Pentingnya Membangun Hubungan Terapetik Dengan Klien

Memulai Hubungan dari Hal Sederhana

Hubungan terapeutik berlanjut kepada kerja sama (Img. southpasadenan.com)

Sering kali kita mendengar klien berkata “Melihat terapis nya ramah senyum saja sudah mengurangi separuh nyeri saya”, atau kata seperti “Saya selalu semangat datang terapi, karena mbak dan mas terapis nya memotivasi saya dengan baik”. 

Ternyata belum melakukan tindakan intervensi yang jauh saja sudah membuat klien kita merasa sedikit lebih baik. Menjadi tenaga kesehatan memang menguras tenaga baik fisik maupun emosional.

Namun, menjadi klien yang mengalami disfungsi menguras tenaga fisik dan emosional untuk datang mengakses layanan kesehatan pula. Maka kita terapis harus bisa menjadi professional dan melayani sepenuh hati. 

Pada tahun 1913, Sigmund Freud berhipotesis bahwa hubungan antara terapis dan pasien adalah komponen kunci dari pengobatan yang sukses. Sejak saat itu, penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas hubungan ini (‘aliansi terapeutik’ seperti yang disebut) merupakan prediktor terkuat keberhasilan terapi (Knobloch, 2008). 

Lalu bagaimana cara membangun hubungan yang baik antara terapis dan klien secara profesional? Sebelum sampai kesana, mari kita belajar manfaat dari menjalin hubungan yang baik dengan klien.

Manfaat memiliki Hubungan yang Baik dengan Klien

Dapat memunculkan kolaborasi yang baik antara klien dan terapis

Kolaborasi yang baik dapat membuat kita berada pada satu jalan dengan klien. Tanpa kolaborasi yang baik, seperti klien yang hanya menggantungkan pada terapis tanpa melakukan home program yang diberikan, terapis yang tidak memberikan umpan balik saat klien berkeluh kesah maka proses terapi yang dijalankan pun akan terasa sulit.

Dalam setting pediatri, kolaborasi pertama terjadi antara terapis, orang tua dan anak. Tetapi, kolaborasi paling awal yang harus dibangun dalam setting pediatri adalah antara terapis dan orang tua. Kolaborasi antara terapis dan orangtua yang kuat dapat meningkatkan rasa pemahaman, harapan dan rasa syukur terhadap anak.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan baiknya hubungan kolaborasi tersebut berimplikasi sangat kuat dan meningkatkan efektivitas proses terapi yang dijalankan, sehingga outcome yang dihasilkan dalam terapi pun lebih baik (Feinstein, Udvari-Solner & Joshi, 2009).

Menjalin komunikasi dengan klien (Img. www.gebauer.com)

Meningkatkan kualitas komunikasi yang dijalin

Saat kita memiliki hubungan baik dengan klien, maka akan mudah sekali dalam menjalin komunikasi. Melalui komunikasi yang terjalin dengan baik, terciptalah hubungan emosi yang kuat. Sehingga klien lebih leluasa menyampaikan keluhan dan harapannya.

Penelitian menunjukan hubungan yang baik dapat membuat klien lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan respon emosi negative yang dialami dan juga dapat menyelesaikan permasalahan negative yang dialami lebih baik (Knobloch, 2008).

Dapat menuntun ke hasil terapi yang lebih baik

Berdasarkan meta analysis pada aspek hubungan terapi tentang hubungan berbasis bukti & responsif, ditemukan bahwa sejumlah faktor hubungan, seperti menyetujui tujuan terapi, mendapatkan umpan balik klien selama perawatan dan memperbaiki masalah klien secara bersama memberikan hasil yang positif karena membantu dalam penggunaan metode perawatan yang tepat kepada klien (Deangelis, 2019).


Bagaimana Membangun Hubungan Terapetik dengan Klien?

Saat berbicara tentang hubungan terapetik Secara historis, studi tentang hubungan terapeutik hanya berfokus pada hubungan pasien dengan terapis. Namun, penelitian yang dilakukan di The Family Institute di Northwestern University dan Dr. William Pinsof (2019) menunjukkan pentingnya memperluas definisi ini untuk memasukkan pengaruh orang lain yang signifikan dalam kehidupan pasien seperti anggota keluarga, pasangan, teman dekat.

Penelitian yang dilakukan Knobloch (2008) tentang Pentingnya Hubungan dengan Terapis memaparkan bahwa cara menciptakan hubungan yang baik  antara terapis dan klien adalah membangun empati dan pemahaman, menciptakan rasa keterbukaan, memiliki fleksibilitas dan kemauan beradaptasi dengan klien. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan terapetik bersama klien : 

Berempati terhadap kondisi klien (Img. nursesusa.org)

Bangun rasa empati dan memahami klien

Saat awal terapis bertemu klien, hal yang harus kita bangun adalah rasa empati dan memahami keadaan dan perasaan klin kita, bukan apa masalah klien dan apa tujuan terapi yang bisa diberikan. Saat awal-awal pertemuan, ibaratkan kita (terapis) adalah seseorang yang bertamu di suatu rumah baru.

Sangat tidak etik bukan jika kita langsung mengunjungi dapur tanpa mengenal ruang depan? Begitu pula dengan klien, klien akan merasa tidak nyaman jika kita langsung terjun ke dalam tanpa berkenalan dan membangun rasa saling memahami. 

Berdasarkan pengalaman saya, saya selalu berusaha membangun empati dan memahami klien saat awal-awal klien menjalankan terapi, seperti memahami apa yang klien suka dan tidak suka, apa yang membuat klien bersemangat, apa yang membuat klien tidak nyaman & tidak memaksakan klien untuk melakukan aktivitas yang kita minta dan berikan.

Oleh sebab itu, klien akan menunjukan kepercayaan terhadap kita karena merasa aman dan nyaman dengan kita sebagai terapis sehingga proses terapi yang dijalankan pun menjadi lebih baik.

Ciptakan Keterbukaan 

Keterbukaan sangat penting saat membangun hubungan terapetik dengan klien. Saat dengan klien dewasa, terapis diharapkan dapat terbuka dengan tujuan & proses terapi yang akan dijalankan. Sehingga klien tidak merasa seperti sebuah objek yang di otak-atik oleh terapis, namun bisa merasa menjadi seorang “partner” yang bersama-sama menuju tujuan yang sama. 

Dalam setting pediatri, keterbukaan sangat perlu terjalin dengan orang tua dan juga anak. Menciptakan keterbukaan dapat dilakukan seperti menyampaikan pada orang tua bagaimana permasalahan anak, dan bagaimana cara yang dapat dilakukan bersama agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Maka sangat penting mengkomunikasikan hasil terapi di setiap setelah pertemuan, seperti apa yang telah dapat dicapai anak hari ini dan bagaimana cara memaksimalkan potensi anak dirumah melalui home program.

Fleksibilitas dan kemauan untuk beradaptasi dengan klien

Kondisi klien tidak dapat kita prediksi di setiap pertemuan. Pada beberapa kasus pediatri, emosi anak masih turun-naik seperti saat dirumah anak merasa baik-baik saja namun saat tiba di ruangan terapi anak merasa cemas. Begitu pula klien dewasa fisik maupun psikososial, pertemuan sebelumnya klien merasa bersemangat dan termotivasi, bisa jadi pertemuan kali ini klien merasa murung dan tidak bersemangat.

Fleksibilitas

Maka disinilah peran terapis, agar terciptanya hubungan yang baik dan klien dapat lebih mudah mengkomunikasikan perasaan negatif nya, terapis diharapkan menjadi pribadi yang fleksibel dan dapat beradaptasi. 

Salah satu bentuk dari fleksibilitas adalah dengan cara tidak memaksakan program terapi yang sudah kita susun di hari itu terhadap klien saat klien tidak dalam kondisi baik. Meskipun klien harus mencapai tujuan yang telah disepakati, namun perasaan dan apa yang dialami klien di hari itu adalah lebih penting.

Kemauan Beradaptasi

Kemauan beradaptasi dengan klien dapat dilakukan dengan cara mengubah aktivitas yang sesuai dengan keadaan klien dihari itu juga, contoh nya klien anak yang minggu lalu sudah berfokus dalam meningkatkan kognitif karena hari ini anak mengalami cemas berlebih maka kita harus dapat mengubah aktivitas kearah calming bagi anak.

Hal tersebut dapat membuat klien merasa bahwa kita dapat beradaptasi dengan merasa dalam situasi apapun yang sedang mereka alami dan tidak menjadi pribadi yang kaku serta memaksakan.

Menyesuaikan diri dalam proses komunikasi bersama klien (Img. amavic.com.au)

Kesimpulan

Banyak klien yang saat sebelum mengakses terapi mereka berpikir “apakah mengikuti terapi ini akan benar-benar berguna bagi diriku?”. Penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor mempengaruhi apakah sebuah pengobatan akan berhasil, seperti tingkat keparahan masalah yang sedang diobati, keyakinan pasien bahwa treatment akan bekerja dan tingkat keterampilan terapis.

Namun, penelitian selama lima puluh tahun terakhir telah menunjukkan bahwa satu faktor, lebih dari yang lain, dikaitkan dengan pengobatan yang sukses yaitu kualitas hubungan antara terapis dan pasien. Maka, inilah betapa pentingnya menciptakan hubungan terapetik dengan klien agar outcome yang dihasilkan akan menjadi lebih baik.

Referensi 

Knobloch-Fedders, L. (2008). The importance of the relationship with the therapist. Clinical Science Insights1, 1-4. https://www.family-institute.org/behavioral-health-resources/importance-relationship-therapist

Pinsof, W. M. (2019). Family Institute at Northwestern University. Encyclopedia of Couple and Family Therapy, 1061-1068.

Deangelis, T. O. R. I. (2019). Continuing Education: Better relationships with patients lead to better outcomes. Monitor on Psychology50(10). https://www.apa.org/monitor/2019/11/ce-corner-relationships

Feinstein, N. R., Fielding, K., Udvari-Solner, A., & Joshi, S. V. (2009). The supporting alliance in child and adolescent treatment: Enhancing collaboration among therapists, parents, and teachers. American Journal of Psychotherapy63(4), 319-344.

Pentingnya Work Life Balance bagi Terapis Okupasi

Fenomena work life balance di kalangan pekerja masa kini (Img. static.wixstatic.com)

Bekerja sebagai terapis okupasi tidaklah selalu mudah. Selalu dituntut untuk menjadi professional di semua situasi saat bekerja. Banyak yang setuju bahwa menjadi terapis okupasi bukan hanya mengandalkan ilmu medis, namun juga ilmu sosial dan kemanusiaan karena terapis okupasi harus dapat melihat klien secara holistic.

Selain menjadi tenaga professional di tempat kerja, terapis okupasi juga memiliki peran di kehidupannya masing-masing, entah sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga, kepala keluarga, mahasiswa, ketua organisasi dan lain sebagainya. 

Ketika seorang terapis okupasi mengalami kesulitan dalam mengatur perannya di dunia kerja dan di kehidupan seharinya atau work-life balance-nya, terapis okupasi dapat mengalami “occupational imbalance”.

Itu adalah situasi di mana terapis okupasi menjalani kehidupan yang tidak seimbang sebagai konsekuensi dari tekanan dari tempat kerja neoliberal untuk ‘melakukan’ dan ‘menjadi’ kegiatan di luar pekerjaannya yaitu perannya di kehidupan sehari-hari . Occupational imbalance sendiri dapat mempengaruhi pencapaian kesejahteraan seseorang. (Clouston, 2014).

Apa itu Work-Life Balance?

Semakin majunya teknologi, dunia terasa semakin mudah. Sehingga pekerjaan apapun bisa dikerjakan dimanapun dan kapanpun. Hal itulah yang membuat seseorang sulit mengorganisir waktunya kapan bekerja dan kapan melakukan perannya yang lain di luar pekerjaan nya. Beberapa ahli mengartikan work sebagai sesuatu pekerjaan yang dibayar seperti pekerjaan tetap dan permanen, sedangkan life diartikan sebagai pekerjaan kita yang tidak dibayar. 

Tetapi, beberapa ahli juga mengartikan life sebagai kehidupan di keluarga maupun sosial kita, dan balance menyiratkan sebuah tujuan dimana terdapat keseimbangan antara partisipasi seseorang terhadap pekerjaan dan kehidupan selain pekerjaan dan setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengorganisasi dirinya dalam berbagai peran pun sebenarnya tidak semua hal harus memasukan keseimbangan didalamnya (Lewis & Beauregard, 2018). 

Hayo, udah ada rencana liburan di minggu depan? (Img. piknikdong.com)

Apa Dampak Bermasalah pada Work-Life Balance?

Menyeimbangkan sesuatu hal yang berbeda memang tidak selalu mudah. Penulis pun merasa kesulitan menyeimbangkan kehidupan kerja dan dunia pribadi.

Sering sekali melewatkan hari minggu untuk bersantai dengan keluarga atau teman-teman terdekat seperti jalan-jalan, karena terlalu berfokus pada pekerjaan, bisa dibilang work a holic. Hal itu menyebabkan diri saya menjadi mudah stress dan selalu lesu saat hari senin serta menurunnya performa bekerja. 

