Mempersiapkan Kemampuan Menulis Anak Selama Dirumah

Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak dituntut untuk dapat melakukan aktivitas menulis sebagaimana menulis sangat mempengaruhi performa akademik anak di sekolah. Tidak sedikit anak yang mengalami kesulitan dalam aktivitas menulis yang mengakibatkan anak mengalami hambatan belajar.

Menulis merupakan proses yang kompleks dalam melakukannya seseorang harus mengelola bahasa tertulis dengan mengkoordinasikan mata, lengan, tangan, pegangan pensil, pembentukan huruf, dan postur tubuh (AOTA, 2021).

Situasi pandemi menuntut anak untuk belajar dengan orang tua dirumah. Tak sedikit orang tua yang kebingungan dalam melatih anak yang mengalami hambatan dalam menulis.

Ketika dihadapi dengan anak dengan kesulitan menulis terapis okupasi dapat mengevaluasi komponen yang mendasari & mendukung tulisan tangan anak, seperti kekuatan otot, daya tahan, koordinasi & kontrol motorik. Selanjutnya, orang tua dapat mendorong kegiatan di rumah untuk mendukung keterampilan tulisan tangan yang baik (AOTA, 2021).

Berikut aktivitas- aktivitas untuk mengembangkan kemampuan menulis anak yang orangtua dapat lakukan dirumah.

Meningkatkan Kekuatan Otot dan Daya Tahan

Ketika anak belajar menulis terdapat beberapa kekuatan otot yang penting dan sangat diperlukan yaitu kekuatan otot postur atau batang tubuh, leher hingga kepala, bahu hingga jari-jari. Selain itu, daya tahan otot yang baik pada anak ketika melakukan aktivitas juga sangat penting.

Ketika anak memiliki kekuatan otot yang lemah dan daya tahan yang rendah maka anak tidak dapat menulis dengan performa yang maksimal. Aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk mengembangkan bagian tersebut, sebagai berikut :

Merangkak

Stick Ladder untuk melatih kekuatan otot postur dan ketangkasan alat gerak (Img. pinterest.com)

Melakukan animal exercise 

Bergerak menyerupai hewan (Img. pinterest.com)

Melalukan yoga maupun olahraga lain

Terutama olahraga yang anak minati seperti badminton, lempar tangkap bola, basket dan lain-lain.

Yoga dengan gaya hewan-hewan untuk melatih fleksibilitas tubuh (Img. pinterest.com)

Koordinasi Mata dan Tangan

Koordinasi adalah kemampuan sistem penglihatan untuk mengkoordinasikan informasi yang diterima melalui mata untuk mengontrol, membimbing, dan mengarahkan tangan dalam pencapaian tugas yang diberikan, seperti tulisan tangan atau menangkap bola.

Penggunakan mata dalam koordinasi mata-tangan berguna untuk mengarahkan perhatian dan tangan untuk melaksanakan tugas (Children’s health , 2021).

Hal ini semakin menjelaskan betapa pentingnya kemampuan koordinasi mata tangan bagi anak salah satunya untuk aktivitas menulis dimana anak harus memegang kertas dan pensil kemudian menuliskan huruf diatasnya.

Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk meningkatkan koordinasi mata tangan: 

Melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari, seperti memasak dan berkebun.

Saat memasak anak akan belajar bagaimana memotong sayuran, menggulung-gulung adonan, mengukur panjang adonan, menyekop tanah untuk menanam bunga dan menyiram tanaman. Aktivitas-aktivitas tersebut sangat sesuai untuk mengembangkan kemampuan koordinasi mata tangan anak.

Bermain memukul bola
(Img. pinterest.com)
Ikut dalam kegiatan dapur (Img. pixabay.com)

Membantu kegiatan berkebun di rumah (Img. pixabay.com)

Ajak anak bermain aktivitas finger games
seperti finger painting, menulis di atas pasir, capit-capit popcorn dan lain-lain.
Finger Painting (Img. pixabay.com)
Bermain Sensory Bin (Img. pixabay.com)

Koordinasi Motorik Halus (Grasp dan Manipulasi jari-jari)

Saat anak mulai menggunakan pensil untuk menulis maka anak harus memiliki pola genggaman serta manipulasi jari-jari yang baik. Seiring bertambahnya usia anak-anak, keterampilan motorik halus mereka juga berkembang lebih lanjut untuk memungkinkan manipulasi objek yang lebih tepat.

