espie, 2005).

Selain itu seorang terapis okupasi juga dapat menggunakan pemeriksaan terstandar Occupational Profile of Sleep karya Pierce dan Summers (2011) dimana seorang terapis okupasi dapat menggunakannya untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana rutinitas tidur, pola tidur dan lingkungan tidur klien yang kemudian akan dianalisis dan memberikan rekomendasi atau tujuan terapi terbaik bagi klien (Pierce & Summers, 2011).

Berikutnya untuk mengetahui occupation yang terdampak dari permasalahan tidur. seorang terapis okupasi dapat menggunakan Canadian Occupational Performance Measurement (COPM) atau Functional Independent Measure (FIM) (Eris & Andrew, 2018). 

Sebelum menuju tahap penentuan intervensi, seorang terapis okupasi perlu memperhatikan faktor klien seperti tanggung jawab caregiver klien, pekerjaan dan kehidupan klien, nyeri dan kelelahan klien, gangguan keseimbangan, ketajaman penglihatan, kekuatan otot, integritas kulit, dan rentang gerakan di ekstremitas atas dan bawah, masalah integrasi atau pemrosesan sensorik, penggunaan obat-obatan, alkohol, nikotin dan lingkungan rumah klien (AOTA, 2019).


Intervensi

Setelah dilakukannya screening dan evaluasi maka seorang terapis okupasi akan dapat menentukan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan klien. Penelitian berjenis meta-anlysis yang dilakukan Eris & Andrew (2018) berjudul Review Article Occupational Therapy Practice in Sleep Management: A Review of Conceptual Models and Research Evidence membahas tentang beberapa bentuk intervensi terapi okupasi dalam permasalahan tidur. Terdapat empat jenis bentuk intervensi yang digunakan dan efektivitas yang dibahas, antara lain:

  1. Menggunakan assistive device atau assistive equipment,
  2. Menggunakan aktivitas,
  3. Cognitive behaviour therapy for insomnia,
  4. Intervensi gaya hidup (life style intervention).
Terapi Okupasi pada Manajemen Tidur (Eris & Andrew, 2018)

Menggunakan Assistive Device/Equipment

Bentuk intervensi ini terdapat dua jenis yaitu penggunaan assistive equipment dan positioning. Assistive device yang digunakan seperti bantal dreampad, selimut tebal, dan perlengkapan tidur seperti masker mata, penyumbat telinga (earplug) dan mesin peredam suara. Bantal Dreampad adalah sebuah teknologi yang sudah dipatenkan dimana dalam bantal tersebut terdapat musik yang menenangkan, yang merelaksasi tubuh dan pikiran, dan dilengkapi dengan fitur pencarian musik yang disukai klien. 

Dreampad pillow

Dreampad pillow dinilai efektif dalam membantu klien karena dapat meningkatkan durasi tidur, meningkatkan kualitas tidur, dan mengurangi frekuensi terbangun di malam hari. Ini juga membantu meningkatkan hasil sekunder dari anak autisme, seperti mengurangi perilaku maladaptive, meningkatkan atensi serta kualitas hidup dan kepuasan orang tua (Eris & Andrew, 2018). Kemudian positioning, bahwa posisi tidur terlentang lebih memberikan efek baik yaitu membuat tidur lebih lama dan mengurangi frekuensi bangun daripada posisi tengkurap (Jarus, et al., 2011).


Menggunakan Aktivitas

Cobalah Melakukan Meditasi sebelum Tidur (Img: Diario Sur)

Terapis okupasi tidak akan jauh dari penggunaan aktivitas bermakna dalam intervensinya. Beberapa studi menunjukan penggunanan mind-body activity seperti meditasi, yoga dan pernapasan dapat digunakan sebagai intervensi permasalahan tidur. Meditasi dinilai efektif dalam menangani permasalahan tidur yaitu dapat membuat durasi tidur lebih lama dari pada hanya mengedukasi cara sleep-hygiene (Gutman, et al., 2016).  Disamping itu, aktivitas yoga dan latihan pernapasan dinilai tidak efektif dalam mengatasi permasalahan tidur dan hanya mengurangi gejala depresi saja (Wen, et al., 2017). 


Menggunakan Terapi Kognitif Perilaku (cognitive behaviour therapy)

Terapi kognitif perilaku untuk mengatasi insomnia (CBTi) atau gangguan tidur telah lama dipertimbangkan sebagai evidence-based practice. CBTi adalah program terstruktur yang bertujuan untuk meningkatkan tidur dengan mengidentifikasi dan mengubah pikiran dan perilaku negatif yang terkait dengannya, seperti kognitif traps dan keyakinan tentang hal-hal yang membatasi tidur (Eris & Andrew, 2018).

Penelitian tentang efektivitas CBTi pada Parkinson disease dengan jumlah 22 partisipan, dengan pre-test dan post-test dengan menggunakan sleep diary dan pemeriksaan Parkinson’s Disease Sleep Scale menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kualitas tidur pada klien dengan Parkinson disease saat setelah dilakukan intervensi dengan metode CBTi (Yang & Petrini, 2012).


Intervensi Gaya Hidup

Gaya Hidup Sehat (Img: Freepik)

Intervensi gaya hidup berpusat pada peningkatan kebiasaan tidur sehat dan penjadwalan ulang aktivitas dan memfasilitasi pergantian peran pada elderly melalui edukasi, berbagi pengalaman dan pengaturan tujuan. Terlalu banyak atau terlalu sedikit aktivitas siang hari sangat terkait dengan pola tidur di malam hari, rescheduling aktivitas siang hari membantu seseorang dalam mencapai gaya hidup yang seimbang serta untuk memfasilitasi tidurnya pada malam hari. Program ini menunjukkan perubahan positif dalam perilaku tidur, termasuk peningkatan jam tidur, mengurangi kesulitan tidur, dan mengurangi mimpi buruk (Leland , et al., 2016).

Intervensi ini juga meminta klien agar mengurangi jam tidur siang hari dan meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas di siang hari, terutama kegiatan sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen tidur tidak hanya menyangkut tidur tetapi juga partisipasi kegiatan fungsional siang hari yang dilakukan klien (Eris & Andrew, 2018).