Sebuah survei tentang keseimbangan kerja / kehidupan yang dilakukan pada tahun 2002 oleh TrueCareers menyatakan bahwa 70% dari lebih dari 1.500 responden mengatakan mereka tidak memiliki keseimbangan yang sehat antara kehidupan pribadi dan pekerjaan mereka. Ketidak seimbangan antara work dan life dapat menyebabkan menurunnya kesehatan dan meningkatkan stress bagi seseorang (Dhas & Karthikeyan, 2015). 

Stres dalam Pekerjaan (Img. topcareer.id)

Para ilmuwan setuju bahwa dalam jumlah yang sedang, stres bisa dihadapi bahkan bermanfaat dan kebanyakan orang diharuskan untuk menghadapinya. Namun, meningkatnya tingkat stres yang cepat menyebabkan moral karyawan menjadi rendah, produktivitas menjadi buruk, dan penurunan kepuasan kerja.

Beberapa gejala spesifik yang berhubungan langsung dengan produktivitas di lingkungan kerja adalah penyalahgunaan waktu, kecurangan, ketidakhadiran ke tempat kerja secara berkepanjangan, ketidakpercayaan, penggelapan, sabotase organisasi, keterlambatan, penghindaran tugas, dan kekerasan di tempat kerja. 

Dampak serius lainnya adalah depresi, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, masalah perkawinan dan keuangan, gangguan makan kompulsif, dan kelelahan karyawan (Lockwood, 2003). Selain itu ketidakseimbangan antara work & life menyebabkan masalah keluarga, seperti menurunnya kepuasan berkeluarga dan menurunnya seseorang melakukan perannya dalam keluarga (Delecta, 2011).

Bagaimana Cara Menyeimbangkan Work-Life Balance?

Menengok Budaya Tempat Anda Bekerja

Beberapa kasus, ketidak seimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi disebabkan oleh pola atau budaya tempat seseorang bekerja. Jadi sangat perlu melihat kembali apakah tempat anda bekerja mendukung program work life balance.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, seorang terapis okupasi sangat didukung agar memiliki keseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadinya. Berikut beberapa saran agar tempat kerja memilki program work life balance (Lockwood, 2003) : 

  • Meninjau strategi sumber daya manusia untuk melihat apakah mendukung misi perusahaan,
  • Melalui kuesioner atau kelompok fokus, cari tahu apa yang dirasakan karyawan tentang keseimbangan kerja / kehidupan,
  • Menyelaraskan inisiatif kerja / kehidupan dengan strategi SDM (misalnya, pilihan atasan dengan bawahan),
  • Buat program penghargaan bagi pegawai yang menerapkan work life balance menggunakan insentif non-tunai yang selaras dengan tujuan bisnis.
Membangun budaya lingkungan kerja yang nyaman (Img. careerarc.com)

Memanajemen Waktu dengan Baik

Ketidakseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadi memang selalui berkaitan dengan waktu yang digunakan. Bagi work holic, bekerja adalah hal utama dalam hidupnya, minum kopi bersama teman bagi mereka sangat membuang waktu berharga.

Memanajemen waktu sangat diperlukan ketika kita memiliki banyak peran dalam kehidupan kita. Study yang dilakukan oleh Work institute of America (2011) tentang “Holding a job, having a life : Strategies for change” menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu mengurangi lembur, stres, dan beban kerja, dan meningkatkan fleksibilitas dan waktu bersantai dengan keluarga (Dhas & Karthikeyan, 2015).

Beberapa orang juga menggunakan asisten untuk melakukan beberapa pekerjaan pribadi yang tidak bisa dilakukan, untuk time saved sehingga mereka dapat memiliki waktu lebih agar dapat bersama keluarga (Lockwood, 2003).


Kesimpulan 

Semakin majunya zaman, semua serba mudah. Hal tersebut mengakibatkan orang bekerja tanpa mengenal waktu. Bagi seorang terapis okupasi menyeimbangkan antara bekerja dan kehidupan pribadi sangat penting. Ketidak seimbangan antara bekerja dan kehidupan dapat menyebabkan stress dan masalah keluarga hingga kesehatan.

Maka dari itu terapis okupasi harus dapat menjaga well-being diri sendiri agar dapat memiliki performa bekerja yang baik saat bersama klien. Ketidak seimbangan antara work dan life yang tidak diatasi akan memiliki dampak kurang baik bagi seseorang di kehidupannya, sehingga sangat disarankan agar melakukan perbaikan sejak sekarang.

Referensi

Clouston, T. J. (2014). Whose occupational balance is it anyway? The challenge of neoliberal capitalism and work–life imbalance. British Journal of Occupational Therapy77(10), 507-515. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.4276/030802214×14122630932430

Lewis, S., & Beauregard, T. A. (2018). The meanings of work-life balance: A cultural perspective. In R. Johnson, W. Shen, & K. M. Shockley (Eds.), The Cambridge handbook of the global work-family interface (pp. 720-732). Cambridge: Cambridge University Press.

Lockwood, N. R. (2003). Work/life balance. Challenges and Solutions, SHRM Research, USA, 2-10.

Delecta, P. (2011). Work life balance. International Journal of Current Research3(4), 186-189.

Dhas, M. D. B., & Karthikeyan, D. P. (2015). Work-life balance challenges and solutions: overview. International Journal of Research in Humanities and Social Studies12(2).

Praktik Terapi Okupasi Pada Perawatan Paliatif (Palliative Care)

Merawat layanan paliatif (Img: media.mehrnews.com)

Ketika kita membahas tentang peran terapis okupasi rasanya tidak pernah ada batasannya. Salah satu tujuan terapis okupasi adalah membuat hidup klien kita menjadi lebih bermakna dengan ataupun tanpa kondisi yang klien alami.

Praktisi terapi okupasi berperan penting pada tim perawatan paliatif dan hospice (perawatan terminal atau stadium akhir) dengan mengidentifikasi peran dan kegiatan kehidupan (occupation) yang bermakna bagi klien dan mengatasi hambatan yang dialami klien dalam melakukan aktivitas kesehariannya.

Tidak seperti penyedia layanan kesehatan lainnya, terapis okupasi mempertimbangkan kebutuhan kesehatan fisik dan psikososial/perilaku klien, berfokus pada apa yang paling penting bagi klien untuk dicapai, sumber daya dan sistem pendukung yang tersedia, dan lingkungan di mana klien ingin dan dapat berpartisipasi (AOTA, 2015).

Apa Itu Perawatan Paliatif ?

Saat mendengar kata palliate yang terpikirkan adalah sebuah tindakan meringankan atau meredakan. Perawatan paliatif adalah pendekatan tim interdisipliner yang digunakan untuk orang-orang dengan penyakit serius atau mengancam jiwa untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Tujuan perawatan paliatif termasuk memberikan bantuan untuk manajemen rasa sakit dan manajemen gejala, memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga klien, dan mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual perawatan dengan perawatan medis yang diperlukan (Guo & Shin, 2005). 

Menguatkan klien selama perawatan paliatif (Img: media.istockphoto.com)

Kanker, Alzheimer, penyakit jantung kronis, multiple sclerosis, brain injury dan lain-lain merupakan diagnosis-diagnosis yang masuk ke dalam perawatan paliatif. Namun, cakupan penyakit yang termasuk ke dalam paliatif masih belum jelas hingga saat ini terutama di bidang psikiatri atau kejiwaan, karena banyak gangguan mental yang bersifat persisten dan berdampak negatif pada kualitas hidup serta harapan hidup seseorang.

Sedangkan di lain hal berdasarkan pada definisi perawatan paliatif WHO yang diterima secara luas saat ini hanya mencakup penyakit kejiwaan persisten yang parah. Hal ini menjadi concern paliatif psikiatri agar definisi perawatan paliatif oleh WHO yang lebih berfokus terhadap penyakit, diubah menjadi lebih fokus ke dalam berpusat pada klien mengingat tujuan dari perawatan paliatif adalah peningkatan kualitas hidup seseorang yang berada pada ambang kematiannya (Lindblad, Helgesson & Sjöstrand, 2019).


The multi-professional academic network at the Interdisciplinary Center for Palliative Medicine.


Peran Terapi Okupasi secara Spesifik

Seperti yang kita ketahui perawatan paliatif bersifat interdisiplin, dimana berbagai macam profesi termasuk terapis okupasi bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan. Terapis okupasi bekerja pada orang-orang dengan penyakit yang membatasi kehidupan dalam berbagai setting, termasuk kesehatan masyarakat, perawatan usia lanjut, rehabilitasi masyarakat, klinik rawat jalan, perawatan akut, pusat rehabilitasi rujukan spesialis, rumah sakit harian, rumah sakit dan unit perawatan paliatif rawat inap (OTA, 2015).

Dalam praktiknya terapis okupasi dapat bekerja pada bidang assessment dan intervensi, sebagai berikut:  

Assessment 

Melihat klien secara holistic adalah sebuah keharusan. Dalam perawatan paliatif terapis okupasi menggunakan pendekatan client-centered sehingga assessment yang dilakukan berpusat pada individu dan caregiver atau orang terdekat (Cooper, 2013).  Pemeriksaan terstandar yang dapat digunakan saat assessment klien salah satunya adalah Canadian Occupational Performance Measure (COPM) dimana pemeriksaan ini sangat sejalan dengan client-centered approach.

Dalam melakukan assessment, seorang terapis okupasi harus dapat menganalisis gangguan fungsional klien dengan baik dan sedetail mungkin. Beberapa hal yang perlu diassesment oleh terapis okupasi selain gangguan fungsional dan konteks individu adalah konteks lingkungan. Terapis okupasi dapat melihat apakah pasien membutuhkan modifikasi lingkungan dimana klien tinggal maupun klien beraktivitas.

Oleh sebab itu praktisi terapi okupasi memahami hubungan transaksional antara orang, lingkungan, dan aktivitas bermakna untuk mendukung okupasi berkelanjutan yang diinginkan, dapat meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang yang sedang sekarat, serta untuk orang yang mereka cintai (WFOT, 2016).


Intervensi 

Dalam tahapan intervensi, terapis okupasi juga harus menggunakan pendekatan client- centered bekerjasama dengan klien dan care giver. Hal ini berkaitan dengan bentuk intervensi dan tujuan yang akan dicapai bersama.

Sebagai contoh, klien dengan kanker memiliki kewaspadaan dan tingkat kesadaran lingkungan yang cukup baik namun memiliki permasalahan pada manajemen rasa sakit, pengendalian gejala yang menjadi dasar permasalahan kegiatan sehari-harinya akan berbeda dengan klien penyakit Alzheimer yang dirujuk pada tahap selanjutnya yang secara kognitif mengalami penurunan tetapi mengalami sedikit rasa sakit.

Memberikan ketenangan kepada klien (Img: www.all-can.org)

Berikutnya dalam situasi terminal, bentuk intervensi akan lebih tepat diarahkan pada berbagai tantangan yang dihadapi pengasuh, seperti memandu dalam mengelola perilaku dan tindakan keamanan bagi klien (Ann, et al., 2011).

Setelah tindakan assessment secara menyeluruh terapis okupasi dapat mengetahui area mana saja yang perlu dilakukan intervensi, apakah itu pada Activities of Daily Living (ADLs), Instrumental Activities of Daily Living (IADLs), Rest and Sleep, Leisure Participation,dan social participation.

Berikut adalah intervensi atau tindakan yang terapis okupasi lakukan berdasarkan area klien yang terdampak menurut panduan AOTA (2015).

Activities of Daily Living (ADLs) :

Berpakaian

Menggunakan peralatan adaptif, teknik pengerjaan aktivitas yang dimodifikasi, prinsip konservasi energi, dan mekanika tubuh yang tepat untuk meminimalkan rasa kelelahan berlebihan, dan rasa sakit (misalnya dalam berpakaian di tempat tidur untuk memaksimalkan kemandirian dan keselamatan).

Mandi

Menggunakan peralatan khusus atau adaptif untuk memaksimalkan keselamatan (misalnya grip bar dan bangku shower) dan menggabungkan prinsip konservasi energi.

Mobilitas fungsional

Menggabungkan strategi pencegahan jatuh (misalnya menghilangkan bahaya seperti menggunakan karpet dengan permukaan anti licin dan meningkatkan pencahayaan ruangan) dan menumbuhkan kesadaran akan masalah dan keterbatasan keselamatan dalam lingkungan, sambil memperkuat kepercayaan diri dan kemampuan klien. Menyediakan perangkat positioning dan mobilitas yang optimal untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan, sekaligus mengurangi risiko luka akibat tekanan. 

Membantu mengenakan pakaian (Img: stocks.adobe.com)

Instrumental Activities of Daily Living (IADLs)

Persiapan makan

Menggabungkan prinsip konservasi energi dan modifikasi aktivitas seperti menggunakan gerobak beroda dan mengatur ulang penyimpanan dapur untuk akses yang lebih mudah. Membantu diet sehat dan menyiapkan bahan makanan untuk manajemen nutrisi. 

Manajemen rumah

Mengevaluasi toleransi aktivitas dan mekanika tubuh dengan tugas-tugas seperti membersihkan rumah atau mencuci pakaian. Menyarankan modifikasi aktivitas, sistem pendukung, peralatan adaptif, ritme dalam aktivitas, dan teknik konservasi energi.

Manajemen kesehatan

Memberikan strategi tentang cara mengelola gejala yang terkait dengan kelelahan, nyeri, kecemasan, atau sesak napas selama aktivitas sehari-hari. 

