Praktik Terapi Okupasi Pada Perawatan Paliatif (Palliative Care)

Merawat layanan paliatif (Img: media.mehrnews.com)

Ketika kita membahas tentang peran terapis okupasi rasanya tidak pernah ada batasannya. Salah satu tujuan terapis okupasi adalah membuat hidup klien kita menjadi lebih bermakna dengan ataupun tanpa kondisi yang klien alami.

Praktisi terapi okupasi berperan penting pada tim perawatan paliatif dan hospice (perawatan terminal atau stadium akhir) dengan mengidentifikasi peran dan kegiatan kehidupan (occupation) yang bermakna bagi klien dan mengatasi hambatan yang dialami klien dalam melakukan aktivitas kesehariannya.

Tidak seperti penyedia layanan kesehatan lainnya, terapis okupasi mempertimbangkan kebutuhan kesehatan fisik dan psikososial/perilaku klien, berfokus pada apa yang paling penting bagi klien untuk dicapai, sumber daya dan sistem pendukung yang tersedia, dan lingkungan di mana klien ingin dan dapat berpartisipasi (AOTA, 2015).

Apa Itu Perawatan Paliatif ?

Saat mendengar kata palliate yang terpikirkan adalah sebuah tindakan meringankan atau meredakan. Perawatan paliatif adalah pendekatan tim interdisipliner yang digunakan untuk orang-orang dengan penyakit serius atau mengancam jiwa untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Tujuan perawatan paliatif termasuk memberikan bantuan untuk manajemen rasa sakit dan manajemen gejala, memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga klien, dan mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual perawatan dengan perawatan medis yang diperlukan (Guo & Shin, 2005). 

Menguatkan klien selama perawatan paliatif (Img: media.istockphoto.com)

Kanker, Alzheimer, penyakit jantung kronis, multiple sclerosis, brain injury dan lain-lain merupakan diagnosis-diagnosis yang masuk ke dalam perawatan paliatif. Namun, cakupan penyakit yang termasuk ke dalam paliatif masih belum jelas hingga saat ini terutama di bidang psikiatri atau kejiwaan, karena banyak gangguan mental yang bersifat persisten dan berdampak negatif pada kualitas hidup serta harapan hidup seseorang.

Sedangkan di lain hal berdasarkan pada definisi perawatan paliatif WHO yang diterima secara luas saat ini hanya mencakup penyakit kejiwaan persisten yang parah. Hal ini menjadi concern paliatif psikiatri agar definisi perawatan paliatif oleh WHO yang lebih berfokus terhadap penyakit, diubah menjadi lebih fokus ke dalam berpusat pada klien mengingat tujuan dari perawatan paliatif adalah peningkatan kualitas hidup seseorang yang berada pada ambang kematiannya (Lindblad, Helgesson & Sjöstrand, 2019).


The multi-professional academic network at the Interdisciplinary Center for Palliative Medicine.


Peran Terapi Okupasi secara Spesifik

Seperti yang kita ketahui perawatan paliatif bersifat interdisiplin, dimana berbagai macam profesi termasuk terapis okupasi bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan. Terapis okupasi bekerja pada orang-orang dengan penyakit yang membatasi kehidupan dalam berbagai setting, termasuk kesehatan masyarakat, perawatan usia lanjut, rehabilitasi masyarakat, klinik rawat jalan, perawatan akut, pusat rehabilitasi rujukan spesialis, rumah sakit harian, rumah sakit dan unit perawatan paliatif rawat inap (OTA, 2015).

Dalam praktiknya terapis okupasi dapat bekerja pada bidang assessment dan intervensi, sebagai berikut:  

Assessment 

Melihat klien secara holistic adalah sebuah keharusan. Dalam perawatan paliatif terapis okupasi menggunakan pendekatan client-centered sehingga assessment yang dilakukan berpusat pada individu dan caregiver atau orang terdekat (Cooper, 2013).  Pemeriksaan terstandar yang dapat digunakan saat assessment klien salah satunya adalah Canadian Occupational Performance Measure (COPM) dimana pemeriksaan ini sangat sejalan dengan client-centered approach.

Dalam melakukan assessment, seorang terapis okupasi harus dapat menganalisis gangguan fungsional klien dengan baik dan sedetail mungkin. Beberapa hal yang perlu diassesment oleh terapis okupasi selain gangguan fungsional dan konteks individu adalah konteks lingkungan. Terapis okupasi dapat melihat apakah pasien membutuhkan modifikasi lingkungan dimana klien tinggal maupun klien beraktivitas.

