Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak dituntut untuk dapat melakukan aktivitas menulis sebagaimana menulis sangat mempengaruhi performa akademik anak di sekolah. Tidak sedikit anak yang mengalami kesulitan dalam aktivitas menulis yang mengakibatkan anak mengalami hambatan belajar.
Menulis merupakan proses yang kompleks dalam melakukannya seseorang harus mengelola bahasa tertulis dengan mengkoordinasikan mata, lengan, tangan, pegangan pensil, pembentukan huruf, dan postur tubuh (AOTA, 2021).
Situasi pandemi menuntut anak untuk belajar dengan orang tua dirumah. Tak sedikit orang tua yang kebingungan dalam melatih anak yang mengalami hambatan dalam menulis.
Ketika dihadapi dengan anak dengan kesulitan menulis terapis okupasi dapat mengevaluasi komponen yang mendasari & mendukung tulisan tangan anak, seperti kekuatan otot, daya tahan, koordinasi & kontrol motorik. Selanjutnya, orang tua dapat mendorong kegiatan di rumah untuk mendukung keterampilan tulisan tangan yang baik (AOTA, 2021).
Berikut aktivitas- aktivitas untuk mengembangkan kemampuan menulis anak yang orangtua dapat lakukan dirumah.
Meningkatkan Kekuatan Otot dan Daya Tahan
Ketika anak belajar menulis terdapat beberapa kekuatan otot yang penting dan sangat diperlukan yaitu kekuatan otot postur atau batang tubuh, leher hingga kepala, bahu hingga jari-jari. Selain itu, daya tahan otot yang baik pada anak ketika melakukan aktivitas juga sangat penting.
Ketika anak memiliki kekuatan otot yang lemah dan daya tahan yang rendah maka anak tidak dapat menulis dengan performa yang maksimal. Aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk mengembangkan bagian tersebut, sebagai berikut :
Merangkak
Stick Ladder untuk melatih kekuatan otot postur dan ketangkasan alat gerak (Img. pinterest.com)
Melakukan animal exercise
Bergerak menyerupai hewan (Img. pinterest.com)
Melalukan yoga maupun olahraga lain
Terutama olahraga yang anak minati seperti badminton, lempar tangkap bola, basket dan lain-lain.
Yoga dengan gaya hewan-hewan untuk melatih fleksibilitas tubuh (Img. pinterest.com)
Koordinasi Mata dan Tangan
Koordinasi adalah kemampuan sistem penglihatan untuk mengkoordinasikan informasi yang diterima melalui mata untuk mengontrol, membimbing, dan mengarahkan tangan dalam pencapaian tugas yang diberikan, seperti tulisan tangan atau menangkap bola.
Penggunakan mata dalam koordinasi mata-tangan berguna untuk mengarahkan perhatian dan tangan untuk melaksanakan tugas (Children’s health , 2021).
Hal ini semakin menjelaskan betapa pentingnya kemampuan koordinasi mata tangan bagi anak salah satunya untuk aktivitas menulis dimana anak harus memegang kertas dan pensil kemudian menuliskan huruf diatasnya.
Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah untuk meningkatkan koordinasi mata tangan:
Melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari, seperti memasak dan berkebun.
Saat memasak anak akan belajar bagaimana memotong sayuran, menggulung-gulung adonan, mengukur panjang adonan, menyekop tanah untuk menanam bunga dan menyiram tanaman. Aktivitas-aktivitas tersebut sangat sesuai untuk mengembangkan kemampuan koordinasi mata tangan anak.
Bermain memukul bola (Img. pinterest.com)
Ikut dalam kegiatan dapur (Img. pixabay.com)
Membantu kegiatan berkebun di rumah (Img. pixabay.com)
Ajak anak bermain aktivitas finger games
seperti finger painting, menulis di atas pasir, capit-capit popcorn dan lain-lain.
Finger Painting (Img. pixabay.com)
Bermain Sensory Bin (Img. pixabay.com)
Koordinasi Motorik Halus (Grasp dan Manipulasi jari-jari)
Saat anak mulai menggunakan pensil untuk menulis maka anak harus memiliki pola genggaman serta manipulasi jari-jari yang baik. Seiring bertambahnya usia anak-anak, keterampilan motorik halus mereka juga berkembang lebih lanjut untuk memungkinkan manipulasi objek yang lebih tepat.
Keterampilan motorik halus penting untuk pengembangan tulisan tangan. Ditemukan bahwa kesalahan menulis yang biasa dibuat oleh siswa kelas satu sebagian besar disebabkan oleh kesulitan dalam kontrol motorik halus (Feder &Majnemer 2007).
Berikut aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan dirumah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan koordinasi motoriK halus anak :
Aktivitas Menghias Kue
Saat anak melakukan aktivitas menghias kue, secara langsung anak sudah dilatih dalam meningkatkan kemampuan menggenggam saat anak menggulung adonan, menghias dengan krim dalam wadah dan juga manipulasi jari-jari saat menghias dengan coklat atau permen di atas kue atau cookies.
Ikut membuat cookies di rumah (Img. pixabay.com)
Berkreasi dengan cookies yang beranekaragam (Img. pixabay.com)
Bermain Mainan Tradisional, seperti Kelereng dan Congklak
Saat bermain kelereng, maupun congklak anak akan terstimulasi dalam meningkatkan kemampuan manipulasi jari- jarinya. Selain manipulasi jari- jari secara tidak langsung permainan ini dapat mengasak konsentrasi dan kemampuan berpikir anak.
Bermain kelereng di rumah (Img. pixabay.com)
Congklak (Img. pixabay.com)
Kesimpulan
Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang didapati dari latihan -latihan, sehingga anak sangat perlu difasilitasi dan dipersiapkan untuk dapat memiliki kemampuan menulis yang baik. Menulis merupakan aktivitas yang melibatkan banyak kemampuan seperti kekuatan otot dan ketahanan, koordinasi mata tangan dan motorik halus.
Pasca masa pandemi, banyak sekali anak yang masih cenderung menghabiskan waktunya dengan gadget atau screen time, sehingga anak mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan aktivitas menulis tangan. Hal tersebut dapat disiasati dengan memberikan aktivitas- aktivitas yang dapat dilakukan orangtua bersama anak dirumah.
Banyak sekali jenis jenis olahraga di sekitar kita (Img: Freepik.com)
Olahraga & Atlet
Bermula dari Juni hingga Desember 2022 ke depan, dunia sedang berpesta olahraga, loh! Bila kita urutkan dari SEA Games 2022 di Hanoi, ASEAN Para Games 2022 di Indonesia, FIBA Basketball Asia Cup 2022 di Indonesia, Asian Games 2022 di Tiongkok dan terakhir di FIFA World Cup 2022 di Qatar (Kompas, 2022). Diantara pesta-pesta olahraga tersebut, beberapa kegiatan berlangsung di Indonesia, wah!
Tidak lupa, selamat untuk Indonesia sudah menjadi juara umum di ASEAN Para Games 2022 & memenangkan kompetisi sepak bola remaja tingkat Asia Tenggara, AFF U-16 2022, ya!
Pada era ini sport sangat populer dan kompetitif dengan banyak atlet yang berlatih sangat keras agar mendapatkan kemenangan, maka tak heran saat ini menjadi seorang atlet merasakan beban besar baik secara fisik dan emosional. Keterbebanan tersebut mengakibatkan para atlet memperbanyak latihannya dan dapat meningkatkan peluang resiko cedera akibat olahraga (Dhillon et al., 2017).
Ketika seorang atlet mengalami cedera fisik saat melakukan kompetisi ataupun aktivitas olahraga, maka hal itu dapat berimplikasi pada kemampuannya dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Sport Rehabilitation
Saat kita berbicara tentang rehabilitasi maka kita akan menemukan banyak profesi di dalamnya dikarenakan rehabilitasi selalu menggunakan pendekatan multidisiplin. Maka dari itu dalam memanajemen cidera akibat olahraga terdapat banyak spesialis yang terlibat didalamnya meliputi pelatih, manajer klub, conditioning specialist, fisioterapis, nutrisionis, exercise psychologist, terapis okupasi, dokter bedah, pekerja sosial dan tim rehabilitasi lainnya. (Comfort, 2010 & Heijnen, 2008).
Semua bentuk olahraga dapat mengakibatkan cidera tanpa terkecuali, entah itu olahraga sepak bola, berenang, gymnastic, angkat beban, hingga bulu tangkis.
Penyebab umum terjadinya cedera pada seorang atlet antara lain adalah overtraining, teknik yang buruk, kit/peralatan yang tidak pantas, tabrakan, jatuh, penggunaan kemampuan yang berlebihan (Cambridge Technicals, 2018). Maka adanya sport rehabilitation bertujuan untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sang atlit yang terganggu akibat cedera secara maksimal.
Pelayanan terapi okupasi juga dapat di ranah rehabilitasi olahraga. (Vid. Youtube.com)
Bagaimana Terapis Okupasi Dapat Berperan?
Cedera yang dialami seorang atlet dapat menyebabkan gangguan secara fisik dan psikis. Cidera fisik yang dialami dapat berupa cedera otot, ligamen dan tulang. Studi yang dilakukan oleh Hootman et al. (2007) terhadap atlet dari 15 jenis olahraga yang berbeda menunjukan lebih dari 50 % atlet mengalami cedera pada anggota tubuh bagian bawah dan peneliti mengobservasi lebih dari 16 tahun dan melihat adanya peningkatan kasus cedera pada atlet karena tuntutan secara fisik, partisipasi dan aturan pertandingan.
Berikutnya proses pemulihan atau proses rehabilitasi pasca cedera menjadi concern utama. Maka disinilah terapis okupasi turut serta menjadi bagian dari proses rehabilitasi seorang atlet.
Assessment
Sebelum menentukan sebuah program untuk klien maka seorang terapis okupasi wajib melakukan sebuah assessment. Ketika berbicara tentang terapi okupasi maka kita akan berorientasi terhadap aktivitas fungsional apa yang terdampak akibat cedera yang dialami klien. Sebuah assessment pada sport rehabilitation sangat penting dan harus didokumentasikan dengan baik dari awal hingga evaluasi akhir karena berkaitan dengan tindakan pencegahan re-injury (Dhillon, et al., 2017).
Cedera yang berkaitan dengan olahraga yang sering ditemukan adalah gegar otak, cedera otak, cedera pada visual, cedera tulang belakang, dan cedera keterampilan motorik. Ini semua adalah cedera yang terapis okupasi biasanya kerjakan dalam proses rehabilitasi. Namun, literatur menunjukkan layanan terapi okupasi masih belum familiar dianggap sebagai komponen dari tim rehabilitasi olahraga (Reed, 2011).
Pemeriksaan fungsi tangan dilakukan terapis okupasi (Img. res.cloudinary.com)
Maka dalam hal ini seorang terapis okupasi dapat menggunakan pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot serta pemeriksaan tonus otot sebagai pemeriksaan secara fisik, dan dapat menggunakan depression and anxiety scale sebagai pemeriksaan psikis pasca injury.
Kemudian terapis okupasi dapat menggunakan Mini-Mental Status Examination (MMSE) maupun The Montreal Cognitive Assessment (MoCA) sebagai pemeriksaan kognitf klien secara umum pasca cedera serta menggunakan Functional Independence Measure (FIM), Performance Assessment of Self-Care Skills (PASS), maupun Canadian Occupational Performance Measure (COPM) untuk mengetaui permasalahan fungsional yang terdampak oleh cedera yang dialami klien (Manee, et al., 2020).
Intervensi
Setiap tujuan dan tindakan intervensi yang akan dilakukan dengan klien diputuskan berdasarkan hasil dari assessment dan keputusan bersama yang bersifat client-centered. Sebuah Studi menunjukkan bahwa partisipasi dalam aktivitas sangat penting untuk pemulihan setelah cedera, namun gejala mungkin masih mengganggu kemampuan seseorang untuk berpartisipasi.
Melalui gejala-gejala yang dialami klien ini dapat dilihat di area mana terapi okupasi dapat berperan dalam menemukan cara untuk membantu individu dalam menjaga partisipasi sehari-hari dalam aktivitas (Host & Mankie, 2018).
Bermodalitaskan permainan & olahraga (Img. neuroskills.com)
Berikut tindakan-tindakan intervensi yang dapat terapis okupasi lakukan pada sport rehabilitation :
Cedera pada Ekstremitas Atas
Banyak atlet yang mengalami cedera ekstremitas atas. Ekstremitas atas termasuk cedera pada tangan, pergelangan tangan, siku, dan bahu. Cedera di daerah-daerah ini dapat menyebabkan penurunan lingkup jangkauan gerakan, motorik halus, motorik kasar, dan keterampilan koordinasi.
Ekstremitas atas memiliki peran sangat banyak dalam aktivitas keseharian. Ketika klien mengalami cedera pada salah satu ekstremitasnya (tangan atau kaki), hal tersebut dapat menyebabkan rasa sakit dalam waktu tertentu dan membutuhkan banyak waktu untuk memulihkan kondisi yang kemudian menurunkan partisipasi individu dalam okupasinya. (Host & Mankie, 2018).
Dalam tindakan-tindakan intervensi yang dapat dilakukan seorang terapis okupasi dapat mengacu pada AOTA (2014), yaitu dapat berupa :
Latihan peningkatan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi,
Latihan aktivitas terapeutik
Mendesain orthosis, fabrication, fitting, dan training
Joint protection dan/atau menerapkan teknik konservasi energi di rumah, pekerjaan, sekolah, atau kegiatan rekreasi
Pengenalan ulang sensorik
Mirror therapy
Manajemen bekas luka dan edema
Manajemen nyeri
Pengkondisian kerja atau persiapan kembali bekerja
Pelatihan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari dan perangkat adaptif atau bantu, Pendidikan untuk keselamatan pasca-bedah atau pasca-cedera, termasuk kehilangan sensorik.
Cedera pada Ekstremitas Bawah
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, cedera ekstremitas bawah banyaknya mencapai lebih dari 50%. Ekstremitas bawah membawa peran penting dalam aktivitas fungsional terutama mobilitas bagi para atlet. Intervensi yang dilakukan pada ekstremitas bawah pun tidak jauh berbeda dari ekstremitas atas.
Terapis okupasi dapat memilih bentuk intervensi apa yang tepat bagi ekstremitas bawah pasca cedera olahraga. Dalam proses intervensi ekstremitas bawah terapis okupasi dapat berfokus pada komponen-komponen penting yaitu kekuatan otot, lingkup gerak sendi, keseimbangan dan endurance.
Komponen tersebut dapat dicapai salah satunya melalui protection, rest, ice, compression, dan elevation (P.R.I.C.E) dengan tujuan menghindari kerusakan jaringan lebih lanjut, mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh cidera, edema, dan sebagai upaya untuk membantu meningkatkan proses penyembuhan (Dhillon et al., 2017).
Psikologis
Menjadi seorang atlet merupakan sebuah tuntutan besar bagi seseorang apalagi jika sudah masuk pada kompetisi dunia. Mengalami cedera merupakan mimpi buruk bagi seorang atlet, apalagi jika cedera berat karirnya sebagai atlet dapat berakhir. Maka dari itu sebagai terapis okupasi kita tidak boleh menyampingkan area psikologis klien dalam proses rehabilitasi.
Gangguan psikologis yang sering dialami para atlet seperti anger (perasaan marah), kecemasan (karena memikirkan berapa lama cedera akan berlangsung), depresi (karena tidak dapat bertanding atau berlatih), mengisolasi diri, frustrasi hingga turunnya kepercayaan diri (Cambridge Technicals, 2018).
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terapis okupasi pada area kesehatan mental setelah cedera dapat berupa menyediakan program edukasi, pembelajaran pengalaman dan kelompok perawatan atau kelas untuk mengatasi kepercayaan diri yang hilang, kesadaran diri, keterampilan interpersonal dan sosial, manajemen stres dan pengembangan peran, dan juga bekerja sama dengan klien untuk mengembangkan kepentingan dan pengejaran rekreasi atau avocational (AOTA, 2013).
Modalitas terapi menggunakan latihan tinju sederhana (Img. helenhayeshospital.org)
Kesimpulan
Menjadi seorang atlet sangatlah tidak mudah, tahun ke tahun tuntutan atlet semakin bertambah entah itu secara fisik maupun emosional. Cedera olahraga merupakan hal yang tidak dapat dihindari bagi seorang atlet. Maka dari itu monitoring cedera sejak sebelum dan sesudah aktivitas olahraga sangatlah penting bagi klien.