Kegiatan keagamaan atau spiritual

Memodifikasi kegiatan atau sumber daya untuk membantu mengembangkan atau memelihara keterlibatan dalam kegiatan peribadatan atau kerohanian, jika diinginkan (Pizzi, 2010).

Rest and Sleep :  

  • Mengevaluasi kebiasaan tidur dan siklus tidur /bangun klien, dan mengembangkan rutinitas sebelum tidur untuk memfasilitasi periode tidur restoratif yang lebih lama. 
  • Memberikan teknik relaksasi dan positioning untuk meningkatkan kenyamanan dalam beristirahat, meningkatkan kemampuan beristirahat, dan mengurangi kerusakan kulit dari tekanan. 

Partisipasi Rekreasi

  • Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi dan komunitas yang menyenangkan dengan adanya perubahan kemampuan dan peran melalui modifikasi dan/atau dengan mengeksplorasi alternatif. 
  • Menggunakan teknik relaksasi, strategi mengatasi, manajemen kecemasan, manajemen waktu, dan ritme aktivitas untuk memfasilitasi partisipasi dalam kegiatan yang diinginkan. 
  • Mengidentifikasi dan memfasilitasi cara-cara untuk mempertahankan fungsi kognitif (misalnya, memori dan konsentrasi) untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bermakna.
Berinteraksi & Menghibur Klien (Img: www.pbs.org)

Kesehatan Psikososial/Perilaku

  • Melibatkan klien dan keluarga mereka dalam diskusi tentang perasaan, ketakutan, dan kecemasan mereka. Jika sesuai, berikan dukungan dan sumber daya untuk membantu menciptakan rencana akhir masa aktif, dan tetap terorganisir selama proses (Pizzi, 2010).
  • Mendorong keterlibatan komunikasi dan keluarga untuk mendukung keinginan klien, dan mempromosikan koneksi sosial yang berkelanjutan (Park Lala & Kinsella, 2011). 
  • Mendukung peran pengasuh, termasuk komunikasi tentang harapan realistis, dan edukasi tentang mekanika dan teknik tubuh yang aman selama kegiatan sehari-hari dan berpindah tempat, manajemen diri, dan kemampuan untuk mengurangi burnout (misalnya, kelompok pendukung pengasuh, atau perawatan hari hospice dewasa).

Kesimpulan 

Terapi Okupasi menjadi salah satu profesi yang melakukan perawatan paliatif bersama profesi lain. Meningkatkan kualitas hidup klien meski berada pada ujung akhir kehidupan menjadi salah satu tujuan terapi okupasi.

Dengan memahami peran dan tindakan intervensi yang tepat melalui client-centered approach terapis okupasi diharapkan dapat bekerjasama dengan klien dan caregiver dalam menciptakan kehidupan yang bermakna meskipun klien memiliki permasalahan kesehatan yang menghambat aktivitas kesehariannya.

Referensi

Allen, M. (2015). The role of occupational therapy in palliative and hospice care. https://www.aota.org/-/media/Corporate/Files/AboutOT/Professionals/WhatIsOT/PA/Facts/FactSheet_PalliativeCare.pdf

Ann Burkhardt, O. T. D., Mack Ivy MOT, O. T. R., Kannenberg, K. R., & Youngstrom, M. J. (2011). The role of occupational therapy in end-of-life care. The American Journal of Occupational Therapy65(6), S66.

Cooper, J. (Ed.). (2013). Occupational therapy in oncology and palliative care. John Wiley & Sons.

Guo, Y., & Shin, K.Y. (2005). Rehabilitation needs of cancer patients. Critical Reviews in Physical and Rehabilitation Medicine, 17(2), 83–99. doi:10.1615/CritRevPhysRehabilMed.v17.i2.10

Lindblad, A., Helgesson, G., & Sjöstrand, M. (2019). Towards a palliative care approach in psychiatry: do we need a new definition?. Journal of medical ethics45(1), 26-30.

World Faderation of Occupational Therapist.(2016). Occupational Therapy in the end of life Care. https://wfot.org/assets/resources/Occupational-Therapy-in-End-of-Life-Care.pdf

Bagaimana Terapi Okupasi dapat Berperan pada Klien yang Mengidentifikasi Diri sebagai LGBTQ+ ?

Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay

Seksual orientasi maupun identitas gender, untuk era sekarang memang tidak hanya dia (laki-laki) ataupun dia (perempuan) atau laki-laki menyukai perempuan. Saat ini seksual orientasi dan identitas gender ada yang dinamakan LGBTQ+ yang berarti Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgander, Queer, + untuk lain-lain.

Mungkin artikel ini akan menjadi bacaan pertama tentang terapis okupasi pada LGBTQ+ dalam bahasa Indonesia. Maka dari itu sebelum kita belajar lebih dalam, mari kita mengambil waktu sejenak dan menyimpan persepsi pribadi. Penulis akan memposisikan diri sebagai profesional terapis okupasi bukan secara pribadi. Maka diharapkan pembaca juga melakukan hal yang sama.

Jika kawan-kawan sudah menempatkan diri sebagai profesional maka mari kita lanjutkan membaca artikel ini.

Seperti yang kita ketaui dalam kode etik okupasi terapis Indonesia (2021) menyatakan “Anggota IOTI berkomitmen untuk mempromosikan sistem inklusi, partisipasi, keamanan, dan kesejahteraan untuk individu, kelompok, keluarga, organisasi, masyarakat, dan atau populasi di berbagai tahap kehidupan dan tingkat kesehatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan okupasi mereka”.

Berikutnya, terdapat 7 core values yang menjadi inti pelayanan terapis okupasi yaitu Altruisme, Equality (kesetaraan), Freedom (kebebasan), Justice (keadilan), Dignity (bermartabat),  Prudence (bijaksana). Maka dari aturan kode etik okupasi terapis Indonesia ini kita tau bahwa sebagai terapis okupasi, kita harus dapat menjadi tenaga kesehatan yang professional untuk semua kalangan tanpa adanya diskriminasi.


Apakah LGBTQ+ merupakan Penyakit Kejiwaan?

Sejak 1975, American Psychological Association telah meminta psikolog untuk memimpin dalam menghilangkan stigma gangguan kesehatan jiwa yang telah lama dikaitkan dengan orientasi lesbian, gay dan biseksual.

LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. “LGB” dalam istilah ini mengacu pada orientasi seksual. Orientasi seksual didefinisikan sebagai pola ketertarikan emosional, romantis, dan/atau seksual yang sering bertahan lama dari pria ke wanita atau wanita ke pria (heteroseksual), dari wanita ke wanita atau pria ke pria (homoseksual), atau oleh pria atau wanita untuk kedua jenis kelamin (biseksual).

Genderbreed Person V 2.0 (Img. https://www.itspronouncedmetrosexual.com/)

Ini juga mengacu pada rasa identitas pribadi dan sosial individu berdasarkan daya tarik tersebut, perilaku terkait dan keanggotaan dalam komunitas orang lain yang berbagi daya tarik dan perilaku tersebut. Beberapa orang yang memiliki ketertarikan atau hubungan sesama jenis dapat mengidentifikasi diri sebagai “aneh,” atau, karena berbagai alasan pribadi, sosial atau politik, mungkin memilih untuk tidak mengidentifikasi diri dengan label ini atau label apa pun. 

    “T” dalam LGBT adalah singkatan dari transgender atau gender yang tidak sesuai, dan merupakan istilah umum untuk orang-orang yang identitas gender atau ekspresi gendernya tidak sesuai dengan yang biasanya terkait dengan jenis kelamin yang diberikan kepada mereka saat lahir. Beberapa yang tidak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan lebih suka istilah “genderqueer.” Dan penting untuk dipahami bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukanlah hal yang sama (APA, 2008).

Apa yang Menyebabkan Seseorang Memiliki Seksual Orientasi Tertentu?

Tidak ada konsensus (persetujuan secara umum) di antara para ilmuwan tentang alasan yang tepat bahwa seseorang mengembangkan orientasi heteroseksual, biseksual, gay, atau lesbian. Meskipun banyak penelitian telah meneliti kemungkinan pengaruh genetik, hormonal, perkembangan, sosial, dan budaya pada orientasi seksual, tidak ada temuan yang muncul yang memungkinkan para ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh faktor atau faktor tertentu.

Banyak yang berpikir bahwa nature (secara alamiah) dan nurture (proses didikan dan asuhan) keduanya memainkan peran yang kompleks; bahkan kebanyakan orang mengalami sedikit atau tidak ada pilihan tentang orientasi seksual mereka (APA, 2008).

Gambar oleh Myriams-Fotos dari Pixabay

Permasalahan yang Dihadapi oleh Individu dengan LGBTQ+ 

Menghadapi Prasangka Tidak Baik dan Diskriminasi 

Sebelum 1970-an, homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang menyimpang, menular, berbahaya, dan tidak dapat diobati yang diagnosisnya paling sering menyebabkan pengusiran dari institusi (Tierney & Dilley, 1998 dalam Kay, 2022). Untuk menghilangkan anggapan negatif ini tentunya tidak mudah dan membutuhkan waktu serta dukungan dari berbagai pihak.

Bahkan di negara maju, orang-orang lesbian, gay, dan biseksual di Amerika Serikat menghadapi prasangka, diskriminasi, dan kekerasan yang luas karena orientasi seksual mereka. Prasangka yang intens terhadap lesbian, pria gay, dan orang biseksual tersebar luas di sebagian besar abad ke-20 , bahkan sikap diskriminasi yang sebagian besar dialami berupa kekerasan verbal maupun fisik (APA, 2008). 

Occupational Injustice

Occupational injustices digambarkan sebagai kondisi seseorang yang memiliki pengalaman occupation dengan penuh tekanan karena kondisinya (Hammell & Beagan, 2017) Sedangkan occupational justice yang dideskripsikan oleh Nilsson and Townsend (2010) merupakan keadilan dari perbedaan: keadilan untuk mengakui hak-hak occupational tanpa memandang usia, kemampuan, jenis kelamin, kelas sosial, atau perbedaan lainnya”.

Gambar oleh Flore W dari Pixabay

Individu dengan LGBTQ+ banyak yang mengalami kesulitan dan terisolasi dalam aspek sekolah atau akademik, kependudukan dan struktur sosial karena harus menanggung kebijakan yang membatasi mereka, staf-staf yang tidak mendukung, bias gender dan orientasi, dan intimidasi atau bullying dari orang sekitar (Kay, 2022). 

Namun faktanya individu dengan LGBTQ+ mengalami occupational injustice bukan hanya hasil dari masyarakat luar namun dari lingkungan profesi kesehatan, dimana orang dewasa dan remaja yang mengidentifikasi sebagai selain laki-laki / perempuan atau heteroseksual, sering mengalami jumlah kesempatan yang tidak proporsional dari kesenjangan perawatan kesehatan mental dan fisik daripada rekan-rekan heteroseksual (Willey, 2021).

Selain itu occupational injustice juga terjadi pada kalangan terapis okupasi karena hasil dari kurangnya pengetahuan & kompetensi klinisi. Menurut penelitian yang dilakukan Willey (2021) tentang Occupational Therapists’ Consideration of Sexual Orientation and Gender Identity when Working with Adolescents: An Exploratory Study, menyatakan bahwa occupational justice lebih mungkin terjadi jika OTs memasukkan SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) sebagai faktor klien yang relevan dalam praktik terapi okupasi.

Sebaliknya,  situasi occupational injustice jika semua faktor klien tidak dipertimbangkan (AOTA, 2020). Contoh, jika seorang terapis okupasi tidak bertanya tentang SOGI klien, maka kemungkinan mereka menganggap klien mereka heteroseksual dan / atau pria atau wanita. Jika terapis okupasi tidak bertanya tentang SOGI klien, dan klien tidak menawarkan informasi ini, maka OTs tidak akan tahu apakah klien remaja membutuhkan dukungan, baik dengan topik khusus SOGI atau dukungan untuk mengejar occupation yang paling berarti bagi mereka.

Mengalami Permasalahan Fisik maupun Mental

Viktimisasi, diskriminasi, penolakan, dan prasangka yang terus dialami dan dihadapi adalah sumber stres yang mengarah pada masalah dan kekhawatiran kesehatan fisik dan mental yang sering terlihat di komunitas LGBT. 

Pengalaman yang buruk selama bertahun-tahun dan penyembunyian identitas asli seseorang dianggap sebagai faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kondisi medis kronis yang lebih tinggi, seperti penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, radang sendi, dan gangguan kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan, yang terlihat pada populasi LGBT (Branstrom, 2017; Fredriksen-Goldsen et al., 2013; Meyer, 2003 dalam Simon, et al., 2021).


Bagaimana peran Terapi Okupasi pada individual dengan LGBTQ+ ? 

Melakukan Pemeriksaan (Img. Brooks.ac.uk)

Memasukan SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) dalam Proses Terapi Okupasi 

Untuk pertama kalinya SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) dianggap sebagai bagian dari proses terapi okupasi setelah depalan belas tahun sejak dikeluarkannya edisi pertama.