Oleh sebab itu praktisi terapi okupasi memahami hubungan transaksional antara orang, lingkungan, dan aktivitas bermakna untuk mendukung okupasi berkelanjutan yang diinginkan, dapat meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang yang sedang sekarat, serta untuk orang yang mereka cintai (WFOT, 2016).


Intervensi 

Dalam tahapan intervensi, terapis okupasi juga harus menggunakan pendekatan client- centered bekerjasama dengan klien dan care giver. Hal ini berkaitan dengan bentuk intervensi dan tujuan yang akan dicapai bersama.

Sebagai contoh, klien dengan kanker memiliki kewaspadaan dan tingkat kesadaran lingkungan yang cukup baik namun memiliki permasalahan pada manajemen rasa sakit, pengendalian gejala yang menjadi dasar permasalahan kegiatan sehari-harinya akan berbeda dengan klien penyakit Alzheimer yang dirujuk pada tahap selanjutnya yang secara kognitif mengalami penurunan tetapi mengalami sedikit rasa sakit.

Memberikan ketenangan kepada klien (Img: www.all-can.org)

Berikutnya dalam situasi terminal, bentuk intervensi akan lebih tepat diarahkan pada berbagai tantangan yang dihadapi pengasuh, seperti memandu dalam mengelola perilaku dan tindakan keamanan bagi klien (Ann, et al., 2011).

Setelah tindakan assessment secara menyeluruh terapis okupasi dapat mengetahui area mana saja yang perlu dilakukan intervensi, apakah itu pada Activities of Daily Living (ADLs), Instrumental Activities of Daily Living (IADLs), Rest and Sleep, Leisure Participation,dan social participation.

Berikut adalah intervensi atau tindakan yang terapis okupasi lakukan berdasarkan area klien yang terdampak menurut panduan AOTA (2015).

Activities of Daily Living (ADLs) :

Berpakaian

Menggunakan peralatan adaptif, teknik pengerjaan aktivitas yang dimodifikasi, prinsip konservasi energi, dan mekanika tubuh yang tepat untuk meminimalkan rasa kelelahan berlebihan, dan rasa sakit (misalnya dalam berpakaian di tempat tidur untuk memaksimalkan kemandirian dan keselamatan).

Mandi

Menggunakan peralatan khusus atau adaptif untuk memaksimalkan keselamatan (misalnya grip bar dan bangku shower) dan menggabungkan prinsip konservasi energi.

Mobilitas fungsional

Menggabungkan strategi pencegahan jatuh (misalnya menghilangkan bahaya seperti menggunakan karpet dengan permukaan anti licin dan meningkatkan pencahayaan ruangan) dan menumbuhkan kesadaran akan masalah dan keterbatasan keselamatan dalam lingkungan, sambil memperkuat kepercayaan diri dan kemampuan klien. Menyediakan perangkat positioning dan mobilitas yang optimal untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan, sekaligus mengurangi risiko luka akibat tekanan. 

Membantu mengenakan pakaian (Img: stocks.adobe.com)

Instrumental Activities of Daily Living (IADLs)

Persiapan makan

Menggabungkan prinsip konservasi energi dan modifikasi aktivitas seperti menggunakan gerobak beroda dan mengatur ulang penyimpanan dapur untuk akses yang lebih mudah. Membantu diet sehat dan menyiapkan bahan makanan untuk manajemen nutrisi. 

Manajemen rumah

Mengevaluasi toleransi aktivitas dan mekanika tubuh dengan tugas-tugas seperti membersihkan rumah atau mencuci pakaian. Menyarankan modifikasi aktivitas, sistem pendukung, peralatan adaptif, ritme dalam aktivitas, dan teknik konservasi energi.

Manajemen kesehatan

Memberikan strategi tentang cara mengelola gejala yang terkait dengan kelelahan, nyeri, kecemasan, atau sesak napas selama aktivitas sehari-hari. 

Kegiatan keagamaan atau spiritual

Memodifikasi kegiatan atau sumber daya untuk membantu mengembangkan atau memelihara keterlibatan dalam kegiatan peribadatan atau kerohanian, jika diinginkan (Pizzi, 2010).

Rest and Sleep :  

  • Mengevaluasi kebiasaan tidur dan siklus tidur /bangun klien, dan mengembangkan rutinitas sebelum tidur untuk memfasilitasi periode tidur restoratif yang lebih lama. 
  • Memberikan teknik relaksasi dan positioning untuk meningkatkan kenyamanan dalam beristirahat, meningkatkan kemampuan beristirahat, dan mengurangi kerusakan kulit dari tekanan. 