Tindakan rehabilitasi pasca cedera menjadi hal penting bagi para atlet. Assessment dan intervensi yang dilakukan pun harus didokumentasikan dengan baik agar tidak terjadi reinjury bagi klien. Peran terapis okupasi pada sport rehabilitation menjadi sangat penting, namun minimnya sumber informasi bagi terapis okupasi dan evidence-based practice menjadikan terapis okupasi memiliki peran yang minimal dalam perhelatan keolahragaan.
Maka dari itu, sangat penting bagi terapis okupasi mengetahui perannya agar kedepannya dapat terlibat lebih untuk sport rehabilitation.
Jadi, tertarik belajar dan mengambil peran sebagai terapis okupasi di bidang keolahragaan nih?
Referensi
American Occupational Therapy Association. (2014). The Role of Occupational Therapy for Rehabilitation of the Upper Extremity. USA.
Comfort, P., & Abrahamson, E. (Eds.). (2010). Sports rehabilitation and injury prevention. John Wiley & Sons.
Dhillon, H., Dhilllon, S., & Dhillon, M. S. (2017). Current concepts in sports injury rehabilitation. Indian journal of orthopaedics, 51(5), 529-536.
Heijnen, L. (2008). The role of rehabilitation and sports in haemophilia patients with inhibitors. Haemophilia, 14, 45-51.
Hootman JM, Dick R, Agel J. Epidemiology of collegiate injuries for 15 sports: Summary and recommendations for injury prevention initiatives. J Athl Train 2007;42:311-9.
Host, A., & Mankie, K. (2018). Occupational Therapy’s Role in Sport: A Website on Promotion and Education for OT’s and Coaches.
Manee, F. S., Nadar, M. S., Alotaibi, N. M., & Rassafiani, M. (2020). Cognitive assessments used in occupational therapy practice: A global perspective. Occupational Therapy International, 2020.
Reed, N. (2011). Sport-Related Concussion and Occupational Therapy: Expanding the Scope of Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 31(3), 222-224.
Melakukan kegiatan bermakna merupakan kebutuhan dasar dari manusia. Bertitel ‘makhluk okupasional’ sepanjang hidup merupakan peranan utama manusia sepanjang usia. Maka, menjadi wajar bila okupasi lekat, dekat dan terikat dengan manusia. Pemaknaan kegiatan bermakna atau okupasi menjadi pendapat masing-masing individu apakah sebuah okupasi menjadi bermakna ataupun tidak bagi dirinya.
Dalam Morrison et al. (2017), mendefinisikan okupasi adalah situasi klien di mana mampu berpartisipasi dalam kehidupan, misalnya perawatan diri, pemanfaatan waktu luang, produktivitas bekerja dan lainnya dengan terintegrasi pada konteks klien, memiliki manfaat terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien sepanjang hidupnya.
Selain kesehatan, okupasi juga melingkupi berbagai aspek mulai sosial, budaya, ekonomi, biologis dan filosofi. Maka, melihat okupasi perlu secara utuh.
Okupasi lekat dengan banyak aspek dan budaya masyarakat termasuk di dalamnya. Kita mengenal salah satu okupasi khas di Indonesia yang menjadi salah satu bentuk hasil budaya yang bahkan diakui oleh UNESCO pada tahun 2009 (UNESCO, 2009).
Bila ditelisik lebih lanjut, selain memiliki nilai budaya, kita ketahui bahwa membatik sebetulnya juga terdapat nilai okupasional di dalamnya yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modalitas terapi berbasis kepada okupasi.
Batik sebagai produk kebanggaan, bagian dari karya & ciri khas bangsa Indonesia (Img: awsimages.detik.net.id)
Membatik sebagai Modalitas yang Holistik
Membatik, Art Therapy yang Berbasis Okupasi
Aktivitas membatik dapat dikatakan merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan seni lukis sebagai bagian utama dalam keseluruhan tahap aktivitasnya. Dalam perspektif kesehatan, kita mengenal adanya art therapy atau terapi seni lukis sebagai salah satu modalitas psikoterapi dalam disiplin ilmu psikologi.
Aktivitas membatik dapat pula ditujukan sebagai bagian dari terapi melukis untuk diaplikasikan dalam layanan berbasis okupasi kepada klien, namun selain memanfaatkan esensi psikoterapinya, dapat pula terapis okupasi menerapkan prinsip terapi okupasi dan memanfaatkannya sebagai modalitas terapi.
Kelompok lansia sedang membatik (Img: statik.tempo.co)
Contoh modalitas art therapy yang dapat digunakan dalam terapi okupasi dalam praktik dan penelitian ditunjukkan dalam Ingkir, Wondal & Arfa (2020), Syafitri & Jaya (2020) & Rochmah & Hasibuan (2020) dengan menerapkan aktivitas membatik pada anak usia sekolah untuk melatih kemampuan motorik halus.
Dalam riset tersebut melakukan membatik dengan teknik jumputan, dengan mengikat kain dalam beberapa bagian kemudian masing-masing bagian diwarnai beragam warna dengan kuas lukis. Melalui contoh tahapan tersebut saja, proses holistik melibatkan beragam komponen dan keterampilan anak dapat berjalan bersamaan, mulai komponen fisik, mental (termasuk kognitif di dalamnya) dan sosial.
Pemberdayaan ODGJ melalui Membatik
Riset lain mengamati kegiatan lukis pada klien dengan masalah kejiwaan. Dalam Wulandari dkk. (2021) meneliti pemberdayaan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) stabil dan siap kembali ke masyarakat dalam kegiatan membatik secara berkelompok.
Riset tersebut dilakukan dalam 3 sesi, dengan dimulai penyuluhan kegiatan membatik, pendampingan proses membatik hingga tahap penjualan batik dengan partisipan secara kompleks berkreasi, membuat-mewarna batik dan bersosial dengan rekan ODGJ dalam kelompok sosial di sana.
Pembuatan batik di RSJD RM Soedjarwadi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Img: images.solopos.com)
Dalam sampel lain pada klien personality disorder, intervensi kegiatan melukis bebas dilakukan dengan melukis di kanvas sesuai dengan apa yang klien rasakan, pikirkan maupun yang klien ingin lakukan (Haeyen et al., 2018). Tujuan dari melukis tersebut untuk melatih respon reflektif klien terhadap lukisan yang menggambarkan klien, menyadarkan kontrol diri klien dan identitas klien sebenarnya kepada klien sendiri.
Pada prinsipnya, aktivitas membatik pun memiliki kesamaan dalam contoh-contoh tersebut. Melingkupi berbagai aspek komponen fungsi tubuh, baik komponen fisik, mental dan sosial. Seluruh komponen akan bekerja bersamaan terlebih bila dilakukan berkelompok, komponen interaksi sosial ikut berperan banyak.
Esensi Okupasional dalam Aktivitas Membatik
Klien ODGJ mengikuti terapi seni membatik di RSJD Magelang (Img: jogja.tribunnews.com)
Bila membahas penerapan membatik dalam konteks art therapy sebagai modalitas dalam praktik terapi okupasi, tentu akan memiliki makna yang berbeda ketika bergantung pada konteksnya apakah sebagai aktivitas pemanfaatan waktu luang, bermain atau produktivitas.
Masing-masing definisi konteks tersebut dapat anda akses dalam practice framework terapi okupasi dalam Occupational Therapy Practice Framework (Fourth Edition; 2020) maupun edisi lainnya oleh AOTA dengan setelah anda pahami, perencanaan intervensi tentu akan berbeda dan menyesuaikan pada prinsip masing-masing kategori okupasi.
Membatik, Dayaguna Kreativitas Seni LukisFungsional
Hansen, Erlandsson & Leufstadius (2020) melakukan riset perihal konsep penggunaan aktivitas kreatif sebagai modalitas intervensi dalam praktek terapi okupasi. Dikatakan bahwa aktivitas kreatif (apapun bentuk kegiatannya) sebagai modalitas intervensi memiliki beberapa poin:
Menggerakkan tubuh dan pikiran dengan melibatkan kesenian auat prakarya
Memiliki makna, dilakukan di lingkungan yang kreatif & mendukung
Meningkatkan proses kreatif, pengalaman dan kesempatan untuk mengekspresikan & merefleksikan diri.
Dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan, meningkatkan performa okupasi & memanajemen kehidupan sehari-hari.
Digunakan secara individual maupun kelompok, dimodifikasi melalui pendekatan terapeutik yang berbeda demi mencapai tujuan yang diharapkan dalam situasi/setting tertentu.
Selain melihat perspektif terapis dalam penggunaan aktivitas kreatif, terapis juga perlu melihat makna modalitas melukis atau menggambar sebagai aktivitas kreatif dalam terapi berdasarkan persepsi klien. Disebutkan dalam Stuckey & Nobel (2008) bahwa seni lukis membantu mengekspresikan perasaan ke dalam gambar, karena sulit mencurahkan dalam bentuk tulisan.
Membebaskan Ekspresi & Seni dalam Batik
Menyalurkan ekspresi tersebut membentuk identitas, keyakinan positif, berdamai dengan keadaan, sarana meditasi dan mindfulness, utamanya hal-hal tersebut dilakukan oleh klien-klien dengan masalah kejiwaan dan klien dalam masa paliatif maupun terminasi.
Seperti art therapy, aktivitas membatik memiliki tujuan sekaligus manfaat tertentu, khususnya dalam lingkup kesehatan bagi tiap individu yang melakukannya, misalnya menenangkan diri, mengurangi kecemasan, katarsis dari perasaan negatif, melatih komponen motorik halus, mengisi waktu luang, mereduksi gangguan sensori maupun bersosial dengan teman satu hobi atau komunitas.
Seorang Ibu sedang konsentrasi & tenang ketika membatik (Img: jogja.tribunnews.com)
Manfaat Melibatkan Art Therapy menurut Penelitian
Berikut ulasan perihal beberapa riset bagaimana melukis atau seni lukis sebagai modalitas terapi dapat memberikan manfaat dalam pelayanan kepada klien.
Dalam Kongkasuwan et al. (2015) disebutkan manfaat dari terapi lukis pada klien dengan stroke. Penggunaan terapi lukis dalam riset dilakukan dalam dua kali seminggu, dikombinasikan dengan fisioterapi lima kali tiap seminggu dalam empat minggu sesi didapatkan penurunan depresi dan adanya peningkatan pada kemampuan fungsional, nilai kepuasan hidup, motivasi, konsentrasi dan kepercayaan diri setelah terapi dilakukan.
Berikutnya ditemukan dalam review literatur, menyebutkan bahwa penggunaan seni kreatif sebagai modalitas terapi okupasi dikatakan mengubah sikap terhadap penderitaan klien, membantu menemukan tujuan hidup dan menumbuhkan dukungan sosial (Perruza & Kinsella, 2010)
Dalam riset Zeevi, Regev & Guttmann (2018) pada orang tua dengan anak prasekolah (normal; usia 5-8 tahun) tentang training melakukan terapi lukis bersama anak. Penelitian tersebut dilakukan dalam 24 sesi mengamati lukisan dan melukis, dengan 12 sesi pertama hanya melakukan melukis dan 12 sesi terakhir mengkombinasikan melukis dengan terapi music reminiscence.
Didapatkan hasil peningkatan pada perkembangan emosional dan psikologis anak, di mana turut meningkatkan kesadaran orang tua untuk lebih menjalin hubungan kedekatan dengan anak dengan banyak terlibat dalam dunia sang anak.
Riset pengaruh terapi seni lukis pada sampel lansia dengan masalah gangguan kognitif dikatakan meningkatkan kemampuan memori, atensi, memori jangka panjang dan seluruh kemampuan kognitif lansia (Lee et al., 2018).
Anak usia sekolah dasar sedang belajar membatik (Img: rmol.id/)
Kesimpulan
Dalam memberikan pelayanan terapi okupasi, kita perlu melihat klien secara holistik dengan mempertimbangkan modalitas yang akan diberikan tentu perlunya dapat berdampak secara holistik pula. Aktivitas kreatif dalam bentuk apapun kegiatannya, utamanya seni lukis, dikaji dalam berbagai riset ditemukan manfaat yang dapat membantu klien menuju well being.
Seni lukis memiliki beragam bentuk pula, termasuk terpengaruh oleh sosial budaya setempat, sebagai contohnya batik. Melukis dan mewarna batik sebagai modalitas intervensi dalam terapi dikatakan dalam riset memiliki berbagai manfaat dalam konteks layanan manapun, baik pediatri, dewasa maupun kesehatan jiwa.
Referensi
Haeyen, S., Hooren, S. V., Dehue, F., & Hutschemaekers, G. (2017). Development of an art-therapy intervention for patients with personality disorders: An intervention mapping study. International Journal of Art Therapy,23(3), 125-135. doi:10.1080/17454832.2017.1403458
Hansen, B. W., Erlandsson, L., & Leufstadius, C. (2020). A concept analysis of creative activities as intervention in occupational therapy. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,28(1), 63-77. doi:10.1080/11038128.2020.1775884
Ingkir, Yuni, Wondal, Rosita, Arfa, Umikalsum. (2020). Kegiatan Membatik dalam Mengembangkan Kemampuan Motorik Halus Anak. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 3, No. 1, Oktober 2020.
Kongkasuwan, R., Voraakhom, K., Pisolayabutra, P., Maneechai, P., Boonin, J., & Kuptniratsaikul, V. (2016). Creative art therapy to enhance rehabilitation for stroke patients: A randomized controlled trial. Clinical Rehabilitation,30(10), 1016-1023. doi:10.1177/0269215515607072
Lee, R., Wong, J., Shoon, W. L., Gandhi, M., Lei, F., Eh, K., . . . Mahendran, R. (2019). Art therapy for the prevention of cognitive decline. The Arts in Psychotherapy,64, 20-25. doi:10.1016/j.aip.2018.12.003
Morrison, R., Gómez, S., Henny, E., Tapia, M. J., & Rueda, L. (2017). Principal Approaches to Understanding Occupation and Occupational Science Found in the Chilean Journal of Occupational Therapy (2001–2012). Occupational Therapy International,2017, 1-11. doi:10.1155/2017/5413628
Perruzza, N., & Kinsella, E. A. (2010). Creative Arts Occupations in Therapeutic Practice: A Review of the Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(6), 261-268. doi:10.4276/030802210×12759925468943
Stuckey, H. L., & Nobel, J. (2010). The Connection Between Art, Healing, and Public Health: A Review of Current Literature. American Journal of Public Health,100(2), 254-263. doi:10.2105/ajph.2008.156497
Syafitri, Della, Jaya, Indra. (2020). Pengaruh Membatik terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Kuraitaji. —- volume VI. No. 1, Januari-Juni 2020.
Wulandari, N., Nurmawati, T., Setyani, E. Y., Christiningtyas, E. B., Arifianti, K., & Saparudin, A. (2021). Empowerment of ODGJ (People with Mental Disorders) through Training of Batik Ikat Making in Posyandu Jiwa “Waluyo Jiwo” Bacem Village Ponggok Blitar. Journal of Community Service for Health,2(1), 001-009. doi:10.26699/jcsh.v2i1.art.p001-009
Zeevi, L. S., Regev, D., & Guttmann, J. (2018). The Efficiency of Art-Based Interventions in Parental Training. Frontiers in Psychology,9. doi:10.3389/fpsyg.2018.01495
Ketika masuk di dalam ruangan klinik maupun unit layanan terapi okupasi di suatu instansi, Anda akan melihat betapa beragam dan berbedanya ruang terapi okupasi dibandingkan dengan layanan rehabilitasi medik lain.
Bila pada layanan pediatri, anak dan tumbuh kembang, Anda akan melihat betapa berkesan ramai, ceria, penuh dengan mainan, rintangan dan hal menyenangkan hingga rasanya membuat nyaman anak-anak yang mendapat layanan di sana hingga enggan diajak pulang orang tuanya.
Dalam layanan disabilitas fisik, dewasa dan geriatri (lansia) Anda akan diajak melihat ruangan serupa salah satu atau beberapa bagian dalam rumah Anda sendiri, lingkungan sebenarnya hingga ruang lokakarya untuk Anda mendapat layanan rehabilitasi kerja dan pada layanan rehabilitasi kejiwaan Anda akan menyaksikan ruang lokakarya produktif dari para klien gangguan kejiwaan yang akan siap untuk kembali ke dalam masyarakat dan melakukan okupasinya.
Kreativitas & Aura Lingkungan
Mengenakan jersey klub bola di lapangan bola (Img. https://ot.ecu.edu/)
Melalui sedikit cerita di atas, sejak dari desain dan isi ruangan saja, Anda, pembaca catatan ini entah masyarakat, tenaga kesehatan maupun terapis okupasi, telah dihadirkan dengan sisi kreativitas dari layanan terapi okupasi. Terapis okupasi dan disiplin ilmu terapi okupasi tahu betul dengan bagaimana faktor lingkungan, baik penataan hingga detail fasilitas yang disediakan dapat memberikan pengaruh dalam pelayanan terapi.