Keterampilan motorik halus penting untuk pengembangan tulisan tangan. Ditemukan bahwa kesalahan menulis yang biasa dibuat oleh siswa kelas satu sebagian besar disebabkan oleh kesulitan dalam kontrol motorik halus (Feder &Majnemer 2007).

Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan koordinasi motoriK halus anak :

Aktivitas Menghias Kue 

Saat anak melakukan aktivitas menghias kue, secara langsung anak sudah dilatih dalam meningkatkan kemampuan menggenggam saat anak menggulung adonan, menghias dengan krim dalam wadah dan juga manipulasi jari-jari saat menghias dengan coklat atau permen di atas kue atau cookies.

Ikut membuat cookies di rumah (Img. pixabay.com)
Berkreasi dengan cookies yang beranekaragam (Img. pixabay.com)
Bermain Mainan Tradisional, seperti Kelereng dan Congklak 

Saat bermain kelereng, maupun congklak anak akan terstimulasi dalam meningkatkan kemampuan manipulasi jari- jarinya. Selain manipulasi jari- jari secara tidak langsung permainan ini dapat mengasak konsentrasi dan kemampuan berpikir anak.

Bermain kelereng di rumah (Img. pixabay.com)
Congklak (Img. pixabay.com)

Kesimpulan 

Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang didapati dari latihan -latihan, sehingga anak sangat perlu difasilitasi dan dipersiapkan untuk dapat memiliki kemampuan menulis yang baik. Menulis merupakan aktivitas yang melibatkan banyak kemampuan seperti kekuatan otot dan ketahanan, koordinasi mata tangan dan motorik halus.

Pasca masa pandemi, banyak sekali anak yang masih cenderung menghabiskan waktunya dengan gadget atau screen time, sehingga anak mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan aktivitas menulis tangan. Hal tersebut dapat disiasati dengan memberikan aktivitas- aktivitas yang dapat dilakukan orangtua bersama anak dirumah.

Referensi

AOTA (2021). Handwriting. https://www.aota.org/About-Occupational-Therapy/Patients-Clients/ChildrenAndYouth/Schools/Handwriting.aspx

Hans-eye Coordination, diakses dari : http://www.healthofchildren.com/G-H/Hand-Eye-Coordination.html (23 Desember 2021)

Feder, K.P. & Majnemer, A. 2007. Handwriting development, competency, and intervention. Developmental Medicine & Child Neurology 49(4): 312-317.

Department of Occupational Therapy, Royal Children’s Hospital (2005). Occupational therapy : pre-writing activitiy idea. Melbourne. https://www.rch.org.au/uploadedFiles/Main/Content/ot/InfoSheet_H.pdf

Neurodevelopmental Treatment (NDT); Apakah (Masih) Efektif?

Neurodevelopmental Treatment (NDT) (Img. bisamandiri.com)

Neurodevelopmental Treatment (NDT) adalah bentuk layanan rehabilitasi medik yang diberikan oleh profesi kesehatan terkait kepada klien dengan masalah sistem saraf pusat (SSP), seperti cerebral palsy, stroke, traumatic brain injury, pun masalah terkait SSP lainnya. Pendekatan NDT pun menjadi salah satu pendekatan yang populer digunakan terapis di pelayanan rehabilitasi medik untuk memberikan pelayanan kepada klien.

Namun, temuan riset terbaru dikatakan bahwa NDT tidak lagi dianjurkan dalam praktik klinis, kenapa? Mari kita simak pembahasan berikut.


Mengenal Neurodevelopmental Treatment (NDT)

Neurodevelopmental Treatment (NDT) merupakan produk berwujud konsep, teori dan kerangka praktik yang biasa kita kenal sebagai: Metode Bobath, yang dapat diterapkan oleh profesi kesehatan di ranah pediatri – rehabilitasi medik, utamanya oleh fisioterapi maupun terapi okupasi.