Kesimpulan

Tidur merupakan main occupation bagi manusia. Tanpa kualitas tidur yang baik seseorang akan mengalami penurunan kualitas fungsional sehari-harinya. Terapis okupasi berperan penting dalam melakukan screening, evaluasi hingga intervensi bagi klien dengan sleep deprivation agar dapat menentukan program terapi terbaik. Beberapa cara dalam mengatasi gangguan tidur seperti penggunaan assistive device, aktivitas body-mind, CBTi, hingga perubahan gaya hidup telah diteliti dan digunakan sebagai evidence-based practice. Seorang terapis okupasi hanya perlu menentukan jenis intervensi terbaik sesuai dengan kebutuhan klien untuk dapat meningkatkan fungsional dan kualitas hidup klien.


Referensi

American Occupational Therapy Association. (2020). Occupational therapy practice framework: Domain and process (p. 7412410010). AMERICAN OCCUPATIONAL THE.

Smallfield, S., & Molitor, W. L. (2018). Occupational therapy interventions addressing sleep for community-dwelling older adults: A systematic review. American Journal of Occupational Therapy72(4), 7204190030p1-7204190030p9.

National Heart, Lung, and Blood Institute. Sleep Deprivation and Deficiency. 2012.

Bandyopadhyay, A., & Sigua, N. L. (2019). What is sleep deprivation?. American journal of respiratory and critical care medicine199(6), P11-P12.

Pierce, D., & Summers, K. (2011). Rest and sleep. In C. Brown & V. C. Stoffel (Eds.), Occupational therapy in mental health: A vision for participation (pp. 736–758). Philadelphia: F. A. Davis. Pizzi, M., & Richards, L. (2017). Promoti

Manisha Sheth, O. T. D., & Thomas, H. (2014). Managing Sleep Deprivation in Older Adults: A Role for Occupational Therapy. Sleep, S20.

T. Jarus, O. Bart, G. Rabinovich et al., “Effects of prone and supine positions on sleep state and stress responses in preterm infants,” Infant Behavior and Development, vol. 34, no. 2, pp. 257–263, 2011.

S. A. Gutman, K. A. Gregory, M. M. Sadlier-Brown et al., “Comparative effectiveness of three occupational therapy sleep interventions,” OTJR: Occupation, Participation and Health, vol. 37, no. 1, pp. 5–13, 2016.

P.-S. Wen, I. Herrin, A. L. de Mola et al., “Yoga for sleep, pain, mood, and executive functioning in persons with traumatic brain injury,” American Journal of Occupational Therapy, vol. 71, article 7111515267p1, 4_Supplement_1, 2017.

Yang, H., & Petrini, M. (2012). Effect of cognitive behavior therapy on sleep disorder in Parkinson’s disease in China: a pilot study. Nursing & health sciences14(4), 458-463.

N. E. Leland, D. Fogelberg, A. Sleight et al., “Napping and nighttime sleep: findings from an occupation-based intervention,” American Journal of Occupational Therapy, vol. 70, no. 4, pp. 7004270010p1–7004270010p7, 2016.

Teknologi 3D Printing dalam Rehabilitasi Kesehatan dan Praktik Terapi Okupasi

3D Printing dan Tren di Dunia Saat Ini

Memasuki era globalisasi menuju era pemanfaatan teknologi dan digitalisasi, kita seringkali melihat beragam media, teknologi yang semakin canggih di berbagai bidang dan lingkungan tempat kita hidup di masa kini. Adakah yang menyangka media alat cetak (printing) yang telah kita temui sejak dulu (saat ini pun masih ada upgrade-nya) berfungsi untuk mencetak objek dari file elektronik ke dalam tampilan 2 dimensi yang dapat kita saksikan di kertas, kain maupun perantara lainnya, kini berkembang hingga dapat mencetak objek dalam 3 dimensi?

Munculnya teknologi ini cukup mengejutkan dan saat ini terus berkembang. Dalam Gebhardt & Fateri (2013) menunjukkan beberapa penggunaan 3D printing dalam bidang pendidikan, kuliner, manufaktur, konstruksi, kesehatan, dan kesenian.

[Gambar. Gebhardt & Fateri (2013)]

3D Printing merupakan metode menciptakan objek fisik dengan memproses beberapa bahan baku, misalnya plastik, besi, keramik dan bahan lainnya untuk memproduksi sebuah objek tiga (3) dimensi, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jenis printer, yakni Selective Laser Sintering (SLS), Thermal Inject Printing (TIP) dan Fused Deposition Modelling (FDM) (Ventola, 2014). Eshkalak et al. (2020) menjelaskan proses dari penggunaan 3D printing, sebagai berikut:

  • Pertama, membuat desain tiga dimensi di komputer menggunakan software (aplikasi pengakses 3D maupun CAD).
  • Kedua, membuat model STL (format file yang terkait dengan desain 3D print) dan ubah jenis file ke format yang dapat dibaca printer.
  • Ketiga, menyesuaikan file desain ke dalam format STL yang telah dibuat.
  • Keempat, cetak produk dengan printer dan bersihkan bagian-bagian yang tidak diperlukan.
  • Kelima, produk siap digunakan dan dilakukan pemeliharaan.
[Gambar Proses 3D Printing – Eshkalak et al. (2020)]

Dalam riset Campbell et al. (2011) mengenai pengaruh 3D printing terhadap pengembangan manufaktur di dunia yang mana penggunaan nanotechnology dalam 3D printing mulai diminati dan dirasa memiliki keuntungan lebih baik daripada teknologi konvensional sebelumnya. Keuntungan yang ditunjukkan seperti (Campbell et al., 2011):

  1. Dapat menciptakan produk yang detail, kompleks dan murah daripada teknologi sebelumnya.
  2. Terhubung dengan sistem data elektronik dan internet yang mudah dikelola dan dibuat dimana hal ini dapat mencegah ‘pemborosan’ karena kesalahan produksi,
  3. Dapat memproduksi dalam jumlah besar dan dalam berbagai ukuran karena didesain melalui file dan dibantu fitur network file sharing sehingga desain dapat digunakan oleh banyak orang di dunia.
  4. Mengurangi sampah sisa produksi karena penggunaan printer ini tepat, terukur dan teliti terhadap bahan baku produk yang digunakan.
  5. Dikatakan lebih ramah lingkungan, ditunjukkan oleh tabel berikut.
[Gambar – 3D Printing disebut ramah lingkungan (Campbell et al., 2011)]

Meskipun kita memahami dengan keunggulan yang ada dari objek dan penggunaan 3D printing,  kita juga perlu memahami ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait misalnya copyright terhadap hak kekayaan intelektual, tujuan penggunaan dan produksi produk ilegal dan berbahaya, terutama tentang keamanan bahan yang ramah lingkungan, tidak berdampak buruk terhadap manusia bila dipakai maupun dikonsumsi dan terakhir persoalan etik yang penting diperhatikan dari produk yang diciptakan (Fang & Kumar, 2018).