Hal tersebut ditemukan dalam Eriksson, Westerberg & Jonsson (2011) bahwa partisipan wanita dengan masalah mental stres dalam risetnya memperoleh dampak relaksasi ketika masuk ke dalam kebun dan merasakan vibes dari kebun masuk ke dalam mereka. Dalam literatur lain (Anaby, et al., 2013) membahas beberapa hal terkait lingkungan (fisik maupun non fisik) dan pengaruhnya pada anak-remaja dengan disabilitas.
Lingkungan fisik (tersedianya sarana prasarana ramah disabilitas) dan non fisik (dukungan sosial, sistem & regulasi yang berlaku) dapat mendukung partisipasi mereka dalam berokupasi, baik dalam aktivitas keseharian, melakukan peran dan menjalani kehidupan (bekerja, menikah, berkarya, dsb.)
Lebih dari pengatar ini, mari kita telusuri bagaimana pengalaman terapis okupasi dalam menyalurkan kreativitas dalam pelayanan.
Menjadi Kreatif: Kesadaran dan Kewajiban Terapis
Kepala & Kreativitas Kita (Img. images.squarespace-cdn.com)
Terapis okupasi melalui proses pikir yang sadar dalam melakukan tindakan kreatif selama memberikan pelayanan kepada klien. Berikutnya merupakan keterampilan dari terapis dalam menjadi kreatif, yakni perilaku kreatif, berpikir kreatif dan proses kreatif.
Perilaku kreatif merupakan penerapan dari munculnya cara berpikir maupun proses problem-solving yang pada akhirnya menciptakan solusi, media, modalitas maupun program baru yang melibatkan pendekatan kreatif bersama tim (Schmid, 2004).
Terbentuknya perilaku kreatif dapat terwujud oleh keterampilan terapis dalam mengkombinasikan creative thinking dan creative reasoning selama memberikan layanan untuk menyelesaikan kesulitan terapis.
Lebih penting dari 2 poin tersebut, memahami proses dari berperilaku kreatif dalam okupasi manusia menurut Blanche (2007) membedakan dalam 2 bentuk orientasi kreativitas, yakni process-oriented & product-oriented.
Dua orientasi berikut memiliki perbedaan yang kontras antara process-oriented untuk lebih menikmati proses kreasi tanpa memikirkan hasilnya seperti apa sedangkan product-oriented tidak begitu mementingkan proses dan lebih menikmati hasil kreativitas melalui hasil yang didapatkan.
Pengalaman Mengolah Kreativitas
Prakarya sebagai media terapi (Img. aneverydaystory.wordpress.com)
Bila digeneralisasikan dalam pengalaman terapis okupasi, terlebih dalam memberikan pelayanan berbasis okupasi, Estes & Pierce (2012) menceritakan bagaimana terapis okupasi area pediatri perlu ‘memeras otak’ kreatifnya dalam memberikan layanan.
Pernyataan berikut: ‘setiap klien adalah unik’, ‘pelayanan klien harus bersifat individualistik’ dan ‘adanya kesamaan kebutuhan klien bukan berarti layanannya juga sama’, menjadi alasan terapis wajib untuk menjadi kreatif dalam memberikan layanan hingga selama sesi terapi melakukan mix & match aktivitas kepada klien.
Menikmati proses ‘memeras otak’ untuk mencapai tujuan terapi inilah dikatakan process-oriented.
Pengalaman yang berbeda dalam Sriram, Jenkinson & Peters (2020) dalam membantu pengasuh klien demensia selama di rumah menunjukkan product-oriented dengan iPad, smartwatch, telepon modifikasi, jam modifikasi, GPS dan alat otomatis lainyang digunakan telah memberikan kepuasan, meringankan beban pengasuh untuk tetap mudah terlibat okupasi mereka dan membantu pelayanan klien mencapai kemandirian dan partisipasi dalam okupasi selama di rumah hingga meminimalkan beban biaya hidup secara ekonomi.
Kreativitas Membantu Pelayanan Terapi Okupasiyang Efektif
Pelayanan terapi okupasi yang sedemikian kreatif dan bervariasi ketika berhadapan dengan klien, baik dilakukan dengan berorientasi kepada impairment-based maupun occupation-based dan di tengah keterbatasan fasilitas maupun tidak, kenyataannya selalu mengharuskan terapis untuk selalu bersikap kreatif melibatkan aktivitas, media maupun modalitas terapi kepada klien.
Dalam review Peruzza & Kinsella (2010) tentang manfaat kegiatan seni kreatif, seperti melukis, berpuisi, drama dan kegiatan seni lainnya sebagai modalitas terapi, menyebutkan adanya beberapa manfaat menurut terapis okupasi terkait hal tersebut, sebagai berikut
Meningkatkan Kontrol Kesadaran Diri
Studi Peruzza & Kinsella (2010) mengutip Lloyd et al. (2007) yang menemukan bahwa partisipan yang mengikuti kegiatan seni kreatif dapat membebaskan ekspresi mereka selepas mungkin untuk disalurkan secara langsung ke dalam seni yang mereka produksi selama sesi.
Maka, melalui keleluasaan tersebut kiranya klien dapat terlatih bagaimana persepsi dan kontrol dirinya terhadap keputusan dan resiko dalam hidup klien, memunculkan kebebasan berekspresi, meredakan emosi negatif dan meningkatkan psikologi positif dari klien.
Membangun Konsep Diri
Kesadaran terhadap diri sendiri dapat terbentuk melalui melepaskan ekspresi mereka, feeling, bahkan gambaran diri mereka ke dalam media seni kreatif. Muaranya adalah timbulnya sikap penerimaan terhadap kondisi dan situasi klien saat ini, meningkatnya rasa percaya diri hingga perasaan berhasil dan perasaan bahwa dirinya berharga.
Memandirikan & Mengembalikan peran sebagai anggota keluarga (Img. https://www.boisestate.edu/)
Media Bereskpresi
Seni kreatif menjadi media melepaskan diri sendiri dan perasaan yang sedang dirasakan sebebas mungkin dengan diwujudkan dan ditunjukkan melalui karya.
Mengubah Pengalaman Menderita Sakit
Seni kreatif menciptakan warna baru bagi klien yang sedang dalam masa pemulihan sakit, yang mana terkadang dalam masa tersebut perasaan negatif akan muncul dan mengganggu kehidupan fungsional dan partisipasi klien dalam keseharian.
Melalui seni kreatif, klien dapat menyisihkan perasaan negatif dan penderitaannya kepada cara pandang lain yang lebih baik dalam merespon kehidupannya.
Memperoleh Kesadaran Tujuan Hidup
Masa pengalaman sakit menyempitkan harapan klien terhadap kehidupan yang lebih baik. Terbiasanya menutup harapan dan memilih berfokus dengan penderitaan yang dialami membuat klien menjadi skeptis untuk meyakini perumpamaan ‘hari esok akan lebih baik daripada hari ini dan hari kemarin’ yang dapat membangun emosi positif dalam hidup mereka.
Dengan dilibatkan dalam kegiatan seni kreatif, klien dapat membuka mata, merasakan kepuasan setelah mengekspresikan perasaan mereka, hingga dapat menemukan tujuan hidup baru dan keputusan bahwa hidup mereka tidak hanya akan berlangsung dengan penderitaan.
Membangun Dukungan Sosial
Setelah kegiatan seni kreatif dapat membangun sikap positif, konsep diri dan persepsi tujuan hidup, klien akan yakin untuk mampu berperan dan terlibat dalam partisipasi sosialnya misalnya dengan menginspirasi, mengajak hingga berkontribusi ke dalam lingkungan sosial mereka.
Namun, untuk mencapai dukungan sosial ini diperlukan beberapa aspek seperti adanya penerimaan sosial, ekspektasi lingkungan yang tidak berlebihan, prediksi hal yang tidak diinginkan dan beresiko serta proteksi terhadap diri sendiri.
Teknologi assistive adalah produk dari kreativitas (Img. rvnahealth.org)
Kesimpulan
Melalui 2 pandangan di atas, baik dari sisi terapis maupun peranan yang diperoleh dari modalitas okupasi yang melibatkan kreatifitas terhadap kesehatan, kita dapat sama-sama ketahui bahwa menjadi kreatif dalam pelayanan terapi okupasi merupakan keharusan yang tidak bisa ditolak terlebih ketika dalam memberikan layanan kepada klien.
Dengan menyadari bahwa menjadi kreatif ternyata memberikan pengaruh yang positif, rasanya tidak sia-sia bila kita, utamanya sebagai terapis, untuk selalu melatih dan mengaplikasikan keterampilan berperilaku kreatif.
Referensi
Anaby D, Hand C, Bradley L, DiRezze B, Forhan M, DiGiacomo A, Law M. The effect of the environment on participation of children and youth with disabilities: a scoping review. Disabil Rehabil. 2013 Sep;35(19):1589-98. doi: 10.3109/09638288.2012.748840. Epub 2013 Jan 25. PMID: 23350759.
Blanche, E. I. (2007). The expression of creativity through occupation. Journal of Occupational Science, 14(1), 21–29. https://doi.org/10.1080/14427591.2007.9686580
Eriksson, T., Westerberg, Y., & Jonsson, H. (2011). Experiences of women with stress-related ill health in a therapeutic gardening program. Canadian Journal of Occupational Therapy, 78(5), 273–281. https://doi.org/10.2182/cjot.2011.78.5.2
Estes, J., & Pierce, D. E. (2012). Pediatric therapists’ perspectives on occupation-based practice. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 19(1), 17–25. https://doi.org/10.3109/11038128.2010.547598
Lloyd, C., Wong, S. R., & Petchkovsky, L. (2007). Art and Recovery in Mental Health: A Qualitative Investigation. British Journal of Occupational Therapy, 70(5), 207–214. https://doi.org/10.1177/030802260707000505
Perruzza, N., & Kinsella, E. A. (2010). Creative arts occupations in therapeutic practice: A review of the literature. British Journal of Occupational Therapy, 73(6), 261–268. https://doi.org/10.4276/030802210X12759925468943
Schmid, T. (2004). Meanings of creativity within occupational therapy practice. Australian Occupational Therapy Journal, 51(2), 80–88. https://doi.org/10.1111/j.1440-1630.2004.00434.x
Sriram, V., Jenkinson, C., & Peters, M. (2020). Carers’ experience of using assistive technology for dementia care at home: A qualitative study. BMJ Open, 10(3). https://doi.org/10.1136/bmjopen-2019-034460
Neurodevelopmental Treatment (NDT) adalah bentuk layanan rehabilitasi medik yang diberikan oleh profesi kesehatan terkait kepada klien dengan masalah sistem saraf pusat (SSP), seperti cerebral palsy, stroke, traumatic brain injury, pun masalah terkait SSP lainnya. Pendekatan NDT pun menjadi salah satu pendekatan yang populer digunakan terapis di pelayanan rehabilitasi medik untuk memberikan pelayanan kepada klien.
Namun, temuan riset terbaru dikatakan bahwa NDT tidak lagi dianjurkan dalam praktik klinis, kenapa? Mari kita simak pembahasan berikut.
Mengenal Neurodevelopmental Treatment (NDT)
Neurodevelopmental Treatment (NDT) merupakan produk berwujud konsep, teori dan kerangka praktik yang biasa kita kenal sebagai: Metode Bobath, yang dapat diterapkan oleh profesi kesehatan di ranah pediatri – rehabilitasi medik, utamanya oleh fisioterapi maupun terapi okupasi.
Seputar NDT atau metode Bobath berikut, mengutip Vaughan-Graham & Cott (2016) terdapat 3 (tiga) poin kunci dari Bobath, yakni (1) analisis gerak dari tahapan aktivitas, (2) keseimbangan postur tubuh dengan gerakan, dan (3) peran senso-motor dalam kontrol motorik. Ketika diterapkan dalam praktik, metode Bobath berdasar kepada berikut (Graham et al., 2009):
Fasilitasi gerak oleh terapis secara hands-on, sekaligus memberikan input sensori yang dapat membantu meningkatkan kontrol postural.
Latihan gerak untuk memperoleh kualitas pola gerak motorik yang normal; dengan meminimalkan pola gerak tidak normal (atypical).
Bobath: Perspektif Lama vs Baru
Metode Bobath mengalami perkembangan secara ilmu pengetahuan dan praktis. Berikut di bawah merupakan ulasan mengenai gambaran Bobath metode lama dan metode baru.
Kajian konten ini membahas pandangan riset terbaru terhadap metode Bobath lama yang ditemukan dalam riset pada ranah pediatri, dengan sampel anak dengan masalah cerebral palsy.
Neurodevelopmental Treatment (NDT) dalam Praktik Terapi Okupasi
Metode Bobath pada Anak (Img. secangkirterapi.com)
Pada konteks layanan terapi okupasi di Indonesia, penggunaan metode NDT pada ranah pediatri rasanya cukup banyak dikenal dan dilakukan. Namun, ketika mencoba menemukan referensi penerapan metode NDT dengan praktik terapi okupasi pada pediatri edisi terbaru beberapa tahun ke belakang, rasanya tidak banyak. Berikut merupakan rangkuman dari beberapa temuan.
Behzadi, Noroozi, Mohamadi (2014) melakukan tindakan kepada sampel cerebral palsy dengan membandingkan antara penggunaan NDT saja (1) dengan NDT dikombinasikan dengan home program terapi okupasi (2). Pelaksanaan pada (1) dilakukan dengan menyesuaikan prinsip Bobath seperti fasilitasi dan inhibisi saja di lahan praktik, sedangkan pada (2) dilakukan Bobath dengan diberikan tambahan dengan program home-based menggunakan pamflet dan kaset tutorial.
Melalui perbandingan berikut diperoleh pada (2) dengan kombinasi NDT dan home-based menunjukkan peningkatan lebih baik.
Riset dengan hasil serupa juga terdapat dalam Russell et al. (2017) dengan menerapkan Combined Therapy Approaches (CAT) pada sampel anak cerebral palsy, kombinasi antara NDT dengan kerangka konsep lain, dengan satu grup kontrol yang diukur secara pre-post menunjukkan pengaruh yang lebih baik poin tingkat kemandirian anak pada post terapi.
Melihat Efektivitas Neurodevelopmental Treatment (NDT) – 5 Tahun Terakhir
Menerapkan Bobath pada Anak (Img. littlestepspt.com)
Melalui kajian riset terkini dengan sajian review sistematik seputar NDT dalam praktik terapi okupasi maupun rehabilitasi medik pada pediatri, sebagai berikut.
Dampak pada Komponen & Fungsi Tubuh Manusia
Melalui kajian Novak & Honan (2019), dikatakan bahwa penerapan NDT (metode lama; secara pasif) pada CP termasuk dalam kelompok tidak efektif dan disarankan tidak dilakukan, dibandingkan dengan bimanual therapy, constraint induced movement therapy (CIMT) dan pendekatan lain. Dalam dimensi melatih fungsional anak, NDT juga tidak tercantum sebagai kerangka praktik di segala kelompok. Penggunaan pendekatan family centered care mapun lainnya lebih disarankan untuk dilakukan.
Dinukil dari Novak & Honan (2019). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).
Kajian lain oleh Novak et al. (2020) menyajikan rambu-rambu pendekatan rehabilitasi dan penanganan fungsional pada cerebral palsy dengan hasil sebagai berikut. Ditemukan bahwa pendekatan NDT (melalui kajian literature-literatur) pada beberapa kolom kemampuan anak. dikatakan tidak disarankan hingga dilarang penggunaannya untuk penanganan.
Dinukil dari Novak et al. (2020). Informasi warna: Disarankan Sangat Lakukan (Hijau), Boleh Lakukan (Kuning/Oranye W+), Baiknya Hindari (Kuning/Oranye W-), Jangan Lakukan (Merah).
Mengapa demikian?
Menyoroti pengaruh NDT pada dimensi motorik dan fungsional dengan merangkum dari Novak & Honan (2019) & Novak et al. (2020), melihat dimensi motorik dan kemampuan fungsional anak cerebral palsy bertujuan untuk memberikan pengalaman bergerak, beraktivitas secara langsung dan terfasilitasi dengan mandiri dapat meningkatkan fungsi kompleks dari neuroplastisitas otak anak. Sebaliknya, ketika menggunakan NDT, SI dan metode lain pada diagram, tidak membelajarkan & memberikan pengalaman aktif kepada anak sehingga tidak mengaktifkan kerja fungsi motorik di otak.