OTPF menggambarkan SOGI sebagai faktor pribadi yang harus dipertimbangkan, bersama dengan informasi demografis lainnya seperti: usia kronologis; ras dan etnis; identifikasi dan sikap budaya; latar belakang sosial, status sosial, dan status sosial ekonomi; pola pengasuhan dan pengalaman hidup; kebiasaan dan pola perilaku masa lalu dan saat ini; aset psikologis, temperamen, karakter unik yang dimiliki individu, dan gaya koping; pendidikan; profesi dan identitas profesional; gaya hidup; dan kondisi kesehatan dan status kebugaran (yang dapat mempengaruhi occupation seseorang tetapi bukan perhatian utama dari pertemuan terapi okupasi) (AOTA (2020), hlm. 10-11 dalam Willey, 2021).

Memasukan SOGI kedalam proses terapi sangatlah penting, karena dengan itu terapis okupasi dapat menentukan bentuk assessment, intervensi dan evaluasi yang sesuai dengan indidvidu, karena jika seorang tenaga kesehatan tidak mempertimbangakan SOGI dalam proses medikasi, maka hal ini dianggap tindakan yang menyakitkan karena tidak semua klien masuk kedalam heteroseksual, laku-laki maupun perempuan (Logie et al., 2019)

Mengidentifikasi Occupational Profile Individu dengan LGBTQ+ yang Terimplikasi karena SOGI Klien

Terapis okupasi harus sadar dan memiliki pengetauan tentang bagaimana kesenjangan kesehatan, kondisi kesehatan fisik, gangguan kejiwaan, dan tantangan sosial yang dihadapi yang berdampak pada occupational profile individu dengan LGBTQ+.

Dalam penelitian yang dilakukan Simon et al., (2021). The Role of Occupational Therapy in Supporting the Needs of Older Adults who Identify as Lesbian, Gay, Bisexual, and/or Transgender (LGBT). Memaparkan gambaran umum tentang perspektif ekologis terhadap narasi occupation dan perjalanan orang dewasa LGBT yang lebih tua dan dampaknya pada occupational profile-nya.

PersonOrang dewasa LGBT hadir dengan berbagai perubahan sistem terkait usia yang berdampak pada fungsi fisiologis, psikologis, motorik, kognitif, dan / atau spiritual.

Peningkatan risiko kesenjangan kesehatan menciptakan kebutuhan kritis untuk assessment yang akurat, evaluasi komprehensif, intervensi, dan proses rujukan yang tepat.
EnvironmentOrang dewasa LGBT dihadapkan pada “tantangan lingkungan,” mengingat jaringan dukungan sosial mereka, penentu sosial, lingkungan fisik dan sosial yang ada, dan kebijakan kesehatan dan hukum yang berlaku (Lecompte et al., 2020).

Dilema dan konflik dapat muncul ketika para penatua LGBT dihadapkan pada “lingkungan” yang tidak inklusif dan tidak mempertimbangkan kebutuhan populasi ini (Donaldson & Vacha-Haase, 2016).

Misalnya, pasangan mungkin tidak diterima sebagai kerabat berikutnya karena polisi yang ada di lingkungan tertentu. Beberapa akan melupakan bantuan yang diperlukan karena takut akan pekerja perawatan di rumah dan pengasuh yang tidak kompeten secara budaya dan mungkin tidak menerima gaya hidup mereka.
Occupational
Performance
Ada beragam kebutuhan dan keinginan orang dewasa LGBT yang bersaing dengan perubahan peran dan tujuan berdasarkan tingkat fungsi mereka; kebutuhan di rumah, di masyarakat, atau di tempat kerja; tahap kehidupan; dan adaptasi terhadap proses penuaan (Abbruzzese & Simon, 2018).

Tingkat fungsional sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan manusia. Klien mungkin tidak ingin melakukan terapi atau terbuka terhadap strategi yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan fungsi.

Hambatan dan kendala tambahan menciptakan tantangan dalam memfasilitasi kinerja dan partisipasi occupational yang optimal.

Seperti yang kita ketahui bahwa individu LGBT memiliki occupational profile yang unik. Beberapa topik termasuk berpakaian atau masalah seksualitas, yang harus kita ketahui dan sadari. Mengatasi beragam ADL dan pekerjaan memerlukan pendekatan yang terbuka dan tidak menghakimi.

Sensitivitas untuk masalah ADLs yang berkaitan dengan berpakaian, perawatan, atau seksualitas dapat muncul, dan seorang terapis mungkin tidak yakin bagaimana mengatasi masalah dengan cara yang kompeten secara budaya dan klinis.

Misalnya, seseorang mungkin menghadapi kebutuhan transisi pada individu transgender yang mungkin mengalami tantangan berpakaian, beradaptasi dengan gaya baru, dan yang perlu mengelola berbagai jenis pakaian atau aksesori. Ini mungkin keadaan yang unik bagi seorang tenaga kesehatan yang tidak yakin, tidak mudah dan perlu merasa lebih sadar secara klinis dan kompetensi (Simon et al., 2021).

Mengembangkan Pengetahuan dan Perubahan Praktik

Terapis okupasi merupakan bagian dari agen perubahan. Seluruh terapis okupasi sebaiknya menyadari isu-isu terbaru yang membutuhkan peranan terapis okupasi dan ikut berproses serta mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Untuk mengatasi kurangnya pengetahuan mengenai masalah dan kekhawatiran populasi LGBT, kita perlu membuat perubahan dalam pendidikan dan pelatihan kita baik fakultas maupun mahasiswa. Kerendahan hati budaya harus didorong dan peluang untuk menjadi lebih kompeten secara budaya dan klinis diperlukan. Kebutuhan, kekhawatiran, dan sejarah narasi LGBT harus lebih terlihat dalam pendidikan dan pelatihan (Simon et al., 2021). 

Upaya harus dilakukan oleh terapis okupasi untuk menciptakan lingkungan ramah LGBT dengan (a) mempromosikan penggunaan terminologi yang tepat, (b) merevisi formulir dan penilaian untuk memastikan inklusivitas, dan (c) memastikan selebaran pendidikan pasien netral gender.

Seluruh tenaga kesehatan harus didorong untuk melayani sebagai advokat untuk populasi ini di seluruh kontinum perawatan. Semua mekanisme ini akan mendorong peningkatan pemberian layanan OT (Simon et al., 2021).

Mengembangkan Ilmu Wajib Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan
(Img. scopeblog.stanford.edu)

Kesimpulan 

Peran terapis okupasi pada komunitas LGBTQ+ memang terbilang baru, penelitian serta evidence based yang adapun masih terbatas. Namun isu ini sudah menjadi hal yang harus terapis okupasi ketahui mengingat terapis okupasi merupakan salah satu profesi yang membantu klien nya mencapai kehidupan yang penuh makna meskipun dengan kondisi tertentu.

Melayani tanpa diskriminasi, melihat klien secara holistic seharusnya tidak dibatasi oleh seksual orientasi dan identitas gender. Terapis okupasi harus memposisikan diri sebagai tenaga profesional yang tentunya memiliki kompetensi ketika dihadapkan dengan klien dengan SOGI yang tidak ada dalam kategori umumnya.

Populasi LGBTQ+ juga menghadapi permasalahan kesehatan fisik maupun jiwa seperti yang lain dan juga yang diakibatkan oleh pengalam sosial yang tidak baik yang terus dihadapi serta occupational injustice yang  mempengaruhi occupational individu LGBTQ+ yang mana peranan terapis okupasi sangat dibutuhkan pada hal ini. 


Referensi

American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a better understanding of sexual orientation and homosexuality.  https://www.apa.org/topics/lgbtq

Hammell, K. R. W., & Beagan, B. (2017). Occupational injustice: A critique: L’injustice occupationnelle: une critique. Canadian Journal of Occupational Therapy84(1), 58-68.

IOTI (2021). SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN OKUPASI TERAPIS INDONESIA NOMOR : 134/SKep/IOTI.PUSAT/V/2021. Ikatan Okupasi Terapis Indonesia

Kay, C. M. (2022). Challenges of Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Intersex, and Asexual (LGBTQIA) Students in Higher Education (Doctoral dissertation, Walden University).

Logie, C., Lys, C., Dias, L., Schott, N., Zouboules, M. R., MacNeill, N., & Mackay, K., (2019). “Automatic assumption of your gender, sexuality and sexual practices is also discrimination”: Exploring sexual healthcare experiences and recommendations among sexually and gender diverse persons in Artic Canada. Health Soc Care Community, 27, 1204–1213. https://doi.org/10.1111/hsc.12757

Nilsson, I., & Townsend, E. (2010). Occupational justice: Bridging theory and practice. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 17, 57–63. doi:10.3109/11038120903287182

Simon, P., Grajo, L., & Powers Dirette, D. (2021). The Role of Occupational Therapy in Supporting the Needs of Older Adults who Identify as Lesbian, Gay, Bisexual, and/or Transgender (LGBT). The Open Journal of Occupational Therapy9(4), 1-9.

Willey, K. (2021). Occupational Therapists’ Consideration of Sexual Orientation and Gender Identity when Working with Adolescents: An Exploratory Study.

Peran Terapi Okupasi pada Peristiwa Bencana Alam

Gambar oleh Angelo Giordano dari Pixabay

Bencana alam merupakan fenomena yang sering terjadi yang terkadang tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya. Setiap tahunnya Indonesia mengalami peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, longsor, tsunami hingga gunung meletus dikarenakan Indonesia sendiri berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas seismik). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.205 bencana alam terjadi dari 1 Januari 2021 hingga 30 April 2021 (Liputan 6, 2021).

Tidak hanya mengalami kehilangan harta dan benda, seseorang bahkan dapat mengalami luka fisik seperti luka-luka, patah tulang, Traumatic Brain Injury (TBI)  hingga luka psikis seperti trauma dan depresi pasca bencana alam yang dapat berimplikasi pada kehidupan keseharian seseorang seperti pada aktivitas sehari-hari, pekerjaaan hingga sosial (AOTA, 2008).

Gambar oleh Rafael Urdaneta Rojas dari Pixabay

Apakah Peran Terapi Okupasi pada Bencana Alam?

Dalam peristiwa bencana alam Terapis Okupasi harus dilibatkan dalam semua tahap penanggulangan bencana baik di tingkat lokal maupun nasional. Keterlibatan ini dimulai dari pasca bencana hingga rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk perencanaan dan persiapan (WFOT, 2014). Terapis okupasi berperan dalam tiga tahap situasi emergensi pada peristiwa bencana alam yaitu kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan.

Mitigasi bencana (Kesiapsiagaan)

Peristiwa bencana alam terkadang tidak dapat terprediksi kapan terjadinya. Maka dari itu perencanaan yang matang sangat diperlukan. Seorang terapis okupasi dalam disaster preparation memiliki peran  mengembangkan pengetahuan dan kapasitas pada level komunitas local, nasional hingga internasional untuk mengantisipasi dan merespon secara tepat terhadap bahaya atau resiko dari peristiwa bencana alam dan dampak yang menyertai, seperti dampak sosial, politik, ekonomi dan lingkungan serta berfokus terhadap ancaman yang akan dihadapi di waktu dekat maupun di masa mendatang (Rushford & Thomas, 2015).

Dalam praktiknya seorang terapis okupasi harus bekerjasama dengan stakeholder atau pemegang kebijakan di daerah tersebut untuk menjangkau seluruh masyarakat. Salah satu peran kesiapsiagaan yang dapat dilakukan terapis okupasi adalah menggunakan keahlian di bidang-bidang seperti merancang tempat penampungan berkebutuhan khusus yang aksesibel seperti mendesain ramp untuk pengguna kursi roda, mendesain kamar mandi darurat yang aksesibel dan membentuk staf pelatihan dan sukarelawan dalam membantu penyandang disabilitas selama masa krisis (AOTA, 2008).

Edukasi Kebencanaan sebagai Bentuk Mitigasi (Img. lipi.go.id)

Selain pada tingkat kelompok masyarakat, kesiapsiagaan bencana juga dapat menjadi intervensi okupasi terapi pada tingkat keluarga atau individu. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang rentan, seperti difabel atau anak berkebutuhan khusus, dapat mempersiapkan kegawatdaruratan melalui peningkatan pemahaman individu difabel dan anak akan terjadinya bencana (seperti misalnya banjir) melalui storytelling maupun roleplaying.

Supply kits berupa medikasi, alat transportasi, alat kesehatan seperti tabung oksigen, makanan yang sesuai diet individu dapat disiapkan dalam bentuk cadangan dengan memperhatikan kadaluarsa.

Respon Bencana

Pada tahapan ini adalah ketika peristiwa bencana alam terjadi. Seorang terapis okupasi ikut serta dalam memberikan layanan darurat dan bantuan publik, selama atau segera setelah kejadian peristiwa bencana alam yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, mengurangi dampak bencana, memastikan keselamatan masyarakat dan berfokus pada kebutuhan jangka pendek dan mendesak.

Merespon Bencana Alam (Img. ifaw.org)

Dalam praktiknya, terapis okupasi dapat berperan dalam mengelola tempat penampungan masyarakat berkebutuhan khusus, memfasilitasi support group untuk mengurangi kecemasan pengungsi, dan memberikan layanan dukungan kesehatan mental kepada korban dan personel militer. Selain itu juga terapis okupasi dapat membantu tenaga medis lainnya dalam mengidentifikasi korban luka-luka atau hilang (Rushford & Thomas (2015); AOTA (2008)).