Penggunaan 3D Printing dalam Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi Kesehatan

Dalam Yan et al. (2018) mendeskripsikan beberapa aplikasi 3D printing dan objek yang dibuat dalam pelayanan kesehatan, berupa model/purwarupa organ untuk analisis pelayanan bedah dan perencanaan sebelum operasi bedah, implan permanen sintetis (non-bioactive), membuat dasaran bioaktif dan biodegradable pada jaringan tubuh lokal dan mencetak secara langsung jaringan maupun organ tubuh. Kemudian, ditambahkan Santos et al. (2019) menyebutkan pengaruh sendok dengan modifikasi objek 3D printing menunjukkan peningkatan pengaruh terhadap rata-rata kemampuan dan kepuasan dalam okupasi makan daripada hanya menggunakan sendok tanpa modifikasi.

Manero et al. (2019) menambahkan tentang peranan 3D printing dalam kolaborasinya dengan teknologi robotik untuk pembuatan prostetik tangan yang dapat didesain sedemikian rupa melalui aplikasi komputer dengan menyalurkan kreativitas, menarik dan dapat menyesuaikan keinginan klien hingga berlanjut kolaborasi dengan virtual reality untuk melatih kembali fungsi tangan klien dengan prostetik tersebut.

[Gambar. Yan et al. (2018)]
[Gambar. Manero et al. (2019)]
[Gambar. Santos et al. (2019)]

Bukti bukti ilmiah dari penggunaan objek 3D printing di atas, bila kemudian ditelusuri tentang bagaimana efektivitasnya dalam pelayanan kesehatan, Diment, Thompson & Bergmann (2017) menyebutkan bahwa pemanfaatan 3D printing yang telah banyak ditemui peranannya dalam pelayanan kesehatan maupun rehabilitasi kesehatan berupa meningkatkan efisiensi tenaga, waktu dan biaya serta meningkatkan tepat guna dalam pelayanan kepada klien.

Selanjutnya, Liu (2018) menyebutkan bahwa efektivitas tersebut didukung oleh objek desain dari 3D printing yang dapat dikreasi, dibagikan ke khalayak seluruh dunia melalui data, bisa melalui universal design (ukuran sebagian banyak populasi), inclusive design (ukuran pada populasi yang lebih kecil & modifikasi dari universal design) dan customized design (ukuran khusus sesuai kebutuhan individual)  Namun, untuk menjadikan 3D printing ikut dalam standar praktik kesehatan di institusi kesehatan diperlukan pemeriksaan yang panjang, akurat dan mendalam (Diment, Thompson & Bergmann, 2017).


Penggunaan 3D Printing dalam Praktik Terapi Okupasi 

Dalam praktik terapi okupasi penggunaan 3D printing dapat memfasilitasi client-centeredness, dimana desain dibuat untuk memenuhi faktor individual dan dalam kebutuhan yang sangat spesifik. Pemanfaatan alat bantu (assistive device maupun assistive technology) dalam memberikan pelayanan kepada klien.

Adapun penggunaan alat bantu baik konvensional maupun berbasis teknologi mumpuni diulas dalam review literatur Lindstrom & Hemmingsson (2014), menyebutkan beberapa manfaat yang dirasakan dalam penggunaan alat bantu pada anak dengan disabilitas, yakni meningkatkan produktivitas belajar, membantu dalam latihan menulis, mengetik, berkomunikasi dan berhitung. Dengan dampak yang begitu membantu, maka rasanya penggunaan 3D printing dikenalkan lebih mendalam agar semakin banyak pemanfaatannya dalam praktik kesehatan.

Riset Janson et al. (2020) mengenai penggunaan beberapa jenis assistive devices dari objek 3D printing pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) yang mengalami masalah tangan. Aplikasi alat bantu tersebut dikatakan dapat menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan kemampuan okupasi dan tingkat kepuasan klien. Satu riset menyebutkan penggunaan 3D printing dilakukan dengan kolaborasi 3 (tiga) profesi terapis okupasi, teknisi biomedis dan pemustaka kesehatan (Wagner et al., 2018). Proses kolaborasi tersebut berjalan bertahap mulai melakukan pengukuran, merencanakan desain, membuat gambaran 3 dimensi, hingga memproduksi desain ke dalam produk cetak.

Berikutnya, Lee et al. (2019) juga menunjukkan bagaimana menerapkan objek 3D printing kepada klien untuk memaksimalkan produktivitas menulis. Modifikasi pada splint dengan objek 3D printing dilakukan dengan menambahkan pengait untuk menempatkan pulpen pada splint dan memudahkan klien untuk terlibat kembali pada okupasinya.

[Gambar. Janson et al. (2020)]
[Gambar. Wagner et al., 2018)]
[Gambar. Lee et al. (2019)]

KESIMPULAN

Peradaban dunia semakin canggih dengan banyak inovasi yang diterapkan di dalam pelayanan kesehatan. Penggunaan 3D printing dan objek produksinya seperti ulasan di atas menunjukkan manfaat dan potensi yang nyata untuk memudahkan pelayanan kesehatan dan terapi okupasi yang menjunjung prinsip berpusat pada klien. Namun, tentu tetap ada beberapa hal yang patut diperhatikan, baik hal operasional, teknis, maupun persiapan peralatan hingga pendalaman riset riset ilmiah sebelum Anda aplikasikan di lahan praktik.