Penanganan yang bersifat top-down yang diaplikasikan pada anak CP lebih memberikan pengalaman dan hasil yang nyata daripada pendekatan bottom-up dari pendekatan NDT/Bobath & SI (metode lama) (Novak & Honan, 2019)
NDT vs Pendekatan Lainnya
Riset dari te Velde et al. (2022) menelisik seputar efektivitas pendekatan NDT dibandingkan dengan pendekatan berbasis aktivitas (activity-based) dalam beragam dimensi & model penerapan, penggunaannya untuk meningkatkan fungsi motorik pada anak dan bayi dengan CP maupun resiko tinggi CP.
Bimanual Training & Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) (Img. www.cimt.co.uk)
Rangkuman kajian tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian dampak; (1) latihan activity-based lebih diunggulkan, (2) latihan struktur-fungsi tubuh sepadan dengan NDT, dan (3) NDT & berapapun dosis terapi NDT tidak dianjurkan dilakukan.
Mengapa demikian?
Temuan efektivitas activity-based ketika melibatkan anak untuk aktif dan mandiri dalam sesi terapi lebih meningkatkan pencapaian anak (dibandingkan menggunakan NDT yang masih difasilitasi). Keterlibatan lingkungan yang sebenarnya, beragam dan menyenangkan membuat anak lebih banyak belajar.
Eliasson et al. (2014) menyebutkan activity based pada bayi resiko tinggi CP melibatkan lingkungan penuh mainan yang sesuai dengan kemampuan motorik anak & berkembang sesuai level kognitif perkembangannya ketika sesi terapi dilakukan, seperti kalung, mainan masak-masakan, mainan halus-kasar, dan sebagainya.
Temuan riset latihan berbasis fungsi-komponen tubuh dibandingkan dengan penarapan NDT, menunjukkan dampak yang sama (meningkatkan fungsi motorik tubuh), akan tetapi tidak banyak ditemukan varian riset lain dan masih ditemukan bias.
Penggunaan pendekatan NDT metode lama dianjurkan untuk tidak digunakan dalam pelayanan kepada bayi dan anak dengan CP maupun resiko tinggi CP.
Hal tersebut disebabkan berdasarkan kajian meta analisis dan review sistematik, ditemukan dampak activity-based lebih baik daripada NDT lama dalam sampel yang memadai & bias relatif rendah, pun kajian yang tersedia tidak cukup memadai dan terpercaya lewat hasil data statistik (te Velde et al., 2022).
Batasi tindakan yang tidak efektif seperti: membantu, menggerakkan dan memposisikan – dengan tujuan menormalisasi gerakan maupun membatasi gerak abnormal, tonus & refleks, melakukan stretching pasif, memberikan input sensori maupun vestibular.
Perbanyak membelajarkan pola gerak aktif, bertahap, berulang dan bervariasi pada setiap tugas aktivitas, memberikan umpan balik terhadap kemampuan anak, menetapkan tujuan terapi yang sebenarnya dan mengembangkan keterampilan problem-solving anak.
Ulasan-ulasan di atas banyak menyoroti kajian seputar efektivitas NDT lama dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat activity-based (seperti CIMT, bimanual training dsb.) pada populasi CP di beragam kondisi dan usia perkembangan.
Sejelasnya, uji efektivitas tersebut diseleksi berdasarkan metodologi riset, baik secara review sistematik dan/maupun meta analisis, terhadap beragam literatur menyesuaikan pada kata kunci akses literaturnya; misalnya: neurodevelopmental treatment, cerebral palsy.
Berlanjut kepada membandingkan signifikansi hasil dari setiap literatur terseleksi hingga menarik kesimpulan: penerapan pendekatan NDT lama dalam praktik menunjukkan dampak tidak lebih baik daripada pendekatan lainnya, utamanya pendekatan yang bersifat activity-based.
Kesimpulan
Penggunaan pendekatan NDT (metode lama) bila dihubungkan dengan tren dan tujuan rehabilitasi kesehatan masa kini yang bersifat partisipatif dan melibatkan kepada lingkungan sebenarnya (perspektif top-down) tidak lagi relevan dan sejalan.
Perlunya kolaborasi, kombinasi, upgrade kepada perspektif NDT metode baru maupun tidak menerapkan NDT dengan mengaplikasikan metode yang evidence-based lainnya, kiranya dapat memberikan pelayanan yang lebih maksimal, memberikan pengalaman lebih partisipatif dan aktif kepada klien, sejalan ke arah occupation-centered dan client-centered pada layanan terapi okupasi pediatri.
Referensi
Ann-Christin Eliasson, Linda Nordstrand, Linda Ek, Finn Lennartsson, Lena Sjöstrand, Kristina Tedroff, Lena Krumlinde-Sundholm. The effectiveness of Baby-CIMT in infants younger than 12 months with clinical signs of unilateral-cerebral palsy; an explorative study with randomized design. Research in Developmental Disabilities,Volume 72, 2018, 191-201. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2017.11.006.
Anna te Velde, Catherine Morgan, Megan Finch-Edmondson, Lynda McNamara, Maria McNamara, Madison Claire Badawy Paton, Emma Stanton, Annabel Webb, Nadia Badawi, Iona Novak; Neurodevelopmental Therapy for Cerebral Palsy: A Meta-analysis. Pediatrics June 2022; 149 (6): e2021055061. 10.1542/peds.2021-055061
Behzadi, Faranak & Noroozi, Hesammedin & Mohamadi, Marzieh. (2014). The Comparison of Neurodevelopmental-Bobath Approach with Occupational Therapy Home Program on Gross Motor Function of Children with Cerebral Palsy. Journal of Rehabilitation sciences and Research. 1. 21-24.
Graham JV, Eustace C, Brock K, Swain E, Irwin-Carruthers S. The Bobath concept in contemporary clinical practice. Top Stroke Rehabil. 2009;16(1):57–68
Novak, I. and Honan, I. (2019), Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Aust Occup Ther J, 66: 258-273. https://doi.org/10.1111/1440-1630.12573
Novak, I., Morgan, C., Fahey, M. et al. State of the Evidence Traffic Lights 2019: Systematic Review of Interventions for Preventing and Treating Children with Cerebral Palsy. Curr Neurol Neurosci Rep20, 3 (2020). https://doi.org/10.1007/s11910-020-1022-z
Russell, Dorothy Charmaine, Scholtz, Christa, Greyling, Petro, Taljaard, Marin, Viljoen, Elmien, & Very, Corné. (2018). A pilot study on high dosage intervention of children with CP using combined therapy approaches. South African Journal of Occupational Therapy, 48(2), 26-33. https://dx.doi.org/10.17159/2310-3833/2017/vol48n2a5
Vaughan-Graham J, Cott C. Defining a Bobath clinical framework – a modified e-Delphi study. Physiother Theory Pract. 2016;32(8):612–627
Hubungan antara terapis dan klien (Img: post.medicalnewstoday.com)
Pelayanan terapi okupasi melibatkan banyak faktor yang dapat mendukung layanan yang memberikan dampak baik dan suportif terhadap perkembangan kondisi klien. Selain dengan memahami faktor klien, komponen performa okupasi, dan keterlibatan lingkungan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan klien dalam okupasi, peranan terapis baik keterampilan, kecakapan hingga kedekatan hubungan antara terapis dengan klien yang dijalin selama memberikan layanan terapi pada kenyataannya turut mendukung layanan terapi kepada klien.
Dalam artikel ini, kita akan membahas perihal bagaimana pemberdayaan keberadaan terapis okupasi dalam pelayanan kepada klien (therapeutic use of self) dan keterampilan menjalin hubungan dekat dan berdampak (intentional relationship) antara terapis dengan klien agar dapat membantu pemberian layanan terapi lebih maksimal dan berdampak terapeutik.
Therapeutic use of self, intentional relationship & Terapi Okupasi
interaksi & hubungan (img: pexels.com)
Therapeutic use of self merupakan salah satu keterampilan dari seorang terapis okupasi yang secara sadar dilakukan oleh terapis selama memberikan layanan terapi kepada klien. Cole & Mc Lean (2003) menjelaskan bahwa therapeutic use of self adalah bentuk dari kepercayaan dan hubungan yang terbentuk dari kerjasama, komunikasi, empati dan kepercayaan yang saling berpengaruh positif dari yang dilakukan terapis kepada klien. Selain faktor-faktor oleh Cole & Mc Lean (2003) tersebut, konteks sosial dan budaya juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi hubungan, rasa percaya & penghargaan klien kepada terapis terhadap layanan diberikan.
Therapeutic use of self erat hubungannya dengan hubungan yang intensif/intens (intentional relationship) yang dijalin oleh terapis sejak melakukan tahap awal proses terapi okupasi, ketika melakukan pemeriksaan dan menggali informasi klien hingga melaksanakan intervensi. Maka dalam membentuk hubungan intensif ini sejatinya merupakan proses yang panjang dan terus menerus dijalin, sehingga dapat terbentuk kedekatan ‘personal’, tetapi tetap dibatasi oleh sikap profesional terapis.
Bonsaksen, Vollestad & Taylor (2013) menyebutkan bahwa hubungan intensif ini melibatkan empat komponen yakni: klien, peristiwa interpersonal terapis-klien, terapis, interaksi di dalam sesi terapi okupasi bersama klien (komunikasi & partisipasi).
Faktor klien didasari atas kepribadian yang dimiliki klien dan situasi-konteks klien saat itu. Peristiwa interpersonal merupakan rangkaian peristiwa interaksi antara terapis-klien. Faktor terapis terkait dengan keterampilan terapis dalam menjalin hubungan dengan klien, keterampilan praktis dan profesionalisme. Terakhir interaksi sesi terapi okupasi bersama klien, bagaimana dapat membawa klien untuk terlibat dalam okupasinya dengan didukung oleh hubungan yang telah dijalin selama pelayanan.
Menjalin Hubungan Baik dalam Sesi Terapi Okupasi, pentingkah?
Menjalin hubungan dengan klien
Dalam riset Nelson & Allison (2007) memberikan penjelasan mengenai pentingnya hubungan yang terjalin di dalam praktik terapi okupasi. Ketika therapeutic use of self dilakukan, terjalinnya hubungan dengan klien dapat meningkatkan pencapaian terapi, berguna sebagai alat/media/cara untuk melibatkan orang tua dalam perjalanan terapi anak dan mengembangkan keterampilan terapis yang mampu profesional & adaptif dengan berbagai situasi.
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pendekatan terapeutik yang mendukung terapis dalam menjalin intentional relationship (Carstensen & Bonsaksen, 2017). Riset tersebut menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam praktik terapi okupasi pada kesehatan jiwa banyak mengedepankan empati dalam pelayanan dan dikatakan juga bahwa kepuasan terhadap pekerjaan sampel (terapis) disebabkan oleh cara kerja dengan memberikan instruksi.
Taylor (2008) menyatakan bahwa instruksi memberikan terapis kesempatan untuk menyusun secara terstruktur dan jelas pendekatan dari intervensi terapis, hingga memperagakan tata cara aktivitas. Hal ini dirasa lebih memudahkan terapis untuk memperhatikan perjalanan layanan kepada klien. Dalam melayani dengan memanfaatkan therapeutic use of self, partisipan (psikoterapis) menyampaikan meningkatnya kesadaran untuk profesional dan mendekatkan hubungan terapeutik dalam pelayanan kepada klien (Sleater & Scheiner, 2020).
Kesadaran untuk profesional ditunjukkan melalui cara terapis dalam memperhatikan penuh interaksi bersama pasien, tetapi juga berusaha tidak meng-iya-kan alur pikir, kesadaran dan anggapan pasien saat komunikasi berlangsung.
Bagaimana therapeutic use of self dalam praktik terapi okupasi?
Membersamai dalam sesi terapi (Img: New York Healths Career)
Tickle-Degnen (2002) menggambarkan alur model dari hubungan terapeutik, berhubungan dengan intentional relationship yang dijalin antara terapis dengan klienketika diterapkan dalam praktik.
Mengembangkan hubungan; terapis melakukan komunikasi untuk mengumpulkan informasi, membangun sikap kooperatif yang konsisten, penuh kehangatan, membantu meregulasi dan mempengaruhi komunikasi interpersonal bersama klien.
Mengembangkan kerjasama & kemitraan; terapis menentukan dan membelajarkan tahap-tahap dari terapi, menilai keberhasilan dan kegagalan dari layanan dan mengembangkan budaya hubungan saling bekerja sama dengan klien.
Menjalin hubungan kerjasama yang terbentuk; menyesuaikan perubahan tidak menentu dari hubungan terapis-klien dengan bertukar informasi, ekspresi dan proses adaptasi dan kedekatan yang ditunjukkan, pun diperlukan juga penggunaan bukti penelitian ilmiah selama periode layanan.
Di sisi lain, riset D’Arrigo et al. (2020) menunjukkan bagaimana strategi sesi terapi berlangsung sejak terjalinnya hubungan dengan klien hingga mencapai keterlibatan bersama klien di setting praktik pediatri.
Mendengarkan; perhatikan anak dengan seksama, lakukan interaksi dan komunikasi bersama anak, hargai respon keinginan, ekspresi maupun perilaku yang ditunjukkan anak serta bimbing anak untuk menemukan apa yang anak cari maupun untuk terlibat dalam aktivitasnya.
Merencanakan sesi terapi; mengarahkan aktivitas yang bertujuan, ciptakan suasana yang positif dan menyenangkan. melibatkan musik, menyanyi, permainan, tantangan maupun eksperimen selama sesi terapi dan menggunakan media terapi yang dibutuhkan.
Menyesuaikan kontrol dan kebebasan klien; memberikan kontrol terhadap keinginan anak, arahkan terapi untuk mencapai tujuan, berikan aturan kepada anak dan berikan penjelasan detail dari aktivitas yang ingin dilakukan sebelum melakukan.
Use of self; mengendalikan respon kita (terapis) terhadap respon yang diberikan anak selama sesi terapi, seperti ikut memposisikan diri ketika bermain, mengatur suara, ekspresi mimik wajah, perasaan senang dan bersikap bijaksana dengan tetap menyenangkan di depan anak.
Membantu mencapai keberhasilan; mengadaptasikan aktivitas dan tugas menyesuaikan kemampuan anak, mengurangi demonstrasi aktivitas, memberikan tanda-tanda untuk membantu anak, menerapkan metode chainning, memberikan tantangan untuk memicu keberanian, rayakan keberhasilan anak ketika menyelesaikan tugas dan konsisten berikan pujian positif di tiap usaha anak.
Membantu anak memahami, mengeksplorasi dan menemukan yang ingin dicari; membantu anak menemukan solusi, berikan masukan, evaluasi dari kesalahan anak dan biarkan belajar dari kesalahan.
Bagaimana membentuk intentional relationship dalam pelayanan?
Merekatkan hubungan terapis-klien selama pelayanan terapi okupasi (Img: Mindsoother Therapy Center)
Spiritualitas & Kepercayaan
Kepercayaan terhadap spiritual dan pendalaman kepada diri sendiri, dikatakan oleh Collins (2007) dapat melibatkan kita untuk menyadari diri dan ‘bayangan’ (kelemahan) kita dalam hal tertentu. Namun, dengan menemui kelemahan tersebut membuat terapis dapat mengeksplorasi dengan sadar terhadap keunggulan yang terapis miliki. Collins (2007) menyebutkan kembali bahwa kesadaran pada pendalaman terhadap spiritualitas dan kelemahan diri terapis, baiknya dapat dikendalikan dengan baik agar tidak mengganggu value therapeutic use of self yang diyakini oleh terapis dan tetap membangun hubungan dengan klien.
Komunikasi & Empati
Faktor terapeutik dalam praktik terapi okupasi turut dibantu oleh adanya keterampilan komunikasi dari terapis. Dalam riset Eklund, Erlandsson & Wastberg (2015) pada setting rehabilitasi vokasional, terapis dalam mengembangkan komunikasi perlu mengedepankan kejujuran dan tetap membantu klien dengan keterampilan yang kompeten dan rasa pengertian, sehingga dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi klien. Kejujuran yang disampaikan itu bermaksud untuk menerangkan fakta dan penjelasan yang benar, tanpa melibatkan perasaan saat menyampaikan (objektif).
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (KE) merupakan komponen karakter yang perlu dimiliki terapis okupasi, sebab dapat membantu dalam mengendalikan kontrol pada kendali regulasi diri & kemampuan merespon dengan berperasaan (berempati) dalam pelayanan yang diberikan kepada klien. McKenna & Mellson (2013) mengatakan bahwa KE berguna untuk memfasilitasi perasaan, mengendalikan tekanan dan kecemasan dan satu-satunya program kendali perasaan kita dalam memahami diri sendiri dan orang lain (klien). Komponen empati dan keterampilan komunikasi bersama KE dibutuhkan untuk membantu kita terhubung dengan klien dalam hubungan yang intens (intentional relationship) selama sesi terapi.