Pemulihan Pasca Bencana

Pemulihan Bencana dari Segi Infrastruktur (Img. kompas.com)

Setelah peristiwa bencana alam terjadi, proses pemulihan adalah tahapan yang membutuhkan waktu lama. Dalam tahapan ini terapis okupasi berkontribusi dalam upaya pemulihan (recovery), melakukan perbaikan (rehabilitation) dan pembangunan kembali (reconstruction) terhadap kegiatan dan rutinitas masyarakat yang terganggu.

Korban bencana perlu mengembangkan keterampilan dirinya untuk menangani dampak dari pengalaman yang mereka lalui. Dengan melibatkan penyintas bencana dalam aktivitas bermakna, penyintas bencana dapat merestrukturisasi rutinitas mereka untuk mengatasi stres dan rasa cemas (AOTA, 2008).

Rumah Tahan Gempa (Img. rumah.com)

Dalam seminar internasional tentang Occupational Therapy in Post-Disaster Relief (2008) di Jerman, memaparkan bahwa dalam praktiknya terapis okupasi dapat melakukan asesmen situasional kepada masyarakat yang terdampak bencana alam dengan cara melihat kebutuhan dan kapasitas masyarakat secara langsung, kemudian merencanakan projek ke depan secara objektif dan melakukan evaluasi di kemudian hari. Kemudian terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan oleh terapis okupasi dalam situasi post-bencana alam yaitu:

Menggunakan Pendekatan Bio-Psycho-Social

Dalam implementasinya terapis okupasi berfokus terhadap sumber daya yang ada, penguatan kapasitas diri masyarakat, menyediakan dukungan dan menciptakan keserasian dengan masyarakat. Kemudian terdapat tiga hal yang dapat dievaluasi dan dilakukan tindakan intervensi oleh terapis okupasi dengan pendekatan ini, yaitu:

  1. Body function (seperti melakukan rehabilitasi tangan, melakukan pelatihan fungsional klien untuk memaksimalkan ADL),
  2. Activity (meliputi pelatihan vokasional, memberikan permainan untuk anak-anak yang terdampak sebagai aktivitas yang bermakna),
  3. Partisipasi (seperti melakukan terapi kelompok, aktivitas olahraga dan pemanfaat waktu luang).
Trauma Healing Pasca Bencana (Img. jabar.tribunnews.com/)

The Kawa Model (Pendekatan Terapis Okupasi Secara Komprehensif)

Kawa, berarti sungai dalam Bahasa jepang yaitu model yang dikembangkan oleh terapis okupasi asal Jepang Michael K. Iwama, merupakan model terbaru dengan perspektif orang timur dan menggunakan sungai sebagai metafora jalur kehidupan dan occupation yang mana dapat diimplementasikan pada situasi bencana alam.

Kawa Model (Img Google.com)

Air yang berarti adalah energi kehidupan, pinggiran sungai dan dasaran sungai yang berarti kehidupan sosial dan lingkungan fisik klien, batu yang berarti masalah dan tantangan kehidupan, kayu yang mengapung berarti aset dan kewajiban personal, ruang (space) aktivitas keseharian dan partisipasi.

Kawa model sangat berguna dalam promosi pendekatan secara client-centered, membuat prioritas dan mengevaluasi hasil intervensi, interprofessional teamwork dan mendukung klien dalam proses adaptasinya setelah peristiwa bencana alam yang dialami.

Dalam pelaksanaannya terapis okupasi dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan cara menggunakan assistive devices, menciptakan lingkungan yang aksesibel dan sikap positif terhadap konteks sosial dan personal .


Kesimpulan 

Tidak ada satupun negara didunia yang terhindar dari bencana alam begitu pula Indonesia. Terapis okupasi menjadi salah satu tenaga kesehatan yang diperhitungkan untuk terlibat dalam peristiwa bencana alam baik dalam mitigasi bencana hingga post-disaster.

Dalam pelaksanaanya terapis okupasi harus bekerja dengan tenaga profesi lain, stakeholder dan masyarakat. Menggunakan pendekatan yang berfokus terhadap komunitas dan masyarakat, diharapkan terapis okupasi dapat membantu masyarakat menjalankan kehidupan secara sepenuhnya setelah peristiwa buruk yang dilalui.

Referensi

International Seminar (2008). Occupational therapy in post-disaster relief. Rheinsberg, Germany.

Liputan6.com News (2021). BNPB: 1.205 Bencana Alam Terjadi Sejak 1 Januari hingga 30 April 2021. https://www.liputan6.com/news/read/4547346/bnpb-1205-bencana-alam-terjadi-sejak-1-januari-hingga-30-april-2021

Rushford, N., & Thomas, K. (Eds.). (2015). Disaster and development: An occupational perspective. Elsevier Health Sciences.

World Federation of Occupational Therapists. (2014). Occupational Therapy in Disaster Preparedness and Response (DP&R). https://www.wfot.org/resources/occupational-therapy-in-disaster-preparedness-and-response-dp-r 

Yamkovenko, S., 2008. Occupational Therapy’s Role in Disaster Relief. [online] Aota.org. Available at: <https://www.aota.org/About-Occupational Therapy/Professionals/MH/Articles/Disaster-Relief.aspx> [Accessed 17 June 2022].

Terapi Stem Sel pada Pediatric Neurodevelopmental Disorder

Penelitian tentang terapi pada kasus neurodevelopmental disorder terus berkembang tahun ke tahun. Banyak peneliti berusaha untuk menemukan cara terbaik untuk menangani gangguan yang mendasari gangguan neurodevelopmental. Gangguan neurodevelopmental adalah disabilitas yang terkait dengan fungsi sistem neurologis dan otak. Umumnya terjadi pada perkembangan awal dan ditandai dengan defisit perkembangan yang mengakibatkan gangguan fungsi seseorang, sosial, akademik, atau pekerjaan. Secara luas defisit gangguan berkisar mulai dari keterbatasan keterampilan belajar atau komunikatif, hingga yang lebih spesifik adalah gangguan global, interaksi sosial atau fungsi intelektual (American’s Children and the Environment (2015) & Ahn (2017)).

Meskipun gangguan Neurodevelopmental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),  Autism Spectrum Disorder (ASD) Intellectual Disabilty, Cerebral Palsy dan lain-lain umumnya terjadi saat masa kecil namun kondisinya dapat terus ada seumur hidup. Saat ini, perawatan yang tersedia seperti fisioterapi, terapi okupasi, terapi perilaku, intervensi  psikologi, terapi wicara dan intervensi farmakologi hanya fokus pada meringankan gejala gangguan ini dan tidak mengatasi neuropathophysiology yang mendasarinya (Sharma, et al., 2017). Para ilmuwan saat ini pun sedang mengembangkan penggunaan stem sel sebagai terapi karena stem sel diyakini dapat menjadi pilihan lain yang menjanjikan untuk menyembuhkan penyakit.


Apa itu stem sel?

Stem sel  menjadi topik yang banyak dibicaran tahun-tahun terakir ini di dunia medis. Stem sel atau ratu dari semua sel (Queen of all cells) adalah sel yang bersifat pleuropoten dan memiliki potensi luar biasa untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda dalam tubuh tanpa memiliki batas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Secara fundamental stem sel tidak memiliki struktur jaringan spesifik yang dapat membentuk fungsi spesifik tertentu. Namun bila dapat dikembangkan ke dalam fungsi spesifik, hal itulah yang dapat dimanfaatkan dalam dunia medis untuk membentuk sel otot jantung, sel darah dan sel saraf (Hassan, Hassan, G., & Rasool, 2009)

Stem sel ada di hampir setiap jaringan manusia, di dalam embrio, mereka berdiferensiasi ke semua jaringan dan organ tubuh, dan pada manusia yang berkembang sepenuhnya stem sel menyediakan kapasitas pembaruan di sebagian besar organ. Stem sel memiliki berbagai bentuk dan masing-masing memiliki berbagai potensi. Potensi tersebut mengacu pada kemampuan stem sel untuk mereplikasi dan berdiferensiasi ke dalam tipe sel yang berbeda (Alessandrini, et al., 2019).


Bagaimana Mekanisme Stem Sel Pada Kasus Neurodevelopmental Disorder?

Beberapa tipe atau jenis stem sel ditemukan untuk treatment gangguan neurologis seperti bone marrow stem cells, embryonic stem cells, olfactory ensheathing cells dan umbilical cord blood cells (Sharma, et al., 2017). Tujuan dari terapi stem sel adalah untuk menempatkan sel terapeutik ke daerah sel yang terganggu / rusak di dalam otak, untuk merangsang perbaikan dan memelihara jaringan melalui efek parakrin (memberikan sinyal dari sel ke sel lain) , dan bahkan berpotensi untuk menghasilkan neuron baru (meskipun untuk menghasilkan neuron baru kemungkinan terjadinya lebih kecil) (Alessandrini, et al., 2019). 

Saat stem sel ditransplantasikan, stem sel akan bermigrasi dan pergi ke area otak yang terdapat gangguan Kemudian dipasangkan dengan faktor pertumbuhan (growth factors), chemokine dan reseptor matriks ekstraseluler pada permukaan sel seperti stromal cell-derived factor 1 (SDF‑1), monocyte chemo attractant protein‑3 (MCP‑3), stem cell factor (SCF) dan/atau IL‑8. Mereka kemudian berdiferensiasi ke dalam sel jaringan inang dan mengganti jaringan neuronal yang rusak atau mati. Melalui mekanisme parakrin mereka menghentikan cedera lebih lanjut dan merangsang sel-sel endogen untuk melakukan proses perbaikan dan pemulihan.

Kemudian stem sel mengeluarkan beragam faktor pertumbuhan neuroprotektif termasuk faktor neurotrofi yang berasal dari otak (Brain‐Derived Neurotrophic Factor), faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor), neurotrophin-3 (NT‑3), garis sel glial – faktor neurotrofi yang diturunkan (glial cell line–derived neurotrophic factor) dan insulin seperti growth factor tipe 1. Faktor-faktor pertumbuhan ini mengaktifkan sejumlah jalur sinyal dan membantu dalam meningkatkan diferensiasi, kelangsungan hidup sel saraf dan mempertahankan fungsi persarafan.

Mereka juga menghasilkan vaskular endothelial growth factor (VEGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF‑2) yang meningkatkan aliran darah dan meningkatkan angiogenesis (perkembangan sel darah baru). Faktor parakrin anti-inflamasi seperti Interleukin 10 (IL 10) dan Transforming growth factor (TGF)-β membantu dalam imunomodulasi (Sharma, et al., 2017).

Mekanisme aksi dari stem sel dalam gangguan neurologi pada pediatri.

Stem Sel Pada Pada Kondisi Autisme, Cerebral Palsy dan Intellectual Disability

Stem sel pada Autisme

Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, et al., (2013) tentang stem sel untuk anak dengan autism, dengan jumlah responden 32 anak autism dan dilakukan follow-up selama 26 bulan dengan menggunakan pemeriksaan Childhood Autism Rating Scale (CARS), Indian Scale for Autism Assessment (ISAA), Clinical Global Impression (CGI) dan Functional Independence Measure (FIM/Wee‐FIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 dari 32, (91%) anak mengalami peningkatan pada pemeriksaan ISAA, dan 20 (62%) anak mengalami penurunan yang cukup signifikan pada pemeriksaan CGI-I dan pada pemeriksaan CGI-II 96% anak menunjukan perkembangan secara menyeluruh.

Persentase peningkatan kemampuan pada Autisme setelah terapi stem sel.

Stem Sel pada Cerebral Palsy

Patologis utama dari cerebral palsy adalah kerusakan pada white matter. Stem sel pada cerebral palsy bertujuan untuk memperbaiki dan menggantikan white matter yang rusak. Penelitian tentang terapi stem sel pada cerebral palsy sudah banyak dilakukan. Dua puluh enam Studi yang telah dipublikasikan menunjukan 90% anak menunjukan perkembangan setelah terapi stem sel (Sharma, et al., 2017). Kemudian studi yang dilakukan oleh Sharma, et al,. (2015) berjudul A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients menunjukan 38 dari 40 responden (95%) menunjukan perkembangan dan 2 lainnya menunjukan hasil stabil tanpa ada penurunan. 

Peningkatan pada Cerebral Palsy setelah terapi stem sel.

Stem Sel pada Intellectual Disability

Pada kasus intellectual disability stem sel berfungsi untuk mengembalikan sinaptik penghubung yang terputus dan memberikan reinnervasi lokal ke area yang terkena dampak. Selain itu juga stem sel berfungsi mengintegrasikan jaringan saraf dan sinaptik yang ada dan membangun kembali koneksi sel-sel afferent fungsional dan efferent yang mungkin telah berkontribusi dalam memulihkan defisit kognitif dan fungsional pada ID (Kang H & Schuman EM (1995) dalam Sharma, et al., (2017)).

Studi yang dilakukan Sharma, et al., (2015) tentang stem sel pada mental retardasi (MR) dimana laporan menunjukan bahwa responden (seorang anak laki-laki) berusia 13 tahun dengan cacat intelektual yang menunjukkan peningkatan setelah terapi stem sel. Dia ditindak lanjuti setelah 3 dan 6 bulan intervensi. Tidak ada peristiwa buruk terjadi pasca intervensi. Selama 6 bulan, ia menunjukkan peningkatan kontak mata, kognisi, kemampuan belajar, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Skornya pada Pengukuran Kemandirian Fungsional (FIM) meningkat dari 67 menjadi 76. Selain itu juga pada pra dan pasca PET-CT scan, menunjukkan peningkatan aktivitas metabolisme hippocampus, amygdala kiri dan cerebellum. Perubahan ini berkorelasi dengan hasil fungsional.


