Bagaimana Terapi Okupasi dapat Berperan pada Klien yang Mengidentifikasi Diri sebagai LGBTQ+ ?

Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay

Seksual orientasi maupun identitas gender, untuk era sekarang memang tidak hanya dia (laki-laki) ataupun dia (perempuan) atau laki-laki menyukai perempuan. Saat ini seksual orientasi dan identitas gender ada yang dinamakan LGBTQ+ yang berarti Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgander, Queer, + untuk lain-lain.

Mungkin artikel ini akan menjadi bacaan pertama tentang terapis okupasi pada LGBTQ+ dalam bahasa Indonesia. Maka dari itu sebelum kita belajar lebih dalam, mari kita mengambil waktu sejenak dan menyimpan persepsi pribadi. Penulis akan memposisikan diri sebagai profesional terapis okupasi bukan secara pribadi. Maka diharapkan pembaca juga melakukan hal yang sama.

Jika kawan-kawan sudah menempatkan diri sebagai profesional maka mari kita lanjutkan membaca artikel ini.

Seperti yang kita ketaui dalam kode etik okupasi terapis Indonesia (2021) menyatakan “Anggota IOTI berkomitmen untuk mempromosikan sistem inklusi, partisipasi, keamanan, dan kesejahteraan untuk individu, kelompok, keluarga, organisasi, masyarakat, dan atau populasi di berbagai tahap kehidupan dan tingkat kesehatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan okupasi mereka”.

Berikutnya, terdapat 7 core values yang menjadi inti pelayanan terapis okupasi yaitu Altruisme, Equality (kesetaraan), Freedom (kebebasan), Justice (keadilan), Dignity (bermartabat),  Prudence (bijaksana). Maka dari aturan kode etik okupasi terapis Indonesia ini kita tau bahwa sebagai terapis okupasi, kita harus dapat menjadi tenaga kesehatan yang professional untuk semua kalangan tanpa adanya diskriminasi.


Apakah LGBTQ+ merupakan Penyakit Kejiwaan?

Sejak 1975, American Psychological Association telah meminta psikolog untuk memimpin dalam menghilangkan stigma gangguan kesehatan jiwa yang telah lama dikaitkan dengan orientasi lesbian, gay dan biseksual.

LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. “LGB” dalam istilah ini mengacu pada orientasi seksual. Orientasi seksual didefinisikan sebagai pola ketertarikan emosional, romantis, dan/atau seksual yang sering bertahan lama dari pria ke wanita atau wanita ke pria (heteroseksual), dari wanita ke wanita atau pria ke pria (homoseksual), atau oleh pria atau wanita untuk kedua jenis kelamin (biseksual).

Genderbreed Person V 2.0 (Img. https://www.itspronouncedmetrosexual.com/)

Ini juga mengacu pada rasa identitas pribadi dan sosial individu berdasarkan daya tarik tersebut, perilaku terkait dan keanggotaan dalam komunitas orang lain yang berbagi daya tarik dan perilaku tersebut. Beberapa orang yang memiliki ketertarikan atau hubungan sesama jenis dapat mengidentifikasi diri sebagai “aneh,” atau, karena berbagai alasan pribadi, sosial atau politik, mungkin memilih untuk tidak mengidentifikasi diri dengan label ini atau label apa pun. 

    “T” dalam LGBT adalah singkatan dari transgender atau gender yang tidak sesuai, dan merupakan istilah umum untuk orang-orang yang identitas gender atau ekspresi gendernya tidak sesuai dengan yang biasanya terkait dengan jenis kelamin yang diberikan kepada mereka saat lahir. Beberapa yang tidak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan lebih suka istilah “genderqueer.” Dan penting untuk dipahami bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukanlah hal yang sama (APA, 2008).

Apa yang Menyebabkan Seseorang Memiliki Seksual Orientasi Tertentu?

Tidak ada konsensus (persetujuan secara umum) di antara para ilmuwan tentang alasan yang tepat bahwa seseorang mengembangkan orientasi heteroseksual, biseksual, gay, atau lesbian. Meskipun banyak penelitian telah meneliti kemungkinan pengaruh genetik, hormonal, perkembangan, sosial, dan budaya pada orientasi seksual, tidak ada temuan yang muncul yang memungkinkan para ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh faktor atau faktor tertentu.

Banyak yang berpikir bahwa nature (secara alamiah) dan nurture (proses didikan dan asuhan) keduanya memainkan peran yang kompleks; bahkan kebanyakan orang mengalami sedikit atau tidak ada pilihan tentang orientasi seksual mereka (APA, 2008).