Pertimbangan Klinis
Terjalinnya hubungan intens antara terapis dengan klien turut didukung dengan keterampilan reasoning terapis. Pertimbangan klinis yang dilakukan oleh terapis dapat mengembangkan kerjasama antara terapis dan klien dalam layanan. Hal tersebut dapat terjadi sebab cara pelayanan terapis, pengetahuan, perhatian dan motivasi yang diberikan dapat mempengaruhi pelayanan yang terapis berikan dan mengembangkan respon positif dari klien kepada terapis (Shafaroodi et al., 2014).
Kesimpulan
Menyadari pentingnya membangun hubungan yang dekat, konsisten dan berdampak bersama klien dari awal bertemu hingga selama sesi terapi berjalan, maka kenyataan untuk menguasai dan mengaplikasikan therapeutic use of self dalam praktik klinis tentu dapat berguna bagi terapis untuk membantu mempromosikan kesejahteraan hidup klien. Melalui cerita dan bukti ilmiah yang direkam dalam literatur, kita dapat belajar dan mengasah teknik untuk bagaimana mewujudkan intentional relationship dan keterampilan kita dalam mengaplikasikan therapeutic use of self, memberdayakan diri kita membantu klien sehat, bahagia dan terlibat kembali dalam okupasinya.
REFERENSI
Bonsaksen, Tore, Vøllestad, Knut & Taylor, Renee. (2013). The Intentional Relationship Model – Use of the therapeutic relationship in occupational therapy practice. Ergoterapeuten. 56. 26-31.
Carstensen, T., & Bonsaksen, T. (2017). Factors Associated with Therapeutic Approaches Among Norwegian Occupational Therapists: An Exploratory Study. Occupational Therapy in Mental Health,34(1), 75-85. doi:10.1080/0164212x.2017.1383220
Cole, M. B., & Mclean, V. (2003). Therapeutic Relationships Re-Defined. Occupational Therapy in Mental Health,19(2), 33-56. doi:10.1300/j004v19n02_03
Collins, M. (2007). Spirituality and the Shadow: Reflection and the Therapeutic Use of Self. British Journal of Occupational Therapy,70(2), 88-90. doi:10.1177/030802260707000208
D’Arrigo, R. G., Copley, J. A., Poulsen, A. A., & Ziviani, J. (2020). Strategies occupational therapists use to engage children and parents in therapy sessions. Australian Occupational Therapy Journal,67(6), 537-549. doi:10.1111/1440-1630.12670
Eklund, M., Erlandsson, L., & Wästberg, B. A. (2015). A longitudinal study of the working relationship and return to work: Perceptions by clients and occupational therapists in primary health care. BMC Family Practice,16(1). doi:10.1186/s12875-015-0258-1
Mckenna, J., & Mellson, J. (2013). Emotional Intelligence and the Occupational Therapist. British Journal of Occupational Therapy,76(9), 427-430. doi:10.4276/030802213×13782044946382
Nelson, A., & Allison, H. (2007). Relationships: The key to effective occupational therapy practice with urban Australian Indigenous children. Occupational Therapy International,14(1), 57-70. doi:10.1002/oti.224
Tickle-Degnen, L. (2002). Client-Centered Practice, Therapeutic Relationship, and the Use of Research Evidence. American Journal of Occupational Therapy,56(4), 470-474. doi:10.5014/ajot.56.4.470
Taylor, R. R. (2008). The intentional relationship. Occupational therapy and the use of self. Philadelphia, PA: FA Davis.
Shafaroodi N, Kamali M, Parvizy S, Hassani Mehraban A, O’Toole G. (2014). Factors affecting clinical reasoning of occupational therapists: a qualitative study. Medical Journal Islam Republic of Iran, 2014 (19 Feb). Vol. 28:8.
Sleater, A. M., & Scheiner, J. (2020). Impact of the therapist’s “use of self”. The European Journal of Counselling Psychology,8(1), 118-143. doi:10.5964/ejcop.v8i1.160
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia karena manusia menggunakan sepertiga waktu hidupnya untuk tidur. Tidur dan istirahat memiliki peran penting dalam kesehatan seseorang. Dalam Occupational Therapy Practice Framework 4th Edition American Occupational Therapy Association (AOTA) (2020), tidur dan istirahat sudah tidak lagi masuk kedalam kategori Activity Daily Living (ADL) namun sudah berdiri sendiri yaitu menjadi domain tidur dan istirahat (sleep dan rest).
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tidur dan istirahat bagi seseorang. Tanpa tidur yang memadai, kinerja pekerjaan siang hari seperti mengemudi, produktivitas, leisure, dan partisipasi sosial dapat terganggu (Smallfield & Molitor, 2018). Hal tersebut menjadi salah satu concern seorang terapis okupasi dalam perihal meningkatkan kualitas hidup seseorang melalui peningkatan kualitas tidur klien.
Apa itu Sleep Deprivation dan Efeknya?
Sering Mengantuk saat Bekerja (Img: Dana Foundation)
Kurang tidur atau sleep deprivation (DEP-rih-VA-shun) adalah kondisi yang terjadi jika seseorang tidak cukup tidur. Sleep deprivation terjadi jika seseorang memiliki satu atau lebih tanda berikut (National Heart Lung and Blood Institute, 2012):
Tidak mendapatkan cukup tidur (kurang tidur),
Tidur pada waktu yang salah hari (yaitu, tidak sinkron dengan jam alami tubuh (Body’s Natural Clock)),
Tidur tidak nyenyak atau tidak mendapatkan semua jenis tidur yang dibutuhkan tubuh,
Memiliki gangguan tidur yang menyebabkan tidur yang tidak cukup atau menyebabkan kualitas tidur yang buruk .
Adapun penyebab umum dan tambahan terjadinya sleep deprivation adalah kurang tidur, kemudian penyebab lainnya adalah (American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 2019; AOTA, 2019):
Adanya keterkaitan dengan kondisi medis seperti penyakit diabetes, mood disorder, jantung dan stroke yang menyebabkan circadian rhythm disturbance,
Kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder, Sleep disorder seperti insomnia,
Nyeri akibat artritis, osteoporosis dan penyakit yang menyebabkan nyeri lainnya,
Depresi, stress dan kecemasan.
Efek negatif dari sleep deprivation terbagi menjadi dua jenis yaitu short term effect dan long term effect (Bilwise (1997) dalam AOTA (2019)). Short term effect meliputi kecemasan, mengantuk saat berkendara, mudah lupa, sulit konsentrasi, penurunan performa aktivitas dan kesadaran, gangguan memori dan kognitif, stress terhadap hubungan dan automobile accident (Kecelakaan mobil atau saat berkendara).
Kemudian long term effect berupa tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, obesitas, diabetes tipe 2, depresi dan gangguan emosi, dan kualitas hidup yang rendah.
Screening, Evaluasi & Intervensi Terapi Okupasi pada Sleep deprivation
Gangguan Tidur perlu Dilakukan Pemeriksaan Terapi Okupasi (Img: Freepik)
Screening
Tahapan awal yang wajib dilakukan seorang terapis okupasi terhadap klien adalah screening. Screening yang dilakukan dapat berupa screening test dan screening task. Karena tidur memainkan peran utama dalam kehidupan semua orang, terapis okupasi harus menanyakan tentang tidur klien mereka dalam setiap evaluasi awal (Pierce & Summers, 2011).
Mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang sejauh mana masalah tidur seseorang adalah kunci untuk menemukan intervensi yang ideal. Informasi ini dapat mulai didapatkan di awal dengan evaluasi informal, seperti melihat kondisi fisik klien saat datang ke terapis seperti raut wajah, cara berjalan, berbicara dan melihat secara menyeluruh apakah muncul gejala-gejala yang diakibatkan oleh sleep deprivation seperti kecemasan, hilangnya memori & kesadaran serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang riwayat tidur klien.
Pertanyaan-pertanyaan dasar tentang riwayat tidur seseorang harus mencakup pertanyaan seperti kualitas tidur klien (berapa lama durasi tidur klien, jadwal, pola tidur, dan perasaan saat bangun), lingkungan tidur klien (apakah ada gangguan dari luar seperti suara berisik, suhu kamar, jumlah orang yang tidur di ruangan klien, bagaimana cahaya di ruangan), faktor lain yang terkait (apakah menggunakan obat tidur, bagaimana rutinitas sebelum tidur yang dilakukan klien) dan bagaimana menurut klien tentang kualitas tidur yang dimiliki (Adequate (kuat), inadequate (kurang kuat), atau bermasalah) (AOTA, 2019).
Evaluasi
Evaluasi sangat penting dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang permasalahan klien dengan pemeriksaan terstandar. Evaluasi untuk sleep deprivation dapat dilakukan melalui pemeriksaan terstandar seperti Epworth Sleepiness Scale (1997), Pittsburgh Sleep Quality Index (Buysse et al., 1989), Dysfunctional Beliefs and Attitudes About Sleep (E Provide, 2007), Glasgow Sleep Effort Scale (Broomfield & Espie, 2005).
Selain itu seorang terapis okupasi juga dapat menggunakan pemeriksaan terstandar Occupational Profile of Sleep karya Pierce dan Summers (2011) dimana seorang terapis okupasi dapat menggunakannya untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana rutinitas tidur, pola tidur dan lingkungan tidur klien yang kemudian akan dianalisis dan memberikan rekomendasi atau tujuan terapi terbaik bagi klien (Pierce & Summers, 2011).
Berikutnya untuk mengetahui occupation yang terdampak dari permasalahan tidur. seorang terapis okupasi dapat menggunakan Canadian Occupational Performance Measurement (COPM) atau Functional Independent Measure (FIM) (Eris & Andrew, 2018).
Sebelum menuju tahap penentuan intervensi, seorang terapis okupasi perlu memperhatikan faktor klien seperti tanggung jawab caregiver klien, pekerjaan dan kehidupan klien, nyeri dan kelelahan klien, gangguan keseimbangan, ketajaman penglihatan, kekuatan otot, integritas kulit, dan rentang gerakan di ekstremitas atas dan bawah, masalah integrasi atau pemrosesan sensorik, penggunaan obat-obatan, alkohol, nikotin dan lingkungan rumah klien (AOTA, 2019).
Intervensi
Setelah dilakukannya screening dan evaluasi maka seorang terapis okupasi akan dapat menentukan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan klien. Penelitian berjenis meta-anlysis yang dilakukan Eris & Andrew (2018) berjudul Review Article Occupational Therapy Practice in Sleep Management: A Review of Conceptual Models and Research Evidence membahas tentang beberapa bentuk intervensi terapi okupasi dalam permasalahan tidur. Terdapat empat jenis bentuk intervensi yang digunakan dan efektivitas yang dibahas, antara lain:
Menggunakan assistive device atau assistive equipment,
Menggunakan aktivitas,
Cognitive behaviour therapy for insomnia,
Intervensi gaya hidup (life style intervention).
Terapi Okupasi pada Manajemen Tidur (Eris & Andrew, 2018)
Menggunakan Assistive Device/Equipment
Bentuk intervensi ini terdapat dua jenis yaitu penggunaan assistive equipment dan positioning. Assistive device yang digunakan seperti bantal dreampad, selimut tebal, dan perlengkapan tidur seperti masker mata, penyumbat telinga (earplug) dan mesin peredam suara. Bantal Dreampad adalah sebuah teknologi yang sudah dipatenkan dimana dalam bantal tersebut terdapat musik yang menenangkan, yang merelaksasi tubuh dan pikiran, dan dilengkapi dengan fitur pencarian musik yang disukai klien.
Dreampad pillow
Dreampad pillow dinilai efektif dalam membantu klien karena dapat meningkatkan durasi tidur, meningkatkan kualitas tidur, dan mengurangi frekuensi terbangun di malam hari. Ini juga membantu meningkatkan hasil sekunder dari anak autisme, seperti mengurangi perilaku maladaptive, meningkatkan atensi serta kualitas hidup dan kepuasan orang tua (Eris & Andrew, 2018). Kemudian positioning, bahwa posisi tidur terlentang lebih memberikan efek baik yaitu membuat tidur lebih lama dan mengurangi frekuensi bangun daripada posisi tengkurap (Jarus, et al., 2011).
Menggunakan Aktivitas
Cobalah Melakukan Meditasi sebelum Tidur (Img: Diario Sur)
Terapis okupasi tidak akan jauh dari penggunaan aktivitas bermakna dalam intervensinya. Beberapa studi menunjukan penggunanan mind-body activity seperti meditasi, yoga dan pernapasan dapat digunakan sebagai intervensi permasalahan tidur. Meditasi dinilai efektif dalam menangani permasalahan tidur yaitu dapat membuat durasi tidur lebih lama dari pada hanya mengedukasi cara sleep-hygiene (Gutman, et al., 2016). Disamping itu, aktivitas yoga dan latihan pernapasan dinilai tidak efektif dalam mengatasi permasalahan tidur dan hanya mengurangi gejala depresi saja (Wen, et al., 2017).
Menggunakan Terapi Kognitif Perilaku (cognitive behaviour therapy)
Terapi kognitif perilaku untuk mengatasi insomnia (CBTi) atau gangguan tidur telah lama dipertimbangkan sebagai evidence-based practice. CBTi adalah program terstruktur yang bertujuan untuk meningkatkan tidur dengan mengidentifikasi dan mengubah pikiran dan perilaku negatif yang terkait dengannya, seperti kognitif traps dan keyakinan tentang hal-hal yang membatasi tidur (Eris & Andrew, 2018).
Penelitian tentang efektivitas CBTi pada Parkinson disease dengan jumlah 22 partisipan, dengan pre-test dan post-test dengan menggunakan sleep diary dan pemeriksaan Parkinson’s Disease Sleep Scale menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kualitas tidur pada klien dengan Parkinson disease saat setelah dilakukan intervensi dengan metode CBTi (Yang & Petrini, 2012).
Intervensi Gaya Hidup
Gaya Hidup Sehat (Img: Freepik)
Intervensi gaya hidup berpusat pada peningkatan kebiasaan tidur sehat dan penjadwalan ulang aktivitas dan memfasilitasi pergantian peran pada elderly melalui edukasi, berbagi pengalaman dan pengaturan tujuan. Terlalu banyak atau terlalu sedikit aktivitas siang hari sangat terkait dengan pola tidur di malam hari, rescheduling aktivitas siang hari membantu seseorang dalam mencapai gaya hidup yang seimbang serta untuk memfasilitasi tidurnya pada malam hari. Program ini menunjukkan perubahan positif dalam perilaku tidur, termasuk peningkatan jam tidur, mengurangi kesulitan tidur, dan mengurangi mimpi buruk (Leland , et al., 2016).
Intervensi ini juga meminta klien agar mengurangi jam tidur siang hari dan meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas di siang hari, terutama kegiatan sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen tidur tidak hanya menyangkut tidur tetapi juga partisipasi kegiatan fungsional siang hari yang dilakukan klien (Eris & Andrew, 2018).
Kesimpulan
Tidur merupakan main occupation bagi manusia. Tanpa kualitas tidur yang baik seseorang akan mengalami penurunan kualitas fungsional sehari-harinya. Terapis okupasi berperan penting dalam melakukan screening, evaluasi hingga intervensi bagi klien dengan sleep deprivation agar dapat menentukan program terapi terbaik. Beberapa cara dalam mengatasi gangguan tidur seperti penggunaan assistive device, aktivitas body-mind, CBTi, hingga perubahan gaya hidup telah diteliti dan digunakan sebagai evidence-based practice. Seorang terapis okupasi hanya perlu menentukan jenis intervensi terbaik sesuai dengan kebutuhan klien untuk dapat meningkatkan fungsional dan kualitas hidup klien.
Referensi
American Occupational Therapy Association. (2020). Occupational therapy practice framework: Domain and process (p. 7412410010). AMERICAN OCCUPATIONAL THE.
Smallfield, S., & Molitor, W. L. (2018). Occupational therapy interventions addressing sleep for community-dwelling older adults: A systematic review. American Journal of Occupational Therapy, 72(4), 7204190030p1-7204190030p9.
National Heart, Lung, and Blood Institute. Sleep Deprivation and Deficiency. 2012.
Bandyopadhyay, A., & Sigua, N. L. (2019). What is sleep deprivation?. American journal of respiratory and critical care medicine, 199(6), P11-P12.
Pierce, D., & Summers, K. (2011). Rest and sleep. In C. Brown & V. C. Stoffel (Eds.), Occupational therapy in mental health: A vision for participation (pp. 736–758). Philadelphia: F. A. Davis. Pizzi, M., & Richards, L. (2017). Promoti
Manisha Sheth, O. T. D., & Thomas, H. (2014). Managing Sleep Deprivation in Older Adults: A Role for Occupational Therapy. Sleep, S20.