Kesimpulan

Terapi stem sel merupakan inovasi teknologi yang memiliki efek penyembuhan pada gangguan “neurologi” kondisi neurodevelopmental disorders, namun, faktor “perkembangan” juga mempengaruhi plastisitas otak dan  maturasi sel. Gabungan antara stem sel dan intervensi rehabilitasi diasumsikan memiliki efek pemulihan dan perkembangan yang lebih baik. Oleh karena itu, studi lanjut diperlukan untuk mengetahui efek gabungan antara terapi stem sel dan intervensi rehabilitasi terutama pada gangguan neurodevelopmental disorders.


Referensi

American’s Children and the Environment.(2015). Neurodevelopemntal Disorder. EPA Govermen Production. USA https://www.epa.gov/sites/production/files/2015-10/documents/ace3_neurodevelopmental.pdf 

Ahn, D. H. (2016). Introduction: neurodevelopmental disorders. Hanyang Medical Reviews36(1).

Sharma, A., Sane, H., Gokulchandran, N., Badhe, P., Kulkarni, P., Pai, S., … & Paranjape, A. (2017). Stem cell therapy in pediatric neurological disabilities. Physical Disabilities-Therapeutic Implications117.

Hassan, A. U., Hassan, G., & Rasool, Z. (2009). Role of stem cells in treatment of neurological disorder. International journal of health sciences3(2), 227.

Alessandrini, M., Preynat-Seauve, O., De Bruin, K., & Pepper, M. S. (2019). Stem cell therapy for neurological disorders. South African Medical Journal109(8 Supplement 1), S71-S78. https://www.icddelhi.org/Stem_cell_therapy.html

Sharma A, Gokulchandran N, Sane H, Nagrajan A, Paranjape A, et al. Autologous bone marrow mononuclear cell therapy for autism – An open label proof of concept study. Stem Cells International. 2013;2013:13 pages. Article ID 623875.

Sharma A, Sane H, Gokulchandran N, Kulkarni P, Gandhi S, et al. A clinical study of autologous bone marrow mononuclear cells for cerebral palsy patients: a new frontier. Stem Cells International. 2015;2015:11 pages. Article ID 905874

Sharma A, Sane H, Paranjape A, Gokulchandran N, Kulkarni P, Nagrajan A, Badhe P. Positron emission tomography–computer tomography scan used as a monitoring tool following cellular therapy in cerebral palsy and mental retardation – A case report. Case Reports in Neurological Medicine. 2013;2013:6 pages. Article ID 141983

Robotics Dalam Terapi Okupasi

Pemanfaatan teknologi robot tampaknya sudah tak asing lagi saat ini. Banyak orang berlomba-lomba menciptakan robot guna memudahkan pekerjaan sehari-hari manusia karena robot dapat digunakan di berbagai setting seperti pada industri, keamanan hingga pada bidang medis terapan. Penggunaan robotika pada bidang medis terutama pada rehabilitasi medis sudah sejak lama diteliti dan dikembangkan. Hal ini dibuktikan dengan telah dilakukannya penelitian oleh Glass & Hall (1987)  yang mengungkapkan bahwa penggunaan robot pada rehabilitasi medis dinilai dapat memberikan manfaat bagi terapis maupun klien di masa depan karena dapat menghemat biaya dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan terapis. Bahkan 51 terapis okupasi di empat rumah sakit yang menjadi responden penelitian memiliki respon positif dan mengungkapkan ingin mempelajari lebih dalam tentang penggunaan robot untuk membantu orang-orang dengan disabilitas.

Gambar : Quadriplegic Commands Robot to Brush His Teeth Robotic System Developed by the Palo Alto Veterans Administration Hospital and Stanford University

Penggunaan Robotika Pada Rehabilitasi Medis

Pada rehabilitasi medis penggunaan robot dikenal dengan istilah  “Robotic Therapy” atau “Robot- assisted- therapy”. Robot didefinisikan sebagai mesin yang mampu melakukan serangkaian tindakan kompleks secara otomatis, terutama yang dapat diprogram oleh komputer (Robot, n.d). Keuntungan terpenting menggunakan teknologi robot dalam intervensi rehabilitasi adalah kemampuan untuk memberikan dosis tinggi dan pelatihan intensitas tinggi yang mana digunakan untuk pengoptimalan kemampuan neuroplatisitas dalam pengembalian kemampuan fungsional klien. Selain itu robot juga diharapkan dapat digunakan klien untuk latihan secara mandiri dirumah, bukan untuk menggantikan peran terapis namun untuk membantu meningkatkan kesuksesan program terapi (Sivan (2011) dalam Chang & Kim, (2013) & Díaz, Gil, & Sánchez (2011)).

Robotics rehabilitation dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu therapeutic robots dan assistive robots. Therapeutic robots merupakan robot yang didesain untuk latihan aktivitas tertentu (task-specific training) sedangkan  assistive robots bertujuan sebagai alat bantu atau kompensasi (Lum, 2012). 

Example of Therapeutic Robotic : device for motor training : (A) End effector- type (InMotion 2.O Interactive motion technologies, Watertown, MA, USA, (B) ExoskeletonType (Armeo, Hocoma, Swizeland)
Gambar Eating Assistive Robot : www.assistive-innovations.com/en/eatingdevices

Apakah Penggunaan Robot untuk Rehabilitasi Efektif?

Penelitian tentang robot therapy berkembang sangat cepat dari tahun ke tahun. Telah banyak penelitian dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan robotika ini dalam menunjang proses rehabilitasi. Penelitian yang dilakukan Kim G (2017) melalui investigasi literatur apakah robot efektif digunakan untuk membantu proses recovery klien stroke dengan permasalahan ekstremitas atas, mengkonfirmasi bahwa terapi yang dibantu robot dengan gerakan tiga dimensi dan tingkat kebebasan yang tinggi, memiliki efek positif pada pemulihan fungsi motorik ekstremitas atas pada pasien dengan stroke tahap awal dalam pengaturan klinis. Kemudian terdapat penelitian yang membandingkan efektivitas terapi konvensional dengan terapi menggunakan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas atas pada klien post-stroke menunjukkan bahwa terapi menggunakan robot memiliki keuntungan lebih dibanding dengan terapi konvensional, grup terapi dengan robot memiliki peningkatan gerakan yang lebih luas dalam hal kekuatan, lingkup gerak sendi bahkan dalam level  kemandirian ( Lum, 2002).

Penelitian telah banyak menunjukkan bahwa menggunakan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas atas dinilai sebanding atau lebih baik daripada terapi konvensional, namun penggunaan robot untuk rehabilitasi training ekstremitas bawah dinilai masih belum begitu jelas apakah lebih lebih baik dibanding dengan terapi konvensional jika diberikan tanpa terapi konvensional, karena selama ini terapi robot untuk ekstremitas bawah masih digunakan untuk melengkapi terapi konvensional (Chang & Kim , 2013).


Apa Saja Tantangan Yang Dihadapi Dalam Penggunaan Robotic Therapy?

Sistem robotik diyakini akan banyak diterapkan sebagai alat rehabilitasi standar dalam waktu dekat. Saat ini upaya di seluruh dunia sedang dilakukan dalam penyempurnaan penggunaan robotika dalam rehabilitasi. Banyak robot therapy yang telah dibuat dan dikembangkan namun masih sedikit yang dipasarkan. Selain itu, sistem yang tersedia di pasar belum dikembangkan untuk aplikasi di rumah. Alasan utamanya adalah peningkatan biaya, kurangnya bukti peningkatan klinis yang tinggi, dan kebutuhan akan protokol terapi dan kriteria assessment yang akan digunakan. Selain itu, masih banyak kekurangan dari segi sistem dan ketahanan daya dari robotic therapy. Penggunaan sistem robotik memungkinkan pengukuran pola gerak dan dinamika gerakan yang tepat, yang harus digunakan untuk menilai kemampuan dan kemajuan proses recovery klien. Selain meningkatkan kualitas gerak, robotika juga dapat memfasilitasi kemandirian fungsional dalam kerangka penerapan robotika sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari. Tentu, diperlukan penyesuaian kebutuhan individual, pengembangan protokol dan prosedur standar perawatan dan pengukuran untuk mendapatkan data penilaian yang akurat. 

Proses recovery kemampuan berjalan pasien yang diterapi menggunakan robot tetap membutuhkan menggunakan pemeriksaan klinis. Mengenai penggunaan sistem robotik, kecepatan langkah kaki dan jarak dalam berjalan kaki, lingkup gerak sendi, dan langkah dinamis lainnya telah digunakan untuk penilaian assessment dengan sistem robotika ini. Dalam okupasional, aktivitas menggunakan bantuan robotika dapat dinilai secara kualitatif, baik tentang kinerjanya maupun kepuasannya. Memang tidak ada metode terstandar dalam penerapan robotika ini. Oleh karena itu, diperlukan uji klinis yang besar untuk menentukan kriteria klinis untuk penggunaannya (Díaz, Gil, & Sánchez, 2011).


Referensi 

Glass, K., & Hall, K. (1987). Occupational therapists’ views about the use of robotic aids for people with disabilities. American Journal of Occupational Therapy41(11), 745-747.

Robot [Def. 1]. (n.d.). Oxford Living Dictionaries. Retrieved March 6, 2021, from https://en.oxforddictionaries.com/definition/Robot

Chang, W. H., & Kim, Y. H. (2013). Robot-assisted therapy in stroke rehabilitation. Journal of stroke15(3), 174.

Lum PS, Godfrey SB, Brokaw EB, Holley RJ, Nichols D. Robotic approaches for rehabilitation of hand function after stroke. Am J Phys Med Rehabil. 2012;91:S242–S254. 

Kim, G., Lim, S., Kim, H., Lee, B., Seo, S., Cho, K., & Lee, W. (2017). Is robot-assisted therapy effective in upper extremity recovery in early stage stroke?—a systematic literature review. Journal of physical therapy science29(6), 1108-1112.

Díaz, I., Gil, J. J., & Sánchez, E. (2011). Lower-limb robotic rehabilitation: literature review and challenges. Journal of Robotics2011.

Lum, P. S., Burgar, C. G., Shor, P. C., Majmundar, M., & Van der Loos, M. (2002). Robot-assisted movement training compared with conventional therapy techniques for the rehabilitation of upper-limb motor function after stroke. Archives of physical medicine and rehabilitation83(7), 952-959.

Mencapai Tujuan Terapi Okupasi Melalui Occupational Performance Coaching

Belajar didampingi Ibu – Gambar oleh Chuck Underwood dari Pixabay

Tujuan intervensi terapi okupasi pada didesain bersama klien dan keluarga pun penanggung jawab (orang tua, pasangan atau orang signifikan yang lainnya) berdasar pada premis berpusat pada klien (client-centered). Pertimbangan klinis melibatkan beberapa aspek, mulai dari memahami kondisi medis maupun okupasi klien, perjalanan pencapaian terapi, dampak yang dirasakan baik yang bersifat positif maupun negatif (kontraindikasi pasca terapi) serta aspek terkait lainnya. Dengan tujuan terapi dan dilengkapi pertimbangan klinis yang jelas, layanan terapi akan diberikan dengan lebih terukur, tepat dan akuntabel. 

Namun dalam penerapannya, mewujudkan hal tersebut sulit dilakukan dengan maksimal apabila hanya memenuhi layanan terapi okupasi di klinik atau rumah sakit sebagai ‘kewajiban’, tanpa kerja sama melakukan rekomendasi program di rumah. Peranan caregiver selama di rumah adalah merupakan kunci terhadap perkembangan klien yang dapat mendukung layanan terapi okupasi secara signifikan, memaksimalkan potensi dan perkembangan dalam mencapai tujuan terapi hingga partisipasi klien dalam menjalani kehidupan mereka


Pentingnya Merencanakan Tujuan dalam Layanan Terapi

Tujuan terapi merupakan suatu poin mendasar dan penting untuk dirancang dalam layanan rehabilitasi yang menjadi titik tolak sekaligus tolak ukur dalam tercapainya tujuan akhir dari layanan rehabilitasi yang diberikan, dimana dalam dunia terapi okupasi tujuan terapi dibuat dengan lebih berorientasi menuju tercapainya kemandirian & partisipasi dalam kehidupan (Siegerd & Taylor, 2004; AOTA, 2013).

Dalam menentukan tujuan terapi, tentu kita perlu memahami faktor pengaruh dalam menentukan tujuan terapi. Mengutip Alanko, Karhula, Kröger, Piirainen & Nikander (2018), memahami keikutsertaan klien (secara khusus di kasus fisik & neurologi dewasa) ketika merencanakan tujuan terapi, terapis perlu memperhatikan beberapa hal seperti kecemasan terhadap ketidakpastian kemajuan kondisi, rasa sakit/gejala penyerta yang mengganggu, kesadaran terhadap kondisi yang belum stabil, dan pemahaman klien dalam menghargai dan memahami kondisi saat ini. 