Gambar oleh Myriams-Fotos dari Pixabay

Permasalahan yang Dihadapi oleh Individu dengan LGBTQ+ 

Menghadapi Prasangka Tidak Baik dan Diskriminasi 

Sebelum 1970-an, homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang menyimpang, menular, berbahaya, dan tidak dapat diobati yang diagnosisnya paling sering menyebabkan pengusiran dari institusi (Tierney & Dilley, 1998 dalam Kay, 2022). Untuk menghilangkan anggapan negatif ini tentunya tidak mudah dan membutuhkan waktu serta dukungan dari berbagai pihak.

Bahkan di negara maju, orang-orang lesbian, gay, dan biseksual di Amerika Serikat menghadapi prasangka, diskriminasi, dan kekerasan yang luas karena orientasi seksual mereka. Prasangka yang intens terhadap lesbian, pria gay, dan orang biseksual tersebar luas di sebagian besar abad ke-20 , bahkan sikap diskriminasi yang sebagian besar dialami berupa kekerasan verbal maupun fisik (APA, 2008). 

Occupational Injustice

Occupational injustices digambarkan sebagai kondisi seseorang yang memiliki pengalaman occupation dengan penuh tekanan karena kondisinya (Hammell & Beagan, 2017) Sedangkan occupational justice yang dideskripsikan oleh Nilsson and Townsend (2010) merupakan keadilan dari perbedaan: keadilan untuk mengakui hak-hak occupational tanpa memandang usia, kemampuan, jenis kelamin, kelas sosial, atau perbedaan lainnya”.

Gambar oleh Flore W dari Pixabay

Individu dengan LGBTQ+ banyak yang mengalami kesulitan dan terisolasi dalam aspek sekolah atau akademik, kependudukan dan struktur sosial karena harus menanggung kebijakan yang membatasi mereka, staf-staf yang tidak mendukung, bias gender dan orientasi, dan intimidasi atau bullying dari orang sekitar (Kay, 2022). 

Namun faktanya individu dengan LGBTQ+ mengalami occupational injustice bukan hanya hasil dari masyarakat luar namun dari lingkungan profesi kesehatan, dimana orang dewasa dan remaja yang mengidentifikasi sebagai selain laki-laki / perempuan atau heteroseksual, sering mengalami jumlah kesempatan yang tidak proporsional dari kesenjangan perawatan kesehatan mental dan fisik daripada rekan-rekan heteroseksual (Willey, 2021).

Selain itu occupational injustice juga terjadi pada kalangan terapis okupasi karena hasil dari kurangnya pengetahuan & kompetensi klinisi. Menurut penelitian yang dilakukan Willey (2021) tentang Occupational Therapists’ Consideration of Sexual Orientation and Gender Identity when Working with Adolescents: An Exploratory Study, menyatakan bahwa occupational justice lebih mungkin terjadi jika OTs memasukkan SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) sebagai faktor klien yang relevan dalam praktik terapi okupasi.

Sebaliknya,  situasi occupational injustice jika semua faktor klien tidak dipertimbangkan (AOTA, 2020). Contoh, jika seorang terapis okupasi tidak bertanya tentang SOGI klien, maka kemungkinan mereka menganggap klien mereka heteroseksual dan / atau pria atau wanita. Jika terapis okupasi tidak bertanya tentang SOGI klien, dan klien tidak menawarkan informasi ini, maka OTs tidak akan tahu apakah klien remaja membutuhkan dukungan, baik dengan topik khusus SOGI atau dukungan untuk mengejar occupation yang paling berarti bagi mereka.

Mengalami Permasalahan Fisik maupun Mental

Viktimisasi, diskriminasi, penolakan, dan prasangka yang terus dialami dan dihadapi adalah sumber stres yang mengarah pada masalah dan kekhawatiran kesehatan fisik dan mental yang sering terlihat di komunitas LGBT. 

Pengalaman yang buruk selama bertahun-tahun dan penyembunyian identitas asli seseorang dianggap sebagai faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kondisi medis kronis yang lebih tinggi, seperti penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, radang sendi, dan gangguan kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan, yang terlihat pada populasi LGBT (Branstrom, 2017; Fredriksen-Goldsen et al., 2013; Meyer, 2003 dalam Simon, et al., 2021).


Bagaimana peran Terapi Okupasi pada individual dengan LGBTQ+ ? 

Melakukan Pemeriksaan (Img. Brooks.ac.uk)

Memasukan SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) dalam Proses Terapi Okupasi 

Untuk pertama kalinya SOGI (Sexual Orientation & Gender Identity) dianggap sebagai bagian dari proses terapi okupasi setelah depalan belas tahun sejak dikeluarkannya edisi pertama.