Seputar NDT atau metode Bobath berikut, mengutip Vaughan-Graham & Cott (2016) terdapat 3 (tiga) poin kunci dari Bobath, yakni (1) analisis gerak dari tahapan aktivitas, (2) keseimbangan postur tubuh dengan gerakan, dan (3) peran senso-motor dalam kontrol motorik. Ketika diterapkan dalam praktik, metode Bobath berdasar kepada berikut (Graham et al., 2009):

  1. Fasilitasi gerak oleh terapis secara hands-on, sekaligus memberikan input sensori yang dapat membantu meningkatkan kontrol postural.
  2. Latihan gerak untuk memperoleh kualitas pola gerak motorik yang normal; dengan meminimalkan pola gerak tidak normal (atypical). 

Bobath: Perspektif Lama vs Baru

Metode Bobath mengalami perkembangan secara ilmu pengetahuan dan praktis. Berikut di bawah merupakan ulasan mengenai gambaran Bobath metode lama dan metode baru. 

Diterjemahkan dari paparan Dr. Maheshwari Harishchandre (https://www.slideshare.net/Vimscopt/bobath-approaches)

Kajian konten ini membahas pandangan riset terbaru terhadap metode Bobath lama yang ditemukan dalam riset pada ranah pediatri, dengan sampel anak dengan masalah cerebral palsy.


Neurodevelopmental Treatment (NDT) dalam Praktik Terapi Okupasi

Metode Bobath pada Anak (Img. secangkirterapi.com)

Pada konteks layanan terapi okupasi di Indonesia, penggunaan metode NDT pada ranah pediatri rasanya cukup banyak dikenal dan dilakukan. Namun, ketika mencoba menemukan referensi penerapan metode NDT dengan praktik terapi okupasi pada pediatri edisi terbaru beberapa tahun ke belakang, rasanya tidak banyak. Berikut merupakan rangkuman dari beberapa temuan.

Behzadi, Noroozi, Mohamadi (2014) melakukan tindakan kepada sampel cerebral palsy dengan membandingkan antara penggunaan NDT saja (1) dengan NDT dikombinasikan dengan home program terapi okupasi (2). Pelaksanaan pada (1) dilakukan dengan menyesuaikan prinsip Bobath seperti fasilitasi dan inhibisi saja di lahan praktik, sedangkan pada (2) dilakukan Bobath dengan diberikan tambahan dengan program home-based menggunakan pamflet dan kaset tutorial.

Melalui perbandingan berikut diperoleh pada (2) dengan kombinasi NDT dan home-based menunjukkan peningkatan lebih baik.

Riset dengan hasil serupa juga terdapat dalam Russell et al. (2017) dengan menerapkan Combined Therapy Approaches (CAT) pada sampel anak cerebral palsy, kombinasi antara NDT dengan kerangka konsep lain, dengan satu grup kontrol yang diukur secara pre-post menunjukkan pengaruh yang lebih baik poin tingkat kemandirian anak pada post terapi.


Melihat Efektivitas Neurodevelopmental Treatment (NDT) – 5 Tahun Terakhir

Menerapkan Bobath pada Anak (Img. littlestepspt.com)

Melalui kajian riset terkini dengan sajian review sistematik seputar NDT dalam praktik terapi okupasi maupun rehabilitasi medik pada pediatri, sebagai berikut.

Dampak pada Komponen & Fungsi Tubuh Manusia

Melalui kajian Novak & Honan (2019), dikatakan bahwa penerapan NDT (metode lama; secara pasif) pada CP termasuk dalam kelompok tidak efektif dan disarankan tidak dilakukan, dibandingkan dengan bimanual therapy, constraint induced movement therapy (CIMT) dan pendekatan lain. Dalam dimensi melatih fungsional anak, NDT juga tidak tercantum sebagai kerangka praktik di segala kelompok. Penggunaan pendekatan family centered care mapun lainnya lebih disarankan untuk dilakukan.

Dinukil dari Novak & Honan (2019). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).