Penggunaan 3D printing pada level klien, perlu memperhatikan ketepatan desain, pengukuran, pemilihan bahan hingga perawatan dan pemahaman safety precaution. Semoga berdampak. 


REFERENSI

Avf, S., La, L., Mf, A., A, C., & Zc, S. (2019). User-centered design of a customized assistive device to support feeding. Procedia CIRP, 84, 743-748. doi:10.1016/j.procir.2019.04.318

Campbell, T., William, C., Ivanova, O., & Garrett, B. (2011). Could 3D Printing Change the World? Technologies, Potential, and Implications of Additive Manufacturing. Atlantic Council_ Strategic Foresight Report, 1-15. Retrieved from http://globaltrends.thedialogue.org/wp-content/uploads/2014/11/Could-3D-Printing-Change-the-World-Technologies-Potential-and-Implications-of-Additive-Manufacturing.pdf

Diment, L. E., Thompson, M. S., & Bergmann, J. H. (2017). Clinical efficacy and effectiveness of 3D printing: A systematic review. BMJ Open, 7(12). doi:10.1136/bmjopen-2017-016891

Eshkalak, S. K., Ghomi, E. R., Dai, Y., Choudhury, D., & Ramakrishna, S. (2020). The role of three-dimensional printing in healthcare and medicine. Materials & Design, 194, 108940. doi:10.1016/j.matdes.2020.108940

Fang, E. H., & Kumar, S. (2018). The Trends and Challenges of 3D Printing. Encyclopedia of Information Science and Technology, Fourth Edition, 4382-4389. doi:10.4018/978-1-5225-2255-3.ch380

Gebhardt, A., & Fateri, M. (2016). 3D Printing and Its Applications. International Journal of Science and Research (IJSR), 5(3), 1532-1535. doi:10.21275/v5i3.nov162160

Hurst, E. J. (2016). 3D Printing in Healthcare: Emerging Applications. Journal of Hospital Librarianship, 16(3), 255-267. doi:10.1080/15323269.2016.1188042

Janson, R., Burkhart, K., Firchau, C., Hicks, K., Pittman, M., Yopps, M., . . . Garabrant, A. (2020). Three-dimensional printed assistive devices for addressing occupational performance issues of the hand: A case report. Journal of Hand Therapy, 33(2), 164-169. doi:10.1016/j.jht.2020.03.025

Lee, K. H., Kim, D. K., Cha, Y. H., Kwon, J., Kim, D., & Kim, S. J. (2018). Personalized assistive device manufactured by 3D modelling and printing techniques. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 14(5), 526-531. doi:10.1080/17483107.2018.1494217

Lidström, H., & Hemmingsson, H. (2014). Benefits of the use of ICT in school activities by students with motor, speech, visual, and hearing impairment: A literature review. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 21(4), 251-266. doi:10.3109/11038128.2014.880940

Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy, 85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179

Manero, A., Smith, P., Sparkman, J., Dombrowski, M., Courbin, D., Kester, A., . . . Chi, A. (2019). Implementation of 3D Printing Technology in the Field of Prosthetics: Past, Present, and Future. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(9), 1641. doi:10.3390/ijerph16091641

Tay, Y. W., Panda, B., Paul, S. C., Mohamed, N. A., Tan, M. J., & Leong, K. F. (2017). 3D printing trends in building and construction industry: A review. Virtual and Physical Prototyping, 12(3), 261-276. doi:10.1080/17452759.2017.1326724

Ventola, C. L. (2014). Medical Applications for 3D Printing Current and Projected Uses. Pharmacy and Therapeutics, 39(10), 704-711. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4189697/

Wagner, J. B., Scheinfeld, L., Leeman, B., Pardini, K., Saragossi, J., & Flood, K. (2018). Three professions come together for an interdisciplinary approach to 3D printing: Occupational therapy, biomedical engineering, and medical librarianship. Journal of the Medical Library Association, 106(3). doi:10.5195/jmla.2018.321

Yan, Q., Dong, H., Su, J., Han, J., Song, B., Wei, Q., & Shi, Y. (2018). A Review of 3D Printing Technology for Medical Applications. Engineering, 4(5), 729-742. doi:10.1016/j.eng.2018.07.021

Virtual Reality dalam Terapi Okupasi

Sejauh Mana Globalisasi Berjalan?

Kita Menuju Zaman Digitalisasi, Revolusi Industri 5.0 – Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Menuju tahun 2030, dunia kian berkembang dan menumbuhkan tren-tren baru seputar teknologi dan perangkat digital nirkabel yang beberapa dapat membawa kita ke realitas dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Mari melihat Indonesia dari tahun 2010, zaman dimulai dengan menjamurnya penggunaan komputer dengan game online dan kecanggihan akses internet nirkabel di masyarakat. Berjalan kembali dalam lima tahun berikutnya, penggunaan perangkat genggam (mobile tech) berkembang pesat bersamaan dengan pengembangan teknologi virtual yang saat itu belum begitu familiar. Hari ini, tahun 2021 kenyataannya kita masih belum familiar juga dengan penggunaan teknologi virtual ini, meskipun kita sudah temui beberapa contoh, misalnya Nintendo Wii, Google Cardboard, Oculus, Virtual Reality Playstation, Google Glass, banyak varian teknologi Smart Home dan banyak lagi, baik perangkat kreatif baru yang muncul maupun bentuk upgrade dari perangkat-perangkat lama yang sudah ada. 

Pengembangan teknologi dalam ilmu terapi okupasi juga menunjukkan kemajuan pada setiap zamannya. Liu (2014) mencatat praktik terapi okupasi telah menunjukkan dedikasi dalam penerapan teknologi masa kini, seperti virtual reality, 3D printing, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotik, kendaraan otomatis-semi otomatis hingga pemanfaatan smart-home. Dalam Smith (2017) menceritakan bagaimana berkembangnya penggunaan teknologi di dunia terapi okupasi dari awal berdirinya terapi okupasi, hingga perspektifnya melihat penggunaan teknologi dalam terapi okupasi di sekian masa kedepannya. Hari ini pengembangan ilmu terapi okupasi sudah mendekati penerapan teknologi dalam pelayanan di banyak negara, khususnya di negara maju. Dalam melihat aspek klien dengan keterlibatan faktor person-environment-occupation di masa kini, aspek teknologi (technology) kini mulai ditambahkan sebagai tolak ukur dalam memandang klien dan melibatkan dalam intervensi.