Mencapai Tujuan – Gambar: https://www.njstatelib.org

Menentukan tujuan terapi itu penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan klien baik terhadap kerabat, diri sendiri, tenaga profesional (tenaga kesehatan, khususnya terapis) dan terhadap layanan terapi di klinik/rumah sakit Alanko dkk. (2018). Lantas bagaimana terapis dalam merencanakan tujuan terapi? Copley, Turpin & King (2010) menyebutkan bahwa terapis okupasi dalam membuat keputusan klinis hingga menyusun dan menerapkan tujuan terapi kepada klien berpedoman kepada informasi dari klien, keluarga dan orang/lingkungan lain di sekitar klien, hasil pemeriksaan terkait kemampuan klien utamanya dalam menyelesaikan aktivitas, informasi dari referensi bacaan, ilmu dari lokakarya yang diikuti maupun pengalaman profesional dan terakhir, kompilasi dan memilah informasi yang telah didapatkan.


Menguatkan Coaching untuk Mewujudkan Tercapainya Tujuan Terapi

Kita telah memahami dalam pentingnya mencapai tujuan terapi yang harus secara konsisten dan sama-sama diwujudkan melalui layanan terapi okupasi baik di klinik maupun di rumah. Dalam beberapa riset, terdapat satu metode layanan yang dapat membantu hal tersebut, yakni Occupational Performance Coaching (OPC)

Occupational Performance Coaching (OPC) ini merupakan layanan terapi okupasi dengan berbasis okupasi dan keterlibatan klien bersama caregiver/keluarga selama di rumah untuk membantu klien mewujudkan kemampuan okupasi yang dituju. OPC dilakukan dengan mengikutsertakan caregiver, maupun orang di sekitar klien untuk terlibat dalam mewujudkan strategi terapis dan merencanakan pencapaian tujuan terapi (Kessler & Graham, 2015). Terlibat di sini artinya caregiver maupun klien itu sendiri merupakan fasilitator klien (maupun kepada diri klien tersebut) untuk melakukan okupasinya di rumah, dengan supervisi minimal dan memberikan panduan-panduan yang sifatnya aplikatif dan berbasis okupasi untuk dipraktekkan dan dilakukan. 


Seberapa Efektif Occupational Performance Coaching (OPC)?

Merujuk kepada efektivitas coaching maupun family-centred yang pada dasarnya ada kesamaan prinsip dengan OPC, Novak & Honan (2019) menyebut peran coaching memiliki efektivitas yang baik dalam intervensi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan anak dengan resiko tinggi (high risk), serta layanan family-centred anak dengan brain injury dan cerebral palsy. Occupational Performance Coaching (OPC) dapat dikatakan menjadi salah satu intervensi efektif yang dapat digunakan praktisi terapi okupasi untuk memenuhi ekspektasi keberhasilan terapi terhadap layanan terapi okupasi di masa kini (Graham, Rodger & Ziviani, 2013). Kembali dalam Graham dkk. (2013), dalam sampel uji pada beberapa anak ASD dan caregivernya dengan beberapa tujuan terapi yang direncanakan kemudian sampel diukur dengan pemeriksaan Canadian Occupational Performance Measure (COPM), Goal Attainment Scale (GAS) & Parenting Sense of Competence Scale (PSOC), menunjukkan peningkatan pada semua tujuan terapi, termasuk pada peningkatan kemampuan anak juga caregiver setelah 6 minggu dilakukan follow-up.

Dalam riset lainnya, Witt, Stokes, Parsonson & Dudding (2018) menjelaskan adanya pengaruh yang baik dari coaching kepada caregiver anak dengan traumatic brain injury. Coaching kepada orang tua menunjukkan peningkatan kemampuan orang tua dalam melatih beberapa aktivitas keseharian seperti aktivitas menyikat gigi, menulis nama dan mengikat tali sepatu, pun meningkatkan kemampuan fungsional anak dalam aktivitas tersebut. Berikutnya dalam riset OPC berbasis peer-led coaching (latih bersama berpasangan) pada klien kondisi stroke menunjukkan dampak positif dan mendukung layanan rehabilitasi melingkupi beberapa aspek biopsikososial klien baik secara kelompok maupun personal (Masterson-Algar et al., 2020). Terakhir, dalam satu riset oleh Foster, Dunn & Lawson (2012) pula menyebutkan dalam kasus caregiver anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diberikan coaching menyebutkan adanya peningkatan kepercayaan diri, pemahaman dan kesadaran caregiver terhadap kondisi anak dan pengasuhan anak saat ini.


Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam Praktik Terapi Okupasi

Menerapkan Occupational Performance Coaching dalam praktik terapi okupasi tentu perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip metode ini. Graham dkk. (2013) menyampaikan dasar-dasar metode ini berupa:

  1. OPC bersifat family & environment-centred dengan ikut melibatkan caregiver dalam melatih klien mencapai tujuan terapi,
  2. Tujuan terapi telah sama-sama dipahami, jelas, tepat, terstruktur dengan baik dan berbasis okupasi,
  3. Membimbing dan membelajarkan hal-hal untuk mewujudkan tujuan terapi pada lingkungan di sekitar klien (orang tua, pasangan, caregiver maupun lainnya).
Memasak di dapur bersama anak – Gambar: http://www.stroke.org/

Selain mengetahui prinsip, terapis okupasi juga perlu memerhatikan persiapan-persiapan yang kiranya dapat diperhatikan ketika ingin menerapkan OPC kepada caregiver klien dalam Graham, Boland, Ziviani & Rodger (2017), berikut:

  1. Mendengarkan caregiver dengan penuh empati dan tulus selama memberikan coaching dan mendengarkan keluhan,
  2. Berbagi kendali terapis terhadap klien kepada caregiver selama di rumah/di luar klinik maupun rumah sakit agar klien mampu lebih patuh kepada caregiver dan agar caregiver lebih dapat memahami perannya selama OPC dilakukan,
  3. Mengevaluasi kembali setiap proses, peran dan pelayanan yang diberikan di setiap sesi terapi dengan melihat pencapaian klien tiap sesi terapi maupun coaching di rumah,
  4. Mewakilkan tanggung jawab dengan memberikan dan menerima tantangan, dukungan, masukan, keputusan, informasi yang promotif terkait klien kepada caregiver untuk meningkatkan kepercayaan dan kesungguhan coaching terhadap klien serta lebih memberikan efek terapeutik program terapi selama di rumah.

Prosedur Penerapan Occupational Performance Coaching (OPC)

Dalam Chien, Lai, Lin & Graham (2020) menunjukkan prosedur penerapan OPC yang diterapkan kepada anak dengan masalah tumbuh kembang, berdasar melalui 3 (tiga) langkah berikut:

  1. Connect (Menghubungkan) – Menarik kepercayaan caregiver kepada terapis untuk mengalihkan ‘konteks’ komunikasi caregiver yang reaktif (emosional) menuju ke arah fokus menuju solusi (untuk merespon dan memberikan arahan), 
  2. Structure (Membentuk) – Memandu caregiver untuk mendapat pengetahuan dan kemampuan melalui memandu caregiver dengan cara pikir yang solutif, dapat mencapai tujuan terapi dengan tepat, merencanakan dan evaluasi program di rumah dan menggeneralisasikan ilmu yang sudah didapatkan.
  3. Share (Membagikan) – Memaksimalkan peranan mandiri dari caregiver dalam menyukseskan OPC dan mengembangan lagi pengetahuan caregiver lebih baik.

Aplikasi Occupational Performance Coaching (OPC) Terhadap Suatu Kasus

Berikutnya, mari kita hubungkan melalui studi kasus dari Lamarre, Egan, Kessler, Sauve-Schenk (2019) yang menyajikan bagaimana proses OPC diterapkan dalam intervensi kepada klien dengan stroke:

  1. Merencanakan tujuan terapi – Terapis merencanakan dan menentukan tujuan terapi bersama klien dengan menyesuaikan client factor dan okupasi yang dituju tentu menyesuaikan individual klien.
  2. Memulai intervensi – Terapis merupakan coach atau pelatih dari klien untuk memandu klien dalam melakukan okupasi guna mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam intervensi, dasar pikir kemandirian klien perlu dengan bagaimana terapis mendorong kemampuan eksplorasi pilihan-pilihan yang ada, merencanakan gerak untuk melakukan langkah-langkah aktivitas dan menyelesaikan solusi ketika menemukan masalah.
  3. Klien mencoba melakukan sendiri – Ini merupakan inisiatif yang terbentuk dari klien setelah melalui tahap coaching bersama terapis. Keberanian, pemahaman terhadap dirinya sendiri telah diperoleh hingga telah siap untuk melakukan okupasi (dalam rangka mencapai tujuan terapi) dengan mandiri.
  4. Lakukan pemeriksaan berkala dan mentoring bersama klien – Terapis mengevaluasi performa okupasi yang telah dicapai klien setelah sesi OPC berlangsung, kemudian lakukan diskusi kembali, memberikan dukungan positif, berbagi ilmu dan pengalaman bersama klien dan caregiver untuk mencapai tujuan terapi selanjutnya secara mandiri. 

Bagaimana? Tertarik untuk go beyond dengan occupational performance coaching ketika memberikan edukasi kepada caregiver, orang tua, pasangan dan lainnya dari klien Anda? Kiranya ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, terlebih bukti klinis yang positif telah disampaikan melalui riset-riset yang ada. Namun, sayang pengembangan melalui riset di bumi Indonesia masih belum banyak ada. 

Sekian, semoga memberikan dampak.


Referensi

Alanko, T., Karhula, M., Kröger, T., Piirainen, A., & Nikander, R. (2018). Rehabilitees perspective on goal setting in rehabilitation – a phenomenological approach. Disability and Rehabilitation, 41(19), 2280-2288. doi:10.1080/09638288.2018.1463398

Chien, C., Lai, Y. Y., Lin, C., & Graham, F. (2020). Occupational Performance Coaching with Parents to Promote Community Participation and Quality of Life of Young Children with Developmental Disabilities: A Feasibility Evaluation in Hong Kong. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(21), 7993. doi:10.3390/ijerph17217993

Copley, J. A., Turpin, M. J., & King, T. L. (2010). Information Used by an Expert Paediatric Occupational Therapist When Making Clinical Decisions. Canadian Journal of Occupational Therapy, 77(4), 249-256. doi:10.2182/cjot.2010.77.4.7

Foster, L., Dunn, W., & Lawson, L. M. (2012). Coaching Mothers of Children with Autism: A Qualitative Study for Occupational Therapy Practice. Physical & Occupational Therapy In Pediatrics, 33(2), 253-263. doi:10.3109/01942638.2012.747581

Graham, F., Rodger, S., & Ziviani, J. (2014). Mothers Experiences of Engaging in Occupational Performance Coaching. British Journal of Occupational Therapy, 77(4), 189-197. doi:10.4276/030802214×13968769798791

Graham, F., Boland, P., Ziviani, J., & Rodger, S. (2017). Occupational therapists’ and physiotherapists’ perceptions of implementing Occupational Performance Coaching. Disability and Rehabilitation, 40(12), 1386-1392. doi:10.1080/09638288.2017.1295474

Kessler, D., & Graham, F. (2015). The use of coaching in occupational therapy: An integrative review. Australian Occupational Therapy Journal, 62(3), 160-176. doi:10.1111/1440-1630.12175

Lamarre, J., Egan, M., Kessler, D., & Sauvé-Schenk, K. (2019). Occupational Performance Coaching in Assisted Living. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 38(1), 1-17. doi:10.1080/02703181.2019.1659466

Masterson-Algar, P., Williams, S., Burton, C. R., Arthur, C. A., Hoare, Z., Morrison, V., . . . Elghenzai, S. (2018). Getting back to life after stroke: Co-designing a peer-led coaching intervention to enable stroke survivors to rebuild a meaningful life after stroke. Disability and Rehabilitation, 42(10), 1359-1372. doi:10.1080/09638288.2018.1524521

Novak, I., & Honan, I. (2019). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal, 66(3), 258-273. doi:10.1111/1440-1630.12573

Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd Edition). (2017). American Journal of Occupational Therapy, 68(Supplement_1). doi:10.5014/ajot.2014.682006

Siegert, R. J., & Taylor, W. J. (2004). Theoretical aspects of goal-setting and motivation in rehabilitation. Disability and Rehabilitation, 26(1), 1-8. doi:10.1080/09638280410001644932

Witt, M. R., Stokes, T. F., Parsonson, B. S., & Dudding, C. C. (2018). Effect of distance caregiver coaching on functional skills of a child with traumatic brain injury. Brain Injury, 32(7), 894-899. doi:10.1080/02699052.2018.1466365


Artikel Suplemen

Kessler, D., Walker, I., Sauvé-Schenk, K., & Egan, M. (2018). Goal setting dynamics that facilitate or impede a client-centered approach. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 26(5), 315-324. doi:10.1080/11038128.2018.1465119

Øien, I., Fallang, B., & Østensjø, S. (2009). Goal-setting in paediatric rehabilitation: Perceptions of parents and professional. Child: Care, Health and Development, 36(4), 558-565. doi:10.1111/j.1365-2214.2009.01038.x

Kahjoogh, M. A., Kessler, D., Hosseini, S. A., Rassafiani, M., Akbarfahimi, N., Khankeh, H. R., & Biglarian, A. (2018). Randomized controlled trial of occupational performance coaching for mothers of children with cerebral palsy. British Journal of Occupational Therapy, 82(4), 213-219. doi:10.1177/0308022618799944