Kajian lain oleh Novak et al. (2020) menyajikan rambu-rambu pendekatan rehabilitasi dan penanganan fungsional pada cerebral palsy dengan hasil sebagai berikut. Ditemukan bahwa pendekatan NDT (melalui kajian literature-literatur) pada beberapa kolom kemampuan anak. dikatakan tidak disarankan hingga dilarang penggunaannya untuk penanganan. 

Dinukil dari Novak et al. (2020). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).

Mengapa demikian?

Menyoroti pengaruh NDT pada dimensi motorik dan fungsional dengan merangkum dari Novak & Honan (2019) & Novak et al. (2020), melihat dimensi motorik dan kemampuan fungsional anak cerebral palsy bertujuan untuk memberikan pengalaman bergerak, beraktivitas secara langsung dan terfasilitasi dengan mandiri dapat meningkatkan fungsi kompleks dari neuroplastisitas otak anak. Sebaliknya, ketika menggunakan NDT, SI dan metode lain pada diagram, tidak membelajarkan & memberikan pengalaman aktif kepada anak sehingga tidak mengaktifkan kerja fungsi motorik di otak. 

Penanganan yang bersifat top-down yang diaplikasikan pada anak CP lebih memberikan pengalaman dan hasil yang nyata daripada pendekatan bottom-up dari pendekatan NDT/Bobath & SI (metode lama) (Novak & Honan, 2019)


NDT vs Pendekatan Lainnya

Riset dari te Velde et al. (2022) menelisik seputar efektivitas pendekatan NDT dibandingkan dengan pendekatan berbasis aktivitas (activity-based) dalam beragam dimensi & model penerapan, penggunaannya untuk meningkatkan fungsi motorik pada anak dan bayi dengan CP maupun resiko tinggi CP. 

Bimanual Training & Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) (Img. www.cimt.co.uk)

Rangkuman kajian tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian dampak; (1) latihan activity-based lebih diunggulkan, (2) latihan struktur-fungsi tubuh sepadan dengan NDT, dan (3) NDT & berapapun dosis terapi NDT tidak dianjurkan dilakukan.

Mengapa demikian?

  1. Temuan efektivitas activity-based ketika melibatkan anak untuk aktif dan mandiri dalam sesi terapi lebih meningkatkan pencapaian anak (dibandingkan menggunakan NDT yang masih difasilitasi). Keterlibatan lingkungan yang sebenarnya, beragam dan menyenangkan membuat anak lebih banyak belajar.
    • Eliasson et al. (2014) menyebutkan activity based pada bayi resiko tinggi CP melibatkan lingkungan penuh mainan yang sesuai dengan kemampuan motorik anak & berkembang sesuai level kognitif perkembangannya ketika sesi terapi dilakukan, seperti kalung, mainan masak-masakan, mainan halus-kasar, dan sebagainya.
  1. Temuan riset latihan berbasis fungsi-komponen tubuh dibandingkan dengan penarapan NDT, menunjukkan dampak yang sama (meningkatkan fungsi motorik tubuh), akan tetapi tidak banyak ditemukan varian riset lain dan masih ditemukan bias.
  2. Penggunaan pendekatan NDT metode lama dianjurkan untuk tidak digunakan dalam pelayanan kepada bayi dan anak dengan CP maupun resiko tinggi CP. 
    • Hal tersebut disebabkan berdasarkan kajian meta analisis dan review sistematik, ditemukan dampak activity-based lebih baik daripada NDT lama dalam sampel yang memadai & bias relatif rendah, pun kajian yang tersedia tidak cukup memadai dan terpercaya lewat hasil data statistik (te Velde et al., 2022).
  1. Batasi tindakan yang tidak efektif seperti: membantu, menggerakkan dan memposisikan – dengan tujuan menormalisasi gerakan maupun membatasi gerak abnormal, tonus & refleks, melakukan stretching pasif, memberikan input sensori maupun vestibular.
  2. Perbanyak membelajarkan pola gerak aktif, bertahap, berulang dan  bervariasi pada setiap tugas aktivitas, memberikan umpan balik terhadap kemampuan anak, menetapkan tujuan terapi yang sebenarnya dan mengembangkan keterampilan problem-solving anak.