Melihat klien secara holistik, selain menghubungkan aspek fisik-psikologis-okupasi-lingkungan dengan melibatkan maupun menambahkan penggunaan teknologi (Smith, 2017); Keterangan. AT: assistive techology, ET: environmental technology, TT: therapeutic technology, ORT: occupation-related technology.

Berkenalan dengan Virtual Reality

Penggunaan Virtual Home 3D – Sumber: https://www.nbcnews.com

Membahas virtual reality, kita mengenal kata reality dan virtual dari segi bahasa berarti kenyataan yang sebenarnya dan kemiripan dengan yang sebenarnya (KBBI, 2020). Realitas virtual menunjukkan kita adanya kenyataan yang mirip dengan yang kita lihat dari mata dan keberadaan kita. Ketika menggunakan virtual reality, kita akan masuk, terhubung dan berada di lingkungan yang berbeda, terlepas dari hal nyata.  Penggunaan virtual reality membutuhkan beberapa persiapan seperti software, hardware dan keterampilan pengguna (Berntsen, Palacios & Herranz, 2016).  Rose (2018) mendeskripsikan virtual reality terbagi atas 3 (tiga) tipe, non-immersive, semi-immersive dan fully immersive. Immersive, dari kata immersion, merupakan komponen penting pembangun lingkungan virtual di mana pengguna dapat sadar karena pengguna secara psikologis, perseptual dan terasa berada di sana (terhubung ke dalam dunia virtual) (Slater et al., 1996).  


Melihat Virtual Reality pada Rehabilitasi Medis

Membuka pembahasan bagaimana pengaruh virtual reality dalam rehabilitasi medik, melansir satu editorial Weiss & Katz (2004) menerangkan adanya lingkungan virtual dapat menjadi potensi yang baik untuk dilibatkan dalam pelayanan rehabilitasi medik. Munculnya virtual reality dalam masa itu menjadi kemajuan yang cukup visioner dan menguntungkan. Keunggulan dari virtual reality yang menghubungkan klien untuk partisipatif kepada lingkungannya (walaupun dengan lingkungan virtual atau mirip lingkungan sebenarnya) tetap dapat berfungsi sama interaktifnya dengan dunia sebenarnya.

Melihat pengembangan virtual reality di ranah rehabilitasi medik, dalam penelitian Kizony, Katz & Weiss (2003), virtual reality di masa lalu dilakukan dengan penggunaan-penggunaan virtual reality terhubung dengan media yang diaplikasikan melalui games untuk melatih klien dengan masalah neuromuskular. Riset berikutnya dalam Moreira et al. (2013), virtual reality juga digunakan dalam intervensi pola jalan pada klien pasca stroke menggunakan virtual reality (VR) device. Hal tersebut menunjukkan manfaat dalam perbaikan pola jalan dengan melibatkan klien pada latihan yang menyenangkan, partisipatif dan memiliki arti bagi klien. Dalam kasus lainnya, intervensi dengan virtual reality menunjukkan pengaruh positif dalam menangani masalah keseimbangan pada klien rawat jalan dengan cedera otak (Cuthbert et al., 2014).


Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakan Virtual Reality di Praktik Terapi Okupasi

Penggunaan Virtual Reality di Rumah – Sumber: https://healthprofessions.missouri.edu/proffitt-vr-ar-lab/  

Dalam penggunaan virtual reality pada klien dalam berbagai setting tentunya terdapat beberapa pertimbangan untuk memutuskan penggunaan virtual reality pada klien. Dalam area pediatri, virtual reality memiliki beberapa pengaruh di antaranya menstimulasi input berbagai sensori, kemampuan gerak, fungsi kognitif dan kinerja area okupasi. Misalnya dalam Galvin & Levac (2011), penggunaan virtual reality memiliki kategori dan fungsi yang berbeda-beda dari setiap sistemnya. Maka, dalam menuju langkah intervensi dan tujuan terapi yang akan diwujudkan, kita perlu menentukan media virtual reality yang tepat. Mengutip Lange et al. (2012), dalam melibatkan virtual reality pada intervensi rehabilitasi terapis perlu memperhatikan ketentuan aktivitas yang diberikan kepada klien, sebagai berikut.

  1. Diperlukan data pemeriksaan yang mendalam dan lengkap agar dapat menentukan target aktivitas terapi dengan tepat.
  2. Menyesuaikan tingkat kesulitan tugas dari yang mudah dilakukan terlebih dahulu.
  3. Mampu dilakukan klien dengan berulang-ulang dan bertahap secara terukur.
  4. Klien maupun terapis mampu memberikan umpan balik (feedback; internal feedback) terhadap kondisi klien demi tercapainya tujuan terapi.
  5. Dapat diperhitungkan, maksudnya dalam mengukur kemampuan klien selama penggunaan perangkat virtual reality dan kemajuan yang diperoleh klien.
  6. Suasana virtual dapat dibuat relevan dengan keadaan dunia sebenarnya termasuk dengan aktivitas fungsional yang dilakukan,
  7. Mampu memotivasi keterlibatan klien dan interaksi klien dengan aktivitas yang dilakukan. 

Menambahkan kembali dari Lange et al. (2012), adapun terdapat ketentuan-ketentuan software virtual reality yang perlu digunakan dalam rehabilitasi seperti (1) adanya pengaturan sistem agar dapat disesuaikan kepada pengguna, (2) platform atau permainan yang bervariasi, (3) terdapat variasi tema-tema tertentu di tiap platform, (4) adanya rangsangan kontrol yang diberikan (oleh sistem virtual reality), (5) terdapat beragam sudut pandang mode penggunaan dalam platform (first-person, third-person, role-play, dan sebagainya), (6) tampilan yang disajikan sistem, (7) feedback sistem yang ditimbulkan, (8) kemampuan pengguna yang dapat dicatat sebagai data, (9) penggunaan oleh banyak pengguna, (10) adanya kecerdasan buatan yang mendukung dan memberikan tantangan kepada pengguna, (11) serta adanya koneksi jaringan, baik media yang digunakan maupun koneksi dengan pusat sistem utama yang dikendalikan terapis. 