Belliveau, D., Belliveau, I., Camire-Raymond, A., Kessler, D., & Egan, M. (2016). Use of Occupational Performance Coaching for stroke survivors (OPC-Stroke) in late rehabilitation: A descriptive case study. The Open Journal of Occupational Therapy, 4(2). doi:10.15453/2168-6408.1219

Flink, M., Bertilsson, A., Johansson, U., Guidetti, S., Tham, K., & Koch, L. V. (2016). Training in client-centeredness enhances occupational therapist documentation on goal setting and client participation in goal setting in the medical records of people with stroke. Clinical Rehabilitation, 30(12), 1200-1210. doi:10.1177/0269215515620256

Kessler, D., Ineza, I., Patel, H., Phillips, M., & Dubouloz, C. (2014). Occupational Performance Coaching adapted for Stroke Survivors (OPC-Stroke): A Feasibility Evaluation. Physical & Occupational Therapy In Geriatrics, 32(1), 42-57. doi:10.3109/02703181.2013.873845

Kessler, D. E., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Graham, F. P., & Mcewen, S. E. (2014). Occupational Performance Coaching for stroke survivors: A pilot randomized controlled trial protocol. Canadian Journal of Occupational Therapy, 81(5), 279-288. doi:10.1177/0008417414545869

Kessler, D., Egan, M. Y., Dubouloz, C., Mcewen, S., & Graham, F. P. (2018). Occupational performance coaching for stroke survivors (OPC-Stroke): Understanding of mechanisms of actions. British Journal of Occupational Therapy, 81(6), 326-337. doi:10.1177/0308022618756001

Pentingnya Memahami Neuroplastisitas Bagi Terapis Okupasi

Masih ingatkah saat pertama kali bertemu dengan klien dengan kondisi stroke? dimana klien tidak mampu melakukan aktivitas kesehariannya bahkan hanya diminta mengangkat bahu ke atas saja sulit bagi mereka karena hilangnya memori di otak tentang hal tersebut yang diakibatkan oleh hilangnya 120 juta neuron 830 miliar synapses, dan 714 km serat myeline setiap jam nya saat setelah terserang stroke (Jaffrey, 2006).

Mungkin pernah terbesit apakah kemampuan fungsional klien akan diperoleh kembali. Namun setelah satu tahun berlalu melihat progress intervensi tersebut, klien bisa mengangkat bahunya bahkan sudah mulai makan dengan bantuan minimal. Hal itu disebabkan karena otak manusia memiliki kemampuan super yang dinamakan neuroplastisitas.


Apa itu Neuroplastisitas ?

     Neuroplastisitas didefinisikan sebagai kemampuan otak untuk mengubah, merombak dan mengorganisasi ulang untuk kemampuan yang lebih baik dalam beradaptasi di situasi baru. Sambungan atau sinap sistem saraf otak dapat terbentuk dan hilang secara dinamis tergantung pada pengalaman yang dialami (Cajal (1955) dalam Demarin Vida et al., (2016)). Neuroplastisitas ini sudah ada sejak otak kita terbentuk yaitu sejak dalam kandungan, berkembang pesat saat masa kecil dan masih terus ada hingga kita tua. Maka dari itu meskipun klien stroke  sudah berumur 50 tahun lebih dia masih mungkin tetap bisa mempelajari kemampuan yang hilang dari memori otaknya meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena stroke recovery merupakan hal yang kompleks.

Beberapa penelitian yang membahas tentang perbandingan waktu proses recovery pada otak tikus dan manusia yang sedang menderita stroke menunjukan bahwa pada hewan yaitu tikus membutuhkan waktu maksimal empat minggu sedangkan proses recovery pada klien stroke kebanyakan membutuhkan waktu tiga bulan (Krakauer et al,  (2012) & Dimyan & Cohen (2011).


Terjadinya neuroplastisitas di otak. – iStock

Bagaimana Memaksimalkan Neuroplastisitas Untuk Mengembalikan Kembali Fungsi Yang Hilang?

      Rehabilitasi training merupakan salah satu cara efektif untuk mengembalikan kemampuan otak dan kemampuan fungsional karena kerusakan saraf otak, karena otak dan sistem motor belajar dari pengulangan atau repetisi dan juga latihan (Jeffrey, 2008 & ESO (2008)). Rehabilitasi training meliputi proses mencapai kembali dan juga menjaga kemampuan fungsional fisik, intelektual, psikologis dan kehidupan sosial (Stucki, Cieza & Melvin, 2001).  Hal ini sangat sejalan dengan praktik terapi okupasi dalam menangani klien dengan kerusakan saraf otak seperti stroke. Maka seorang terapis okupasi harus dapat melakukan assessment dan intervensi yang tepat untuk memaksimalkan fungsional outcome.

     Seorang terapis okupasi juga harus dapat melakukan analisis aktivitas bagi kliennya, dikarenakan aktivitas yang kompleks seperti makan sebaiknya dipecah menjadi aktivitas sederhana agar otak mampu merekam dengan mudah. Pengulangan gerakan sangat disarankan dalam proses rehabilitasi, dikarenakan dapat memperkuat jalur saraf otak yang dibentuk kembali. Selain latihan gerak yang rutin dan berulang seorang okupasi terapis juga memberikan tujuan dan konteks dari gerakan tersebut, contohnya saat kita melatih klien kita untuk fleksi elbow maka klien juga memahami bahwa tujuan fungsional dari latihan gerakan fleksi elbow tersebut adalah untuk membawa makanan ke mulut saat aktivitas makan. Hal ini bertujuan agar otak terstimulasi untuk membentuk neural circuit atau jalur saraf yang dapat membawa ke tahapan eksekusi dari tujuan akhir ( Demarin Vida et al., 2016).

Terapi Okupasi dapat membantu perkembangan neuroplastisitas otak – Gambar oleh Hamilton Viana Viana dari Pixabay

Referensi

Demarin, V., & MOROVIĆ, S. (2014). Neuroplasticity. Periodicum biologorum116(2), 209-211.

Saver, J. L. (2006). Time is brain—quantified. Stroke37(1), 263-266.

Kleim, J. A., & Jones, T. A. (2008). Principles of experience-dependent neural plasticity: implications for rehabilitation after brain damage. Journal of speech, language, and hearing research

Stucki, G., Cieza, A., & Melvin, J. (2007). The international classification of functioning, disability and health: A unifying model for the conceptual description of the rehabilitation strategy. Journal of rehabilitation medicine39(4), 279-285. 

Krakauer, J. W., Carmichael, S. T., Corbett, D., & Wittenberg, G. F. (2012). Getting neurorehabilitation right: what can be learned from animal models?. Neurorehabilitation and neural repair26(8), 923-931.

Dimyan, M. A., & Cohen, L. G. (2011). Neuroplasticity in the context of motor rehabilitation after stroke. Nature Reviews Neurology7(2), 76-85.

Quinn, T. J., Paolucci, S., Sunnerhagen, K. S., Sivenius, J., Walker, M. F., Toni, D., & Lees, K. R. (2009). European Stroke Organisation (ESO) Executive Committee ESO Writing Committee Evidence-based stroke rehabilitation: an expanded guidance document from the European Stroke Organisation (ESO) guidelines for management of ischaemic stroke and transient ischaemic attack 2008. Journal of Rehabilitation Medicine: official journal of the uEMS European Board of physical and Rehabilitation Medicine41, 99-111.

Nature Based OT Seri Satu : Menggunakan Alam Sebagai Co-fasilitator

Setting terapi okupasi terus berkembang seiring berjalannya waktu. Saat ini terapis okupasi dapat mendayagunakan outdoor atau luar ruangan sebagai lingkungan yang terapetik. Lingkungan yang baik dan alami dipercaya  menjadi salah satu komponen yang dapat menunjang kesuksesan terapi dikarenakan memberikan efek yang positif terhadap individu. Sesuai dengan terapi okupasi model yaitu Person Occupation Environment (PEO), menyatakan bahwa person, occupation dan environment saling mempengaruhi satu sama lain dalam performance outcomes seseorang (Law, et al, 1996; Strong, et al, 1999; Turpin & Iwama, 2011) serta interaksi yang dilakukan antara individu dengan lingkungan dapat membantu perkembangan otak (Schaaf R.C & Miller L (2005).  Maka dari itu, seorang terapis okupasi sebaiknya dapat memberikan lingkungan positif dan sealami mungkin yang dapat meningkatkan performance outcome klien.

Anak-Anak Bermain bersama di Alam Terbuka – Gambar oleh 이룬 봉 dari Pixabay

Apa Itu Okupasi Terapis Berbasis Alam?

Alam didefinisikan sebagai bentuk fisik dunia, fenomena-fenemona yang terjadi di dalamnya dan juga objek-objek yang ada seperti hewan, air, pasir, tanaman dan lain-lain (Nature, n.d). Okupasi terapi berbasis alam berarti menggunakan lingkungan alami untuk intervensi terapi okupasi yang mana di dalamnya dapat difungsikan sebagai latihan keterampilan dan partisipasi client dalam aktivitas keseharian seperti yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Melibatkan antara aktivitas keseharian, alam, play & leisure sebagai alat serta proses mekanisme yang terapetik (Lauren, 2019). Penggunaan alam sebagai fasilitator terapi sebenarnya sudah sangat sering digunakan oleh seorang okupasi terapis, salah satunya adalah aktivitas berkebun atau gardening. Namun sering sekali seorang okupasi terapis menggunakan aktivitas berkebun hanya sebatas pemanfaatan waktu luang untuk client dengan gangguan jiwa. Padahal berkebun sendiri bukan hanya intervensi yang efektif untuk klien dengan gangguan jiwa saja namun bisa dimanfaatkan untuk klien anak, individu dengan keterbatasan fisik, dan kebutaan penglihatan, yang mana dapat meningkatkan  skill dan development level klien (Clarke (1950) dalam Lauren (2019)). Kemudian melakukan aktifitas di taman atau di lingkungan alam dengan danau kecil dan padang rumput dimana seseorang tersebut merasakan terik matahari yang alami, udara segar dan tanaman yang hijau juga diyakini dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang tersebut (Nilsson, et al, 2010).

Manfaat Apa Saja Yang Dapat Didapatkan Dari Penggunaan Alam Sebagai Co-Fasilitator?

Alam berperan penting bagi klien, maka dari itu menganggap alam sebagai co-fasilitator kita sangatlah tepat dikarenakan alam memiliki dinamika yang tidak hanya sebagai tempat dimana individu itu berpijak. Ketika kita sebagai terapis okupasi menggabungkan alam dengan aktivitas bertujuan, seperti mengajak klien dengan gangguan jiwa melakukan aktifitas menanam tanaman di kebun, mengajak klien anak melakukan halang rintang di sebuah hutan, alam akan secara langsung memberikan apa yang alam miliki didalamnya untuk meningkatkan komponen-komponen yang dibutuhkan individu dalam mencapai performance skills agar individu tersebut dapat berpartisipasi dalam aktivitas bermaknanya dalam kehidupan seharri-hari (Lauren, 2019). Performance skills sendiri diklasifikasikan menjadi motor skills, process skills dan motor functioning. Komponen-komponen tersebut mencakup body functions, mental functions, sensory functions, muscle functions, and movement functions yang mana akan bertemu dengan struktur dan konteks lingkungan yang nantinya muncul sebagai performance skills (AOTA, 2014). Jadi, dapat disimpulkan bahwa alam mampu  untuk menjadi co-fasilitator yang baik jika seorang terapis okupasi dapat secara tepat menggunakan dan mengkombinasikannya dengan aktivitas bertujuan karena alam bisa memberikan efek terapetik pada komponen-komponen performance skill klien. Untuk lebih tahu secara lebih detail tentang manfaat alam terhadap performance skill , nantikan nature based OT seri dua.

Referensi :

Tanta, K. J., & Knox, S. H. (2015). Play. In J. Case-Smith & J. C. O’Brien (Eds.), Occupational therapy for children and adolescents (7th ed., pp. 483–497). Elsevier Mosby.

Law, M., Cooper, B., Strong, S., Stweart, D., Rigby, P., & Letts, L. (1996). The Person-

Environment-Occupation Model: A transactive approach to occupational performance. Canadian Journal of Occupational Therapy,63 (1), 9-23.

Turpin, M. & Iwama, M.K. (2011). Using Occupational Therapy Models In Practice: A

Field Guide. Toronto, Canada: Elsevier.

Schaaf, R. C., & Miller, L. J. (2005). Occupational therapy using a sensory integrative approach for children with developmental disabilities. Mental retardation and developmental disabilities research reviews11(2), 143-148.

Nature [Def. 1]. (n.d.). Oxford Living Dictionaries. Retrieved January 10, 2019, from https://en.oxforddictionaries.com/definition/nature

Nilsson, K., Sangster, M., Gallis, C., Hartig, T., De Vries, S., Seeland, K., & Schipperijn, J. (Eds.). (2010). Forests, trees and human health. Springer Science & Business Media.

Koch, L. (2019). The Use of Nature as a Treatment Modality in Occupational Therapy.

American Occupational Therapy Association (2014). Occupational therapy practice framework: Domain and process. American Journal of Occupational Therapy,68(Suppl. 1), S1–S48. http://dx.doi.org/10.5014/ajot.2014.682006

Instagram