T. Jarus, O. Bart, G. Rabinovich et al., “Effects of prone and supine positions on sleep state and stress responses in preterm infants,” Infant Behavior and Development, vol. 34, no. 2, pp. 257–263, 2011.
S. A. Gutman, K. A. Gregory, M. M. Sadlier-Brown et al., “Comparative effectiveness of three occupational therapy sleep interventions,” OTJR: Occupation, Participation and Health, vol. 37, no. 1, pp. 5–13, 2016.
P.-S. Wen, I. Herrin, A. L. de Mola et al., “Yoga for sleep, pain, mood, and executive functioning in persons with traumatic brain injury,” American Journal of Occupational Therapy, vol. 71, article 7111515267p1, 4_Supplement_1, 2017.
Yang, H., & Petrini, M. (2012). Effect of cognitive behavior therapy on sleep disorder in Parkinson’s disease in China: a pilot study. Nursing & health sciences, 14(4), 458-463.
N. E. Leland, D. Fogelberg, A. Sleight et al., “Napping and nighttime sleep: findings from an occupation-based intervention,” American Journal of Occupational Therapy, vol. 70, no. 4, pp. 7004270010p1–7004270010p7, 2016.
Memasuki era globalisasi menuju era pemanfaatan teknologi dan digitalisasi, kita seringkali melihat beragam media, teknologi yang semakin canggih di berbagai bidang dan lingkungan tempat kita hidup di masa kini. Adakah yang menyangka media alat cetak (printing) yang telah kita temui sejak dulu (saat ini pun masih ada upgrade-nya) berfungsi untuk mencetak objek dari file elektronik ke dalam tampilan 2 dimensi yang dapat kita saksikan di kertas, kain maupun perantara lainnya, kini berkembang hingga dapat mencetak objek dalam 3 dimensi?
Munculnya teknologi ini cukup mengejutkan dan saat ini terus berkembang. Dalam Gebhardt & Fateri (2013) menunjukkan beberapa penggunaan 3D printing dalam bidang pendidikan, kuliner, manufaktur, konstruksi, kesehatan, dan kesenian.
[Gambar. Gebhardt & Fateri (2013)]
3D Printing merupakan metode menciptakan objek fisik dengan memproses beberapa bahan baku, misalnya plastik, besi, keramik dan bahan lainnya untuk memproduksi sebuah objek tiga (3) dimensi, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jenis printer, yakni Selective Laser Sintering (SLS), Thermal Inject Printing (TIP) dan Fused Deposition Modelling (FDM) (Ventola, 2014). Eshkalak et al. (2020) menjelaskan proses dari penggunaan 3D printing, sebagai berikut:
Pertama, membuat desain tiga dimensi di komputer menggunakan software (aplikasi pengakses 3D maupun CAD).
Kedua, membuat model STL (format file yang terkait dengan desain 3D print) dan ubah jenis file ke format yang dapat dibaca printer.
Ketiga, menyesuaikan file desain ke dalam format STL yang telah dibuat.
Keempat, cetak produk dengan printer dan bersihkan bagian-bagian yang tidak diperlukan.
Kelima, produk siap digunakan dan dilakukan pemeliharaan.
[Gambar Proses 3D Printing – Eshkalak et al. (2020)]
Dalam riset Campbell et al. (2011) mengenai pengaruh 3D printing terhadap pengembangan manufaktur di dunia yang mana penggunaan nanotechnology dalam 3D printing mulai diminati dan dirasa memiliki keuntungan lebih baik daripada teknologi konvensional sebelumnya. Keuntungan yang ditunjukkan seperti (Campbell et al., 2011):
Dapat menciptakan produk yang detail, kompleks dan murah daripada teknologi sebelumnya.
Terhubung dengan sistem data elektronik dan internet yang mudah dikelola dan dibuat dimana hal ini dapat mencegah ‘pemborosan’ karena kesalahan produksi,
Dapat memproduksi dalam jumlah besar dan dalam berbagai ukuran karena didesain melalui file dan dibantu fitur network filesharing sehingga desain dapat digunakan oleh banyak orang di dunia.
Mengurangi sampah sisa produksi karena penggunaan printer ini tepat, terukur dan teliti terhadap bahan baku produk yang digunakan.
Dikatakan lebih ramah lingkungan, ditunjukkan oleh tabel berikut.
[Gambar – 3D Printing disebut ramah lingkungan (Campbell et al., 2011)]
Meskipun kita memahami dengan keunggulan yang ada dari objek dan penggunaan 3D printing, kita juga perlu memahami ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait misalnya copyright terhadap hak kekayaan intelektual, tujuan penggunaan dan produksi produk ilegal dan berbahaya, terutama tentang keamanan bahan yang ramah lingkungan, tidak berdampak buruk terhadap manusia bila dipakai maupun dikonsumsi dan terakhir persoalan etik yang penting diperhatikan dari produk yang diciptakan (Fang & Kumar, 2018).
Penggunaan 3D Printing dalam Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi Kesehatan
Dalam Yan et al. (2018) mendeskripsikan beberapa aplikasi 3D printing dan objek yang dibuat dalam pelayanan kesehatan, berupa model/purwarupa organ untuk analisis pelayanan bedah dan perencanaan sebelum operasi bedah, implan permanen sintetis (non-bioactive), membuat dasaran bioaktif dan biodegradable pada jaringan tubuh lokal dan mencetak secara langsung jaringan maupun organ tubuh. Kemudian, ditambahkan Santos et al. (2019) menyebutkan pengaruh sendok dengan modifikasi objek 3D printing menunjukkan peningkatan pengaruh terhadap rata-rata kemampuan dan kepuasan dalam okupasi makan daripada hanya menggunakan sendok tanpa modifikasi.
Manero et al. (2019) menambahkan tentang peranan 3D printing dalam kolaborasinya dengan teknologi robotik untuk pembuatan prostetik tangan yang dapat didesain sedemikian rupa melalui aplikasi komputer dengan menyalurkan kreativitas, menarik dan dapat menyesuaikan keinginan klien hingga berlanjut kolaborasi dengan virtual reality untuk melatih kembali fungsi tangan klien dengan prostetik tersebut.
[Gambar. Yan et al. (2018)]
[Gambar. Manero et al. (2019)]
[Gambar. Santos et al. (2019)]
Bukti bukti ilmiah dari penggunaan objek 3D printing di atas, bila kemudian ditelusuri tentang bagaimana efektivitasnya dalam pelayanan kesehatan, Diment, Thompson & Bergmann (2017) menyebutkan bahwa pemanfaatan 3D printing yang telah banyak ditemui peranannya dalam pelayanan kesehatan maupun rehabilitasi kesehatan berupa meningkatkan efisiensi tenaga, waktu dan biaya serta meningkatkan tepat guna dalam pelayanan kepada klien.
Selanjutnya, Liu (2018) menyebutkan bahwa efektivitas tersebut didukung oleh objek desain dari 3D printing yang dapat dikreasi, dibagikan ke khalayak seluruh dunia melalui data, bisa melalui universal design (ukuran sebagian banyak populasi), inclusive design (ukuran pada populasi yang lebih kecil & modifikasi dari universal design)dan customized design (ukuran khusus sesuai kebutuhan individual) Namun, untuk menjadikan 3D printing ikut dalam standar praktik kesehatan di institusi kesehatan diperlukan pemeriksaan yang panjang, akurat dan mendalam (Diment, Thompson & Bergmann, 2017).
Penggunaan 3D Printing dalam Praktik Terapi Okupasi
Dalam praktik terapi okupasi penggunaan 3D printing dapat memfasilitasi client-centeredness, dimana desain dibuat untuk memenuhi faktor individual dan dalam kebutuhan yang sangat spesifik. Pemanfaatan alat bantu (assistive device maupun assistive technology) dalam memberikan pelayanan kepada klien.
Adapun penggunaan alat bantu baik konvensional maupun berbasis teknologi mumpuni diulas dalam review literatur Lindstrom & Hemmingsson (2014), menyebutkan beberapa manfaat yang dirasakan dalam penggunaan alat bantu pada anak dengan disabilitas, yakni meningkatkan produktivitas belajar, membantu dalam latihan menulis, mengetik, berkomunikasi dan berhitung. Dengan dampak yang begitu membantu, maka rasanya penggunaan 3D printingdikenalkan lebih mendalam agar semakin banyak pemanfaatannya dalam praktik kesehatan.
Riset Janson et al. (2020) mengenai penggunaan beberapa jenis assistive devices dari objek 3D printing pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) yang mengalami masalah tangan. Aplikasi alat bantu tersebut dikatakan dapat menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan kemampuan okupasi dan tingkat kepuasan klien. Satu riset menyebutkan penggunaan 3D printing dilakukan dengan kolaborasi 3 (tiga) profesi terapis okupasi, teknisi biomedis dan pemustaka kesehatan (Wagner et al., 2018). Proses kolaborasi tersebut berjalan bertahap mulai melakukan pengukuran, merencanakan desain, membuat gambaran 3 dimensi, hingga memproduksi desain ke dalam produk cetak.
Berikutnya, Lee et al. (2019) juga menunjukkan bagaimana menerapkan objek 3D printing kepada klien untuk memaksimalkan produktivitas menulis. Modifikasi pada splint dengan objek 3D printing dilakukan dengan menambahkan pengait untuk menempatkan pulpen pada splint dan memudahkan klien untuk terlibat kembali pada okupasinya.
[Gambar. Janson et al. (2020)]
[Gambar. Wagner et al., 2018)]
[Gambar. Lee et al. (2019)]
KESIMPULAN
Peradaban dunia semakin canggih dengan banyak inovasi yang diterapkan di dalam pelayanan kesehatan. Penggunaan 3D printing dan objek produksinya seperti ulasan di atas menunjukkan manfaat dan potensi yang nyata untuk memudahkan pelayanan kesehatan dan terapi okupasi yang menjunjung prinsip berpusat pada klien. Namun, tentu tetap ada beberapa hal yang patut diperhatikan, baik hal operasional, teknis, maupun persiapan peralatan hingga pendalaman riset riset ilmiah sebelum Anda aplikasikan di lahan praktik.
Penggunaan 3D printing pada level klien, perlu memperhatikan ketepatan desain, pengukuran, pemilihan bahan hingga perawatan dan pemahaman safety precaution. Semoga berdampak.
REFERENSI
Avf, S., La, L., Mf, A., A, C., & Zc, S. (2019). User-centered design of a customized assistive device to support feeding. Procedia CIRP,84, 743-748. doi:10.1016/j.procir.2019.04.318
Diment, L. E., Thompson, M. S., & Bergmann, J. H. (2017). Clinical efficacy and effectiveness of 3D printing: A systematic review. BMJ Open,7(12). doi:10.1136/bmjopen-2017-016891
Eshkalak, S. K., Ghomi, E. R., Dai, Y., Choudhury, D., & Ramakrishna, S. (2020). The role of three-dimensional printing in healthcare and medicine. Materials & Design,194, 108940. doi:10.1016/j.matdes.2020.108940
Fang, E. H., & Kumar, S. (2018). The Trends and Challenges of 3D Printing. Encyclopedia of Information Science and Technology, Fourth Edition, 4382-4389. doi:10.4018/978-1-5225-2255-3.ch380
Gebhardt, A., & Fateri, M. (2016). 3D Printing and Its Applications. International Journal of Science and Research (IJSR),5(3), 1532-1535. doi:10.21275/v5i3.nov162160
Hurst, E. J. (2016). 3D Printing in Healthcare: Emerging Applications. Journal of Hospital Librarianship,16(3), 255-267. doi:10.1080/15323269.2016.1188042
Janson, R., Burkhart, K., Firchau, C., Hicks, K., Pittman, M., Yopps, M., . . . Garabrant, A. (2020). Three-dimensional printed assistive devices for addressing occupational performance issues of the hand: A case report. Journal of Hand Therapy,33(2), 164-169. doi:10.1016/j.jht.2020.03.025
Lee, K. H., Kim, D. K., Cha, Y. H., Kwon, J., Kim, D., & Kim, S. J. (2018). Personalized assistive device manufactured by 3D modelling and printing techniques. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,14(5), 526-531. doi:10.1080/17483107.2018.1494217
Lidström, H., & Hemmingsson, H. (2014). Benefits of the use of ICT in school activities by students with motor, speech, visual, and hearing impairment: A literature review. Scandinavian Journal of Occupational Therapy,21(4), 251-266. doi:10.3109/11038128.2014.880940
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Manero, A., Smith, P., Sparkman, J., Dombrowski, M., Courbin, D., Kester, A., . . . Chi, A. (2019). Implementation of 3D Printing Technology in the Field of Prosthetics: Past, Present, and Future. International Journal of Environmental Research and Public Health,16(9), 1641. doi:10.3390/ijerph16091641
Tay, Y. W., Panda, B., Paul, S. C., Mohamed, N. A., Tan, M. J., & Leong, K. F. (2017). 3D printing trends in building and construction industry: A review. Virtual and Physical Prototyping,12(3), 261-276. doi:10.1080/17452759.2017.1326724
Wagner, J. B., Scheinfeld, L., Leeman, B., Pardini, K., Saragossi, J., & Flood, K. (2018). Three professions come together for an interdisciplinary approach to 3D printing: Occupational therapy, biomedical engineering, and medical librarianship. Journal of the Medical Library Association,106(3). doi:10.5195/jmla.2018.321
Yan, Q., Dong, H., Su, J., Han, J., Song, B., Wei, Q., & Shi, Y. (2018). A Review of 3D Printing Technology for Medical Applications. Engineering,4(5), 729-742. doi:10.1016/j.eng.2018.07.021
Kita Menuju Zaman Digitalisasi, Revolusi Industri 5.0 – Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Menuju tahun 2030, dunia kian berkembang dan menumbuhkan tren-tren baru seputar teknologi dan perangkat digital nirkabel yang beberapa dapat membawa kita ke realitas dunia yang berbeda dari yang kita tinggali saat ini. Mari melihat Indonesia dari tahun 2010, zaman dimulai dengan menjamurnya penggunaan komputer dengan game online dan kecanggihan akses internet nirkabel di masyarakat. Berjalan kembali dalam lima tahun berikutnya, penggunaan perangkat genggam (mobile tech) berkembang pesat bersamaan dengan pengembangan teknologi virtual yang saat itu belum begitu familiar. Hari ini, tahun 2021 kenyataannya kita masih belum familiar juga dengan penggunaan teknologi virtual ini, meskipun kita sudah temui beberapa contoh, misalnya Nintendo Wii, Google Cardboard, Oculus, Virtual Reality Playstation, Google Glass, banyak varian teknologi Smart Home dan banyak lagi, baik perangkat kreatif baru yang muncul maupun bentuk upgrade dari perangkat-perangkat lama yang sudah ada.
Pengembangan teknologi dalam ilmu terapi okupasi juga menunjukkan kemajuan pada setiap zamannya. Liu (2014) mencatat praktik terapi okupasi telah menunjukkan dedikasi dalam penerapan teknologi masa kini, seperti virtual reality, 3D printing, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotik, kendaraan otomatis-semi otomatis hingga pemanfaatan smart-home. Dalam Smith (2017) menceritakan bagaimana berkembangnya penggunaan teknologi di dunia terapi okupasi dari awal berdirinya terapi okupasi, hingga perspektifnya melihat penggunaan teknologi dalam terapi okupasi di sekian masa kedepannya. Hari ini pengembangan ilmu terapi okupasi sudah mendekati penerapan teknologi dalam pelayanan di banyak negara, khususnya di negara maju. Dalam melihat aspek klien dengan keterlibatan faktor person-environment-occupation di masa kini, aspek teknologi (technology) kini mulai ditambahkan sebagai tolak ukur dalam memandang klien dan melibatkan dalam intervensi.
Melihat klien secara holistik, selain menghubungkan aspek fisik-psikologis-okupasi-lingkungan dengan melibatkan maupun menambahkan penggunaan teknologi (Smith, 2017); Keterangan. AT: assistive techology, ET: environmental technology, TT: therapeutic technology, ORT: occupation-related technology.