Disamping memperhatikan teknis dalam fasilitas, terapis juga perlu memperhatikan masukan dari klien perihal umpan balik (feedback) yang menggunakan virtual reality. Dalam kasus klien stroke pada Lewis et al. (2011), responden menyebutkan dalam memanfaatkan virtual reality ini memberikan tantangan dan perasaan baru kepada mereka, berkesan menunjukkan side effect dibandingkan layanan konvensional dan mencatat bahwa program virtual reality harus memiliki upgrade yang variatif agar dapat memfasilitasi klien dengan lebih baik. 

Dalam penggunaan perangkat virtual reality juga diperlukan dan memerhatikan panduan dan petunjuk penggunaan mencegah kesalahan maupun kecelakaan selama penggunaan. Berikut rangkuman petunjuk penggunaan dalam Class VR (2020).

  1. Pahami dengan tepat petunjuk keamanan dan pencegahan kecelakaan yang lengkap pada website https://www.classvr.com/health-and-safety/
  2. Lakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada perangkat virtual reality Anda sebelum digunakan dan gunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan, ketidaknyamanan penggunaan dan resiko kecelakaan dari perangkat.
  3. Pastikan kondisi Anda benar-bener sehat, tidak memiliki masalah kesehatan utamanya penyakit menular dan beresiko tinggi ketika menggunakan perangkat virtual reality.
  4. Gunakan dengan perangkat virtual reality dengan pengaturan perangkat yang aman dan nyaman bagi Anda.
  5. Batasi waktu penggunaan dalam durasi yang wajar dan aman (anak-anak: tidak lebih dari 15 menit; remaja atau dewasa: tidak lebih dari 30 menit; berikan jeda istirahat 10-15 menit setelah pemakaian).
  6. Setidaknya minta seorang pengasuh maupun pendamping untuk menemani dan mengawasi Anda ketika sedang menggunakan perangkat virtual reality untuk menjamin keamanan dan mencegah resiko kecelakaan (lakukan ini terutama bila Anda merupakan anak-anak maupun lanjut usia).
  7. Bila mengalami keluhan-keluhan setelah menggunakan perangkat, segera hubungi dokter.

Catatan Lebih Lanjut tentang Virtual Reality, Rehabilitasi dan Terapi Okupasi 

Keterlibatan virtual reality dalam praktik rehabilitasi dan terapi okupasi juga tercatat dalam beberapa riset yang telah dilakukan. Pada setting pediatri, ditemukan intervensi virtual reality dalam beberapa kondisi seperti autism spectrum disorder, down syndrome, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. Dalam studi Levac et al. (2017) dan Snider, Majnemer & Darsaklis (2010), menunjukkan pengaruh penggunaan virtual reality pada klien dengan cerebral palsy. Penggunaan virtual reality ini dapat membantu klien untuk melatih kemampuan kontrol motorik, keseimbangan berdiri dan bergerak hingga persiapan berjalan, dan tercatat berpengaruh terhadap level plastisitas, masalah motorik dan visual-perseptual anak. Penggunaan virtual reality di rumah dapat meningkatkan ketertarikan dan partisipasi anak cerebral palsy hingga orang tua/pengasuh untuk melakukan terapi dan mendampingi selama terapi di rumah.

Berikutnya dalam Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015) dengan penggunaan media virtual reality di rumah menunjukkan dampak positif pada pola gerak untuk meraih dan kemampuan fungsional tangan pada anak dengan hemiplegic cerebral palsy. Selain itu dalam penanganan virtual reality pada anak dengan acquired brain injury terdapat pengaruh terhadap motivasi, kepuasan bermain (playfulness), partisipasi, keterlibatan hingga kinerja fungsional anak dalam okupasinya (Bart et al., 2011).

Visualisasi penggunaan virtual reality pada klien cerebral palsy – Sumber: Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015)

Selain dalam kondisi anak dengan cerebral palsy, ditemukan juga pengaruh virtual reality pada anak dengan down syndrome dan autism spectrum disorder level tinggi (Wuang et al., 2011; Gal et al., 2015). Virtual reality pada anak dengan down syndrome ditunjukkan memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsi sensori-motor dan disarankan sebagai layanan tambahan di rumah untuk membantu proses rehabilitasi. Pada anak dengan autism spectrum disorder level tinggi menunjukkan virtual reality dapat berperan meningkatkan interaksi sosial khususnya di lingkungan sekolah.

Hal yang sama juga ditemukan pada Stendal & Baladin (2015) bahwa anak dengan autism spectrum disorder terbantu untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya dengan menggunakan dunia virtual melalui virtual reality. Berada dalam virtual reality membawa anak dalam dunia yang menurutnya lebih menerima keberadaannya (daripada lingkungannya di dunia nyata) dan merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan interaksi dengan pengguna lainnya secara virtual. Dalam menerapkan virtual reality dalam setting pediatri (dalam berbagai kondisi klien) terapis perlu menerapkan inklusivitas penggunaan teknologi dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, ketepatan fungsi dan mampu menyesuaikan klien, serta dapat meningkatkan keterlibatan klien, tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sebenarnya dan memperhatikan perkembangan anak (Chantry & Dunford, 2010). 

Dalam layanan terapi okupasi menggunakan media virtual reality di area fisik dan dewasa, secara khusus pada masalah neuromuskular terdapat beberapa riset yang mendalami hal tersebut. Berikutnya Mekbib et al. (2020); Wiley, Khattab & Tang (2020); Kong et al. (2016); Rand, Weiss & Katz (2009) tercatat membahas perihal peranan virtual reality pada kondisi stroke. Media virtual reality dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan fungsional alat gerak atas, kinerja okupasi dan partisipasi klien, kemampuan memori dan berpikir klien, kemudian juga menunjukkan manfaat untuk memotivasi dan dapat menjadi metode intervensi yang efektif untuk mengembangkan fungsi eksekutif dan memanajemen kemampuan multitasking/koordinasi dalam tugas (Wiley, Khattab & Tang, 2020; Boone, Wolf & Engsberg, 2019; Rand, Weiss & Katz, 2009).