Ulasan-ulasan di atas banyak menyoroti kajian seputar efektivitas NDT lama dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat activity-based (seperti CIMT, bimanual training dsb.) pada populasi CP di beragam kondisi dan usia perkembangan. 

Sejelasnya, uji efektivitas tersebut diseleksi berdasarkan metodologi riset, baik secara review sistematik dan/maupun meta analisis, terhadap beragam literatur menyesuaikan pada kata kunci akses literaturnya; misalnya: neurodevelopmental treatment, cerebral palsy

Berlanjut kepada membandingkan signifikansi hasil dari setiap literatur terseleksi hingga menarik kesimpulan: penerapan pendekatan NDT lama dalam praktik menunjukkan dampak tidak lebih baik daripada pendekatan lainnya, utamanya pendekatan yang bersifat activity-based.


Kesimpulan

Penggunaan pendekatan NDT (metode lama) bila dihubungkan dengan tren dan tujuan rehabilitasi kesehatan masa kini yang bersifat partisipatif dan melibatkan kepada lingkungan sebenarnya (perspektif top-down) tidak lagi relevan dan sejalan.

Perlunya kolaborasi, kombinasi, upgrade kepada perspektif NDT metode baru maupun tidak menerapkan NDT dengan mengaplikasikan metode yang evidence-based  lainnya, kiranya dapat memberikan pelayanan yang lebih maksimal, memberikan pengalaman lebih partisipatif dan aktif kepada klien, sejalan ke arah occupation-centered dan client-centered pada layanan terapi okupasi pediatri.

Referensi

Ann-Christin Eliasson, Linda Nordstrand, Linda Ek, Finn Lennartsson, Lena Sjöstrand, Kristina Tedroff, Lena Krumlinde-Sundholm. The effectiveness of Baby-CIMT in infants younger than 12 months with clinical signs of unilateral-cerebral palsy; an explorative study with randomized design. Research in Developmental Disabilities,Volume 72, 2018, 191-201. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2017.11.006.

Anna te Velde, Catherine Morgan, Megan Finch-Edmondson, Lynda McNamara, Maria McNamara, Madison Claire Badawy Paton, Emma Stanton, Annabel Webb, Nadia Badawi, Iona Novak; Neurodevelopmental Therapy for Cerebral Palsy: A Meta-analysis. Pediatrics June 2022; 149 (6): e2021055061. 10.1542/peds.2021-055061

Behzadi, Faranak & Noroozi, Hesammedin & Mohamadi, Marzieh. (2014). The Comparison of Neurodevelopmental-Bobath Approach with Occupational Therapy Home Program on Gross Motor Function of Children with Cerebral Palsy. Journal of Rehabilitation sciences and Research. 1. 21-24.

Graham JV, Eustace C, Brock K, Swain E, Irwin-Carruthers S. The Bobath concept in contemporary clinical practice. Top Stroke Rehabil. 2009;16(1):57–68

Novak, I. and Honan, I. (2019), Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Aust Occup Ther J, 66: 258-273. https://doi.org/10.1111/1440-1630.12573

Novak, I., Morgan, C., Fahey, M. et al. State of the Evidence Traffic Lights 2019: Systematic Review of Interventions for Preventing and Treating Children with Cerebral Palsy. Curr Neurol Neurosci Rep 20, 3 (2020). https://doi.org/10.1007/s11910-020-1022-z

Russell, Dorothy Charmaine, Scholtz, Christa, Greyling, Petro, Taljaard, Marin, Viljoen, Elmien, & Very, Corné. (2018). A pilot study on high dosage intervention of children with CP using combined therapy approaches. South African Journal of Occupational Therapy48(2), 26-33. https://dx.doi.org/10.17159/2310-3833/2017/vol48n2a5

Vaughan-Graham J, Cott C. Defining a Bobath clinical framework – a modified e-Delphi study. Physiother Theory Pract. 2016;32(8):612–627