Berkenalan dengan Virtual Reality
Penggunaan Virtual Home 3D – Sumber: https://www.nbcnews.com
Membahas virtual reality, kita mengenal kata reality dan virtual dari segi bahasa berarti kenyataan yang sebenarnya dan kemiripan dengan yang sebenarnya (KBBI, 2020). Realitas virtual menunjukkan kita adanya kenyataan yang mirip dengan yang kita lihat dari mata dan keberadaan kita. Ketika menggunakan virtual reality, kita akan masuk, terhubung dan berada di lingkungan yang berbeda, terlepas dari hal nyata. Penggunaan virtual reality membutuhkan beberapa persiapan seperti software, hardware dan keterampilan pengguna (Berntsen, Palacios & Herranz, 2016). Rose (2018) mendeskripsikan virtual reality terbagi atas 3 (tiga) tipe, non-immersive, semi-immersive dan fully immersive. Immersive, dari kata immersion, merupakan komponen penting pembangun lingkungan virtual di mana pengguna dapat sadar karena pengguna secara psikologis, perseptual dan terasa berada di sana (terhubung ke dalam dunia virtual) (Slater et al., 1996).
Melihat Virtual Reality pada Rehabilitasi Medis
Membuka pembahasan bagaimana pengaruh virtual reality dalam rehabilitasi medik, melansir satu editorial Weiss & Katz (2004) menerangkan adanya lingkungan virtual dapat menjadi potensi yang baik untuk dilibatkan dalam pelayanan rehabilitasi medik. Munculnya virtual reality dalam masa itu menjadi kemajuan yang cukup visioner dan menguntungkan. Keunggulan dari virtual reality yang menghubungkan klien untuk partisipatif kepada lingkungannya (walaupun dengan lingkungan virtual atau mirip lingkungan sebenarnya) tetap dapat berfungsi sama interaktifnya dengan dunia sebenarnya.
Melihat pengembangan virtual reality di ranah rehabilitasi medik, dalam penelitian Kizony, Katz & Weiss (2003), virtual reality di masa lalu dilakukan dengan penggunaan-penggunaan virtual reality terhubung dengan media yang diaplikasikan melalui games untuk melatih klien dengan masalah neuromuskular. Riset berikutnya dalam Moreira et al. (2013), virtual reality juga digunakan dalam intervensi pola jalan pada klien pasca stroke menggunakan virtual reality (VR) device. Hal tersebut menunjukkan manfaat dalam perbaikan pola jalan dengan melibatkan klien pada latihan yang menyenangkan, partisipatif dan memiliki arti bagi klien. Dalam kasus lainnya, intervensi dengan virtual reality menunjukkan pengaruh positif dalam menangani masalah keseimbangan pada klien rawat jalan dengan cedera otak (Cuthbert et al., 2014).
Pertimbangkan Ini Sebelum Menggunakan Virtual Reality di Praktik Terapi Okupasi
Dalam penggunaan virtual reality pada klien dalam berbagai setting tentunya terdapat beberapa pertimbangan untuk memutuskan penggunaan virtual reality pada klien. Dalam area pediatri, virtual reality memiliki beberapa pengaruh di antaranya menstimulasi input berbagai sensori, kemampuan gerak, fungsi kognitif dan kinerja area okupasi. Misalnya dalam Galvin & Levac (2011), penggunaan virtual reality memiliki kategori dan fungsi yang berbeda-beda dari setiap sistemnya. Maka, dalam menuju langkah intervensi dan tujuan terapi yang akan diwujudkan, kita perlu menentukan media virtual reality yang tepat.Mengutip Lange et al. (2012), dalam melibatkan virtual reality pada intervensi rehabilitasi terapis perlu memperhatikan ketentuan aktivitas yang diberikan kepada klien, sebagai berikut.
Diperlukan data pemeriksaan yang mendalam dan lengkap agar dapat menentukan target aktivitas terapi dengan tepat.
Menyesuaikan tingkat kesulitan tugas dari yang mudah dilakukan terlebih dahulu.
Mampu dilakukan klien dengan berulang-ulang dan bertahap secara terukur.
Klien maupun terapis mampu memberikan umpan balik (feedback;internalfeedback) terhadap kondisi klien demi tercapainya tujuan terapi.
Dapat diperhitungkan, maksudnya dalam mengukur kemampuan klien selama penggunaan perangkat virtual reality dan kemajuan yang diperoleh klien.
Suasana virtual dapat dibuat relevan dengan keadaan dunia sebenarnya termasuk dengan aktivitas fungsional yang dilakukan,
Mampu memotivasi keterlibatan klien dan interaksi klien dengan aktivitas yang dilakukan.
Menambahkan kembali dari Lange et al. (2012), adapun terdapat ketentuan-ketentuan software virtual reality yang perlu digunakan dalam rehabilitasi seperti (1) adanya pengaturan sistem agar dapat disesuaikan kepada pengguna, (2) platform atau permainan yang bervariasi, (3) terdapat variasi tema-tema tertentu di tiap platform, (4) adanya rangsangan kontrol yang diberikan (oleh sistem virtual reality), (5) terdapat beragam sudut pandang mode penggunaan dalam platform (first-person, third-person, role-play, dan sebagainya), (6) tampilan yang disajikan sistem, (7) feedback sistem yang ditimbulkan, (8) kemampuan pengguna yang dapat dicatat sebagai data, (9) penggunaan oleh banyak pengguna, (10) adanya kecerdasan buatan yang mendukung dan memberikan tantangan kepada pengguna, (11) serta adanya koneksi jaringan, baik media yang digunakan maupun koneksi dengan pusat sistem utama yang dikendalikan terapis.
Disamping memperhatikan teknis dalam fasilitas, terapis juga perlu memperhatikan masukan dari klien perihal umpan balik (feedback) yang menggunakan virtual reality. Dalam kasus klien stroke pada Lewis et al. (2011), responden menyebutkan dalam memanfaatkan virtual reality ini memberikan tantangan dan perasaan baru kepada mereka, berkesan menunjukkan side effect dibandingkan layanan konvensional dan mencatat bahwa program virtual reality harus memiliki upgrade yang variatif agar dapat memfasilitasi klien dengan lebih baik.
Dalam penggunaan perangkat virtual reality juga diperlukan dan memerhatikan panduan dan petunjuk penggunaan mencegah kesalahan maupun kecelakaan selama penggunaan. Berikut rangkuman petunjuk penggunaan dalam Class VR (2020).
Lakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada perangkat virtual reality Anda sebelum digunakan dan gunakan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan, ketidaknyamanan penggunaan dan resiko kecelakaan dari perangkat.
Pastikan kondisi Anda benar-bener sehat, tidak memiliki masalah kesehatan utamanya penyakit menular dan beresiko tinggi ketika menggunakan perangkat virtual reality.
Gunakan dengan perangkat virtual reality dengan pengaturan perangkat yang aman dan nyaman bagi Anda.
Batasi waktu penggunaan dalam durasi yang wajar dan aman (anak-anak: tidak lebih dari 15 menit; remaja atau dewasa: tidak lebih dari 30 menit; berikan jeda istirahat 10-15 menit setelah pemakaian).
Setidaknya minta seorang pengasuh maupun pendamping untuk menemani dan mengawasi Anda ketika sedang menggunakan perangkat virtual reality untuk menjamin keamanan dan mencegah resiko kecelakaan (lakukan ini terutama bila Anda merupakan anak-anak maupun lanjut usia).
Bila mengalami keluhan-keluhan setelah menggunakan perangkat, segera hubungi dokter.
Catatan Lebih Lanjut tentang Virtual Reality, Rehabilitasi dan Terapi Okupasi
Keterlibatan virtual reality dalam praktik rehabilitasi dan terapi okupasi juga tercatat dalam beberapa riset yang telah dilakukan. Pada setting pediatri, ditemukan intervensi virtual reality dalam beberapa kondisi seperti autism spectrum disorder, down syndrome, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. Dalam studi Levac et al. (2017) dan Snider, Majnemer & Darsaklis (2010), menunjukkan pengaruh penggunaan virtual reality pada klien dengan cerebral palsy. Penggunaan virtual reality ini dapat membantu klien untuk melatih kemampuan kontrol motorik, keseimbangan berdiri dan bergerak hingga persiapan berjalan, dan tercatat berpengaruh terhadap level plastisitas, masalah motorik dan visual-perseptual anak. Penggunaan virtual reality di rumahdapat meningkatkan ketertarikan dan partisipasi anak cerebral palsy hingga orang tua/pengasuh untuk melakukan terapi dan mendampingi selama terapi di rumah.
Berikutnya dalam Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015) dengan penggunaan media virtual reality di rumah menunjukkan dampak positif pada pola gerak untuk meraih dan kemampuan fungsional tangan pada anak dengan hemiplegiccerebral palsy. Selain itu dalam penanganan virtual reality pada anak dengan acquired brain injury terdapat pengaruh terhadap motivasi, kepuasan bermain (playfulness), partisipasi, keterlibatan hingga kinerja fungsional anak dalam okupasinya (Bart et al., 2011).
Visualisasi penggunaan virtual reality pada klien cerebral palsy – Sumber: Chen, Garcia-Vergara & Howard (2015)
Selain dalam kondisi anak dengan cerebral palsy, ditemukan juga pengaruh virtual reality pada anak dengan down syndrome dan autism spectrum disorder level tinggi (Wuang et al., 2011; Gal et al., 2015). Virtual reality pada anak dengan down syndrome ditunjukkan memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsi sensori-motor dan disarankan sebagai layanan tambahan di rumah untuk membantu proses rehabilitasi. Pada anak dengan autism spectrum disorder level tinggi menunjukkan virtual reality dapat berperan meningkatkan interaksi sosial khususnya di lingkungan sekolah.
Hal yang sama juga ditemukan pada Stendal & Baladin (2015) bahwa anak dengan autism spectrum disorder terbantu untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya dengan menggunakan dunia virtual melalui virtual reality. Berada dalam virtual reality membawa anak dalam dunia yang menurutnya lebih menerima keberadaannya (daripada lingkungannya di dunia nyata) dan merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan interaksi dengan pengguna lainnya secara virtual. Dalam menerapkan virtual reality dalam setting pediatri (dalam berbagai kondisi klien) terapis perlu menerapkan inklusivitas penggunaan teknologi dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, ketepatan fungsi dan mampu menyesuaikan klien, serta dapat meningkatkan keterlibatan klien, tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sebenarnya dan memperhatikan perkembangan anak (Chantry & Dunford, 2010).
Dalam layanan terapi okupasi menggunakan media virtual reality di area fisik dan dewasa, secara khusus pada masalah neuromuskular terdapat beberapa riset yang mendalami hal tersebut. Berikutnya Mekbib et al. (2020); Wiley, Khattab & Tang (2020); Kong et al. (2016); Rand, Weiss & Katz (2009) tercatat membahas perihal peranan virtual reality pada kondisi stroke. Media virtual reality dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan fungsional alat gerak atas, kinerja okupasi dan partisipasi klien, kemampuan memori dan berpikir klien, kemudian juga menunjukkan manfaat untuk memotivasi dan dapat menjadi metode intervensi yang efektif untuk mengembangkan fungsi eksekutif dan memanajemen kemampuan multitasking/koordinasi dalam tugas (Wiley, Khattab & Tang, 2020; Boone, Wolf & Engsberg, 2019; Rand, Weiss & Katz, 2009).
Namun, pernyataan berlawanan dikatakan oleh Kong et al. (2016) bahwa penanganan dalam 12 sesi menggunakan virtual reality untuk latihan alat gerak atas belum dapat menunjukkan efektivitas yang maksimal pada klien dengan stroke. Maka setelah membaca rangkuman bukti ilmiah di atas, efek terapeutik dari virtual reality juga perlu penyesuaian dan ketentuan terapi yang tepat pada setiap klien.
Dalam kasus lain pada Dalam Cole et al. (2009), menghadapkan pasien pasca amputasi dengan stump kepada penggunaan virtual reality menunjukkan penurunan rasa nyeri yang signifikan ketika mengaplikasikan virtual reality dalam mencobakan kepada prostesis yang akan digunakan. Berikutnya dalam Sharar et al., (2008), pemanfaatan virtual reality digunakan kepada pasien dengan luka bakar (combustio) dalam rehabilitasi menunjukkan dampak yang lebih baik terhadap penurunan perasaan nyeri dan meningkatnya perasaan menyenangkan dibandingkan tanpa virtual reality. Kedua fenomena di atas memanfaatkan virtual reality dengan memanfaatkan virtual reality untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan dalam selama penyesuaian menggunakan prosthesis dan memfasilitasi latihan lingkup gerak sendi area luka kepada rasa menyenangkan dari virtual reality yang sedang digunakan.
Game Whack a Mole ciptaan University of Alberta – Sumber: Liu (2014)
Peran virtual reality juga dapat dijumpai di ranah kesehatan jiwa. Penggunaan virtual reality pada klien dengan resiko obesitas menunjukkan respon tubuh yang cukup baik terhadap latihan (Bacon, Farnworth & Boyd, 2012). Riset lain meneliti peran virtual reality pada klien lansia dengan demensia untuk menerapkan terapi kognitif reminiscence tidak menunjukkan pengaruh yang berarti kepada kemampuan kognitif-memori klien dan ditemukan kontraindikasi ringan berupa keluhan nyeri mata, kepala terasa berat, kecemasan, dan perasaan sensitif (Coelho et al., 2020).Penggunaan virtual reality ini sebetulnya dapat menjadi rekomendasi bagi praktik terapi okupasi di setting kesehatan jiwa, dengan asumsi dapat memberikan keamanan dan variasi program yang lebih adaptif dan partisipatif seperti halnya melakukan aktivitas di realitas sebenarnya. Namun, hal tersebut diperlukan pertimbangan yang tepat dalam menerapkan virtual reality kepada beberapa kondisi klien tentu dengan berdasar pada bukti ilmiah yang kuat, relevan dan memperhatikan safety precaution setiap intervensi.
KESIMPULAN
Berada di zaman kemajuan dan digitalisasi, tantangan pelayanan terapi okupasi untuk bertransformasi melibatkan teknologi dalam pemberian layanan, menjadi catatan bagi kita semua untuk memanfaatkan majunya zaman dengan sebaik-baiknya. Di tengah pencarian dan pengembangan bukti ilmiah yang kuat dari pemanfaatan virtual reality dan teknologi lainnya menjadi pencapaian yang sedang dikejar untuk segera diwujudkan untuk menguatkan kebermanfaatan teknologi untuk dilibatkan sebagai media dalam layanan rehabilitasi, utamanya terapi okupasi.
Semoga menginspirasi, semoga berdampak.