Partisipasi Rekreasi

  • Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi dan komunitas yang menyenangkan dengan adanya perubahan kemampuan dan peran melalui modifikasi dan/atau dengan mengeksplorasi alternatif. 
  • Menggunakan teknik relaksasi, strategi mengatasi, manajemen kecemasan, manajemen waktu, dan ritme aktivitas untuk memfasilitasi partisipasi dalam kegiatan yang diinginkan. 
  • Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara-cara untuk mempertahankan fungsi kognitif (misalnya, memori dan konsentrasi) untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bermakna.
Berinteraksi & Menghibur Klien (Img: www.pbs.org)

Kesehatan Psikososial/Perilaku

  • Melibatkan klien dan keluarga mereka dalam diskusi tentang perasaan, ketakutan, dan kecemasan mereka. Jika sesuai, berikan dukungan dan sumber daya untuk membantu menciptakan rencana akhir masa aktif, dan tetap terorganisir selama proses (Pizzi, 2010).
  • Mendorong keterlibatan komunikasi dan keluarga untuk mendukung keinginan klien, dan mempromosikan koneksi sosial yang berkelanjutan (Park Lala & Kinsella, 2011). 
  • Mendukung peran pengasuh, termasuk komunikasi tentang harapan realistis, dan edukasi tentang mekanika dan teknik tubuh yang aman selama kegiatan sehari-hari dan berpindah tempat, manajemen diri, dan kemampuan untuk mengurangi burnout (misalnya, kelompok pendukung pengasuh, atau perawatan hari hospice dewasa).

Kesimpulan 

Terapi Okupasi menjadi salah satu profesi yang melakukan perawatan paliatif bersama profesi lain. Meningkatkan kualitas hidup klien meski berada pada ujung akhir kehidupan menjadi salah satu tujuan terapi okupasi.

Dengan memahami peran dan tindakan intervensi yang tepat melalui client-centered approach terapis okupasi diharapkan dapat bekerjasama dengan klien dan caregiver dalam menciptakan kehidupan yang bermakna meskipun klien memiliki permasalahan kesehatan yang menghambat aktivitas kesehariannya.

Referensi

Allen, M. (2015). The role of occupational therapy in palliative and hospice care. https://www.aota.org/-/media/Corporate/Files/AboutOT/Professionals/WhatIsOT/PA/Facts/FactSheet_PalliativeCare.pdf

Ann Burkhardt, O. T. D., Mack Ivy MOT, O. T. R., Kannenberg, K. R., & Youngstrom, M. J. (2011). The role of occupational therapy in end-of-life care. The American Journal of Occupational Therapy65(6), S66.

Cooper, J. (Ed.). (2013). Occupational therapy in oncology and palliative care. John Wiley & Sons.

Guo, Y., & Shin, K.Y. (2005). Rehabilitation needs of cancer patients. Critical Reviews in Physical and Rehabilitation Medicine, 17(2), 83–99. doi:10.1615/CritRevPhysRehabilMed.v17.i2.10

Lindblad, A., Helgesson, G., & Sjöstrand, M. (2019). Towards a palliative care approach in psychiatry: do we need a new definition?. Journal of medical ethics45(1), 26-30.

World Faderation of Occupational Therapist.(2016). Occupational Therapy in the end of life Care. https://wfot.org/assets/resources/Occupational-Therapy-in-End-of-Life-Care.pdf

Mencapai Tujuan Terapi Okupasi Melalui Occupational Performance Coaching

Belajar didampingi Ibu – Gambar oleh Chuck Underwood dari Pixabay

Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel. 

Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka


Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi

Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).

Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini. 

Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org

Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.


Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi

Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC)

Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan. 


Seberapa Efektif Occupational Performance Coaching (OPC)?

Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.

Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.


Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi

Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:

  1. OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
  2. Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
  3. Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/

Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:

  1. Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
  2. Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
  3. Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
  4. Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.

Prosedur Penerapan Occupational Performance Coaching (OPC)

Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:

  1. Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan), 
  2. Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
  3. Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.

Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus

Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:

  1. Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang dituju tentu menyesuaikan individual klien.
  2. Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
  3. Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
  4. Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri. 

Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada. 

Sekian, semoga memberikan dampak.


Referensi

Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation, 41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398

Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993

Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy, 77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7

Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581

Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy, 77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791

Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation, 40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474

Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal, 62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175

Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466

Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation, 42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521

Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal, 66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573

Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy, 68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006

Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation, 26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932

Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury, 32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365


Artikel Suplemen

Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119

Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development, 36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x

Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy, 82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944

Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy, 4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219

Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation, 30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256

Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845

Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy, 81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869

Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy, 81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001

Instagram