Terapi Stem Sel pada Pediatric Neurodevelopmental Disorder

Penelitian tentang terapi pada kasus neurodevelopmental disorder terus berkembang tahun ke tahun. Banyak peneliti berusaha untuk menemukan cara terbaik untuk menangani gangguan yang mendasari gangguan neurodevelopmental. Gangguan neurodevelopmental adalah disabilitas yang terkait dengan fungsi sistem neurologis dan otak. Umumnya terjadi pada perkembangan awal dan ditandai dengan defisit perkembangan yang mengakibatkan gangguan fungsi seseorang, sosial, akademik, atau pekerjaan. Secara luas defisit gangguan berkisar mulai dari keterbatasan keterampilan belajar atau komunikatif, hingga yang lebih spesifik adalah gangguan global, interaksi sosial atau fungsi intelektual (American’s Children and the Environment (2015) & Ahn (2017)).

Meskipun gangguan Neurodevelopmental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),  Autism Spectrum Disorder (ASD) Intellectual Disabilty, Cerebral Palsy dan lain-lain umumnya terjadi saat masa kecil namun kondisinya dapat terus ada seumur hidup. Saat ini, perawatan yang tersedia seperti fisioterapi, terapi okupasi, terapi perilaku, intervensi  psikologi, terapi wicara dan intervensi farmakologi hanya fokus pada meringankan gejala gangguan ini dan tidak mengatasi neuropathophysiology yang mendasarinya (Sharma, et al., 2017). Para ilmuwan saat ini pun sedang mengembangkan penggunaan stem sel sebagai terapi karena stem sel diyakini dapat menjadi pilihan lain yang menjanjikan untuk menyembuhkan penyakit.


Apa itu stem sel?

Stem sel  menjadi topik yang banyak dibicaran tahun-tahun terakir ini di dunia medis. Stem sel atau ratu dari semua sel (Queen of all cells) adalah sel yang bersifat pleuropoten dan memiliki potensi luar biasa untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda dalam tubuh tanpa memiliki batas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Secara fundamental stem sel tidak memiliki struktur jaringan spesifik yang dapat membentuk fungsi spesifik tertentu. Namun bila dapat dikembangkan ke dalam fungsi spesifik, hal itulah yang dapat dimanfaatkan dalam dunia medis untuk membentuk sel otot jantung, sel darah dan sel saraf (Hassan, Hassan, G., & Rasool, 2009)

Stem sel ada di hampir setiap jaringan manusia, di dalam embrio, mereka berdiferensiasi ke semua jaringan dan organ tubuh, dan pada manusia yang berkembang sepenuhnya stem sel menyediakan kapasitas pembaruan di sebagian besar organ. Stem sel memiliki berbagai bentuk dan masing-masing memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut mengacu pada kemampuan stem sel untuk mereplikasi dan berdiferensiasi ke dalam tipe sel yang berbeda (Alessandrini, et al., 2019).


Bagaimana Mekanisme Stem Sel Pada Kasus Neurodevelopmental Disorder?

Beberapa tipe atau jenis stem sel ditemukan untuk treatment gangguan neurologis seperti bone marrow stem cells, embryonic stem cells, olfactory ensheathing cells dan umbilical cord blood cells (Sharma, et al., 2017). Tujuan dari terapi stem sel adalah untuk menempatkan sel terapeutik ke daerah sel yang terganggu / rusak di dalam otak, untuk merangsang perbaikan dan memelihara jaringan melalui efek parakrin (memberikan sinyal dari sel ke sel lain) , dan bahkan berpotensi untuk menghasilkan neuron baru (meskipun untuk menghasilkan neuron baru kemungkinan terjadinya lebih kecil) (Alessandrini, et al., 2019). 

Saat stem sel ditransplantasikan, stem sel akan bermigrasi dan pergi ke area otak yang terdapat gangguan Kemudian dipasangkan dengan faktor pertumbuhan (growth factors), chemokine dan reseptor matriks ekstraseluler pada permukaan sel seperti stromal cell-derived factor 1 (SDF‑1), monocyte chemo attractant protein‑3 (MCP‑3), stem cell factor (SCF) dan/atau IL‑8. Mereka kemudian berdiferensiasi ke dalam sel jaringan inang dan mengganti jaringan neuronal yang rusak atau mati. Melalui mekanisme parakrin mereka menghentikan cedera lebih lanjut dan merangsang sel-sel endogen untuk melakukan proses perbaikan dan pemulihan.