OTPF menggambarkan SOGI sebagai faktor pribadi yang harus dipertimbangkan, bersama dengan informasi demografis lainnya seperti: usia kronologis; ras dan etnis; identifikasi dan sikap budaya; latar belakang sosial, status sosial, dan status sosial ekonomi; pola pengasuhan dan pengalaman hidup; kebiasaan dan pola perilaku masa lalu dan saat ini; aset psikologis, temperamen, karakter unik yang dimiliki individu, dan gaya koping; pendidikan; profesi dan identitas profesional; gaya hidup; dan kondisi kesehatan dan status kebugaran (yang dapat mempengaruhi occupation seseorang tetapi bukan perhatian utama dari pertemuan terapi okupasi) (AOTA (2020), hlm. 10-11 dalam Willey, 2021).

Memasukan SOGI kedalam proses terapi sangatlah penting, karena dengan itu terapis okupasi dapat menentukan bentuk assessment, intervensi dan evaluasi yang sesuai dengan indidvidu, karena jika seorang tenaga kesehatan tidak mempertimbangakan SOGI dalam proses medikasi, maka hal ini dianggap tindakan yang menyakitkan karena tidak semua klien masuk kedalam heteroseksual, laku-laki maupun perempuan (Logie et al., 2019)

Mengidentifikasi Occupational Profile Individu dengan LGBTQ+ yang Terimplikasi karena SOGI Klien

Terapis okupasi harus sadar dan memiliki pengetauan tentang bagaimana kesenjangan kesehatan, kondisi kesehatan fisik, gangguan kejiwaan, dan tantangan sosial yang dihadapi yang berdampak pada occupational profile individu dengan LGBTQ+.

Dalam penelitian yang dilakukan Simon et al., (2021). The Role of Occupational Therapy in Supporting the Needs of Older Adults who Identify as Lesbian, Gay, Bisexual, and/or Transgender (LGBT). Memaparkan gambaran umum tentang perspektif ekologis terhadap narasi occupation dan perjalanan orang dewasa LGBT yang lebih tua dan dampaknya pada occupational profile-nya.

PersonOrang dewasa LGBT hadir dengan berbagai perubahan sistem terkait usia yang berdampak pada fungsi fisiologis, psikologis, motorik, kognitif, dan / atau spiritual.

Peningkatan risiko kesenjangan kesehatan menciptakan kebutuhan kritis untuk assessment yang akurat, evaluasi komprehensif, intervensi, dan proses rujukan yang tepat.
EnvironmentOrang dewasa LGBT dihadapkan pada “tantangan lingkungan,” mengingat jaringan dukungan sosial mereka, penentu sosial, lingkungan fisik dan sosial yang ada, dan kebijakan kesehatan dan hukum yang berlaku (Lecompte et al., 2020).

Dilema dan konflik dapat muncul ketika para penatua LGBT dihadapkan pada “lingkungan” yang tidak inklusif dan tidak mempertimbangkan kebutuhan populasi ini (Donaldson & Vacha-Haase, 2016).

Misalnya, pasangan mungkin tidak diterima sebagai kerabat berikutnya karena polisi yang ada di lingkungan tertentu. Beberapa akan melupakan bantuan yang diperlukan karena takut akan pekerja perawatan di rumah dan pengasuh yang tidak kompeten secara budaya dan mungkin tidak menerima gaya hidup mereka.
Occupational
Performance
Ada beragam kebutuhan dan keinginan orang dewasa LGBT yang bersaing dengan perubahan peran dan tujuan berdasarkan tingkat fungsi mereka; kebutuhan di rumah, di masyarakat, atau di tempat kerja; tahap kehidupan; dan adaptasi terhadap proses penuaan (Abbruzzese & Simon, 2018).

Tingkat fungsional sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan manusia. Klien mungkin tidak ingin melakukan terapi atau terbuka terhadap strategi yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan fungsi.

Hambatan dan kendala tambahan menciptakan tantangan dalam memfasilitasi kinerja dan partisipasi occupational yang optimal.

Seperti yang kita ketahui bahwa individu LGBT memiliki occupational profile yang unik. Beberapa topik termasuk berpakaian atau masalah seksualitas, yang harus kita ketahui dan sadari. Mengatasi beragam ADL dan pekerjaan memerlukan pendekatan yang terbuka dan tidak menghakimi.

Sensitivitas untuk masalah ADLs yang berkaitan dengan berpakaian, perawatan, atau seksualitas dapat muncul, dan seorang terapis mungkin tidak yakin bagaimana mengatasi masalah dengan cara yang kompeten secara budaya dan klinis.