REFERENSI
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Virtual. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/virtual
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Realitas. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/realitas
Bacon, N., Farnworth, L., & Boyd, R. (2012). The Use of the Wii Fit in Forensic Mental Health: Exercise for People at Risk of Obesity. British Journal of Occupational Therapy,75(2), 61-68. doi:10.4276/030802212×13286281650992
Bart, O., Agam, T., Weiss, P. L., & Kizony, R. (2011). Using video-capture virtual reality for children with acquired brain injury. Disability and Rehabilitation,33(17-18), 1579-1586. doi:10.3109/09638288.2010.540291
Berntsen, K., Palacios, R. C., & Herranz, E. (2016). Virtual reality and its uses. Proceedings of the Fourth International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality. doi:10.1145/3012430.3012553
Boone, A. E., Wolf, T. J., & Engsberg, J. R. (2019). Combining Virtual Reality Motor Rehabilitation With Cognitive Strategy Use in Chronic Stroke. American Journal of Occupational Therapy,73(4). doi:10.5014/ajot.2019.030130
Chantry, J., & Dunford, C. (2010). How do Computer Assistive Technologies EnhanceParticipation in Childhood Occupations for Children with Multiple and Complex Disabilities? A Review of the Current Literature. British Journal of Occupational Therapy,73(8), 351-365. doi:10.4276/030802210×12813483277107
Chen, Y., Garcia-Vergara, S., & Howard, A. M. (2015). Effect of a Home-Based Virtual Reality Intervention for Children with Cerebral Palsy Using Super Pop VR Evaluation Metrics: A Feasibility Study. Rehabilitation Research and Practice,2015, 1-9. doi:10.1155/2015/812348
ClassVR. (2020). Retrieved April 1, 2021, from https://www.classvr.com/health-and-safety/
Coelho, T., Marques, C., Moreira, D., Soares, M., Portugal, P., Marques, A., . . . Fernandes, L. (2020). Promoting Reminiscences with Virtual Reality Headsets: A Pilot Study with People with Dementia. International Journal of Environmental Research and Public Health,17(24), 9301. doi:10.3390/ijerph17249301
Cole, J., Crowle, S., Austwick, G., & Slater, D. H. (2009). Exploratory findings with virtual reality for phantom limb pain; from stump motion to agency and analgesia. Disability and Rehabilitation,31(10), 846-854. doi:10.1080/09638280802355197
Cuthbert, J. P., Staniszewski, K., Hays, K., Gerber, D., Natale, A., & O’Dell, D. (2014). Virtual reality-based therapy for the treatment of balance deficits in patients receiving inpatient rehabilitation for traumatic brain injury. Brain Injury,28(2), 181-188. doi:10.3109/02699052.2013.860475
Gal, E., Lamash, L., Bauminger-Zviely, N., Zancanaro, M., & Weiss, P. L. (2015). Using Multitouch Collaboration Technology to Enhance Social Interaction of Children with High-Functioning Autism. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(1), 46-58. doi:10.3109/01942638.2015.1040572
Galvin, J., & Levac, D. (2011). Facilitating clinical decision-making about the use of virtual reality within paediatric motor rehabilitation: Describing and classifying virtual reality systems. Developmental Neurorehabilitation,14(2), 112-122. doi:10.3109/17518423.2010.535805
James, S., Ziviani, J., King, G., & Boyd, R. N. (2015). Understanding Engagement in Home-Based Interactive Computer Play: Perspectives of Children With Unilateral Cerebral Palsy and Their Caregivers. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,36(4), 343-358. doi:10.3109/01942638.2015.1076560
Kizony, R., Katz, N., & Weiss, P. L. (2003). Adapting an immersive virtual reality system for rehabilitation. The Journal of Visualization and Computer Animation,14(5), 261-268. doi:10.1002/vis.323
Kong, K., Loh, Y., Thia, E., Chai, A., Ng, C., Soh, Y., . . . Tjan, S. (2016). Efficacy of a Virtual Reality Commercial Gaming Device in Upper Limb Recovery after Stroke: A Randomized, Controlled Study. Topics in Stroke Rehabilitation,23(5), 333-340. doi:10.1080/10749357.2016.1139796
Lange, B., Koenig, S., Chang, C., Mcconnell, E., Suma, E., Bolas, M., & Rizzo, A. (2012). Designing informed game-based rehabilitation tasks leveraging advances in virtual reality. Disability and Rehabilitation,34(22), 1863-1870. doi:10.3109/09638288.2012.670029
Levac, D., Mccormick, A., Levin, M. F., Brien, M., Mills, R., Miller, E., & Sveistrup, H. (2017). Active Video Gaming for Children with Cerebral Palsy: Does a Clinic-Based Virtual Reality Component Offer an Additive Benefit? A Pilot Study. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics,38(1), 74-87. doi:10.1080/01942638.2017.1287810
Lewis, G. N., Woods, C., Rosie, J. A., & Mcpherson, K. M. (2011). Virtual reality games for rehabilitation of people with stroke: Perspectives from the users. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,6(5), 453-463. doi:10.3109/17483107.2011.574310
Liu, L. (2018). Occupational therapy in the Fourth Industrial Revolution. Canadian Journal of Occupational Therapy,85(4), 272-283. doi:10.1177/0008417418815179
Moreira, M. C., Lima, A. M., Ferraz, K. M., & Rodrigues, M. A. (2013). Use of virtual reality in gait recovery among post stroke patients – a systematic literature review. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology,8(5), 357-362. doi:10.3109/17483107.2012.749428
Rand, D., Weiss, P. L. (T.), & Katz, N. (2009). Training multitasking in a virtual supermarket: A novel intervention after stroke. American Journal of Occupational Therapy, 63, 535–542.
Rose, T., Nam, C. S., & Chen, K. B. (2018). Immersion of virtual reality for rehabilitation – Review. Applied Ergonomics,69, 153-161. doi:10.1016/j.apergo.2018.01.009
Slater, M., Linakis, V., Usoh, M., Kooper, R., 1996. Immersion, presence, and performance in virtual environments: an experiment with tri-dimensional chess. In: Proceedings of the 3rd {ACM} Symposium on Virtual Reality Software and Technology ({VRST} 1996), Hong Kong, China, pp. 163–172 10.1.1.34.6594.
Smith, R. O. (2017). Technology and Occupation: Past, Present, and the Next 100 Years of Theory and Practice. American Journal of Occupational Therapy,71(6). doi:10.5014/ajot.2017.716003
Snider, L., Majnemer, A., & Darsaklis, V. (2010). Virtual reality as a therapeutic modality for children with cerebral palsy. Developmental Neurorehabilitation,13(2), 120-128. doi:10.3109/17518420903357753
Stendal, K., & Balandin, S. (2015). Virtual worlds for people with autism spectrum disorder: A case study in Second Life. Disability and Rehabilitation,37(17), 1591-1598. doi:10.3109/09638288.2015.1052577
Weiss PL, Katz N. The potential of virtual reality for rehabilitation. J Rehabil Res Dev. 2004 Sep; 41(5) : vii-x. PMID: 15558392.
Wiley, E., Khattab, S., & Tang, A. (2020). Examining the effect of virtual reality therapy on cognition post-stroke: A systematic review and meta-analysis. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 1-11. doi:10.1080/17483107.2020.1755376
Wuang, Y., Chiang, C., Su, C., & Wang, C. (2011). Effectiveness of virtual reality using Wii gaming technology in children with Down syndrome. Research in Developmental Disabilities,32(1), 312-321. doi:10.1016/j.ridd.2010.10.002
Dalam memberikan pelayanan kepada klien, terapis okupasi berfokus pada okupasi klien. Profil klien digunakan sebagai bahan pertimbangan seorang terapis okupasi untuk memilih aktivitas yang memberikan manfaat yang terapeutik (occupation as a means), dan aktivitas yang menjadi tujuan (occupation as goals). Berpusat pada klien menurut Fisher (2019), dilakukan secara kolaboratif antara klien dan terapis, dimana terapis menggunakan pertimbangan klinisnya untuk menyusun intervensi. Menyusun aktivitas bertujuan untuk klien stroke mengikuti minat tanpa menghilangkan sifat terapeutik bagi individu tersebut. Berkebun merupakan salah satu aktivitas yang unik dan banyak diminati oleh masyarakat saat ini. Melalui occupational-based practice, berkebun bisa menjadi aktivitas yang bermakna dan terapeutik bagi individu yang melakukannya.
Mengulik Berkebun
Berkebun, bukan hanya tentang aktivitas fisik yang dilakukan dalam pola dan tahap aktivitas dari menyiapkan, mengelola tanah dan tanaman, menyiram; memandang secara filosofis dari Heliker, Chadwick & O’Connel (2001), berkebun merupakan sarana menghubungkan manusia dengan alam dalam konteks hubungan antar-makhluk hidup. Berkebun memiliki makna, menjadi ruang inspirasi dan harapan untuk keberlanjutan hidup yang baru bagi sang perawat kebun. Melalui berkebun, rasa menyayangi dan merawat serta keinginan kembali produktif muncul kembali bersamaan dengan rasa kepemilikan dari individu terhadap dirinya dan kendali hidupnya.
Melihat data dari populasi di Inggris oleh Brindley, Jorgensen & Maheswaran (2018) menunjukkan masyarakat yang memiliki dan merawat kebun dengan ukuran sedang dan besar cenderung lebih mendapat dampak positif kepada kesehatan daripada yang memiliki kebun luasan kecil. Ditambahkan dari populasi di Amerika Serikat menunjukkan kebiasaan berkebun di rumah memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap well-being pada sebagian kategori sampel masyarakat, utamanya pada perempuan dewasa (Ambrose, Das, Fan & Ramaswami, 2020).
Berkebun memiliki banyak pengaruh positif secara fisik, mental/psikologis maupun sosial (Thompson, 2018). Berkebun memfasilitasi penyaluran energi tubuh, melatih fungsi koordinasi, persepsi dan aktivasi gerak otot sendi selama melakukan aktivitas berkebun. Selain itu, paparan multi-sensory dari sinar matahari pagi, udara alam, suara burung-burung, lalu-lalang kendaraan selama berkebun memberikan dampak menenangkan, informasi dan kesadaran terhadap lingkungan sekitar dan dampak pendukung lainnya terhadap rasa optimisme dan positivity pada kegelisahan, kecemasan, stress yang barangkali juga dirasakan. Kingsley, Foenander & Bailey (2019) dalam kasus klub berkebun di Australia, menunjukkan adanya pengaruh terhadap rasa saling terhubung satu sama lain yang kian terbentuk, menurunnya tingkat stress akibat rutinitas perkotaan, membentuk identitas dan rasa memiliki terhadap tanaman milik mereka (dalam merawat & melindungi tanaman-tanaman mereka). Melalui berkebun, terlebih dilakukan di luar rumah maupun berkelompok mampu menyediakan kesempatanuntuk berpartisipasi sosial dalam masyarakat.
Bagaimana Dampak Berkebun Terhadap Sosial, Kesejahteraan Hidup dan Partisipasi Klien?
Layanan berkebun dikatakan memiliki manfaat besar dalam meningkatkan kebugaran fisik, kepuasan dan kualitas hidup pada sebagian populasi, termasuk penyintas stroke. Dalam riset Sommerfeld, Waliczeck & Zajicek (2010) dan Ho, Lin & Kuo (2016) menyebutkan layanan dan penerapan kegiatan berkebun menunjukkan peningkatan nilai dalam pemeriksaan kebugaran tubuh dan kualitas hidup.
Peningkatan dalam pemeriksaan kebugaran tubuh ditunjukkan dengan kondisi kemampuan tubuh yang menunjukkan perubahan berbeda antara data sebelum, selama dan sesudah layanan berkebun diselesaikan, kemampuan kognitif yang dirasa lebih baik, perasaan bahagia karena banyak kontak dengan stimulan sensorik di kebun, mampu melakukan kegiatan oleh dirinya sendiri. Peningkatan kualitas hidup ditunjukkan dengan adanya kepuasan oleh penyintas terhadap dampak yang dirasakan, kepercayaan diri yang meningkat, beban psikologis yang menurun dan rasa terlibat/berpartisipasi dalam kegiatan & realita, baik secara mandiri maupun berkelompok.
Kondisi pada penyintas stroke terkadang tidak menentu, bukan? Melalui kegiatan berkebun, baik dengan motivasi tinggi maupun rendah, penyintas dapat terfasilitasi dengan sebaik-baiknya dengan variasi kegiatan yang berjenjang agar manfaatnya dapat terasa ‘satu demi satu’. Melalui Leaver & Wiseman (2016) dengan mengunjungi kebun, penyintas mendapatkan berbagai manfaat dalam menghargai keadaan saat ini, sebagai tempat mengekspresikan diri, tempat berbagi cerita, mengobrol dan terhubung dengan dunia luar kembali.
Bagaimana Mengaplikasikan Berkebun sebagai Sarana Intervensi?
Dalam mengimplementasikan layanan berkebun pada penyintas stroke, kiranya terapis okupasi perlu memerhatikan rangkaian hal berikut:
1. Profil Okupasi Klien
Dalam memulai layanan berkebun, terapis okupasi memerlukan kajian yang komprehensif dan analitik di awal terkait profil medis dan okupasi klien. Memahami limitasi dan aset yang dimiliki klien dapat menjadi rambu-rambu bagi terapis dalam menyikapi prioritas masalah klien dan tujuan terapi okupasi yang menjadi tujuan. Kiranya, tindakan terapi okupasi dengan layanan berkebun ini dapat dilakukan secara tepat, bertujuan dan membuat klien terlibat serta partisipasi aktif.
Adapun dalam Patil, Asbjornslett, Aurlien & Levin (2019) menyebutkan alasan-alasan yang mendasari terapis okupasi menggunakan berkebun sebagai sarana terapi, di antaranya:
Apakah/Bagaimana-agar klien mampu terlibat dalam terapi nantinya?
Apakah/Manakah aktivitas yang saya rekomendasikan dikuasai oleh klien?
Apakah klien dapat menemukan momen menenangkan baginya?
Bagaimana klien dapat menghubungkan aktivitas ini dengan pengalaman masa lalu atau pengalaman yang telah ia kuasai?
Dapatkah klien membagikan pengalaman dan harapannya kepada rekan kelompoknya, keluarga maupun orang lain?
2. Analisis Aktivitas
Dalam berkebun, perlu dipahami bahwa kegiatan memiliki 2 jenis metode: lahan khusus & tanam pot. Dengan menentukan salah satu dari 2 kegiatan ini, berikutnya terapis okupasi diharapkan untuk menimbang poin-poin berikut:
Safety Precaution – Faktor keamanan dan pengendalian resiko dengan mempertimbangkan profil medis dan okupasi klien.
Alat Bahan – Menyesuaikan kebutuhan dari jenis kegiatan.
Lingkungan – Setting lingkungan (fisik) termasuk menjadi perhatian juga dalam merancang aktivitas yang sesuai untuk memfasilitasi klien agar lebih fleksibel dan aman; (bila diperlukan) dapat dilakukan dengan memperlebar akses, menyiapkan handrail dan kursi.
Pelaku Kegiatan; Adakah selain klien dan terapis yang ikut dilibatkan, dilakukan dengan berkelompok atau mandiri.
Langkah Aktivitas; Menentukan langkah aktivitas diperlukan analisis dengan menyesuaikan antara tahapan aktivitas dan kebutuhan performance klien, misalnya: bidang & pola gerak apa, otot apa yang berfungsi, adakah karakteristik flaccid atau spastik, adakah gangguan somatosensorik dan sebagainya.
3. Manajemen Ergonomi Pasien
Pengaturan Posisi Pengerjaan
Positioning klien perlu diperhatikan ketika mengerjakan langkah-langkah aktivitas, begitupula terapis. Pada dasarnya pengaturan posisi ini demi keamanan dan kenyamanan klien, juga untuk menyesuaikan terhadap pola gerak yang dilakukan di setiap langkah aktivitas dan dapat juga bertujuan dalam stimulasi balance, sikap duduk/berdiri yang tepat maupun respon protektif.
Penggunaan Alat Bantu Bila Diperlukan
Pertimbangan alat bantu (assistive technology) ini dapat dilakukan bila klien benar-benar membutuhkan. Alat bantu yang dapat digunakan dapat berbagai macam, misalnya: preacher, forearm grip gardening tool set.
Dapat kita simpulkan bahwa layanan terapi okupasi melalui aktivitas berkebun dapat menjadi rekomendasi resep layanan yang memenuhi aspek occupation-based dan tepat untuk klien penyintas stroke, baik implementasinya dalam bentuk aktivitas mandiri maupun secara berkelompok.
Bila dengan melihat faktor sosial budaya bumi Indonesia yang rata-rata masyarakat (khususnya generasi tua, masyarakat pedesaan) gemar melakukan gerakan menanam, ditambah mulai kembali booming-nya gerakan menanam di masa pandemi ini dapat menjadi satu aset yang dapat menjadi pertimbangan untuk melibatkan klien pada aktivitas berkebun, pun bila perlu membuat kebiasaan baru dalam memelihara lingkungan kepada klien. Pada populasi lainnya, aktivitas berkebun ini seringkali diterapkan pula pada kelompok lansia maupun penyintas gangguan kesehatan jiwa (Skizofrenia, Demensia, Alzheimer dan sebagainya).
Tertarik menerapkan? Semoga bermanfaat!
Referensi :
Brindley, P., Jorgensen, A., & Maheswaran, R. (2018). Domestic gardens and self-reported health: A national population study. International Journal of Health Geographics,17(1). doi: 10.1186/s12942-018-0148-6
Fisher, A. G., & Marterella, A. (2019). Powerful practice: A model for authentic occupational therapy. Fort Collins, CO: Center for Innovative OT Solutions.
Heliker, D., Chadwick, A., & Oconnell, T. (2001). The Meaning of Gardening and the Effects on Perceived Well Being of a Gardening Project on Diverse Populations of Elders. Activities, Adaptation & Aging,24(3), 35-56. doi: 10.1300/j016v24n03_03
Howarth, M., Brettle, A., Hardman, M., & Maden, M. (2020). What is the evidence for the impact of gardens and gardening on health and well-being: A scoping review and evidence-based logic model to guide healthcare strategy decision making on the use of gardening approaches as a social prescription. BMJ Open,10(7). doi: 10.1136/bmjopen-2020-036923
Kingsley, J., Foenander, E., & Bailey, A. (2019). “You feel like you’re part of something bigger”: Exploring motivations for community garden participation in Melbourne, Australia. BMC Public Health,19(1). doi: 10.1186/s12889-019-7108-3
Leaver, R., & Wiseman, T. (2016). Garden visiting as a meaningful occupation for people in later life. British Journal of Occupational Therapy,79(12), 768-775. doi: 10.1177/0308022616666844
Patil, G., Asbjørnslett, M., Aurlien, K., & Levin, N. (2019). Gardening as a Meaningful Occupation in Initial Stroke Rehabilitation: An Occupational Therapist Perspective. The Open Journal of Occupational Therapy,7(3), 1-15. doi: 10.15453/2168-6408.1561
Thompson, R. (2018). Gardening for Health: A Regular Dose of Gardening. Clinical Medicine, 18(3), 201-205. doi: 10.7861/clinmedicine.18-3-201