Namun, pernyataan berlawanan dikatakan oleh Kong et al. (2016) bahwa penanganan dalam 12 sesi menggunakan virtual reality untuk latihan alat gerak atas belum dapat menunjukkan efektivitas yang maksimal pada klien dengan stroke. Maka setelah membaca rangkuman bukti ilmiah di atas, efek terapeutik dari virtual reality juga perlu penyesuaian dan ketentuan terapi yang tepat pada setiap klien.

Dalam kasus lain pada Dalam Cole et al. (2009), menghadapkan pasien pasca amputasi dengan stump kepada penggunaan virtual reality menunjukkan penurunan rasa nyeri yang signifikan ketika mengaplikasikan virtual reality dalam mencobakan kepada prostesis yang akan digunakan. Berikutnya dalam Sharar et al., (2008), pemanfaatan virtual reality digunakan kepada pasien dengan luka bakar (combustio) dalam rehabilitasi menunjukkan dampak yang lebih baik terhadap penurunan perasaan nyeri dan meningkatnya perasaan menyenangkan dibandingkan tanpa virtual reality. Kedua fenomena di atas memanfaatkan virtual reality dengan memanfaatkan virtual reality untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan dalam selama penyesuaian menggunakan prosthesis dan  memfasilitasi  latihan lingkup gerak sendi area luka kepada rasa menyenangkan dari virtual reality yang sedang digunakan. 

Game Whack a Mole ciptaan University of Alberta – Sumber: Liu (2014)

Peran virtual reality juga dapat dijumpai di ranah kesehatan jiwa. Penggunaan virtual reality pada klien dengan resiko obesitas menunjukkan respon tubuh yang cukup baik terhadap latihan (Bacon, Farnworth & Boyd, 2012). Riset lain meneliti peran virtual reality pada klien lansia dengan demensia untuk menerapkan terapi kognitif reminiscence tidak menunjukkan pengaruh yang berarti kepada kemampuan kognitif-memori klien dan ditemukan kontraindikasi ringan berupa keluhan nyeri mata, kepala terasa berat, kecemasan, dan perasaan sensitif (Coelho et al., 2020). Penggunaan virtual reality ini sebetulnya dapat menjadi rekomendasi bagi praktik terapi okupasi di setting kesehatan jiwa, dengan asumsi dapat memberikan keamanan dan variasi program yang lebih adaptif dan partisipatif seperti halnya melakukan aktivitas di realitas sebenarnya. Namun, hal tersebut diperlukan pertimbangan yang tepat dalam menerapkan virtual reality kepada beberapa kondisi klien tentu dengan berdasar pada bukti ilmiah yang kuat, relevan dan memperhatikan safety precaution setiap intervensi.


KESIMPULAN

Berada di zaman kemajuan dan digitalisasi, tantangan pelayanan terapi okupasi untuk bertransformasi melibatkan teknologi dalam pemberian layanan, menjadi catatan bagi kita semua untuk memanfaatkan majunya zaman dengan sebaik-baiknya. Di tengah pencarian dan pengembangan bukti ilmiah yang kuat dari pemanfaatan virtual reality dan teknologi lainnya menjadi pencapaian yang sedang dikejar untuk segera diwujudkan untuk menguatkan kebermanfaatan teknologi untuk dilibatkan sebagai media dalam layanan rehabilitasi, utamanya terapi okupasi.

Semoga menginspirasi, semoga berdampak. 


REFERENSI

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Virtual. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/virtual

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Realitas. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/realitas

Bacon, N., Farnworth, L., & Boyd, R. (2012). The Use of the Wii Fit in Forensic Mental Health: Exercise for People at Risk of Obesity. British Journal of Occupational Therapy, 75(2), 61-68. doi:10.4276/030802212×13286281650992

Bart, O., Agam, T., Weiss, P. L., & Kizony, R. (2011). Using video-capture virtual reality for children with acquired brain injury. Disability and Rehabilitation, 33(17-18), 1579-1586. doi:10.3109/09638288.2010.540291

Berntsen, K., Palacios, R. C., & Herranz, E. (2016). Virtual reality and its uses. Proceedings of the Fourth International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality. doi:10.1145/3012430.3012553

Boone, A. E., Wolf, T. J., & Engsberg, J. R. (2019). Combining Virtual Reality Motor Rehabilitation With Cognitive Strategy Use in Chronic Stroke. American Journal of Occupational Therapy, 73(4). doi:10.5014/ajot.2019.030130

Chantry, J., & Dunford, C. (2010). How do Computer Assistive Technologies EnhanceParticipation in Childhood Occupations for Children with Multiple and Complex Disabilities? A Review of the Current Literature. British Journal of Occupational Therapy, 73(8), 351-365. doi:10.4276/030802210×12813483277107

Chen, Y., Garcia-Vergara, S., & Howard, A. M. (2015). Effect of a Home-Based Virtual Reality Intervention for Children with Cerebral Palsy Using Super Pop VR Evaluation Metrics: A Feasibility Study. Rehabilitation Research and Practice, 2015, 1-9. doi:10.1155/2015/812348

ClassVR. (2020). Retrieved April 1, 2021, from https://www.classvr.com/health-and-safety/

Coelho, T., Marques, C., Moreira, D., Soares, M., Portugal, P., Marques, A., . . . Fernandes, L. (2020). Promoting Reminiscences with Virtual Reality Headsets: A Pilot Study with People with Dementia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(24), 9301. doi:10.3390/ijerph17249301

Cole, J., Crowle, S., Austwick, G., & Slater, D. H. (2009). Exploratory findings with virtual reality for phantom limb pain; from stump motion to agency and analgesia. Disability and Rehabilitation, 31(10), 846-854. doi:10.1080/09638280802355197