Misalnya, seseorang mungkin menghadapi kebutuhan transisi pada individu transgender yang mungkin mengalami tantangan berpakaian, beradaptasi dengan gaya baru, dan yang perlu mengelola berbagai jenis pakaian atau aksesori. Ini mungkin keadaan yang unik bagi seorang tenaga kesehatan yang tidak yakin, tidak mudah dan perlu merasa lebih sadar secara klinis dan kompetensi (Simon et al., 2021).

Mengembangkan Pengetahuan dan Perubahan Praktik

Terapis okupasi merupakan bagian dari agen perubahan. Seluruh terapis okupasi sebaiknya menyadari isu-isu terbaru yang membutuhkan peranan terapis okupasi dan ikut berproses serta mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Untuk mengatasi kurangnya pengetahuan mengenai masalah dan kekhawatiran populasi LGBT, kita perlu membuat perubahan dalam pendidikan dan pelatihan kita baik fakultas maupun mahasiswa. Kerendahan hati budaya harus didorong dan peluang untuk menjadi lebih kompeten secara budaya dan klinis diperlukan. Kebutuhan, kekhawatiran, dan sejarah narasi LGBT harus lebih terlihat dalam pendidikan dan pelatihan (Simon et al., 2021). 

Upaya harus dilakukan oleh terapis okupasi untuk menciptakan lingkungan ramah LGBT dengan (a) mempromosikan penggunaan terminologi yang tepat, (b) merevisi formulir dan penilaian untuk memastikan inklusivitas, dan (c) memastikan selebaran pendidikan pasien netral gender.

Seluruh tenaga kesehatan harus didorong untuk melayani sebagai advokat untuk populasi ini di seluruh kontinum perawatan. Semua mekanisme ini akan mendorong peningkatan pemberian layanan OT (Simon et al., 2021).

Mengembangkan Ilmu Wajib Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan
(Img. scopeblog.stanford.edu)

Kesimpulan 

Peran terapis okupasi pada komunitas LGBTQ+ memang terbilang baru, penelitian serta evidence based yang adapun masih terbatas. Namun isu ini sudah menjadi hal yang harus terapis okupasi ketahui mengingat terapis okupasi merupakan salah satu profesi yang membantu klien nya mencapai kehidupan yang penuh makna meskipun dengan kondisi tertentu.

Melayani tanpa diskriminasi, melihat klien secara holistic seharusnya tidak dibatasi oleh seksual orientasi dan identitas gender. Terapis okupasi harus memposisikan diri sebagai tenaga profesional yang tentunya memiliki kompetensi ketika dihadapkan dengan klien dengan SOGI yang tidak ada dalam kategori umumnya.

Populasi LGBTQ+ juga menghadapi permasalahan kesehatan fisik maupun jiwa seperti yang lain dan juga yang diakibatkan oleh pengalam sosial yang tidak baik yang terus dihadapi serta occupational injustice yang  mempengaruhi occupational individu LGBTQ+ yang mana peranan terapis okupasi sangat dibutuhkan pada hal ini. 


Referensi

American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a better understanding of sexual orientation and homosexuality.  https://www.apa.org/topics/lgbtq

Hammell, K. R. W., & Beagan, B. (2017). Occupational injustice: A critique: L’injustice occupationnelle: une critique. Canadian Journal of Occupational Therapy84(1), 58-68.

IOTI (2021). SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN OKUPASI TERAPIS INDONESIA NOMOR : 134/SKep/IOTI.PUSAT/V/2021. Ikatan Okupasi Terapis Indonesia

Kay, C. M. (2022). Challenges of Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Intersex, and Asexual (LGBTQIA) Students in Higher Education (Doctoral dissertation, Walden University).

Logie, C., Lys, C., Dias, L., Schott, N., Zouboules, M. R., MacNeill, N., & Mackay, K., (2019). “Automatic assumption of your gender, sexuality and sexual practices is also discrimination”: Exploring sexual healthcare experiences and recommendations among sexually and gender diverse persons in Artic Canada. Health Soc Care Community, 27, 1204–1213. https://doi.org/10.1111/hsc.12757

Nilsson, I., & Townsend, E. (2010). Occupational justice: Bridging theory and practice. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 17, 57–63. doi:10.3109/11038120903287182

Simon, P., Grajo, L., & Powers Dirette, D. (2021). The Role of Occupational Therapy in Supporting the Needs of Older Adults who Identify as Lesbian, Gay, Bisexual, and/or Transgender (LGBT). The Open Journal of Occupational Therapy9(4), 1-9.

Willey, K. (2021). Occupational Therapists’ Consideration of Sexual Orientation and Gender Identity when Working with Adolescents: An Exploratory Study.

Leave a Comment

Instagram