Kemudian stem sel mengeluarkan beragam faktor pertumbuhan neuroprotektif termasuk faktor neurotrofi yang berasal dari otak (Brain‐Derived Neurotrophic Factor), faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor), neurotrophin-3 (NT‑3), garis sel glial – faktor neurotrofi yang diturunkan (glial cell line–derived neurotrophic factor) dan insulin seperti growth factor tipe 1. Faktor-faktor pertumbuhan ini mengaktifkan sejumlah jalur sinyal dan membantu dalam meningkatkan diferensiasi, kelangsungan hidup sel saraf dan mempertahankan fungsi persarafan.

Mereka juga menghasilkan vaskular endothelial growth factor (VEGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF‑2) yang meningkatkan aliran darah dan meningkatkan angiogenesis (perkembangan sel darah baru). Faktor parakrin anti-inflamasi seperti Interleukin 10 (IL 10) dan Transforming growth factor (TGF)-β membantu dalam imunomodulasi (Sharma, et al., 2017).

Mekanisme aksi dari stem sel dalam gangguan neurologi pada pediatri.

Stem Sel Pada Pada Kondisi Autisme, Cerebral Palsy dan Intellectual Disability

Stem sel pada Autisme

Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al., (2013) tentang stem sel untuk anak dengan autism, dengan jumlah responden 32 anak autism dan dilakukan follow-up selama 26 bulan dengan menggunakan pemeriksaan Childhood Autism Rating Scale (CARS), Indian Scale for Autism Assessment (ISAA), Clinical Global Impression (CGI) dan Functional Independence Measure (FIM/Wee‐FIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 dari 32, (91%) anak mengalami peningkatan pada pemeriksaan ISAA, dan 20 (62%) anak mengalami penurunan yang cukup signifikan pada pemeriksaan CGI-I dan pada pemeriksaan CGI-II 96% anak menunjukan perkembangan secara menyeluruh.

Persentase peningkatan kemampuan pada Autisme setelah terapi stem sel.

Stem Sel pada Cerebral Palsy

Patologis utama dari cerebral palsy adalah kerusakan pada white matter. Stem sel pada cerebral palsy bertujuan untuk memperbaiki dan menggantikan white matter yang rusak. Penelitian tentang terapi stem sel pada cerebral palsy sudah banyak dilakukan. Dua puluh enam Studi yang telah dipublikasikan menunjukan 90% anak menunjukan perkembangan setelah terapi stem sel (Sharma, et al., 2017). Kemudian studi yang dilakukan oleh Sharma, et al,. (2015) berjudul A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients menunjukan 38 dari 40 responden (95%) menunjukan perkembangan dan 2 lainnya menunjukan hasil stabil tanpa ada penurunan. 

Peningkatan pada Cerebral Palsy setelah terapi stem sel.

Stem Sel pada Intellectual Disability

Pada kasus intellectual disability stem sel berfungsi untuk mengembalikan sinaptik penghubung yang terputus dan memberikan reinnervasi lokal ke area yang terkena dampak. Selain itu juga stem sel berfungsi mengintegrasikan jaringan saraf dan sinaptik yang ada dan membangun kembali koneksi sel-sel afferent fungsional dan efferent yang mungkin telah berkontribusi dalam memulihkan defisit kognitif dan fungsional pada ID (Kang H & Schuman EM (1995) dalam Sharma, et al., (2017)).