Cuthbert, J. P., Staniszewski, K., Hays, K., Gerber, D., Natale, A., & O’Dell, D. (2014). Virtual reality-based therapy for the treatment of balance deficits in patients receiving inpatient rehabilitation for traumatic brain injury. Brain Injury, 28(2), 181-188. doi:10.3109/02699052.2013.860475

Gal, E., Lamash, L., Bauminger-Zviely, N., Zancanaro, M., & Weiss, P. L. (2015). Using Multitouch Collaboration Technology to Enhance Social Interaction of Children with High-Functioning Autism. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 36(1), 46-58. doi:10.3109/01942638.2015.1040572

Galvin, J., & Levac, D. (2011). Facilitating clinical decision-making about the use of virtual reality within paediatric motor rehabilitation: Describing and classifying virtual reality systems. Developmental Neurorehabilitation, 14(2), 112-122. doi:10.3109/17518423.2010.535805

James, S., Ziviani, J., King, G., & Boyd, R. N. (2015). Understanding Engagement in Home-Based Interactive Computer Play: Perspectives of Children With Unilateral Cerebral Palsy and Their Caregivers. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 36(4), 343-358. doi:10.3109/01942638.2015.1076560

Kizony, R., Katz, N., & Weiss, P. L. (2003). Adapting an immersive virtual reality system for rehabilitation. The Journal of Visualization and Computer Animation, 14(5), 261-268. doi:10.1002/vis.323

Kong, K., Loh, Y., Thia, E., Chai, A., Ng, C., Soh, Y., . . . Tjan, S. (2016). Efficacy of a Virtual Reality Commercial Gaming Device in Upper Limb Recovery after Stroke: A Randomized, Controlled Study. Topics in Stroke Rehabilitation, 23(5), 333-340. doi:10.1080/10749357.2016.1139796

Lange, B., Koenig, S., Chang, C., Mcconnell, E., Suma, E., Bolas, M., & Rizzo, A. (2012). Designing informed game-based rehabilitation tasks leveraging advances in virtual reality. Disability and Rehabilitation, 34(22), 1863-1870. doi:10.3109/09638288.2012.670029

Levac, D., Mccormick, A., Levin, M. F., Brien, M., Mills, R., Miller, E., & Sveistrup, H. (2017). Active Video Gaming for Children with Cerebral Palsy: Does a Clinic-Based Virtual Reality Component Offer an Additive Benefit? A Pilot Study. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 38(1), 74-87. doi:10.1080/01942638.2017.1287810

Lewis, G. N., Woods, C., Rosie, J. A., & Mcpherson, K. M. (2011). Virtual reality games for rehabilitation of people with stroke: Perspectives from the users. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 6(5), 453-463. doi:10.3109/17483107.2011.574310

Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy, 85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179

Moreira, M. C., Lima, A. M., Ferraz, K. M., & Rodrigues, M. A. (2013). Use of virtual reality in gait recovery among post stroke patients – a systematic literature review. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 8(5), 357-362. doi:10.3109/17483107.2012.749428

Rand, D., Weiss, P. L. (T.), & Katz, N. (2009). Training multitasking in a virtual supermarket: A novel intervention after stroke. American Journal of Occupational Therapy, 63, 535–542. 

Rose, T., Nam, C. S., & Chen, K. B. (2018). Immersion of virtual reality for rehabilitation – Review. Applied Ergonomics, 69, 153-161. doi:10.1016/j.apergo.2018.01.009

Slater, M., Linakis, V., Usoh, M., Kooper, R., 1996. Immersion, presence, and performance in virtual environments: an experiment with tri-dimensional chess. In: Proceedings of the 3rd {ACM} Symposium on Virtual Reality Software and Technology ({VRST} 1996), Hong Kong, China, pp. 163–172 10.1.1.34.6594.

Smith, R. O. (2017). Technology and Occupation: Past, Present, and the Next 100 Years of Theory and Practice. American Journal of Occupational Therapy, 71(6). doi:10.5014/ajot.2017.716003

Snider, L., Majnemer, A., & Darsaklis, V. (2010). Virtual reality as a therapeutic modality for children with cerebral palsy. Developmental Neurorehabilitation, 13(2), 120-128. doi:10.3109/17518420903357753

Stendal, K., & Balandin, S. (2015). Virtual worlds for people with autism spectrum disorder: A case study in Second Life. Disability and Rehabilitation, 37(17), 1591-1598. doi:10.3109/09638288.2015.1052577

Weiss PL, Katz N. The potential of virtual reality for rehabilitation. J Rehabil Res Dev. 2004 Sep; 41(5) : vii-x. PMID: 15558392.

Wiley, E., Khattab, S., & Tang, A. (2020). Examining the effect of virtual reality therapy on cognition post-stroke: A systematic review and meta-analysis. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 1-11. doi:10.1080/17483107.2020.1755376

Wuang, Y., Chiang, C., Su, C., & Wang, C. (2011). Effectiveness of virtual reality using Wii gaming technology in children with Down syndrome. Research in Developmental Disabilities, 32(1), 312-321. doi:10.1016/j.ridd.2010.10.002

Mencapai Tujuan Terapi Okupasi Melalui Occupational Performance Coaching

Belajar didampingi Ibu – Gambar oleh Chuck Underwood dari Pixabay

Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel. 

Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka


Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi

Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).

Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini. 

Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org

Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.


Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi

Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC)

Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan. 


Seberapa Efektif Occupational Performance Coaching (OPC)?

Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.

Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.


Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi

Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:

  1. OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
  2. Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
  3. Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/

Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:

  1. Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
  2. Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
  3. Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
  4. Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.

Prosedur Penerapan Occupational Performance Coaching (OPC)

Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:

  1. Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan), 
  2. Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
  3. Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.

Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus

Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:

  1. Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang dituju tentu menyesuaikan individual klien.
  2. Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
  3. Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
  4. Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri. 

Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada. 

Sekian, semoga memberikan dampak.


Referensi

Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation, 41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398

Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993

Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy, 77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7

Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581

Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy, 77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791

Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation, 40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474

Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal, 62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175

Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466

Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation, 42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521

Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal, 66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573

Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy, 68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006

Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation, 26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932

Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury, 32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365


Artikel Suplemen

Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119

Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development, 36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x

Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy, 82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944

Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy, 4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219

Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation, 30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256

Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845

Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy, 81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869

Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy, 81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001

Instagram