Studi yang dilakukan Sharma, et al., (2015) tentang stem sel pada mental retardasi (MR) dimana laporan menunjukan bahwa responden (seorang anak laki-laki) berusia 13 tahun dengan cacat intelektual yang menunjukkan peningkatan setelah terapi stem sel. Dia ditindak lanjuti setelah 3 dan 6 bulan intervensi. Tidak ada peristiwa buruk terjadi pasca intervensi. Selama 6 bulan, ia menunjukkan peningkatan kontak mata, kognisi, kemampuan belajar, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Skornya pada Pengukuran Kemandirian Fungsional (FIM) meningkat dari 67 menjadi 76. Selain itu juga pada pra dan pasca PET-CT scan, menunjukkan peningkatan aktivitas metabolisme hippocampus, amygdala kiri dan cerebellum. Perubahan ini berkorelasi dengan hasil fungsional.


Kesimpulan

Terapi stem sel merupakan inovasi teknologi yang memiliki efek penyembuhan pada gangguan “neurologi” kondisi neurodevelopmental disorders, namun, faktor “perkembangan” juga mempengaruhi plastisitas otak dan  maturasi sel. Gabungan antara stem sel dan intervensi rehabilitasi diasumsikan memiliki efek pemulihan dan perkembangan yang lebih baik. Oleh karena itu, studi lanjut diperlukan untuk mengetahui efek gabungan antara terapi stem sel dan intervensi rehabilitasi terutama pada gangguan neurodevelopmental disorders.


Referensi

American’s Children and the Environment.(2015). Neurodevelopemntal Disorder. EPA Govermen Production. USA https://www.epa.gov/sites/production/files/2015-10/documents/ace3_neurodevelopmental.pdf 

Ahn, D. H. (2016). Introduction: neurodevelopmental disorders. Hanyang Medical Reviews36(1).

Sharma, A., Sane, H., Gokulchandran, N., Badhe, P., Kulkarni, P., Pai, S., … & Paranjape, A. (2017). Stem cell therapy in pediatric neurological disabilities. Physical Disabilities-Therapeutic Implications117.

Hassan, A. U., Hassan, G., & Rasool, Z. (2009). Role of stem cells in treatment of neurological disorder. International journal of health sciences3(2), 227.

Alessandrini, M., Preynat-Seauve, O., De Bruin, K., & Pepper, M. S. (2019). Stem cell therapy for neurological disorders. South African Medical Journal109(8 Supplement 1), S71-S78. https://www.icddelhi.org/Stem_cell_therapy.html

Sharma A, Gokulchandran N, Sane H, Nagrajan A, Paranjape A, et al. Autologous bone marrow mononuclear cell therapy for autism – An open label proof of concept study. Stem Cells International. 2013;2013:13 pages. Article ID 623875.

Sharma A, Sane H, Gokulchandran N, Kulkarni P, Gandhi S, et al. A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients: a new frontier. Stem Cells International. 2015;2015:11 pages. Article ID 905874

Sharma A, Sane H, Paranjape A, Gokulchandran N, Kulkarni P, Nagrajan A, Badhe P. Positron emission tomography–computer tomography scan used as a monitoring tool following cellular therapy in cerebral palsy and mental retardation – A case report. Case Reports in Neurological Medicine. 2013;2013:6 pages. Article ID 141983

Mencapai Tujuan Terapi Okupasi Melalui Occupational Performance Coaching

Belajar didampingi Ibu – Gambar oleh Chuck Underwood dari Pixabay

Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel. 

Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka


Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi

Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).

Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini. 

Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org

Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.


Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi

Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC)

Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan. 


Seberapa Efektif Occupational Performance Coaching (OPC)?

Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.

Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.


Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi

Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:

  1. OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
  2. Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
  3. Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/

Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:

  1. Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
  2. Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
  3. Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
  4. Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.

Prosedur Penerapan Occupational Performance Coaching (OPC)

Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:

  1. Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan), 
  2. Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
  3. Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.

Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus

Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:

  1. Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang dituju tentu menyesuaikan individual klien.
  2. Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
  3. Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
  4. Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri. 

Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada. 

Sekian, semoga memberikan dampak.


Referensi

Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation, 41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398

Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993

Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy, 77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7

Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581

Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy, 77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791

Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation, 40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474

Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal, 62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175

Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466

Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation, 42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521

Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal, 66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573

Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy, 68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006

Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation, 26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932

Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury, 32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365


Artikel Suplemen

Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119

Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development, 36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x

Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy, 82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944

Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy, 4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219

Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation, 30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256

Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845

Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy, 81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869

Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy, 81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001

Instagram